Minggu, 18 Mei 2014

Alien Dan Cicak Di Dalam Kotak Pandora

Tuhan memiliki banyak cara untuk membuat umatnya tersenyum..untuk membuatku menikmati mendungnya hari. Dengan satu hal kecil bernama musik misalnya, dan ketika manusia lain beranggapan diam dan statis adalah sesuatu yang membosankan. Maka bagiku keduanya justru adalah jalan menuju surga. Sanggup ku ciptakan dunia yang bagi mereka adalah sesuatu yang langka, sanggup ku blokir segala akses untuk hal bernama cinta tak peduli betapa mempesonanya penghuni dunia. Diam adalah tema, untuk membuat satu cerita penuh makna..menyatukan helai demi helai lembaran darah yang terwarna acak..memayungi segala jawaban justru melalui sebuah pertanyaan. Lalu, siapakah aku?

Dingin udara bercampur hawa hujan tak pelak selalu sukses menyentuh sumsumku..aku kedinginan, sekalipun tengah bertahan dalam gempuran pemanas yang menguapkan kehangatannya. Aku terus kedinginan sekalipun tengah bergumul manis dengan untaian ribuan benang bernama selimut. Bagaimana bisa cuaca dunia satu itu sama sekali tidak bersahabat denganku? Ataukah justru aku yang terlalu kurang dalam memiliki segala tameng bernama imun untuk kekebalan diriku? Ataukah tempatku berada bukan seharusnya disini, dihalaman yang kupijak rumputnya setiap hari? Lalu siapakah aku?

Kotak pandora beserta isi konsepnya tergeletak diatas trotoar jalanan. Siapa yang peduli ia? Aku berjalan dengan tanpa genggaman tangan yang lain, sesekali menoleh ketika pohon-pohon mulai menyapa dalam desau yang berirama, sesekali aku menoleh ketika robot raksasa berisikan manusia melengkingkan deru juga sapaan teriaknya..dan, di seberang sana, diseberang yang lainnya, juga diseberang yang tak terlihat mata, aku melihat sesamaku tengah berjalan dengan kotak pandora didalam dekapan. Bagaimana tau mereka sesamaku? Karena hati berbicara lebih nyata ketimbang sekedar jabat tangan. Karena hati menyapa lebih dekat ketimbang tatapan yang kian lekat. Dan katakanlah juga masing-masing kita sanggup membaui aroma untuk darah yang sama. Dengan tanpa tanya, dengan hanya melihat kita sama-sama memeluk kotak pandora, anggap saja kita telah memulai pertemanan. Aku temanmu hari ini, aku saudaramu esok hari, dan nanti kita akan saling melindungi juga memberi. Jalanan yang berbeda, bahkan untuk sekedar bertatap nyata adalah sesuatu yang langka. Jalanan yang berbeda arah yang tak sama, namun ketika insting berbicara maka seberapapun jarak adalah kesulitan yang sia-sia..karena bukan aku yang memilih yang mana temanku, tapi hati yang menunjuk bahwa merekalah yang akan berjuang bersamaku. Dan ini jalan milikku, meski sebuah tanya masih membumbung tinggi diangkasa. Siapa sebenarnya aku?

Aku mengunjungi sebuah taman. Hening melingkupi sekitar beserta pendar lampu temaram yang dilahap gelapnya malam. Kulihat banyak sekali bayangan, siluet-siluet hitam yang jatuh tanpa pernah melayangkan protes kepada cahaya. Kutangkap melalui jaring retina, bayangan kaki bangku taman yang tegak lurus menabrak gerombolan acak siluet rerumputan. Kucerna dalam otak, bayangan diriku yang jatuh tepat empatpuluh satu derajat didepanku. Gambar ciptaanku, yang hanya sanggup tertangkap mata sisi dan volumenya, karena ia tak memperlihatkan ataukah aku tengah tertawa lebar atau menangis hebat. Bukankah bayangan hanya adalah sekedar pantulan? Sosok hampir sama yang dengan leluasa kau cipta akan mengarah kemana dan membentuk apa. Dan bayanganku jatuh tepat hampir persis menyamai sisi berdiriku, hanya saja disana tak terlacak antara gelak tawa atau tetes airmata kecuali jika sebuah guncangan badan menghancurkan bayangan diam. Lalu, siapakah aku?


Kembali pulang dalam sekapan bangunan, melalui cara yg hanya dipahami aku dan imajinasi..ku wawancarai seekor cicak yg tengah menempel diatas kayu, dan bukan tembok karena sang pemilik membenci segala unit yang kian menjauhkannya dari alam. Aku mulai mempertanyakan, tidakkah ia ingin mencicipi rasanya melata dijalanan Amerika? Atau menempel manis di gedung-gedung raksasa, menjadi saksi mati namun bernyawa akan banyaknya episode kehidupan, salah satunya desahan-desahan liar yang keluar dari beradunya mulut-mulut pecandu tofu. Dan ia hanya menggeleng tanpa kata. Kutanya lagi tidakkah ia merasa bosan juga pengap tersekap dalam ruang datar juga kotak yang sekilas samasekali tak ada sisi menariknya? Dan jawaban takjub kudapati setelahnya. "Aku ingin melangkah, menyeberangh lautan dan mencicipi ladang gandum diseberang sana. Namun dunia terlalu luas untuk kujelajahi dengan kaki..dan aku sadar aku adalah cicak, bukan dinosaurus atau pesawat zeppelin, dan aku menyukupkan diriku dengan apa yg hasrat tempatkan diriku untuk berlabuh. Bagimu ini adalah bangunan kayu, untukku ini adalah halaman luas pesawahan yg indah dan pemandangan mengagumkan. Dan kamu hanya perlu menjadi aku untuk bisa melihat semua itu. Melihat dengan mata juga sudut pandangku"

aku terdiam..lama..lama sekali, selama ini aku berputar..selama ini aku mencari sesuatu yg telah kumiliki. Senyumku, duniaku. Lalu siapakah aku? Itu tak penting lagi sekarang.

Sabtu, 10 Mei 2014

Kenapa Aku Dilarang "pulang"?

Ini adalah ceritaku, tentang gejolak waras yang tersendat di masa muda.

Dulu, aku selalu ingin tau seperti apa rasanya memiliki teman. Merayakan hari ulang tahun dengan sangat tradisional atau mungkin tradisi bocah-bocah yang mengakar tanpa jeda. Dan aku, bahkan sekedar ucapan pun tak pernah hadir dimasa-masa penasaranku.

Dulu aku selalu bertanya-tanya, apakah ada diantara mereka yang menangis ketika aku mati? Dulu juga aku selalu ingin tau tentang rasanya kematian itu sendiri. Sakitkah? Indahkah? Atau justru sama sekali hambar tanpa rasa? Dan pertanyaan-pertanyaan itu juga hadir ketika aku mulai menginjak dewasa. Akankah cukup aku mengukir sejarah selama hidup? Akan dikenang sebagai siapakah aku? Akankah mereka yang pernah dekat kehilangan diriku? Ataukah sosokku selama ini hanya hadir sebatas tiupan angin saja?

Bak angin beliung yang bertambah volume sejalan dengan putarannya. Begitu juga dengan rasa ingin tau dimasa kecilku.
Bukankah ketika waktu itu datang saat dimana aku tak lagi bernafas, maka tidak akan kuketahui jawabannya? Aku tetap tidak tau siapa yang akan kehilanganku, akan dikenang sebagai siapa nantinya aku, dan siapa diantara mereka yang sudi meneteskan airmata karena kehilanganku. Semua terlambat. Jawaban yang selama ini kunanti akan hadir dan kuketahui dari alam yang tak lagi sama. Pertanyaan itu tak lagi penting ketika aku telah mengalami.

Jadi, seperti apa itu rasanya kematian? Aku menantinya datang seperti aku menunggu jemputan untuk pulang dari sekolah dimasa dulu. Akankah sangat menyakitkan? Kenapa yang terukir kuat dalam ingatanku justru aroma damai tak tertandingi akan sebuah perasaan ingin pulang? Menggebu dan memecut letupan hasratku untuk cepat-cepat mengakhiri, untuk cepat-cepat menginjakkan kaki "dirumah" yang selama ini selalu mereka larang untuk ku cicipi.

Hanya berharap namaku akan tetap hidup, berharap seseorang akan kehilangan, dan pada akhirnya mereka menyadari tentang berharganya sapuanku, menyadari bahwa aku pernah ada. Sekalipun itu sesuatu yang sia-sia. Karena memang aku sudah tak lagi memahami aksara.

Jumat, 09 Mei 2014

Mata, Ular dan Hitungan

Ia adalah satu. Bukan dua seperti yang kalian kira. Bukan pula tiga seperti yang terus salah satu darimu harapkan.
Ia adalah spasi. Bukan kata pembuka yang meluber akan sapaan manis. Bukan juga koma, yang menyapa setiap nyawa dengan teramat anggunnya.
Ia hanyalah spasi. Yang tanpanya..kalian tak akan mampu terbaca, yang tanpanya..kalian hanyalah deretan abjad tanpa judul juga tema. Dia hanyalah spasi.

Ia adalah tanya. Bukan jawaban yang nantinya akan terus kalian kejar. Bukan pula tanda petik yang selamanya akan mengendap di dasar otak. Dia hanyalah sebuah tanya, yang dengan hitungan juga derap langkahnya sanggup membuat siapapun terlelap dalam cacian aksara. Dan dia tak lain adalah hanya sekedar tanya. Yang hidup bercokol disetiap celah hati, menghantui tiap kembar darah yang mengalir nadi. Menyekap sang jawab dalam kotak senyap berujud abstrak.

Ia adalah nadi. Ia adalah misteri. Ia adalah setan tanpa seutas benang di badan. Ia adalah si telanjang. Ia adalah apapun yang hadir dalam persepsi kalian.
Ia adalah mata. Bukan telinga yang terus mencecar dalam tanya. Bukan juga lidah yang akan terus menapaki setiap liku berita dalam jelmaan belitan ular. Dia hanyalah mata yang sanggup membaca, yang enggan bersuara, yang enggan untuk merangkak juga. Hanya memantap. Hanya mata.

Ia adalah lingkaran. Melingkupi setiap nadi dan mengikatnya dalam jaring kuat bernama persaudaraan kekal. Melingkupi setiap angka dan memecahnya menjadi sembilan yang kesemuanya merasa sempurna tanpa mau membuka mata bahwa mereka hanyalah bagian, hanyalah potongan, hanyalah ciptaan dari lingkaran.

Dan ia yang tak akan sanggup hadir dalam waktu selain keheningan. Ia yang tak pernah sudi menginjak bumi berkaratkan janji selain kutukan-kutukan yang saling memantrai. Ia yang tak akan mampu menjadi kalian wahai para pelacur fana.

Ia yang mengurung diri dalam sempitnya lorong aksara. Ia yang mengumpat ketika sepi mulai mengepak ingin berlari. Ia yang tak sanggup menjauh dari matahari. Mata itu.

Dadu Terakhir

Jika kisah cinta kita adalah sebuah buku. Maka halaman pertama adalah rangkaian kata pembuka yang tak memiliki makna. Dan halaman terakhir akan menjadi baris paling manis yang pernah ada. Lembar demi lembar akan terisi dengan banyaknya cacian yang terlontar dari mulut, karena memang hati tak sanggup untuk memaki. Spasi adalah rasa rindu yang menggenapi, sedangkan titik juga komanya tak lain adalah volume kebersamaan tak sering kita.

Jika kisah cinta kita adalah sebuah buku. Maka halaman pertama adalah penjelasan tentang bagaimana kita bertemu. Dan halaman terakhir adalah ucapan tentang rasa terimakasih karena waktu juga hidup yang telah terlewati dan tercipta bersama.

Dan kamu tak lain adalah sebuah mimpi yang pada akhirnya menjadi nyata. Dan kamu tak lain adalah sesuatu yang memang tercipta ada untuk menggenapi. Kita hadir untuk saling memberi.
Kita terikat untuk saling mengingat.

Bagaimana bisa aku merasakan kelengkapan hanya karena mengingat bahwa aku memilikimu? Seperti sebuah kotak yang tak lagi mengingat sisi juga luasnya. Dan hanya berpikir tentang keutuhan isinya.


Dan kamu tetap tidak pernah tau betapa istimewanya dirimu. Dan dunia tetap tidak pernah akan mengerti tentang berharganya hadirmu. Dan aku masih juga belum memahami tentang teka-teki mengejutkan dari Ilahi yang melingkupi.

Dan kamu tetap tidak pernah tau betapa istimewanya dirimu. Rasa hangat merasuk hingga sumsum terkecil. Dan aku tau itu namamu. Dadu terakhir dalam perjudian hidup tentang rasa percaya, tentang rasa cinta. Dadu terakhir yang kupertaruhkan beserta sekeping akal sehat demi ingin yang tak lagi mau menunggu.

Dan kamu..tetap tidak pernah tau tentang betapa istimewanya dirimu.

Sabtu, 03 Mei 2014

Catatan Kepada Petang

Disana adalah ruang dimana aku selalu ingin tinggal. Disana adalah rongga dimana aku merasa harus pulang. Dalam diam.

