Sabtu, 20 November 2021

Mengurai Duka

Tiga hari sebelum kepergianmu, kita datang ketempat ini. Kamu masih ingat tentang bagaimana si kakak begitu terkagum-kagum melihat pengering tangan otomatis di tempat cuci tangan? Atau tentang bagaimana ia akan mengomentari betapa lucunya bentuk piring kotak disana, yang berbeda dari bentuk piring yang biasa ia gunakan di rumah. Iya, ini adalah kali pertama kita mengajak anak-anak pergi makan di tempat selain warung baso dan mie ayam. Restoran, begitu si kakak menyebutnya meski tempat yang kita tuju hanyalah tempat makan cepat saji khusus ayam. Di sana kita berbagi tugas, kamu menyuapi si kakak aku bagian si kecil.
"Pesan lagi saja satu untukmu," berkali-kali aku mengatakan itu dan jawabanmu selalu sama, 
"Tidak usah, keperluan kita masih banyak, toh kamu juga nggak makan, aku akan menghabiskan sisanya saja."
Satu piring di serbu satu keluarga dengan dua anak, aku sempat melihat berkeliling barangkali ada yang sedang menertawakan meja kami, tapi suasana saat itu terlihat cuek. 
"Aku senang sekali melihat si kakak bahagia," begitu ucapmu dengan wajah berbinar, si sulung yang mendengar itu langsung saja memanfaatkan untuk meminta kembali datang lain waktu. 
Dan jawabanmu selalu sama untuk setiap permintaannya, 
"Insyaalloh kalau kita punya uang lebih ya,"
Aku tidak pernah tahu jika lain waktu yang kita janjikan tidak akan pernah datang, 

(Inhale, exhale) 

Hari ini aku datang lagi ketempat itu, bukan untuk makan bersama, tapi untuk memenuhi janji pada si kakak, karena apa kamu tahu apa yang di tanyakan padaku beberapa hari selang kepergianmu? 
"Ma, apa sekarang kakak sudah enggak bisa makan ayam goreng?"
"Loh, kenapa begitu sayang?"
"Karena bapak sudah enggak ada, itu berati mama nggak punya uang."
Jangan tanya seperti apa rasaku saat itu, luka yang dikarenakan oleh kepergian tanpa pamitmu masih sangat baru, mataku masih membuta, telingaku masih menuli, jangankan mencerna atau memikirkan tentang bagaimana hidup akan berlanjut kedepannya, aku bahkan masih belum bisa berduka dengan tenang. Dan pertanyaan si sulung membangunkan dukaku seketika, ada yang harus kuurus sekarang, meski ada yang telah lebur dan tak lagi berbentuk tapi ia harus tetap bisa merasa dan menata. 
"Kita masih bisa makan ayam, kan mama punya bos jadi tetap punya uang,"
"Siapa bos mama?"
"Bunda,"
"Terus siapa lagi?" 
Aku menangkap keraguan di mata gadis kecilku, pertanyaan besar menggelayuti pikiran polosnya, ia melihat ada jurang lebar di depan sana, dan jawaban yang akan kuberikan entah kenapa terasa begitu penting. 
"Mama masih punya Allah sayang, kan Allah yang memberi kita rezeki. Insyaallah besok-besok kalau mama pergi dan punya uang, mama belikan."

Janji itu sudah kupenuhi, seperti halnya hak-hak lain miliknya yang mungkin dia takut akan ikut hilang bersamaan dengan kepergianmu, aku tidak berjanji tapi aku mencoba. Mencoba menyisakan waktu untuk membacakannya dongeng sebelum tidur. Mencoba menyisakan tenaga untuk bermain kokomakuci atau perang monster seperti yang selalu kalian lakukan pada malam-malam kita masih bersama. Mencoba lebih taat lagi dalam hal mengingat Yang Maha Tunggal. Bahkan, mencoba membawa mimpi sejengkal lebih dekat, meski aku sendiri telah lupa apa itu harapan.

(Inhale, exhale)

Sejatinya manusia terlahir mandiri, dibungkus kulit ari secara eksklusif tanpa harus berbagi. Tapi begitu banyaknya ikatan membuat manusia lupa, membuat manusia menjadi kurang percaya diri, dibayangi keraguan untuk melangkah ketika pasangan mulai berbeda jalan. Dan kini aku tengah terjebak di fase itu. 
"Apakah aku bisa?" Adalah pertanyaan tunggal yang konstan hadir dalam kepala. Kamu tahu benar aku terlatih menjadi tulang, dan jika sekarang kakiku harus kembali menjadi kepala, begitu juga sebaliknya. Maka dengan segala kerelaan yang masih enggan hadir, aku akan memaksa bergegas untuk bersiap. 
Seperti yang selalu kujelaskan pada si kakak di tengah-tengah sulitnya menjejalkan konsep mati-doa-surga-neraka pada anak berusia 5tahun, dengan itu pula aku meyakinkan diri bahwa aku tidak sendirian. Kamu mendengar, memperhatikan dan melihat semuanya. Hanya saja sekarang melalui jendela yang berbeda.
Terimakasih untuk sekian tahun yang telah terlalui bersama. Meski membosankan tapi aku akan masih berkata bahwa aku beruntung karena telah memintamu menjadi partner hidupku 6tahun yang lalu, dan bukan yang lain. Aku tidak akan berjanji tapi mencoba, mengisi tempatmu dihati si sulung dan si bungsu, meski aku tidak yakin tahu seperti apa caranya. Jika entah dengan cara apa kamu berhasil tahu tentang tulisan panjang dan penuh drama ini dan kamu tertawa, maka maafkan aku karena memberitahu dunia bahwa aku terluka dan sedang tertatih memaksa diri untuk bangun segera.
Seperti pesan si kakak ketika mengunjungi rumah barumu kemarin, "bubu dengan tenang ya bapa, kakak disini selalu doain bapa." Sekarang kembali kepada tanah dan beristirahatlah dengan tenang, kamu aku selalu dirindukan. 
Teriring doa di setiap kesempatan.