Jumat, 03 Maret 2017

Catatan Tentang Si Januari

"Duka tentangmu tak pernah dengan mudah tertuang dalam paragraf. Sekalipun aku pernah mencoba, lara itu tak pernah tersampaikan dengan begitu tepatnya.."
.
.
Adik berumur hampir sepuluh tahun, terlahir tepat ketika aku masih sepenuhnya buta tentang apa itu makna dari kata kakak dan tanggung jawab. Nyeri itu tumbuh dengan begitu pesatnya. Dan tak pernah meninggalkan mata ibu semenjak hari pertama kedatangannya didunia. Terkadang, aku bisa menemukan ibu dalam keadaan termenung, entah apa yang tengah di pikirkannya. Yang jelas, gambaran tentang adik tak pernah pergi dari bulatan retinanya. Ibu memikirkan tentang banyak hal, dan adik merajai separo lebih dari isi hati dan otaknya. Aku tak pernah iri dengan hal itu, karena bagiku, setelah ibu adalah adik yang patut masuk dalam daftar prioritasku. Kasih sayang ayah menaungi adik hingga kematiannya menjelang. Dan lagi-lagi aku tak merisaukan tentang hal itu. Adik lebih dari pantas untuk mendapatkan segalanya. Ia lebih dari sekedar pantas untuk mendapat kasih sayang semuanya, dan jika memungkinkan aku ingin menuangkan segala dayaku untuknya. Dunia tak pernah begitu baik untuk bisa menerima kehadiran adik. Terpojok, terkucil dan terkasihani adalah jaring yang selalu membuat mampat perasaanku. Tak ada tempat yang lebih aman dan nyaman ketimbang rumah, dan aku tak berani untuk sekedar membayangkan apa yang akan menjelang adik ketika nanti aku dan ibu telah berpulang. Menikah adalah angan tertinggi yang nyaris tak pernah ada dalam bayangan. Aku takut untuk sekedar memikirkan, akankah suatu hari nanti ada seseorang yang mau menerima adik selayaknya manusia normal. Perutku selalu melilit ketika mulai membayangkan masa depan adik. Sungguh memang, duka tentangnya tak pernah dengan begitu tepatnya tersampaikan. Sekalipun aku pernah mencoba, duka yang kugambarkan selalu hanya seperti bola yang memantul-mantul di tembok kamar. Tak pernah berhasil keluar dari ruang. Jaring yang selalu memampatkan perasaan. Ingin sekali aku mengurainya dalam sekali jadi. Menangisi apa yang tak pernah sanggup kugapai, mendekap apa yang tak pernah kupeluk sebelumnya. Adik adalah alasan kenapa mataku sanggup memanas tanpa meleleh setelahnya. Duka itu telah berubah ujud menjadi bola yang memantul-mantul tembok kamar. Dan aku terlalu bosan mendengar ngeri dan nyeri yang terus melolong meminta pertolongan untuk keluar.
Tentang adik tak pernah sesukses itu mendarat sebagai paragraf yang layak edar. Aku selalu merasa duka yang kutuliskan belum sepenuhnya bisa menggambarkan apa yang kulihat dan kudengar. Jemariku seakan kehilangan daya untuk bisa menyalurkan duka. Mantra yang dulu selalu kubanggakan, belum sekalipun berhasil menembus pertahanan adik. Dukanya tak pernah menemui celah keluar, kapanpun aku mencoba untuk bisa masuk dan merasainya barang sedikit saja, selalu berakhir pada keheningan. Hatiku selalu koyak memikirkan kegagalan. Untuk adikku aku gagal menjadi mata yang berguna. Untuk adikku aku gagal menjadi tangan yang memegang. Duka itu sungguh tak pernah dengan sukses untuk bisa dituangkan.
.
.
.
Tak terhitung berapa kali aku mencoba, tameng yang di lingkarkan oleh ayah belum sekalipun tertandingi pertahanannya. Mungkin karena memang ayah dan adik adalah sejenis. Hingga tak ada yang bisa menyaingi batas kasih keduanya. Andai saja ayah masih ada. Mungkin aku tak harus selinglung ini menghadapi kekosongan mata ibu ketika memandangi adik. Andai saja ayah masih ada. Mungkin aku tak harus sebingung ini menyikapi keberadaan adik. Karena memang adik dan ayah adalah sejenis. Tak ada yang bisa mengasihi adik sebesar ayah melakukannya. Dan mungkin, takkan ada yang bisa menyayangi ayah setuluh yang bisa adik berikan. Perimeter keduanya jauh dari jangkauan. Itulah kenapa setiap aku mencoba untuk menuliskan duka tentang keduanya selalu lepas dari pandangan, selalu ada yang kurang, selalu ada duka yang lolos dari rengkuhan. Karena ayah dan adik sama, andaikan keduanya masih bisa membagi kasih langkanya. Mungkin aku tak akan selinglung ini untuk bisa memperlakukan.
.
.
.
Tuhan tak pernah salah menakar kekurangan seseorang. Semuanya mendapat porsi pas sesuai jatah dan ukurannya. Dan kekuranganku adalah untuk lebih bisa meraba. Tentang ayah yang telah tiada. Tentang adik yang masih sering kulamunkan masa depannya. Aku tak pernah bisa menghadirkan apa-apa, bahkan untuk ibu yang telah mengandung dan memperjuangkanku. Aku tak pernah bisa menghadirkan apa-apa, terlebih untuk ayah yang sekarang tak bisa menikmati apapun selain hanya sebagai penonton pasif saja, sementara untuk adik, hal terjauh yang bisa kupikirkan untuknya adalah mencoba untuk terus ada. Sekalipun dukanya tak pernah berhasil keluar dari dalam ruang, sekalipun dukanya tak pernah berhasil tersampaikan dengan tepatnya. Setidaknya dengan aku ada, mungkin akan bisa dijadikannya alasan untuk tetap kuat dalam menghadapi dunia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar