Sabtu, 23 November 2019

Tanah dan Hujan

Apa kau mendengarku? Aku bersuara melalui banyak cara, melihat melalui banyak mata, tapi percakapan itu selalu hanya ada di dalam kepalaku. 
Apa kau mendengarku? Ketika derasnya hujan mengalahkan segala suara yang ada, bahkan keheningan pun terasa kian membungkam. 

Aku berjalan menembus hujan. Berharap bisa menemukan lagi kesejukan yang dulu selalu berhasil mengguyur kepolosanku. Mengabaikan dimana jalan setapak, karena dalam keremangan semua daratan terlihat datar dan seperti bisa di jadikan pijakan. Tapi cacatnya jalanan selalu bisa memerangkap kaki-kaki yang lengah. Tapi air menyamarkan jalanan berlubang dan seakan membisikkan kata aman. 

Waktu berlalu sudah sangat lama ketika hujan berkekuatan mendatangkan senyuman. Waktu berlalu sudah sangat lama sejak terakhir kali bisa tertawa riang di bawah pelukan hujan sebelum akhirnya dingin datang. 
Sekarang banyak drama yang terjadi dan terjalani. Dari yang hanya meruapkan rasa bahagia hingga yang mengucurkan air mata.

Kini, tak ada lagi yang peduli bahkan jika aku harus menjadi layu dalam dekapan hujan. Kini semua mata menyiratkan satu ekspresi sama, berupa kebekuan. Tidak terlalu tajam tapi berhasil menusuk sasaran. 

Tanah bukankah tidak seharusnya mengikatkan diri terlalu akrab dengan air? Atau semuanya akan lenyap dalam sekali sapaan panjang. Tanah bukankah harus membatasi pengetahuan tentang jati diri? Karena terkadang memang ketidaktahuan adalah hal terbaik yang pernah ada dan palig baik dari segalanya. 
Angan, harapan, tergusur air yang di tumpahkan oleh tangan besar di atas langit sana. Angin, air, hanya bisa memandang, mengamati bagaimana tanah tersapu hujan sebelum akhirnya terkikis lalu menghilang. 

Perasaan itu seperti tak terbahasakan. Yang hadir melalui celah rapat deretan air hujan. Menetes bergantian dengan si bintang utama. Menyelipkan banyak kenangan dan pesan. Tapi mata selalu lelah memandang sesuatu yang monoton membosankan. Tapi telinga selalu menghindar untuk menerima adanya sinyal-sinyal. 

Sudah seberapa lama tanah satu ini menjauh dari peradaban? Menontoni semuanya dan semakin merasa nyaman di bangku berlengan. Tidakkah ia merindukan sapaan-sapaan? Sudah berapa lama sejak terkahir kali si tanah mencoba mengerti percakapan antara angin yang bertiup ke utara dan hujan yang menyapu daratan di bagian selatan. Hitungan waktu mendadak menghilang, semu, samar, semuanya beraduk dalam keterlenaan. 

Tanah tidak seharusnya mencoba terbang. Sekalipun ketika kemarau melanda beberapa terpaksa harus merasakan udara secara singkat, tapi membayangkan gumpalan-gumpalan tanah beterbangan melintasi langit biru adalah sesuatu yang sedikit mengerikan. Jangan kesana lagi, udara, walaupun kadang terlihat menggiurkan memang tak senyata yang di bayangkan. Udara, tempat segala yang berpindah, tempat segala yang bergerak. Tak ada ketetapan, tak ada keteguhan. Tolong, jangan kembali lagi kesana. Tempatmu bukan di tengah-tengah antara langit dan daratan. Tempatmu jelas, menapak, berujud dan tak berpindah-pindah. Sangat maklum ketika melihat sesuatu yang baru dan lain lalu kita akan merasa takjub hingga kemudian mencobanya. Tapi terbang bukanlah sesuatu yang semudah itu, di butuhkan lebih dari sekedar mengayun lalu mengkhayalkan agar bisa benar-benar mengangkat kaki lalu melangkah nyaman tanpa pijakan. Butuh lebih dari sekedar niat dan keinginan untuk benar-benar bisa berlari melintasi banyak partikel-partikel kasat mata, tanpa warna, ujud dan aroma. 

Adakah yang menunggumu di atas langit sana? Siapa? Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang menimpa langit dan mencemari udara, sekalipun mendung gemar sekali menggantung di ujung sana, meski udara tak lagi seringan bulu-bulu angsa yang di terbangkan. Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di lintas kuasamu. Sekalipun aku yakin kegatalan untuk mengatasi semuanya sudah begitu kentara. Sekalipun aku yakin engkau memang tidak sepadat ujudmu, rasamu hadir sehalus udara yang tak teraba, rasamu hadir senyaman air yang mengalir melalui arusnya. Hanya mereka yang tidak paham tentang dirimu yang beranggapan tanah adalah sesuatu yang hanya patut untuk di injak dan di bentuk sedemikian rupa. 

Lalu hujan, dimana mereka akan memuara jika bukan dalam dekapan dan pelukanmu. Lalu hujan, dimana mereka akan menemukan tempat peristirahatannya kalau bukan dalam genggaman dan rengkuhanmu? Mereka mengira tanahlah yang membutuhkan air untuk bisa melahirkan kehidupan. Mereka mengira tanahlah yang berpangku tangan menerima segalanya demi lahirnya sebuah nadi baru. Mereka mengira tanahlah yang menjadi perantara terciptanya cinta antara angin yang berlarian menuju utara dan air yang merembesi wilayah di sebelahnya. 
Karena nyatanya tidak seperti itu, nyatanya tidak semudah itu. Tanah bekerja dengan ribuan kalkulasi. Bertengkar dengan tak terhingganya kemungkinan. Bergandengan dengan ketidak nyamanan. Semua yang terlihat begitu diam tidak selalu tak bersuara, semua yang terlihat begitu rentan tidak selalu membutuhkan uluran, semua yang begitu terlihat beku tidak selalu membahayakan. Hanya karena mereka tidak memahami bagaimana aku bercanda dan berbicara tidak lantas aku bisa begitu saja di jadikan objek pengasingan.

Hanya satu yang selalu ingin kusemat dan sampaikan. Air hujan tidak selalu membawa arus emosi yang sama meskipun volume air yang di tumpahkan tertakar sama. Air hujan tidak selalu membawa keheningan seperti yang khasnya akan selalu dihadirkan. 

Senin, 18 November 2019

Catatan Singkat

Untuk sekali ini saja, bisakah kita berbicara seperti layaknya dua teman? Mari sejenak lupakan ikatan pengandung dan yang dikandung antara kita. 

Ketika kamu mulai memahami ketikan ini dan juga tulisan-tulisan yang lainnya, aku mungkin sudah mencapai surga atau sebaliknya sedang terseok di ujung neraka.

Namamu berarti unsur penting dalam sebuah kehidupan. Dan memang begitulah adanya dirimu. 
Memahamiku tidak semudah membaca halaman demi halaman buku, memahamiku tidak segampang menghapal rute perjalanan. 

Awal kedatanganmu adalah sebuah keajaiban. Kita di pertemukan untuk mempererat dua ikatan yang hampir melonggar. Dan tahukah kamu bahwa aku telah lebih dari sekali untuk menyerah dari Ari? Dan tahukah kamu bahwa hingga saat ini aku masih berpendapat bahwa kalian berdua layak mendapatkan teman yang lebih dan jauh lebih baik dari pada si brengsek satu ini? 

Ada kalanya aku seperti mengenali diriku sendiri, dan waktu lainnya benar-benar membuatku bertanya siapa aku sebenarnya. Beberapa waktu terasa lebih menakutkan ketimbang halaman terburuk dari episode yang paling mengerikan. 
Berapa kali dalam pertemuan singkat kita aku telah mengeluarkan auman dan juga cakaran? Berapa kali aku melukaimu sebelum akhirnya benar-benar merobek lembar kehidupanmu? 

Dulu aku selalu berangan-angan akan menjadi teman terbaik sedunia. Dulu aku selalu berharap agar kehadiranmu bisa menenangkan pertarungan di dalam kepala. Tidak harus selalu menjadi pemenang, karena aku hanya ingin sebuah ketenangan.
Setahun, lima tahun, entah sudah berapa waktu aku menyadari bahwa kepalaku bertanggung jawab untul sekian banyal drama, yang selalu membuatku tersudut, terasing dan sampai akhirnya terbuang. Ya, aku bukan orang baik jika kau ingin tahu. Aku adalah sesuatu yang buruk dengan jenis perasaan yang lebih peka ketimbang paus sekalipun ataupun makhluk lain di alam semesta. Awalnya aku mengira itu sebuah kewajaran yang selalu dimiliki kaum perempuan, tapi nyatanya bukan. Aku mengandung  hal yang tidak bisa kupahami atau kumengerti di dalam tubuh ini.
Ari beruntung jika masih bisa hidup sampai kau benar-benar bisa memahami tulisan ini nantinya. 

Ingatkah kau pada malam-malam sepi bersama kita? Ketika orang lain menyanyikan lagu-lagu manis untuk mengantarkan tidur anaknya, aku justru melakukannya dengan membisikimu banyak maaf. 
Ingatkah kau pada air mata yang selalu merebak hanya di depanmu? Ya, aku takut terlihat tidak sempurna, namun semakin aku takut justru semakin terus kulakukan hal yang sebaliknya. Dunia mendadak berbalik muka semuanya. Aku yang awalnya tidak berteman dan berkubang dalam kesendirian harus mengakui bahwa yang terburuk masih ada dan menyergapku pada akhirnya. 

Jika ada hal lain yang harus kukatakan, maka itu adalah maaf (lagi). Aku melukai yang lain juga selain dirimu, Ari tak terkecuali. Ada sesak yang tak pernah ku bagi dengan siapa-siapa yang akhirnya hanya bisa kulepaskan dalam ujud air mata. 
Normalnya orang akan berubah menjadi lebih baik bukankah? Tapi padaku, hal yang sebaliknya justru yang terjadi. Bekal yang dulu pernah kuucapkan akan di selipkan pada saku milikmu, mendadak lupa daftar. Bekal yang dulu sudah kusiapkan meski hanya seadanya, mendadak kehilangan arah dan tujuan. Aku pernah mengarahkanmu bukan menjadi sesuatu yang kuinginkan, tapi menjadi sesuatu yang baik menurut pengalaman dan juga yang pernah dunia standarkan. Tapi apakah itu akan terpatri di ingatanmu?
Hal yang kutahu adalah aku ingin benar-benar menyerah pada semua hal. Berhenti menjadi manusiawi dan hanya terus bernapas tanpa pernah benar-benar memikirkan apa yang kumau dan apa yang dunia butuhkan. 

Rabu, 13 November 2019

Abu Yang Lain

Harusnya semua hal tentangmu telah lama hilang dari ingatanku. Harusnya semua ingatan tentangmu telah lama menjadi debu seiring dengan padamnya bara yang dulu menyala dengan begitu hebatnya. Tapi nyatanya disinilah aku, terseok dalam langkah sendiri, memunguti remah-remah ingatan tentangmu yang berjatuhan dengan begitu derasnya seperti tetesan hujan di luar. Aku bahagia karena ketika akhir menyentuh hubungan kita, hanya hal baik yang menyelimuti kenangannya. Sepuluh,  sebelas, berapa angka yang kau suka sekarang? Apakah masih tigabelas seperti dulu itu? Apakah tidak terlalu naif untuk mempertahankan keutuhan ketika kepingan dan keretakan telah nyata hadir di depan mata? Atau justru itu cara terakhirmu untuk mempertahankan kehidupan? 

Harusnya aku hidup berbahagia dengan pilihan yang sekian waktu lalu kubuat. Dan memang seperti itu adanya. Tapi kebahagiaan mendadak hadir sebagai kepingan puzzle ketika aku mengenalmu lalu pergi dan kemudian menemukannya. Bukankah kebahagiaan harusnya adalah sebuah perasaan tunggal dan utuh? Bukannya sesuatu yang terbagi dan bisa di bongkar lalu di pasang ulang? Aku mendadak linglung dalam memahami mode emosi yang satu itu. Karena tidak bisa di pungkiri, aku masih bisa merasakan sentuhan hangat dalam kehadiran samarmu. Bukankah semua ingatan tentang sentuhanmu harusnya juga ikut menghilang seiring dengan kuatnya tekadku meninggalkanmu? Tapi nyatanya kenangan hadir dalam caranya sendiri, yang harus di akui begitu unik dan mengagumkan. 

Lihatlah, aku terlihat seperti anak umur belasan, yang ragu dengan perasaannya sendiri, gamang untuk menjabarkan apa yang ada di dalam hati atau dengan sesuatu yang samar mengganggu pandangan. 

Apakah kau ingat ketika aku mengenalmu dalam umur belasan? Awal dari pertemuan kita. Obsesi sekaligus api pertamaku. Aku lupa apa panggilan pertamaku untukmu, atau bagaimana ejaan pertamaku dalam memanggil namamu. Semua begitu abu, tapi kepingan masa ketika aku akhirnya mengakui jatuh cinta dan tergila-gila denganmu adalah sesuatu yang saat ini terasa jelas terlihat seperti tegasnya warna biru di atas langit tanpa awan, atau sejernih hijaunya rumput tanpa selimut embun yang dinginnya selalu membekukan. Aku pernah jatuh cinta dengan begitu hebatnya, seperti melihat putaran video tentang dua kaki dengan tarian yang sangat indah, sementara sekarang memandang dua kaki itu terdiam membuat pertanyaan tentang benarkah aku pernah melakukannya? merasakannya? Semuanya terlalu nyata untuk hanya di anggap angan. 
Apa kau ingat sekian tahun yang terlewati untuk mengobservasi dan juga menemukanmu? Bahkan sekarang masih bisa kurasakan mekarnya kuntum cantik itu di dalam dada. Perasaan berbunga-bunga yang selalu membuat iri siapapun yang mendengarnya. 
Apa kau ingat tentang buku bersampul biru bergambar lautan yang pernah kubuat dulu? Aku punya dua dan belum selesai juga membacanya, entahlah, mungkin titik puncakku dalam mengobservasi dan menemukanmu ada pada saat proses pembuatan buku-buku itu, menuliskan pengalaman cinta adalah sesuatu yang sangat menakjubkan, hingga kesalahan-kesalahan pun akan terlihat seperti ornamen lain penghias halaman, bukannya sesuatu yang mengganggu pandangan. Baru beberapa waktu terakhir ini aku menyadari bahwa buku itu mengandung banyak kesalahan, bukan lagi terlihat seperti buku menggemaskan dengan banyak hiasan yang sedap dipandang. Aku terlalu telanjang, meskipun malu tetap harus di akui bagaimanapun juga. Tentang vulgarnya penulisanku saat itu mengenai perasaanku kepadamu. Ketika orang lain mengakui cinta monyetnya yang begitu membekas dengan dijadikan ajang untuk saling ledek dan banyolan. Aku memperlakukan kenangan cinta monyetku dengan cara mengemasnya dalam buku absurd penuh pengakuan-pengakuan memalukan. Apa kataku saat itu? Percaya pada kata selamanya? Tidak ada kata akhir yang ada hanyalah kata selanjutnya? Dan disinilah aku sekarang, meringis ngeri sendiri sambil memunguti remah-remah kenangan. Karena kita telah berakhir tentu saja, karena hubungan kita menemui kata selanjutnya tapi dengan nama tokoh dan latar belakang yang berbeda. Namamu masih hidup tapi hanya sebagai catatan kaki semata. Maaf untuk mengakuinya seperti itu, tapi seperti yang selalu kukatakan pada mereka yang haus pada peneranganku, bahwa tersesat pada dalamnya lubang cintamu adalah sesuatu yang patut untuk dikemas dan dikenang. Bukan hal yang aneh untuk menempatkan cinta monyet sebagai hal tergila dalam perjalanan hidup seseorang, karena bagaimanapun setiap orang akan melewati fase satu itu, dan aku berterimakasih kepada siapapun pembuat skenario hidup karena menempatkanmu sebagai bahan untuk dikenang.
Lalu apa kau ingat tentang waktu-waktu intim ketika kita bersama? Entah dalam sesi melamunku di dalam sebuah perjalanan ataupun malam-malam panas di sepertiga malam yang selalu kita lewatkan. Karena aku mengingat semuanya. Aku bukan hanya si pemantik tapi juga nyala api itu sendiri, akulah bara yang kemudian beralih menjadi abu itu sendiri. Aku melalui semuanya dan mengingatnya. 


