Jumat, 24 Maret 2017

Haraku

Dalam sekuel Supernova, yang bernama Hara di ceritakan sebagai penjaga. Akupun ingin mendoakan anakku seperti yang demikian. Semoga Hara bisa menjaga kedua orangtuanya tetap dalam keadaan hangat. Semoga pun Hara bisa mempererat hubungan dua keluarga agar tetap harmonis dan baik-baik saja. Karena Hara adalah milikku. Tidak, ia milik dua keluarga. Maka hari ini di usianya yang baru menginjak setengah tahun, ingin kutiupkan sebuah doa sederhana itu. Kubebaskan ia dari doa-doa mainstream seperti yang sering diucapkan para orang tua lainnya. Yang selalu menginginkan anaknya kelak menjadi sesuatu yang berguna bagi dunia, bagi bangsanya dan agamanya. Aku tidak sedemikian pintarnya hingga memiliki keluasan hati seperti itu. Bahkan ini adalah juga kali pertama aku mengemukakan Hara sebagai milik umum, yang notabene hanyalah dua keluarga. Sebelum ini, aku selalu beranggapan dan memaksakan pemikiran bahwa Hara adalah milikku dan hanya milikku.
.
Aku ingin membebaskan Haraku dari sebuah keinginan muluk kekinian para orangtua, ia tidak perlu menjadi serepot itu untuk terjun langsung memikul beban dunia, negara dan juga agama. Bukankah..mereka bertiga membutuhkan bantuan dari para generasi muda ? Ketiganya hanya akan mendapatkan perhatian dan dedikasi Haraku jika memang aku memberinya stempel tanda aman jalan. Bukan, aku tidak sedang membutakan mata Hara. Ia perlu mengetahui dunia dan akan kubekali Hara sedalam yang aku kira perlu, akan kuajarkan pula pada Hara tentang siapa dan seperti apa negaranya, agar kelak tidak hanya meninggali tapi juga ia diharapkan akan tahu untuk mempertahankan kejati dirian negaranya. Dan tentang yang terakhir; agama, aku ingin menghela napas barang sejenak. Ayahnya, sudah memimpikan Hara menjadi generasi agamis yang kekinian. Masuk pesantren, berpakaian ala ala pembawa dakwah yang sering berseliweran di televisi, bahkan kalau bisa ia pun ingin aku bisa terjun memimpin ke-fashion-an agamisnya. Aku dan Ayah Hara memang tidak sepemikiran tentang ini, dan jujur saja..seringnya aku terdiam atau melamun jika ia mulai menyerempet bahan diskusi ringan kami ke arah-arah yang bisa kutebak. Konteks agama menjadi satu polemik di keluarga kecil kami yang untungnya tak pernah beranjak tahta menjadi sebuah pertengkaran atau ajang huru-hara. Ayahnya Hara lebih mendalami agama dibandingkan aku, ia lapar terhadap apapun yang berbau tentang tiangnya. Semuanya nampak ingin ia lahap, dan aku harap ia selalu memilah apapun yang ia makan. Karena tentu saja aku tidak mau mempertaruhkan keharmonisan keluarga kami hanya karena obsesinya terhadap tiang ataupun karena alasan 'sakit perut'nya akibat terlalu banyak mengunyah dan menelan. Aku lebih 'santai' jika mengenai agama. Menurutku, pondasi ada di dalam sebuah bangunan. Dan ia tidak terlihat. Agama ada di dalam hati. Entah itu berupa pemberontakan atau pengabdian tak ada yang bisa melihat kecuali si pemilik dan penciptanya. Bagiku konteks agama adalah yang seperti itu. Dan tak ada yang bisa sekalipun memahami. Sementara yang bisa kupamerkan adalah sebuah janji bahwa aku masih dan akan tetap menjaga jalan. Terus terang aku tidak bisa kekinian, yang bisa memamerkan fashion ala ala pembawa dakwah yang berseliweran di televisi. Akupun tidak bisa memaniskan lidah jika itu tentang memamerkan ilmu pengetahuan. Sekalipun harus di akui, hanya sedikit yang bisa kumengerti dari konteks bertemakan agama. Tapi jelas saja itu bukan alasan untukku bisa merasa lebih rendah ketimbang mereka yang berbusa-busa mulutnya meng'gosip'kan agama. Entah apa yang kubanggakan dan kujaga sepenuh hati selama ini. Yang pasti, sesuatu yang sulit untuk oranglain mengerti. Sudut pandangku berada 320 derajat dari para manusia kekinian. Tapi bisa dipastikan keyakinanku tak tertandingi oleh manusia dari segala zaman.
.
.
.
Kembali kepada Hara, aku tidak memiliki niat untuk menentang apapun keinginan Ayahnya. Karena ia adalah pengemudi, sementara aku hanyalah penjaga awak kapalnya saja. Ia akan tahu apa yang terbaik bagi putri dan keluarga kecilnya. Dan tak ada alasan bagiku untuk membelokkan Hara dari apapun yang di harapkan salah satu pemegang sahamnya. Satu yang pasti, Ayah Hara tidak bisa menahan semua angan dan doaku. Termasuk pula doa yang kuterbangkan hari ini. Hara harus berjalan dan tumbuh sesuai dengan namanya. Unsur pembangun dalam tanah. Ia harus membangun dan menjaga kehangatan juga keeratan agar tetap membungkus dua keluarganya. Kelak pula ia harus membangun dan menjaga cinta juga keharmonisan dari kedua orangtuanya. Persoalan ia akan menjadi apa dan siapa, bukan lagi sebuah tema yang harus diperbincangkan. Karena aku berniat membekali Hara dengan nalar, dengan sadar dan bukan dengan uang. Dan ya, hanya jika ia telah berhasil melaksanakan misi yang diselipkan orangtuanya melalui namanya maka stempel tanda aman jalan akan ia miliki, tak jadi soal akan ia gunakan sebagai apa stempel itu. Karena aku tahu, pondasi yang kubangun dalam dirinya tak akan menghianati impian pembuatnya. Semoga.

Sabtu, 11 Maret 2017

Patung Pencerita 2

Tak sebuah buku pun di dunia ini yang akan melewatkan bagian indahnya. Ceritaku denganmu pun demikian.
.
Setelah berjibaku dengan banyak perasaan ragu, ada satu kalimat yang sering mencuat ketika kita sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kalimat yang tidak akan pernah kamu suka. Dan kalimat itu kira-kira berbunyi seperti ini, mungkin jika aku menikah dengan pria yang kusukai sebelummu, aku akan bisa merasakan bahagia. Saat itu aku merasa dianak tirikan olehmu. Sikapmu menjadi timpang ketika berhadapan denganku. Aku selalu merasa kalah saing, jika dengan seluruh keluarga. Jangan salahkan jika ragu sering muncul secara tiba-tiba, entah setelah kita bercinta atau ketika aku tengah memandangimu damai dalam lelap. Aku tak sepintar itu untuk berkata-kata, dan aku memang sebodoh itu dalam menjalin sebuah hubungan. Kamu yang terlalu berpikir positif dengan selalu merasa bahwa aku baik-baik saja. Dan aku yang terlalu kaku untuk memecahkan sebuah balon masalah ketika kondisi telah mendua. Alhasil kegundahanku tentangmu tak pernah tersampaikan. Hanya tertuang acak di tempat ini. Tempat yang tak mungkin akan kamu daki dan telusuri. Jika kamu masih ingat, aku bahkan sering menangis ketika kita tengah dalam keadaan telanjang dan berpelukan. Orang bilang, waktu setelah bercinta adalah saat emas bagi suami istri untuk bisa saling membagi. Dan aku hanya diam. Terlalu takut memecah ketenangan yang ada dalam bola matamu, hingga tanpa sadar mataku meleleh dan ketika kamu bertanya adaapa, tak ada kata yang keluar dan tak akan pernah ada.
.
Kamu tau kapan saat terfavoritku bersamamu ? Saat ketika aku tengah sendiri memandangimu terlelap dan mendekapku. Saat itu aku akan menemukan pancaran kehangatan dalam embusan napas tenangmu, aku menemukan kelenturan yang selalu kudamba dalam pejaman matamu. Aku menemukan suami yang sempurna ketika tengah memandangimu tertidur, dan bahkan aku sering menitikkan airmata setelahnya hanya karena menyadari betapa sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan yang selama ini terus kulakukan justru adalah melukaimu. Kata maaf tidak akan bisa mewakili semuanya. Aku merasa sebagai pendosa.
.
Hal terburuk dari semuanya adalah, ketika aku mulai memikirkan kata perpisahan bahkan untuk sesuatu yang sangat sangat remeh. Aku mulai sadar cintaku tidak sebesar cintamu. Aku melihat ketulusan dimatamu, aku merasakan cinta yang besar disetiap perilakumu, sementara aku hanya melihat sebuah obsesi, kecurigaan, dan ketidakpercayaan dalam diriku. Sekali lagi aku merasa sebagai pendosa. Tidak seharusnya pria sepertimu mendapatkan istri sepertiku. Ketidaksempurnaanku akan terasa sangat timpang jika dibanding semua kebaikanmu.
.
Batu memang tidak selamanya akan menjadi batu. Karena hujan ada untuk mengikisnya menjadi kerikil yang lebih kecil. Efek sampingku jatuh cinta tidak meluntur begitu saja, bahkan kian menjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku merasa kamu tidak sepenuhnya rela menyerahkan dirimu untuk kumiliki, sementara sikap tak rela berbagiku terus menyalak-nyalak meminta pemenangan. Harga diriku yang terlalu tinggi belum menemukan tangga pijakan yang tepat untuk menurunkannya. Aku selalu tergoda untuk kembali meragu. Sekalipun telah kuamini kenyataan cintamu. Aku menakutkan banyak hal, alasan untuk meragu dulu kembali mencuat menebarkan pesonanya. Aku takut kamu akan kembali tergoda pada masa lalumu. Aku takut aku menjadi nomor dua didalam daftar hidupmu. Aku takut keluarga kecil kita akan kalah eksis jika dibanding keluarga asal yang telah membesarkanmu. Aku takut mentalku kembali sakit sekalipun sesuatu yang cacat akan sulit terlihat sehat. Aku tidak sedang memaksa, aku hanya terus mencoba untuk terlihat seperti manusia. Dan bukan pendosa. Aku yang notabene adalah perempuan kelewat sensitif telah mencoba menebalkan dinding badakku. Menganggap kekakuanmu dan dinginmu adalah hal yang normal-normal saja. Karena aku tidak bisa memaksa. Aku tak akan mungkin tega menarik ulur kesabaranmu lagi. Meski andai saja kamu tau, sakit yang diderita mentalku bukan saja parah, tapi telah mengarat. Tapi kehadiran anak kita sedikit menjadi pengobat. Cacat yang kumiliki tengah sedikit demi sedikit kutambal, dengan cara yang strategis dan tak pernah kupikirkan sebelumnya. Jika aku tak pernah mendapatkan pengakuanmu, maka aku pun tak akan dengan begitu gampang mengumbar kedudukanmu. Jika aku tidak mendapatkan peringkat satu didaftar hidupmu, maka tak apa, karena sekarang aku pun tengah belajar menempatkan anak kita di dalam daftar prioritasku. Dan jika mereka-mereka masih lebih mendapat tempat ketimbang aku dan anakmu, maka sekali lagi tak apa. Karena mulai sekarang aku tengah belajar untuk mencintai sewajarnya. Aku si pendosa akan tetap menjadi seperti ini. Aku tak akan mengharapkanmu mengobatiku dengan cara menyembuhkan cacat mentalku. Karena memang..itu adalah kamu. Dan ini adalah aku. Tak ada yang harus sama diantara kita.

Patung Pencerita

Awal pertemuan kita tak berarti apa-apa, tak meninggalkan bekas apapun juga. Aku mengerti kata suka tapi itu bukan untukmu, bukan tertuju padamu. Kamu seperti bahan percobaan untuk makna kata pacaran yang sama sekali belum pernah kucicipi sebelumnya. Dan aku tak menduga jika kata suka yang kuutarakan padamu akan mendapati jawaban ya. Aku juga tak menduga ketika kita akhirnya saling menyematkan cincin di jari manis. Jariku saja dan bukan jarimu. Saat itu aku masih tidak mengerti apa-apa. Sekalipun sering kuutarakan rasa dalam nama cinta, bukan berati aku tengah membahasakan apa yang tengah kurasa. Lebih kepada tengah kumantrai diri agar terlepas dari bayang-bayang pria lain yang terus saja bertengger di ujung hati. Aku tengah memantrai diri agar benaran bisa suka padamu. Dan sepertinya mantra itu bekerja sesuai dengan harapan. Sekalipun harus di akui, tetap saja keberadaanmu harus bersaing ketat dengan nama pria lain yang dengan muka badaknya terus bercokol di dalam sana sekalipun tidak hanya sekali aku mencabut dan menerabasnya dengan pisau dapur agar mati hingga ke akar-akar. Saat itu aku tengah dalam persimpangan. Sementara kamu selalu berkata agar tidak menjadikanmu bahan untuk dijadikan hak milik, sementara aku adalah seorang perempuan yang senantiasa selalu mendamba adanya pengakuan dan kepemilikan. Aku meragu dengan sikap dinginmu. Momen pacaran pertamaku ternyata tidak semanis cerita yang sering kubaca. Aku harus bersaing dengan rasa ragu, apakah benar aku diinginkan ? Apa arti cincin di jari manisku untukmu ? Ataukah sebagai pelicin agar kamu bisa dengan sah menyentuhku ? Karena jujur saja, aku membebaskan diriku dari sentuhan siapapun sampai ada yang berani mengikatku di hadapan orangtuaku. Dan kamu melakukannya.
.
Aku berhadapan denganmu yang lain. Kusadari itu ketika hari setelah pernikahan. Karena dalam rentang waktu setelah pertunangan hingga hari H adalah masa-masa tergilaku. Aku menikmati ciuman sebagai candu yang menyesatkan. Si bodoh ini mulai menikmati indahnya masa pacaran. Menganggap semuanya normal, melihat semuanya sempurna, dan merasa semuanya baik-baik saja. Hingga keganjilan itupun teraba. Aku mulai menyadari seperti apa dirimu yang sesungguhnya. Pria manis yang sayang keluarga. Pria manis yang teramat sayang pada orangtua dan juga adik-adiknya. Aku beruntung sekali menyadari hal satu itu, terlebih pernah kudengar sebuah kalimat bahwa pria yang sayang pada ibunya akan bisa memperlakukan istrinya dengan baik. Saat itu aku girang bukan main mendapati sisi lain tentang kamu. Sebelum rasa iri dari perempuan tak tahu diri ini kemudian muncul. Aku iri dengan kehangatan yang ditunjukkan olehmu kepada adik-adikmu. Aku iri dengan berbagai perhatian yang diberikan olehmu kepada orangtua terlebih ibumu. Sementara aku selama kita bersama harus dihadapkan denganmu yang mesum dan dingin. Alasan pertamaku untuk meragu setelah hari pernikahan kita pun datang. Aku mulai bertanya-tanya didalam hati, benarkah keputusanku menerima dirimu ? Siapakah aku didalam hatimu ? Perasaan tumbuh dari awalnya tak memiliki rasa apa-apa menjadi suka lalu naik lagi menjadi cinta. Aku jatuh cinta pada suamiku setelah kami menikah. Dan cobaan tidak berhenti di titik tentang perasaan iri saja. Aku yang mengenalmu jauh ketika aku masih tergila-gila pada gadget mulai merasakan keganjilan yang lainnya. Memang benar ketika ada pepatah mengatakan, tak ada perang yang lebih melelahkan selain melawan sebuah bayangan. Rasa cintaku membawa efek samping, karena sejak saat itu aku mulai menginginkan dan mulai diinginkan. Puncaknya ketika aku menemukan kata-kata romantis dan gombalmu untuk mantan-mantanmu yang terdahulu. Oh, betapa beruntungnya aku. Harus menghadapi sikap dinginmu, masih pula ditambah dengan sikap kakumu. Aku kembali merasa iri. Kepada mereka yang belum jelas akan menjadi pendamping hidupmu saja berani kamu embel-embeli dengan nama panggilan yang kelewat manis, seperti peri kecilku, mawarku, lalu kenapa kepadaku yang sudah jelas status dan keberadaannya tak pernah kamu embel-embeli dengan nama panggilan yang melambungkan ? Apa aku tidak secantik mereka hingga kamu merasa tidak pantas untuk menyebutku dengan panggilan manis ? Dan lagi, apa aku tidak sebaik itu untuk mendapatkan pengakuanmu didepan teman-temanmu ? Aku selalu merasa iri karena para pendahuluku mendapatkan puisi cinta, mendapatkan sapaan manis di jejaring sosial. Sementara aku, aku merasa miskin pengakuan. Aku bahkan masih ingat sering menangis diam-diam memikirkan soal remeh itu. Aku mulai meragu lagi saat itu. Benarkah keputusanku untuk jatuh cinta kepadamu dan menikahimu ? Mentalku sakit parah. Aku menjadi sangat sensitif dan pemarah. Hanya karena keberadaan orang-orangmu yang telah menjadi masa lalu. Andai saat itu kamu tau dan bisa memperlakukanku semanis, sehangat dan selentur kamu dalam memperlakukan adik-adik, ibu dan para mantanmu. Mungkin mentalku tidak terlanjur cacat. Cerita ini bersambung, karena kejutan manis yang lain belum diceritakan.

Rabu, 08 Maret 2017

Pesan Tersimpan

Ini adalah keresahan yang tak bisa begitu saja kuabaikan. Aku mencoba dan bukan hanya sekali untuk mengakrabkan diri denganmu lagi. Sebagaimana dulu kita pernah dekat sebelum.. embrio itu datang dan memecah kehangatan milikku. Adikku, andai engkau tau, lebih dari sekali aku ingin membunuh antipati yang kian menyubur di dalamku. Aku ingin menyingkirkan segala duka yang entah bagaimana muncul melalui kabar bahagiamu. Aku tahu, dan tak pernah kuingkari betapa kedatangan seorang bayi selalu menumbuhkan rasa bahagia terlebih kepada pengandungnya. Aku ingin bahagia juga bersama kabar yang hari itu engkau bawa. Tapi aku tidak bisa. Aku mencoba dan terus melakukannya tapi tetap saja hatiku tidak mau terbuka. Maaf, tapi kabar yang datang terlalu tiba-tiba memang kadang tidak hanya memberi efek kejut tapi juga kecewa yang tak terbantahkan. Dan Ari tak pernah paham.
.
.
.
Karena aku adalah seorang ibu. Hanya karena aku pernah berada di dalam ruang dimana nyawaku dipertaruhkan. Aku kecewa bukan untuk seorang kakak kepada adiknya, tapi dari seorang ibu untuk sesama calon ibu juga. Untuk alasan itulah kenapa aku tak bisa memperlakukanmu sehalus Ari. Untuk alasan itulah kecewaku awet tahan lama ketimbang kecewa Ari yang di tunjukkan padamu. Embrio kecil disana, yang hadir terlalu awal memang tak mengerti apa-apa. Tapi engkau memahami segalanya, dan semoga juga kecewaku yang kian membatu terpahamkan juga olehmu, jika tidak sekarang mungkin nanti ketika bayi itu terlahirkan. Adikku, memandangimu sekarang telah menjadi sesulit melihat ujung pintu labirin. Bahkan ketika aku adalah dan pernah menjadi iblis pendosa, yang selalu kuharap dan angankan adalah kebaikan bagimu dan juga adikku yang lainnya. Dan engkau melampauiku dan semuanya. Terlepas dari segalanya. Aku hanya terlalu bingung untuk memperlakukanmu sebagai apa. Kepolosanmu telah ternodai. Adik kecilku telah bermutasi menjadi sesosok ibu secepat ini. Adik yang selalu kuanggap masih layak dianggap sebagai anak kecil ternyata dipaksa untuk menua. Kepolosan yang selalu engkau tunjukkan telah berdiri di ujung sana, melambai padaku dengan lidah terjulur seakan meledekku karena berhasil tertipu. Ya. Aku terkecoh pada kepolosanmu. Dan lebih dari itu perasaan itu semua, aku teramat kecewa. Jiwa ibu yang baru kubangun beberapa hari lalu mendadak menguat pada skala tertingginya. Dan jujur saja aku pernah ingin mengutarakan keresahan ini pada Ari, bahkan pada suatu malam yang telah lewat pernah kutulis sebuah pesan yang sayangnya urung kukirimkan. Isinya tak lain benang merah dari paragraf ini. Aku mengatakan pada Ari bahwa aku kecewa untuk kabar yang engkau bawa pada hari itu. Aku kecewa untukmu yang telah melukai dengan sangat dalam hati seorang ibu. Kecewa untukmu yang telah memberikan kabar mengerikan mengenai embrio kecil di perutmu yang datang terlalu awal. Aku tidak melahirkanmu ke dunia ini, tapi aku patah hati sekali jadi untuk kabar yang kau berikan hari itu. Dua orang ibu telah patah hati. Ibumu dan kakakmu ini. Aku tak tahu mantra apa yang telah ditelan Ari hingga dengan mudah berhasil memaafkanmu sedini ini. Lidahku selalu gatal ingin bertanya, tapi aku takut Ari terluka. Karena Ari terlalu menyayangimu, hingga hatinya baik-baik saja ketika engkau memberinya kabar duka, mungkin itu adalah jawaban paling tepat untuk menjawab kegatalan lidahku. Atau mungkin juga..kecelakaan sebelum pernikahan adalah hal umum dan hampir wajar bagi masyarakat dewasa ini. Tidak adik kecil. Aku tidak bisa mengadopsi konsep itu. Sekalipun aku adalah mantan iblis pendosa, tapi aku bersyukur masih tetap dalam batasan. Aku tidak tahu harus memandangmu seperti apa. Luka ini begitu mengganggu pikiranku, tidak hanya semalam, tapi berbulan-bulan. Dan Ari tak pernah paham. Ari tak sanggup melihat kecewa di mataku yang belum tersembuhkan. Jiwa ibu yang baru kubangun dalam hitungan hari mengalami patah hati. Sekalipun aku ingin dengan gamblang menyatakan kepada Ari bahwa aku kecewa, aku patah hati untuk berita tentang embrio yang datang terlalu dini, aku khawatir ia tak akan paham tentang perasaan ini. Dan kekhawatiran itu terbuktikan. Ari tak bisa membaca gelagat yang kutunjukkan. Bahwa hatiku masih remuk untuk kecewa yang engkau suguhkan. Hati seorang ibu baru yang patah dalam sekali jadi. Ari tak bisa membaca kebingunganku dalam memperlakukanmu. Ari bahkan tak bisa membaca sekedar hangat yang meluntur diantara kita. Kasih sayang Ari padamu membutakan segalanya. Dan aku tak tahu harus berbuat apa. Sekali lagi kutegaskan. Aku kecewa untukmu bukan sebagai kakak tapi sebagai seorang ibu. Siapa yang tahu, antipatiku akan meluntur seiring kelahiran bayimu. Karena dimataku, engkau terlanjur memantapkan diri sebagai adik penipu. Menipuku dengan kepolosanmu. Dan kecewaku tak pernah begitu mudah tersembuhkan. Aku bosan menghindar. Tapi aku tak pernah begitu pintar untuk menyembunyikan duka dan kekecewaan. Untuk alasan itulah aku ingin terus menghindar. Sebisaku menempatkanmu sejauh mungkin dari jangkauan.