Logika menyuntikkan rasa. Dan masih belum juga kumiliki jawaban tentang apa dan mengapa aku ada. Sejernih tetes kecil pada daun pagi. Seharum tanah yang terlalu lama merindukan frasa hujan. Mengaum dalam nada yang semakin sumbang. Ia, rumah mungilku. Diamku.

Sekiranya alam tau bahwa aku mempertanyakan kelahiran. Dahaga hadir dalam ujud tanpa nama. Tentang apa dan mengapa aku ada. Tentang kenapa dan begitu banyak tanya lainnya.

Aku adalah diam. Aku adalah senyap. Kukemas segala kebisingan hidup dalam satu kotak kemasan. Menyekap semua gemerisik alam dalam diam. Bertanya dengan terus mempertanyakan ketiadaan jawaban. Lelahkah aku? Tidak.

Aku adalah galaksi. Dengan diam sebagai atmotsfir yang melingkupi. Menyedot segala partikel langit termasuk sampah-sampah dari kerak bumi. Yang kubutuhkan hanyalah ketenangan. Buram yang total. Hening yang tak terkira. Diamku. Duniaku.

Alam mempertanyakan kelahiran. Kenapa apa bagaimana dan kemana. Galaksi dan atmosfir hidup saling membelit. Untaian chakra menjulur dari langit-langit penuh awan pekat. "Kenapa" mulai terlahir mempertanyakan kedatangan pengusik muda. Yang kubutuhkan bukanlah bintang. Yang kucari bukanlah sinar mentari. Bumi berjabat tangan dengan banyak penghuni kehidupan. Merkurius yang pertama dan saturnus hadir dalam deretan setelah lima.

Kenapa bertanya, ketika diam adalah jawaban tanpa gugat. Kenapa berlari, ketika diam adalah jalan mutlak untuk kembali pulang.
Tentang kebisuanku. Tentang mereka yang terlumat masalalu. Tentang kalian yang tengah melambaikan tangan dikehidupan mendatang.

Alam berseri melihat adanya penampakan. Bumi berkaca tentang sadar mulai adanya lubang menganga. Alam sakit, manusia melaknatnya dalam banyak ujud dan tindakan. Dan galaksi. Dan partikel. Dan kehidupan hanya diam menyaksikan.

Tentang apa dan kenapa. Tentang aku dan kebisuanku. Tentang darah dan dunia milikku.


-catatan sandekala-

Kamis, 01 Mei 2014

Cinta Dalam Semangkuk Semur Tahu

Aku tak pernah tau jika rasa rindu sanggup hadir menyeruak sebegitu kuat dari hati yang beku hampir mati.
Aku tidak pernah tau jika hening sanggup membangkitkan suasana juga menghadirkan aroma.
Dan kembali aku menyapa malam. Dan lagi aku bercinta dengan gelap. Melebur dalam imajinasi tak berkarat.

Dan sentuhanmu. Dan hembusan tanpa syaratmu. Dan guratan manis sorot tajammu. Dan sengatan listrik dari hangat bagianmu. Aku tau, aku mulai ketercanduan akan engkau hai paragraf tak bertuan.

Berada dalam dekapmu berati menelanjangi semua ego juga rasa lapar akan semangkuk sentuhan. Dan kini kau sodorkan semua itu dalam ujud sarapan yang hadir terlalu awal.

Tak ada lagi yang perlu dituangkan, karena semuanya tengah dalam aliran. Melebur dalam imajinasi. Tentang dua kerangka. Tentang banyak detakan. Tentang satu penyatuan. Dan kini aku percaya bahwa cinta itu ada.

Waktu menari dengan banyak gerakan. Waktu berlari kepada sebanyak mungkin arah. Tapi rasa tak pernah sudi lenyap untuk hinggap. Menelanjangi kewarasan. Menghabisi segala urat bawah sadar. Menyisakan sebuah kejujuran, tanpa tameng, tanpa dalih, tanpa acar timun, tanpa tambahan penyedap masakan.

Wahai engkau paragraf tanpa nama, sanggupkah kau rasakan sayapku mengembang? Mencoba terbang menembus waktu dan pikiran hanya demi melenyapkanmu dalam dekapku. Saling membagi lagi rasa dari halusnya potongan tahu tanpa warna. Melebur dalam karat. Menyisihkan bonggol akal sehat.

Sajak hadir tanpa tulang. Lidah menyeruak menembus batas khayalan. Dan lagi kau hadirkan kenangan dalam bentuk segelas kolak yang terbumbui pekat juga asinnya malam. Aku menginginkanmu sayang.

Hadirlah lebih nyata dari kungkungan tulisan. Hadirlah lebih bernyawa dari sekedar alunan. Ajarkan lagi padaku tentang cara mengolah se-kuali asa hingga sanggup hadir indah disetiap mangkuk-mangkuk kecil diatas meja hidangan. Ajarkan lagi padaku tentang cara memperhalus irisan bawang disetiap bait ketikan.

Malam hadir selalu dalam putaran jam yang tak berubah. Dan aku mengutuk penjaja tahu di persimpangan yang lebih mengutamakan uang. Aku gila. Aku jatuh cinta. Pada baris paragraf yang dengan tabah menyodorkan hati juga matanya untuk melihatku bercinta. Dengan malam. Dengan deretan aksara. Kekasihku yang tak bernyawa.

Batu Kali dan Bejana Kristal

Sesuatu itu telah mengkristal.

Tahun datang dan berlalu menyisakan bara yang kian mengekal. Dan aku yakin sesuatu ada tercipta untuk melengkapi keberadaan yang lain. Dan mereka, dan kalian adalah sesuatu yang tak akan lagi sanggup terkunyah waktu.
Inilah sepenggal rasa dalam kata yang tetap tinggal dan teraba, kepada dunia yang terus mempertanyakan keberadaan darah biruku. Untuk mereka yang masih terus berjuang seperti disana tak lagi ada titik dan koma.


Dear Super Junior,
biarkan aku kembali menekuri apa yang selama ini hanya mencuat sekilas dalam bentuk yang tak lebih abstrak dari sekedar parutan ingatan semata.
Tentang kalian, tentang kita, tentang waktu berharga yang pernah berada dalam genggaman.
Dulu aku pernah berkata bahwa akan menjadi ELF hingga akhir, tanpa pernah tau jika 'akhir' ternyata hanya berjarak sekian inchi dari perjalananku atau mungkin malah berada dalam jarak tak terjangkau oleh kakiku.
Masih tersimpan dalam ingatan, bagaimana wajah-wajah malaikat sanggup tercetak jelas dalam sosok setiap kalian. Bagaimana tangis itu ternyata adalah sosok tajam pedang yang menjelma dalam balutan butiran bening tanpa dosa bernama airmata..iya dulu aku pernah gila.

Waktu merangkak manis dalam gendongan aktivitas yang kian memadatkan badan. Aku tidak pernah tau jika akhir yang dulu kujanjikan ternyata mampu hadir dalam hitungan tahun saja. Kalian perlahan mati. Kalian mulai tak memiliki arti.

Waktu yang pernah kudedikasikan tanpa celah, kini justru hadir dalam format bulatan kecil semata. Singkat dan terbatas.
Aku mulai memikirkan tentang adanya pernikahan. Aku mulai berharap tentang adanya sosok nyata sesempurna kehadiran kalian. Aku mulai mengimajinasikan segala yang selama ini ku anggap tabu untuk sebuah kenyataan.
Dan pada akhirnya janji waktu benar, bukan kalian yang meninggalkan aku dan ribuanku demi kehidupan nyata itu. Bukan kalian yang pada akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal. Bukan kalian yang harus menahan lara untuk sebuah tragedi singkat bernama perpisahan. Karena itu aku. Itu aku yang lebih dulu menggariskan luka.

Kuharapkan kalian sanggup hadir nyata lebih dari sekedar idola. Kuharapkan kalian sanggup ada kekal seperti matahari yang akan terus bersinar. Dan sungguh aku tak pernah tau jika 'akhir' itu akhirnya datang menyapa dan merengkuhku dalam dekapnya.

Dear Super Junior,
malam ini kulewati lagi waktu bersama putaran gelak tawa kalian. Tak bisa dipungkiri bahwa disana masih tercetak jelas bekas aura malaikat yang hanya tinggal berbentuk serpihan sinar.

