Selasa, 12 November 2019

Membuat Setapak Baru

Jalanan tidak pernah begini lengang sebelumnya. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar. Desau angin yang biasa menjadi penanda kesunyian hanya menghembuskan napasnya pelan. Kemana perginya semua orang? Kemarin masih kujumpai mulut-mulut berjalan dengan ludah tercecer di belakangnya. Kemarin masih kulihat topeng-topeng yang menyemburkan sapa dalam beraneka rupa. 

Aku masih tergolong baru dalam menapaki jalanan asing satu ini, biasanya aku akan melangkah ke jalan dimana disana ada banyak bekas tapak mengering, pertanda di depanku sudah banyak yang melangkah lebih dulu. Tapi terlalu sering mencari belas tapak membuatku akhirnya di landa kebosanan, mengikuti jalan yang di buat oleh orang lain tidak lagi senikmat yang dulu pernah kurasakan. Aku ingin membuat bekas tapakku tercetak sebelum yang lainnya, aku ingin berhenti mengikuti tapi menjadi yang pertama. Bahkan ketika pintu di belakang tertutup rapat untuk bisa membiarkan siapapun mengikuti langkahku, mencari bekas tapakku. Bahkan ketika jalanan di depan sana masih penuh alang-alang sebatas dada bahkan mungkin melampaui batas penglihatan. Aku ingin terus berjalan. 

Langkah pertama yang ingin kulakukan sebelum benaran memasuki jalanan adalah mempersiapkan bekal. Mengemas semua pelajaran yang bisa di ambil dari masa lampau, mengikat erat tangan pada satu tongkat yang akan menjadi pegangan, bahkan aku mulai ahli dalam membebat ikatan yang dulu selalu longgar di batas betis dan lututku. Jalan di depan tak mungkin lebih buruk dari yang pernah tertapaki,  bahkan jika yang terburuk pun masih berani menghampiri, setidaknya aku bisa dengan gagah mengakui bahwa keputusan itu adalah mutlak milikku, aku yang menanggung penuh segala beban yang mungkin terhampar, tanpa perlu menyalahkan bekas tapak milik orang lain yang berani menuntunku ke dalam jurang. 

Banyak orang mungkin akan bertanya kenapa aku yang sekarang berubah menjadi begitu pahit, meski jika harus kujelaskan semua itu tidak semudah menggelembungkan balon udara. Ada proses berat yang akhirnya memutus semua sisi sosial dalam diriku yang enggan kubagi dengan siapa-siapa. Aku ingin menjadi manusia seutuhnya. Itu adalah alasan yang pertama. Memang selama ini menjadi apa? Siapa pemilik si lidah manis itu? Siapa pemilik si mata nanar itu? Aku pernah bermutasi menjadi sesuatu yang ingin orang lain lihat, dan orang lain harapkan. Menggantung syarat-syarat untuk menjadi  manusia seutuhnya seperti terlihat bahagia, buruk, kejam,  beringas dan sebagainya. Ada batas tertentu tentang perilaku manusia di dunia ini dan cara mengekspresikannya yang diciptakan dan di populerkan entah oleh siapa dan jujur saja beberapa sangat tidak bisa di terapkan olehku. Kekangan dalam ujud pemikiran adalah awal matinya seseorang. Dan sejak kapan atau berapa kali aku mati sejak terlahir ke dunia ini? Hitungannya adalah tak terhingga. Aku benci mengakui, tapi harus melakukannya atau aku akan terjebak dalam kekangan selama berapa kalipun aku terjun dalam siklus hidup mati ala manusia. 

Jalanan lengang yang menyapa langkah pertamaku tidak lantas menyuarakan apa-apa. Sebelum ini aku telah membiasakan diri di makan senyap, kesendirian dan pengap. Tanpa suara bukanlah sesuatu yang menakutkan, malah lebih seperti menghadirkan rasa nyaman. Lihat, bahkan atmosfir jalanan pun mengapresiasi pilihanku untuk membuat setapak baru. Tentu itu adalah awal yang bagus. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendatangi tempat baru yang langsung memperkenalkan diri sebagai teman. Aku berteman dengan seluruh isi bumi kecuali mungkin manusia. Kenapa begitu? Perasaan lelah mungkin adalah jawabannya. Aku tidak perlu merasa takut di khianati oleh akar pohon yang menjalar, tidak perlu merasa takut untuk di kecewakan oleh sinar matahari yang mengelantang. Seluruh isi bumi menyambut uluran tanganku dengan tanpa memberi secuilpun harapan, dan itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. 


Lalu apa kiranya hal yang membuatku mungkin takut untuk melangkah? Jawabannya adalah kehabisan bekal. Meskipun sanggup mendedikasikan diri untuk memahami kayu, atau melihat seluruh manusia sebagai batu, tapi habis bekal adalah sesuatu yang lain. Jika asupanku berupa makanan akan lebih mudah persoalannya. Asupanku adalah pemikiran yang awalnya mentah lalu kemudian di panaskan, terus di panaskan hingga bahannya habis lalu hanya menyisakan pelajaran. Butuh waktu tidak sebentar untuk menggodok bekalku agar siap makan. Lalu apa kiranya yang sanggup mengikis bekal tanpa bentuk itu? Aku tidak berani membayangkan apalagi memberi jawaban. Sekalipun aku benci batasan dan lingkup mengekang, tapi ada satu hal yang garisnya benar-benar tidak berani kusentuh terlebih kulangkahi, yakni jalan kesadaran. Jalanan yang hanya bisa di tapaki dengan satu syarat mutlak yakni sabar. 

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ujung akan segera terlihat selagi bekalku masih bisa cukup menghilangkan lapar dan dahaga.

Satu-satunya hal yang tersisa dan berani kuharapkan adalah ketetapan hati ini untuk melangkah dalam sunyi, nyaman dan menenangkan namun sendirian. Sekali lagi kuingatkan, sendiri bukanlah hal yang baru kutemui, tapi mencari langkah yang tepat untuk dijadikan pijakan adalah sesuatu yang baru dan sepertinya sulit tapi jelas menantang.

Dear akhir, akankah kita semakin dekat, atau justru langkahku makin tersesat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar