Rabu, 28 Februari 2018

Kupu-kupu Biru

Dunia adalah tempat bermain yang sangat luas. Kita berputar, mengayun dan melakukannya hingga habis tenaga, dan dunia ini belum juga akan habis keluasannya. Kupu-kupu adalah jenis makhluk yang paling ku puja keberadaannya di dunia ini. Mereka menawanku dalam kekaguman yang tak kunjung luntur. Bahkan diamnya mereka adalah sesuatu yang menakjubkan. Melalui kepakan kecilnya, dunia seperti sebuah lorong panjang yang tak memiliki ujung batasan. Aku dulu selalu bertanya-tanya apakah dengan keberadaan sayap itu lantas membuat mereka memiliki keinginan untuk bisa mengelilingi dunia atau tidak, atau mungkinkah keserakahan itu hanya di miliki oleh kaum melata sepertiku? Hingga kemudian keajaiban pun datang, seekor kupu-kupu berwarna biru mendatangiku seperti dia mendengar kepenasaranku. Dan kami mulai berbincang, jangan tanyakan bagaimana caranya aku bisa memahami perbendaharaan katanya, karena jika kamu lupa, aku ini seekor cicak dan kaumku memiliki kemampuan untuk memahami segala bahasa dari separuh binatang yang ada di dunia ini. Jika kamu merasa hal itu adalah sesuatu yang hebat, tunggu di lain waktu hingga bisa kuceritakan kelebihan-kelebihan diriku yang lain, terlihat congkak bukan?

Kembali kepada si kupu-kupu biru, dia bernama Kat, dia berumur hampir sama sepertiku, tapi kemampuannya dalam melihat dunia berlipat lebih banyak dariku. Dia menarik, aku yang dari semula begitu memuja secara khusus kepada makhluk cantik sepertinya, merasa semakin tertarik ketika akhirnya bisa mengenal lebih jauh salah satu dari mereka. Kat, sayapnya memiliki warna yang akan mengingatkanmu pada kejernihan dasar lautan, lebih pekat dari biru yang di suguhkan langit ketika sedang ceria-cerianya. Dan di ujung sayapnya, terdapat bercak hitam sebesar jengkalan tangan, tapi keberadaannya bukanlah sesuatu yang merusak, karena Kat semakin terlihat sempurna dengan warna hitam di ujung kelopaknya itu. Ahh, aku semakin kentara menunjukkan minat kepada Kat, bukankah?

Dia selalu menjadi teman yang baik untuk membicarakan apapun, dunia menjadi semakin luas lagi karena keberadaannya, jangan tanya sejak kapan aku dan Kat mulai berteman, karena ada sesuatu yang lebih penting lagi daripada mengingat sebuah tanggal. Aku mengutarakan rasa kagumku kepada Kat, dan dia pun memiliki perasaan yang sama terhadapku. Kita beranjak menjadi sepasang kekasih? Tidak, tidak secepat itu, dan aku begitu mengerti makhluk seperti apa si Kat itu, kaum mereka begitu benci dengan keterikatan, terlalu lama berada di angkasa dan memiliki keluasaan untuk mengarungi, mungkin adalah alasan yang tepat kenapa terikat menjadi sesuatu yang sangat merepotkan. Dan aku memaksa. Aku menyesal melakukannya, tapi sebelum aku berhasil mengucap sempurna kalimat itu, Kat telah pergi.

Sosok yang begitu sempurna, yang begitu ku puji dan ku puja, yang menunjukkan padaku keindahan juga keluasan dunia, kini telah tiada. Aku yang memaksanya mengambil keputusan itu, aku buta kala itu, berangan sebuah kenyamanan akan beranjak menjadi lebih dalam sebuah ikatan, aku melupakan kenyataan bahwa tak ada tahta yang berhasil mengungguli sebuah kenyamanan. Dan si makhluk biru dengan titik hitam di ujung sayapnya kini tak pernah lagi menampakkan diri dalam jangkauan. Kat pergi membawa separuh diriku dalam kepakan kecilnya. Menjauh dari cakrawala, menjauh dariku.

Waktu beranjak jauh semenjak hari kepergian makhluk cantik bernama Kat, dan hari ini, di sinilah aku, berayun di sebatang tangkai di tengah perkebunan yang hampir di penuhi ilalang. Aku memberanikan diri keluar dari kungkungan ruang. Memunguti remah harapan yang mungkin tak sengaja ia jatuhkan. Aku ingin kembali bersua dengannya, aku ingin kami kembali berlomba mengukir kata, aku ingin ia mendengar alasan di balik sebuah keterikatan yang ku damba darinya. Ya, terlahir menjadi seekor cicak bukan sesuatu yang menjadi pilihanku. Terkurung dalam ruang, bukan pula sesuatu yang ku harapkan. Menjadi apapun terlihat lebih baik ketimbang menjadi diriku. Tapi seperti inilah aku terlahir ada. Tak ada jalan lain, satu-satunya yang tersisa adalah bahwa aku harus menjabat tangan takdir. Bersahabat dengannya, dan mematuhi semua jalanan yang di lukiskannya. Makhluk sepertiku tak mengenal kata teman, sekalipun jika kalian mungkin pernah melihat ada dua atau tiga ekor cicak yang tengah berada dalam satu lingkaran, percayalah, mereka di sana tidak sedang bersenda gurau terlebih dengan cangkir-cangkir teh dan kudapan di sekelilingnya. Persaingan adalah darah dalam kehidupan makhluk seperti kami, dan hati adalah bagian paling kecil dalam anggota tubuh kami. Bisa kalian bayangkan bukan? Seperti apa dunia yang melingkupiku ini. Sesekali aku tergoda untuk merajuk kepada takdir, menabur harap ia akan luluh untuk menyulapku menjadi kodok atau ayam. Sungguh, menjadi apapun tetap terlihat lebih baik ketimbang menjadi aku, sudah pernah kukatakan itu, bukan? Namun hasil selalu nihil, alih-alih merubahku menjadi kodok atau ayam, takdir justru mengajariku berpujangga, mengolah kata,  dan meraciknya menjadi sesuatu yang enak untuk di suguhkan. Aku ingat, Kat selalu memuji kelihaianku memainkan bahasa, dan jika aku tak salah hitung, itulah kali pertama dan terakhir Kat menunjukkan sebuah minat terhadapku, sebuah tindakan yang mendasariku untuk berbesar kepala yang menjadi alasan kepergian Kat.

Kat, belum mendengar pengakuanku, betapa selama ini aku telah menjadi gila karena api yang terus membara oleh perangai kaumku, betapa aku ingin memiliki kawan sekedar untuk bisa saling mendengarkan. Usahaku untuk bersahabat dengan takdir belum sepenuhnya membuahkan hasil ternyata. Tembok selama ini adalah hal terbaik yang bisa kumuntahi segala isi otakku. Dia mendengar semuanya dalam diam, dia selalu menelan semuanya tanpa bersisa. Tapi bertahun-tahun melakukannya, tak lantas membuatku kebal pada kenyataan bahwa tak akan pernah ada sebuah jawaban yang terucap. Dan aku semakin gila karenanya. Aku bosan berbicara dengan tembok. Aku bosan tak berpendengar. Aku bosan harus merumus sebuah jawaban dalam terkaan. Aku bosan melihat si tembok hanya diam. Aku muak dengan semua itu, aku muak hingga sampai pada titik dimana sebuah pemikiran tentang bunuh diri adalah sesuatu yang teramat menggiurkan. Kat tak pernah memahami, betapa keinginanku selama ini adalah sesingkat itu, Kat tak pernah mengerti betapa takdir yang bodoh itu telah salah karena menjadikanku pintar berpujangga. Dan, kepada siapa lagi aku harus menyalahkan atas kepergian Kat?

Kat benar, ia selalu benar, bahwa jika dunia ini adalah sebuah lorong tanpa batasan karena memang seperti itulah kenyataan yang ada. Aku sekarang adalah seekor cicak yang bebas. Dunia menjadi pijakan yang luas, sekaligus taman bermain tanpa akhir yang begitu merongrong rasa dahagaku agar terpuaskan. Tapi kemanapun kakiku melangkah, Kat tak pernah ada di sana, ia benaran pergi tanpa sudi mendengarkan sebuah alasan, alasan milikku.