Sabtu, 04 Maret 2017

Catatan Kedua Di Bulan Ketiga

Sembilan belas dan aku dua puluh lima. Enam tahun bukan jarak yang terlalu jauh untuk bisa memakai "kamu" dan bukan "anda" sebagai kata ganti nama dari masing-masing kita. Disaat kamu baru saja melihat dunia. Aku sudah mengenal banyak kosakata, berbagai jenis huruf, angka dan hitungan rumit diantara keduanya. Enam tahun, disaat yang kamu tahu baru rasa lapar dan tuntutan untuk menghabiskan isi payudara ibumu, aku sudah di paksa untuk bisa bernegosiasi dengan kebiasaan manusia. Pelajaran pertama untuk menjadi gila. Yakni bersosialisasi. Enam tahun dan saat itu aku tengah menikmati bangku sekolah pada ajaran pertama di masanya.
.
Beruntung Hara tidur cepat sore ini, dan moodku sedang dalam keadaan baik, karena jujur saja aku sama sekali tidak memiliki niat mengucapkan selamat ulang tahun untukmu atau siapapun yang pernah dekat denganku. Buatku pribadi, mengucapkan selamat ulang tahun adalah hal tersia-sia yang pernah di lakukan oleh manusia. Orang berpikir bertambahnya angka dalam usia mereka adalah sesuatu hal bagus yang perlu di rayakan dan di beri selamat. Sementara dalam sudut hematku, bertambah usia tidak berarti apa-apa kecuali kenyataan mengerikan bahwa kapasitas berimajinasi otak kita yang kian melemah karena beban ingatan yang harus di bopong bertambah setiap harinya. Dulu aku tak sepahit ini, mengingat dan memberi selamat di hari ulang tahun adalah agenda yang selalu kusiapkan setiap bulannya. Aku ingat siapa saja yang mengisi daftar pada bulan pertama, kedua, dan seterusnya. Aku akan mengingat meski itu hanyalah hari kelahiran dari seorang teman yang hanya eksis di dunia maya. Aku tak peduli jika aku secara pribadi tak mengenal mereka. Memberi selamat hari kelahiran adalah kewajiban seperti halnya memberi salam ketika hendak masuk rumah. Tapi kebiasaan itu mulai luntur seiring waktu. Aku menjadi sepahit hari ini. Dan bulan maret memang istimewa dan akan selalu kupertahankan seperti itu. Secara konstan dan teratur, aku mengirim ucapan hari kelahiran pada seorang teman. Bukan teman, tapi jabatnya telah naik menjadi sahabat. Setiap hari ke empat di bulan maret, akan ada doa yang kubingkis sedemikian indah dengan harapan doaku akan cepat tersampaikan dan terkabul. Aku tidak tahu jika kamupun terlahir di hari ke empat di bulan maret, andai saja hubungan kita pernah lebih dekat dari sekedar angin lewat, mungkin doa-doa yang kupanjatkan setiap tahunnya di hari ini, akan ada beberapa yang mampir ke dalam harimu. Semoga saja Tuhan tak lupa memberimu hari-hari yang bahagia meski aku tak pernah tahu jika sekarang adalah hari ulang tahunmu. :-)
Memang siapa aku ? Yang menganggap doaku akan di harapkan olehmu ? Kita teman ? Mungkin saja, karena jujur aku melupakan banyak hal di umurku yang hampir seperempat abad ini. Lupakan temanku yang juga berulang tahun hari ini, karena dia tidak tertarik pada kalimat-kalimat panjang, sekalipun di tahun yang telah lewat aku pernah mencoba mengetuknya lewat catatan seperti ini, tak masalah, aku akan mencoba lebih fokus memberi ucapan istimewa untukmu. Istimewa ? Jangan berharap lebih ini hanya catatan biasa. Dan seperti yang sudah kubilang, aku telah bermutasi menjadi sepahit ini. Aku berhenti mengucap kata-kata manis, aku lupa cara membuat kadar gula dalam diri seseorang naik, dan aku lupa cara melambungkan seseorang.
Kamu pada saatmu nanti mungkin akan mengalami ini nak, saat di mana yang ada dalam otakmu hanyalah keluarga kecilmu dan berbagai cara untuk membahagiakan mereka. Ada saatnya nanti datang masamu ketika teman, ambisi, dunia, mimpi, tak lagi memiliki arti apapun..tawa ringan untuk mereka dan bersama mereka yang kamu cintai adalah segalanya. Mendadak dunia akan berjalan slow motion ketika kamu tengah bahagia bersama mereka, anakmu-suamimu, surga ciptaanmu. Tapi itu nanti, umurmu baru menginjak angka sembilan belas dan jujur saja aku lupa apa yang kira-kira tengah ku impikan ketika umurku berada di angka itu, mungkin dulu aku tengah bermimpi untuk bisa terbang ke Korea. Karena seperti yang kamu tahu, aku pernah tergila-gila pada para "Oppa". Sedikit saja catatanku untukmu nak; aku boleh panggil kamu 'nak' ? Kamu enggak perlu menjadi cantik atau tenar atau pintar untuk bisa menghadapi dunia ini. Bumi ini kekurangan anak baik, jujur dan 'hidup'. Jadilah seperti tiga kriteria itu, maka kamu akan bahagia yang bukan di karenakan harta. Jangan terburu-buru jatuh cinta nak, kamu masih terlalu muda. Silakan menaruh rasa pada lawan jenismu, tapi sekali lagi jangan terburu-buru melabeli perasaanmu dengan nama cinta. Karena ia akan datang pada masanya. Di umurmu yang baru akan menginjak angka dua puluh, penuhilah dengan banyak mimpi, dan berimajinasilah segila-gilanya. Jangan takut jatuh dan kecewa. Karena kamu masih ibarat pohon muda. Yang akan bertunas baru meski akarmu tercerabut dan pohonmu patah. Teruslah menjadi anak baik, karena itu adalah bekal senyata-nyatanya bekal yang patut ada disetiap kantong manusia. Dan dunia ini keras nak. Semoga saja kamu paham.