Awalnya aku mengira hanya luka yang bisa disembuhkan oleh waktu, tapi ternyata rasa rindu pun bisa diobati olehnya. Sekian tahun memunggungi, beberapa kali memungkiri, tapi sekarang kakiku berdiri tegak dan mengakui lantang, bahwasanya semua putaran video yang datang sejelas warna kabut di kejauhan ternyata memiliki warna tunggal dan nama terang. Yakni kerinduan. Semua terjelaskan akhirnya petang ini, kenapa abu yang harusnya telah lama hilang terbawa waktu mendadak menempelkan diri di setiap ujung helai rambut yang ada di sekujur tubuh. Karena abu itu tidak pergi kemana-mana, benar si pemantik telah menyalakan dirinya sendiri untuk membuat api, benar bara telah tersulut dengan begitu mudah tanpa adanya bantuan, tapi abu adalah sesuatu yang lain, dia mati namun selalu memiliki cara untuk menampakkan diri, dia mati namun keluasan udara justru membuatnya bisa pergi kemanapun sesuka hati, termasuk juga memasuki sudut antartika lalu kembali kesini, relung hati yang pernah membuatnya terdiam nyaman. Kembali padaku. 


Apa kau lihat itu? Seberapa mudah aku mengingat semuanya jika itu tentangmu. Betapa akhir masihlah menjadi misteri karena kisah selanjutnya pastilah selalu ada, betapa selalu ada spasi panjang di belakang titik yang jelas-jelas membawa tanda untuk mengakhiri kalimat atau sebuah cerita. Semuanya jelas karena selalu ada kesempatan untuk membuat cerita yang lain, kisah yang lain, dan meskipun ceritaku berlanjut sekarang, dan meskipun si buku biru bersampul gambar lautan pada akhirnya nanti memiliki 'adik kecilnya', tapi tentangmu, kisah unik denganmu memilki judul tersendiri yang tak mungkin bisa untuk digabung dengan judul yang lain. Itulah kenapa kabahagiaan seperti sebuah puzzle sekarang, karena ada banyak tema cinta, ada banyak alasan untuk berbahagia, entah yang datang dari masa lampau dalam ujud kenangan, atau yang datang dari masa kini dalam ujud kenyataan, atau justru yang hadir dari masa mendatang dan berujud harapan atau impian. Semua tergantung pada pilihan kita untuk berbahagia pada kisah yang mana, untuk alasan kenapa dan pada siapa. 

Untukku, namamu adalah yang paling tepat mengisi celah kepingan di dalam sana. Tempat yang tak mungkin kau datangi tapi akan selalu kujaga. 

Selasa, 12 November 2019

Membuat Setapak Baru

Jalanan tidak pernah begini lengang sebelumnya. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Desau angin yang biasa menjadi penanda kesunyian hanya menghembuskan napasnya pelan. Kemana perginya semua orang? Kemarin masih kujumpai mulut-mulut berjalan dengan ludah tercecer di belakangnya. Kemarin masih kulihat topeng-topeng yang menyemburkan sapa dalam beraneka rupa. 

Aku masih tergolong baru dalam menapaki jalanan asing satu ini, biasanya aku akan melangkah ke jalan dimana disana ada banyak bekas tapak mengering, pertanda di depanku sudah banyak yang melangkah lebih dulu. Tapi terlalu sering mencari belas tapak membuatku akhirnya di landa kebosanan, mengikuti jalan yang di buat oleh orang lain tidak lagi senikmat yang dulu pernah kurasakan. Aku ingin membuat bekas tapakku tercetak sebelum yang lainnya, aku ingin berhenti mengikuti tapi menjadi yang pertama. Bahkan ketika pintu di belakang tertutup rapat untuk bisa membiarkan siapapun mengikuti langkahku, mencari bekas tapakku. Bahkan ketika jalanan di depan sana masih penuh alang-alang sebatas dada bahkan mungkin melampaui batas penglihatan. Aku ingin terus berjalan. 

Langkah pertama yang ingin kulakukan sebelum benaran memasuki jalanan adalah mempersiapkan bekal. Mengemas semua pelajaran yang bisa di ambil dari masa lampau, mengikat erat tangan pada satu tongkat yang akan menjadi pegangan, bahkan aku mulai ahli dalam membebat ikatan yang dulu selalu longgar di batas betis dan lututku. Jalan di depan tak mungkin lebih buruk dari yang pernah tertapaki,  bahkan jika yang terburuk pun masih berani menghampiri, setidaknya aku bisa dengan gagah mengakui bahwa keputusan itu adalah mutlak milikku, aku yang menanggung penuh segala beban yang mungkin terhampar, tanpa perlu menyalahkan bekas tapak milik orang lain yang berani menuntunku ke dalam jurang. 

