Sabtu, 23 November 2019

Tanah dan Hujan

Apa kau mendengarku? Aku bersuara melalui banyak cara, melihat melalui banyak mata, tapi percakapan itu selalu hanya ada di dalam kepalaku. 
Apa kau mendengarku? Ketika derasnya hujan mengalahkan segala suara yang ada, bahkan keheningan pun terasa kian membungkam. 

Aku berjalan menembus hujan. Berharap bisa menemukan lagi kesejukan yang dulu selalu berhasil mengguyur kepolosanku. Mengabaikan dimana jalan setapak, karena dalam keremangan semua daratan terlihat datar dan seperti bisa di jadikan pijakan. Tapi cacatnya jalanan selalu bisa memerangkap kaki-kaki yang lengah. Tapi air menyamarkan jalanan berlubang dan seakan membisikkan kata aman. 

Waktu berlalu sudah sangat lama ketika hujan berkekuatan mendatangkan senyuman. Waktu berlalu sudah sangat lama sejak terakhir kali bisa tertawa riang di bawah pelukan hujan sebelum akhirnya dingin datang. 
Sekarang banyak drama yang terjadi dan terjalani. Dari yang hanya meruapkan rasa bahagia hingga yang mengucurkan air mata.

Kini, tak ada lagi yang peduli bahkan jika aku harus menjadi layu dalam dekapan hujan. Kini semua mata menyiratkan satu ekspresi sama, berupa kebekuan. Tidak terlalu tajam tapi berhasil menusuk sasaran. 

Tanah bukankah tidak seharusnya mengikatkan diri terlalu akrab dengan air? Atau semuanya akan lenyap dalam sekali sapaan panjang. Tanah bukankah harus membatasi pengetahuan tentang jati diri? Karena terkadang memang ketidaktahuan adalah hal terbaik yang pernah ada dan palig baik dari segalanya. 
Angan, harapan, tergusur air yang di tumpahkan oleh tangan besar di atas langit sana. Angin, air, hanya bisa memandang, mengamati bagaimana tanah tersapu hujan sebelum akhirnya terkikis lalu menghilang. 

Perasaan itu seperti tak terbahasakan. Yang hadir melalui celah rapat deretan air hujan. Menetes bergantian dengan si bintang utama. Menyelipkan banyak kenangan dan pesan. Tapi mata selalu lelah memandang sesuatu yang monoton membosankan. Tapi telinga selalu menghindar untuk menerima adanya sinyal-sinyal. 

Sudah seberapa lama tanah satu ini menjauh dari peradaban? Menontoni semuanya dan semakin merasa nyaman di bangku berlengan. Tidakkah ia merindukan sapaan-sapaan? Sudah berapa lama sejak terkahir kali si tanah mencoba mengerti percakapan antara angin yang bertiup ke utara dan hujan yang menyapu daratan di bagian selatan. Hitungan waktu mendadak menghilang, semu, samar, semuanya beraduk dalam keterlenaan. 

Tanah tidak seharusnya mencoba terbang. Sekalipun ketika kemarau melanda beberapa terpaksa harus merasakan udara secara singkat, tapi membayangkan gumpalan-gumpalan tanah beterbangan melintasi langit biru adalah sesuatu yang sedikit mengerikan. Jangan kesana lagi, udara, walaupun kadang terlihat menggiurkan memang tak senyata yang di bayangkan. Udara, tempat segala yang berpindah, tempat segala yang bergerak. Tak ada ketetapan, tak ada keteguhan. Tolong, jangan kembali lagi kesana. Tempatmu bukan di tengah-tengah antara langit dan daratan. Tempatmu jelas, menapak, berujud dan tak berpindah-pindah. Sangat maklum ketika melihat sesuatu yang baru dan lain lalu kita akan merasa takjub hingga kemudian mencobanya. Tapi terbang bukanlah sesuatu yang semudah itu, di butuhkan lebih dari sekedar mengayun lalu mengkhayalkan agar bisa benar-benar mengangkat kaki lalu melangkah nyaman tanpa pijakan. Butuh lebih dari sekedar niat dan keinginan untuk benar-benar bisa berlari melintasi banyak partikel-partikel kasat mata, tanpa warna, ujud dan aroma. 

Adakah yang menunggumu di atas langit sana? Siapa? Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang menimpa langit dan mencemari udara, sekalipun mendung gemar sekali menggantung di ujung sana, meski udara tak lagi seringan bulu-bulu angsa yang di terbangkan. Engkau tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi di lintas kuasamu. Sekalipun aku yakin kegatalan untuk mengatasi semuanya sudah begitu kentara. Sekalipun aku yakin engkau memang tidak sepadat ujudmu, rasamu hadir sehalus udara yang tak teraba, rasamu hadir senyaman air yang mengalir melalui arusnya. Hanya mereka yang tidak paham tentang dirimu yang beranggapan tanah adalah sesuatu yang hanya patut untuk di injak dan di bentuk sedemikian rupa. 

Lalu hujan, dimana mereka akan memuara jika bukan dalam dekapan dan pelukanmu. Lalu hujan, dimana mereka akan menemukan tempat peristirahatannya kalau bukan dalam genggaman dan rengkuhanmu? Mereka mengira tanahlah yang membutuhkan air untuk bisa melahirkan kehidupan. Mereka mengira tanahlah yang berpangku tangan menerima segalanya demi lahirnya sebuah nadi baru. Mereka mengira tanahlah yang menjadi perantara terciptanya cinta antara angin yang berlarian menuju utara dan air yang merembesi wilayah di sebelahnya. 
Karena nyatanya tidak seperti itu, nyatanya tidak semudah itu. Tanah bekerja dengan ribuan kalkulasi. Bertengkar dengan tak terhingganya kemungkinan. Bergandengan dengan ketidak nyamanan. Semua yang terlihat begitu diam tidak selalu tak bersuara, semua yang terlihat begitu rentan tidak selalu membutuhkan uluran, semua yang begitu terlihat beku tidak selalu membahayakan. Hanya karena mereka tidak memahami bagaimana aku bercanda dan berbicara tidak lantas aku bisa begitu saja di jadikan objek pengasingan.

Hanya satu yang selalu ingin kusemat dan sampaikan. Air hujan tidak selalu membawa arus emosi yang sama meskipun volume air yang di tumpahkan tertakar sama. Air hujan tidak selalu membawa keheningan seperti yang khasnya akan selalu dihadirkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar