Senin, 28 Oktober 2019

Hampir

Sekarat bukanlah kata yang tepat untuk menggambarkan manusia yang masih bisa tertawa dan bernapas, terlebih lagi bagi manusia yang mengaku cinta pada alam semesta.

Tapi nyatanya disinilah aku, tersudut di tempat nan gelap dan juga pengap. Jauh di dalam sana, masih bisa kudengar degub jantung memompa napas,  jauh di dalam sana, masih bisa kudengar tawa dan perdebatan yang enggan meninggalkan kepala. Tapi rasanya semua itu begitu jauh dari jangkauan kesadaran. Aku sekarat oleh ketiadaan sinar alih-alih terkepung di tengah-tengah debu di penghujung musim panas. 

Dimana matahari, dimana kehangatan, dimana denyut nadi. Semua lenyap begitu saja sekarang dari pandangan, dari jangkauan. Kakiku melangkah terseok mengejar nalar, mengejar zaman, tapi tak bisa kurasakan solidnya tanah pijakan. Kemana gerangan perginya kerikil yang biasa menghadang? Kemana perginya jurang yang tak pernah luput dari pandangan? 

Terlalu lama aku berjalan dengan memejamkan mata, menyusuri jalan menuju rumah bukan dengan melihat tapi dengan menghapal, satu belokan ke kanan, dua langkah kecil, dua napas sedang, belok selatan, begitulah biasanya aku akan pulang. Rumahku bukan berupa bangunan, tidak selalu berujud seperti itu, kadang berada di sudut jalur melintang di atas sungai panjang, kadang berupa gundukan tanah yang mencuat begitu saja di sisi ladang, kadang pula berada di jalanan panjang tanpa nama yang terus di susuri tanpa tujuan pasti. Rumahku tersebar di banyak tempat, atau sesekali pula tidak di mana-mana. Seanomali itu hidupku jika kalian ingin tahu. Tapi sekian tahun terakhir rumahku menetap dalam ujud nyawa dan badan. Bernama Ari yang kemudian mendatangkan nama lain, yakni Hara. Dua rumah yang selalu menahan langkahku agar berdiam dan beristirahat. Bersama keduanya aku menjadi seseorang yang utuh dan terkendalikan. Berada dalam naungan keduanya menghadirkan padaku sinar bulan dan matahari secara bersamaan. Aku jauh dari kata kedinginan, jauh dari kata pengap yang selalu mendekap. Ari dan Hara adalah manusia lengkap, manusia berbahagia yang bisa dengan mudah menularkan tawa dan kehangatan. Berada di dekat mereka membuat si manusia sekarat pun perlahan kembali terisi nyawa. Tapi apakah sang gelap benar-benar meninggalkannya? Atau dia hanya menyingkir sebentar tak tahan dengan silau gabungan matahari dan bulan? Jawaban kedua adalah yang paling benar. Karena begitu Ari menjauh pergi, meski bayangannya tak pernah lepas menaungi, tapi nyatanya dingin kembali merayap dengan begitu cepat. Aku ketakutan, merasa terkikis sekaligus terbakar. Ari tak pernah begitu mengenali gejala sekaratku. Dia mungkin hanya akan berujar semua kata rinduku adalah jalan untuk menyambung hubungan, mempererat ikatan yang terrenggangkan oleh jarak. Ingin sekali rasanya menjelaskan konsep sekarat pada makhluk yang tak pernah benar-benar hidup kepada Ari. Suatu saat nanti mungkin akhirnya Ari akan terpahamkan, tentang betapa nasib buruk telah mengikatnya dengan diriku dalam sebuah tema pernikahan. Ya, aku selalu merasa terlalu buruk rupa untuk bisa bersanding nyata dengan Ari yang baik dan terlalu manusia. Dia pantas untuk terikat dengan seseorang yang tidak hanya bertahan hidup dari sinarnya, tapi juga siap menyalakan sendiri cahayanya untuk menerangi Ari. Bersamaku hanya akan ada hubungan simbiosis parasitisme dan bukannya mutualisme. Tapi Ari bertahan, tabah, dan meski terkadang menjengkelkan namun dia terpesona, pada kemampuanku tidak bisa menghasilkan cahaya. Semoga ketabahannya bisa bertahan hingga kemampuannya untuk membaui bisa merasai sekaratku. Makhluk-makhluk yang hanya bisa mengagumi alam semesta tanpa bisa menyerupai apalagi mewarisi sedikit saja keajaibannya. 
Sedangkan Hara, ia adalah pemilik nyala abadi, di awal pertemuan kami, kurasakan perkenalan yang teramat canggung, hingga kemudian dia dengan telaten mengarahkanku, mengajariku untuk berjalan menuju sinar terang di tengah-tengah kegelapan. Pelajaran baru yang memantik antusias berlebih, hingga nyaris saja aku tergoda untuk meluluskan diri sebelum pelajaran itu sendiri usai. Dia pengajar yang hebat, terlalu hebat untuk murid yang terlalu haus akan pelepasan dahaga. Cahaya dan gulita dengan perlahan mulai berjalan bersisian, tak ada lagi ungkapan habis napas, ketika sekejap saja pelukannya sanggup menghadirkan hangat sekekal bara. Aku benar-benar terpesona akan kelihaiannya menyentuh palung terjal. Terpesona pada kekuatan ajaibnya dalam menghadirkan cahaya. Lalu, apakah kali ini gelap itu telah benar-benar lenyap? Kenapa aku masih bisa merasakan gaung suaranya di balik gejolak jantung yang kian membara? Kenapa aku masih bisa menggigil sesekali ketika alam mimpi mulai menjemput dan memisahkanku dari Hara? Halo gelap...tidak cukupkah dengan membuatku hanya sekarat? Aku ngeri memikirkan ini, tapi nampaknya engkau terobsesi untuk melenyapkanku dari dunia ini. Kenapa? Apa karena aku menyukai alam semesta? Atau karena aku tak pernah bisa menghasilkan cahaya, sementara dia adalah satu-satunya yang selalu engkau takuti? Engkau telah berhasil menyekap diriku di dalam kepalaku sendiri, hingga aku tak pernah bisa keluar darinya, bahkan untuk sekedar membela diriku sendiri. Aku muak dengan segala percakapan dan perdebatan itu, aku muak dengan segala sedu sedan yang selalu menjadi kambing hitam bagi perilaku diluar nalarku. Aku ingin bertemankan manusia dan bukan hanya tumbuhan, angin atau hewan. Aku ingin bertemankan siapapun yang tak pernah mengingatkan bahwa aku ini makhluk cacat yang tak bisa menghasilkan cahayanya sendiri. Aku ingin mereka, rumah-rumahku yang berderet normal di setiap ujung dan persimpangan. Aku ingin terlepas dari suara-suara yang tak pernah berhenti berdengung di kepalaku, merapalkan mantra agar aku terbiasa untuk menelan semua percakapan ketimbang meludahkanya keluar.

Ari tolong kembali, berikan lagi padaku sinar nyalamu yang begitu hangat dan menghidupkan. Dia mendekapku lagi, getir, pengap nan menyesakkan yang tak pernah berhasil untuk kuutarakan dalam bahasa yang bisa kau pahami. Ari tolong kembali, bantu Hara dalam menunaikan habis pelajarannya. Sekarat ini seperti akan merenggutku paksa, aku telah berhenti berbicara, berhenti bercanda dan juga tertawa, apa itu cukup untuk di jadikan alasan bagimu untuk kembali? Ari tolong kembali, karena aku mulai melukai Hara, dengan segala kegusaran dan ketidaksabaranku. Aku melukainya dengan itu. 

Jalanan tidak akan pernah menemui titik akhir selama denyut nadi masih bergelayut menemani, jalanan tidak akan berhenti untuk menjalari selama degub jantung masih terdengar riang di setiap desahan, seberapa jauhpun suara itu terdengar, seberapa jauhpun suara itu bergaung. Menyisakan penderitaan tak terkatakan bernama sekarat yang berkepanjangan.