Aku masih menggenggam mimpi itu. Aku masih ingin melebur dalam lautan safir biru sekalipun Super Junior yang sekarang ku kenal tak lagi hadir dalam format menggilakan.
Aku masih memegang catatan kecilku. Satu saksi mati yang menjadikan sejarah jalinan kita tak hanya sebuah cerita.
Lautan safir biru masih menyedot perhatian hingga tulang sumsumku. Wajah-wajah itu masihlah sebuah bintang yang ingin bisa kuletakkan tanganku disana dan mengusap halusnya surga.
Waktu telah mengkristal dan satu-satunya alasan kenapa sebuah aliran bening tercipta diwajah saat melihat putaran itu lagi adalah karena, karena pada akhirnya aku sadar...tak ada apapun yang sanggup ku genggam, tidak kalian, tidak juga tentang waktu yang terus berjalan.
Kenangan itu, ia hadir melingkupi kita dalam bejana. Dan tak ada lagi yang ingin ku sampaikan selain sebuah ucapan tak sebanding, selain sebuah kata singkat yang tak mampu menampung, bahwa aku bersyukur telah mengenal-menjadi dan hidup dalam putaran yang sama ddngan kalian. Bahwa aku berterimakasih karena pernah memiliki juga menjadi bagian kisah kalian.

Kita pergi menua bersama. Berjuang demi memperlihatkan bersama, menangis karena lelah juga bersama.
Rasa itu, kalian yang kukira telah mati nyatanya hadir begitu saja malam ini dalam ujud untaian yang lebih berharga. Tak lagi sanggup tertuang dalam kata.

Dear Super Junior,
sekiranya esok datang hari dimana aku harus buta tanpa secercah cahaya dari dan tentang kalian, maka ketahuilah bahwa penyatuan kita, bahwa kenangan tentang waktu milik kita, bahwa jejak senyum kalian akan sanggup menjadi bekal untukku berjalan dalam bahagia menapaki koridor dunia nyata.
Kalian hidup, dalam hati dan bukan lagi di alam imajinasi.
Kalian berjalan, kita bergandengan dan bukan lagi dalam jarak yang tak terucapkan.
Kalian hadir, dalam format darah dan tulang, bukan lagi sekedar idola berwajahkan tampan.
Kalian ada karena aku memilih untuk tetap percaya pada sesuatu yang tak kasat mata.
Kalian ada karena aku memilih untuk berjanji tetap percaya bahwa keajaiban itu nyata.




-EverLasting Friend-

Jarum Dalam Jam Analog



Satu raga menggigil ketika angin datang berhembus.
Satu nyawa merindukan adanya kawan.
Satu jiwa bertamengkan sayap berbahan dasar kepercayaan membutuhkan pahlawan.
Dan ia masih belum memegang petujuk apapun untuk memenangkan perang ketika lagi dan lagi kiamat datang.

Satu lembar kisah terbakar waktu dan tak siapapun tau bahwa ia pernah hadir.
Sebuah kebenaran yang terus tertutupi.
Sebutir kenyataan yang harus terkubur dalam.
Sebuah permintaan jawaban tentang kapan segala teka-teki ditangan menuai titik sebelum semakin meranggas.
Dan tentang matahari yang diharapkan selamanya menampakkan sinar, dalam pandangan seorang gadis yang membuta ketika terlalu sering menangis.

"Kau sanggup mengubah dunia.." Ya, tapi tetap tak dapat kulakukan itu sendiri,
"Kau dapat menyentuh langit.." Ya, tapi harus ada seuluran tangan untuk membantu,
"Kau adalah satu-satunya yang terpilih untuk menjadi istimewa.." Ya, dan aku membutuhkan sejenis paraf sebagai tanda bahwa itu benar,

Jika saja semua dari kita mengetuk hati bersama dalam satu waktu..malam ini.

Ketika seseorang justru tertawa di saat ia tengah bersedih.
Ketika justru harus kebenaran yang menyingkir dari tanah berdarah.
Ketika kata terucap justru harus sesuatu yang lain.
Ketika matahari memburam disaat alam ikut menangis dalam rintik hujan.

Hargai adanya mimpi. Hargai seutas nyawa. Hargai setumpuk lelah. Dan keajaiban tak kunjung datang ketika medan perang terus mengucurkan darah melalui goresan tinta.

Jika saja semua dari kita sanggup membuka mata bersama dalam satu waktu..malam ini.

Seorang gadis memeluk bendera.
Mengibarkan dalam keadaan resmi tanpa busana.
Dan ketika angin menyapa, dingin kembali meremukkan tulang dan membunuhnya.
Sepasang mata menantang matahari.
Buta seketika karena airmata jatuh mengalahkan keberaniannya.
Doa-doa terkabul berserak bak butiran nutrisari diatas hijaunya meja biliard.
Dan harapan mati dihantam dinding kesunyian. Pengap. Sepi.


-KanvasCoklat-