Jumat, 03 Maret 2017

Catatan Tentang Si Januari

"Duka tentangmu tak pernah dengan mudah tertuang dalam paragraf. Sekalipun aku pernah mencoba, lara itu tak pernah tersampaikan dengan begitu tepatnya.."
.
.
Adik berumur hampir sepuluh tahun, terlahir tepat ketika aku masih sepenuhnya buta tentang apa itu makna dari kata kakak dan tanggung jawab. Nyeri itu tumbuh dengan begitu pesatnya. Dan tak pernah meninggalkan mata ibu semenjak hari pertama kedatangannya didunia. Terkadang, aku bisa menemukan ibu dalam keadaan termenung, entah apa yang tengah di pikirkannya. Yang jelas, gambaran tentang adik tak pernah pergi dari bulatan retinanya. Ibu memikirkan tentang banyak hal, dan adik merajai separo lebih dari isi hati dan otaknya. Aku tak pernah iri dengan hal itu, karena bagiku, setelah ibu adalah adik yang patut masuk dalam daftar prioritasku. Kasih sayang ayah menaungi adik hingga kematiannya menjelang. Dan lagi-lagi aku tak merisaukan tentang hal itu. Adik lebih dari pantas untuk mendapatkan segalanya. Ia lebih dari sekedar pantas untuk mendapat kasih sayang semuanya, dan jika memungkinkan aku ingin menuangkan segala dayaku untuknya. Dunia tak pernah begitu baik untuk bisa menerima kehadiran adik. Terpojok, terkucil dan terkasihani adalah jaring yang selalu membuat mampat perasaanku. Tak ada tempat yang lebih aman dan nyaman ketimbang rumah, dan aku tak berani untuk sekedar membayangkan apa yang akan menjelang adik ketika nanti aku dan ibu telah berpulang. Menikah adalah angan tertinggi yang nyaris tak pernah ada dalam bayangan. Aku takut untuk sekedar memikirkan, akankah suatu hari nanti ada seseorang yang mau menerima adik selayaknya manusia normal. Perutku selalu melilit ketika mulai membayangkan masa depan adik. Sungguh memang, duka tentangnya tak pernah dengan begitu tepatnya tersampaikan. Sekalipun aku pernah mencoba, duka yang kugambarkan selalu hanya seperti bola yang memantul-mantul di tembok kamar. Tak pernah berhasil keluar dari ruang. Jaring yang selalu memampatkan perasaan. Ingin sekali aku mengurainya dalam sekali jadi. Menangisi apa yang tak pernah sanggup kugapai, mendekap apa yang tak pernah kupeluk sebelumnya. Adik adalah alasan kenapa mataku sanggup memanas tanpa meleleh setelahnya. Duka itu telah berubah ujud menjadi bola yang memantul-mantul tembok kamar. Dan aku terlalu bosan mendengar ngeri dan nyeri yang terus melolong meminta pertolongan untuk keluar.
Tentang adik tak pernah sesukses itu mendarat sebagai paragraf yang layak edar. Aku selalu merasa duka yang kutuliskan belum sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang kulihat dan kudengar. Jemariku seakan kehilangan daya untuk bisa menyalurkan duka. Mantra yang dulu selalu kubanggakan, belum sekalipun berhasil menembus pertahanan adik. Dukanya tak pernah menemui celah keluar, kapanpun aku mencoba untuk bisa masuk dan merasainya barang sedikit saja, selalu berakhir pada keheningan. Hatiku selalu koyak memikirkan kegagalan. Untuk adikku aku gagal menjadi mata yang berguna. Untuk adikku aku gagal menjadi tangan yang memegang. Duka itu sungguh tak pernah dengan sukses untuk bisa dituangkan.
.
.
.
Tak terhitung berapa kali aku mencoba, tameng yang di lingkarkan oleh ayah belum sekalipun tertandingi pertahanannya. Mungkin karena memang ayah dan adik adalah sejenis. Hingga tak ada yang bisa menyaingi batas kasih keduanya. Andai saja ayah masih ada. Mungkin aku tak harus selinglung ini menghadapi kekosongan mata ibu ketika memandangi adik. Andai saja ayah masih ada. Mungkin aku tak harus sebingung ini menyikapi keberadaan adik. Karena memang adik dan ayah adalah sejenis. Tak ada yang bisa mengasihi adik sebesar ayah melakukannya. Dan mungkin, takkan ada yang bisa menyayangi ayah setuluh yang bisa adik berikan. Perimeter keduanya jauh dari jangkauan. Itulah kenapa setiap aku mencoba untuk menuliskan duka tentang keduanya selalu lepas dari pandangan, selalu ada yang kurang, selalu ada duka yang lolos dari rengkuhan. Karena ayah dan adik sama, andaikan keduanya masih bisa membagi kasih langkanya. Mungkin aku tak akan selinglung ini untuk bisa memperlakukan.
.
.
.
Tuhan tak pernah salah menakar kekurangan seseorang. Semuanya mendapat porsi pas sesuai jatah dan ukurannya. Dan kekuranganku adalah untuk lebih bisa meraba. Tentang ayah yang telah tiada. Tentang adik yang masih sering kulamunkan masa depannya. Aku tak pernah bisa menghadirkan apa-apa, bahkan untuk ibu yang telah mengandung dan memperjuangkanku. Aku tak pernah bisa menghadirkan apa-apa, terlebih untuk ayah yang sekarang tak bisa menikmati apapun selain hanya sebagai penonton pasif saja, sementara untuk adik, hal terjauh yang bisa kupikirkan untuknya adalah mencoba untuk terus ada. Sekalipun dukanya tak pernah berhasil keluar dari dalam ruang, sekalipun dukanya tak pernah berhasil tersampaikan dengan tepatnya. Setidaknya dengan aku ada, mungkin akan bisa dijadikannya alasan untuk tetap kuat dalam menghadapi dunia. Semoga.