Banyak orang mungkin akan bertanya kenapa aku yang sekarang berubah menjadi begitu pahit, meski jika harus kujelaskan semua itu tidak semudah menggelembungkan balon udara. Ada proses berat yang akhirnya memutus semua sisi sosial dalam diriku yang enggan kubagi dengan siapa-siapa. Aku ingin menjadi manusia seutuhnya. Itu adalah alasan yang pertama. Memang selama ini menjadi apa? Siapa pemilik si lidah manis itu? Siapa pemilik si mata nanar itu? Aku pernah bermutasi menjadi sesuatu yang ingin orang lain lihat, dan orang lain harapkan. Menggantung syarat-syarat untuk menjadi  manusia seutuhnya seperti terlihat bahagia, buruk, kejam,  beringas dan sebagainya. Ada batas tertentu tentang perilaku manusia di dunia ini dan cara mengekspresikannya yang diciptakan dan di populerkan entah oleh siapa dan jujur saja beberapa sangat tidak bisa di terapkan olehku. Kekangan dalam ujud pemikiran adalah awal matinya seseorang. Dan sejak kapan atau berapa kali aku mati sejak terlahir ke dunia ini? Hitungannya adalah tak terhingga. Aku benci mengakui, tapi harus melakukannya atau aku akan terjebak dalam kekangan selama berapa kalipun aku terjun dalam siklus hidup mati ala manusia. 

Jalanan lengang yang menyapa langkah pertamaku tidak lantas menyuarakan apa-apa. Sebelum ini aku telah membiasakan diri di makan senyap, kesendirian dan pengap. Tanpa suara bukanlah sesuatu yang menakutkan, malah lebih seperti menghadirkan rasa nyaman. Lihat, bahkan atmosfir jalanan pun mengapresiasi pilihanku untuk membuat setapak baru. Tentu itu adalah awal yang bagus. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendatangi tempat baru yang langsung memperkenalkan diri sebagai teman. Aku berteman dengan seluruh isi bumi kecuali mungkin manusia. Kenapa begitu? Perasaan lelah mungkin adalah jawabannya. Aku tidak perlu merasa takut di khianati oleh akar pohon yang menjalar, tidak perlu merasa takut untuk di kecewakan oleh sinar matahari yang mengelantang. Seluruh isi bumi menyambut uluran tanganku dengan tanpa memberi secuilpun harapan, dan itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. 


Lalu apa kiranya hal yang membuatku mungkin takut untuk melangkah? Jawabannya adalah kehabisan bekal. Meskipun sanggup mendedikasikan diri untuk memahami kayu, atau melihat seluruh manusia sebagai batu, tapi habis bekal adalah sesuatu yang lain. Jika asupanku berupa makanan akan lebih mudah persoalannya. Asupanku adalah pemikiran yang awalnya mentah lalu kemudian di panaskan, terus di panaskan hingga bahannya habis lalu hanya menyisakan pelajaran. Butuh waktu tidak sebentar untuk menggodok bekalku agar siap makan. Lalu apa kiranya yang sanggup mengikis bekal tanpa bentuk itu? Aku tidak berani membayangkan apalagi memberi jawaban. Sekalipun aku benci batasan dan lingkup mengekang, tapi ada satu hal yang garisnya benar-benar tidak berani kusentuh terlebih kulangkahi, yakni jalan kesadaran. Jalanan yang hanya bisa di tapaki dengan satu syarat mutlak yakni sabar. 

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ujung akan segera terlihat selagi bekalku masih bisa cukup menghilangkan lapar dan dahaga.

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ketetapan hati ini untuk melangkah dalam sunyi, nyaman dan menenangkan namun sendirian. Sekali lagi kuingatkan, sendiri bukanlah hal yang baru kutemui, tapi mencari langkah yang tepat untuk dijadikan pijakan adalah sesuatu yang baru dan sepertinya sulit tapi jelas menantang.

Dear akhir, akankah kita semakin dekat, atau justru langkahku makin tersesat?