Sabtu, 06 Desember 2014

Kerak Jawa Dan Sudut Sumatra

Titik.

.

Apapun kata pembuka dari cerita ini, aku hanya merindukan adanya titik.
Satu, dua, empat, waktu berjalan selalu seperti sekejap mata. Aksara-aksara yang menjadi getaran penghantar dikala nada tak lagi berkuasa menyalurkan suara. Dan sesekali aku berharap sanggup menyapa tanpa harus perlu otak mencerna.
.
.
Surabaya..ia masih sekawanan dengan daratan yang kusinggahi. Guncangan lokal dikotanya bisa jadi tak akan sampai merambat dikediaman nyamanku. Tapi aku mendengar, aku membaca dan kulayangkan sejumput doa melalui udara. Guncangan lokal adalah sejenis efek kejut bagi jiwa-jiwa yang senantiasa terlelap damai. Sementara aku, melalui mantra kuterbangkan jiwa melalang buana kesetiap penjuru sendi, kuterbangkan jiwa melalang buana kesetiap sudut keping nyawa. Aku terkenyangkan dengan adanya ketakutan yang tak wajar. Dan dari kesemuanya menyuntikkan padaku satu serum keabnormalan yang tak akan sanggup dicerna oleh kata. Termasuk oleh si dataran Surabaya.
Surabaya..ia masih dalam jangkauan langkah kaki. Menyambanginya dengan berjalan hanya membuat lemah hingga berangsur mati. Sementara berlari tak akan membantu apapun, aku tak memiliki energi cukup untuk menempuh jarak. Sekalipun pasokannya membanjiri, tubuhku seringnya merengek ketika tujuan terlalu lama juga terlalu jauh dari pelupuk mata.
Surabaya yang malang, kujadikan ia persinggahan dikala jiwaku mulai menunjukkan kemuakkannya pada apapun yang disebut normal, sementara ia membenci adanya perbedaan. Surabaya yang bersuka cita, karena pernah aku bersedia mengiringi langkahnya dalam jalanan menuju tempat gemerlap bernama impian.
Surabaya..dataran sama yang senantiasa alpa disapa hujan. Melalui kerak Jawa, air yang mengaliri kota kami bisa jadi beraroma sama. Melalui kerak Jawa, bahasa menjadi semacam ayam petelur yang menyampaikan semuanya tanpa harus berfikir esok ia akan menjadi apa, karena yg dibutuhkan peternak hanya telur-telurnya.
Surabaya..tempat persinggahan yang nyaman sebelum akhirnya datang sadar cuacanya membuatku kegerahan.
.
.
Pati..ia berada lebih dekat dari apapun dan siapapun. Hallo dataran sunyi nan mengagumkan, apa kabarmu tadi malam? Tak ada yang sanggup kucecap lagi indahnya dataranmu. Kita sama, dan kemisteriusanmu menempati ruang pas dalam kotak karakterku. Ya, seharusnya siapapun sadar, persamaan dan perbedaan bukanlah hanya dua-duanya perekat yang ada dimuka bumi ini. Tapi anomali, sudut yang tersembunyi dari ucapan juga lekuk senyuman juga adalah lem untuk keterikatan yang datang tanpa keterpaksaan. Pati..dataranmu hanya dalam jangkauan jengkal, tapi menekuri langkahmu sesulit menyusuri labirin diujung paru. Sekalipun aku sanggup membaca, engkau selalu lupa bahwa aku menyajikan apa yg kiranya tengah engkau laparkan. Dan aku bersyukur kita tetap sejalan.
.
.
Sumatra..
Aku ingin bernafas sebentar, menyusuri gorong-gorong sekresi ingatan memang sangat melelahkan. Dan untuk perjalanan menyebarang satu ini, selayaknyalah aku membutuhkan peristirahatan. Bernafas, menikmati udara yang membiusku dalam lelap. Bernafas, mengamati laju angin yang tanpa lelah hilir mudik melalui jalanan rumit bernama organ dalam badan.
Sumatra..aku harap titik yang tengah kucari berhenti disatu dataran luas ini. Ia tau betapa lelahnya aku berkelana selama ini. Menyibak semak, membabati belukar yg dengan kuat memagari hati juga jiwa-jiwa para kurcaci. Selayaknyalah ia tau rekor terjauh lembaran jiwaku mengelilingi bumi adalah dataran berkelok miliknya. Harus ku seberangi perairan, jalanan yang lebih terjal ketimbang hanya merangkak dan berjalan. Sementara untuk terbang..ah, aku terlampau lelah juga untuk menjelajah angkasa. Sekian tahunku mengoreki sudut langit membuatku merasakan kerinduan yg teramat pada adanya fungsi kaki. Aku ingin berjalan, aku ingin meresapi sapaan tanah, aku ingin memperjuangkan langkah, menjejak tiap inchi bumi sebagai makhluk layak edar bernama manusia dan sekali lagi kutegaskan, aku bosan melayang. Terbang hanya membuat kaki-kakiku ngilu karena terlalu jarang digunakan. Sementara nanti, ketika aku mati..kaki-kaki jasadku haruslah membubur dalam gundukan tanah suci, bukanlah terbakar dan menjadi abu untuk kemudian melayang hilang ditelan cerobong asap kapal.
Sumatra..ia masih dalam pelukan langit sama seperti tanah singgahku. Bahasa dan kata adalah justru sesuatu yg mendekatkan tanpa adanya pengampunan. Dan hey..masihkah engkau ingat bahwa garis merah dari adanya segala keterikatan ini adalah hanya sebatas sadar?

.
.
Aku gagal mencari titik didataran penghujung Indonesia. Titik dari segala kata pembuka cerita ini tak ada dimanapun langkahku menyapa dataran. Bukan di Surabaya, Pati atau mungkin Sumatra. Bukan dimana-mana. Tapi titik itu ada disini, ditiap ujung pori yang menyebar disepanjang tubuhku. Titik itu ada dalam niat dan inginku. Tak ada yang perlu diakhiri. Perjalanku sejauh ini mengajari, titik terkadang diperlukan bagi paragraf lain yg memerlukan adanya bait berjalan. Mungkin beda sapaan, tapi tetap satu tema bacaan.

Kamis, 04 Desember 2014

Cerita Pagi

Ini adalah satu cerita singkat tentang dua anak mikroba, terlahir dalam agungnya tetesan embun di pucuk daun bambu.
.
.
Ini surga, tanpa harus menjelaskan kenapa.
Ini surga, tanpa harus ada pertanyaan bagaimana.
Ini surga, karena kami memilih untuk berkata bahwa ini surga, meski ruang memaparkan didepan mata bahwa ini sesungguhnya adalah neraka.
Siapa yang peduli, tak ada yang perlu peduli dengan dua anak mikroba seperti kami.. terlahir di banyaknya kealamian pucuk halus mengerikan daun bambu, aku harus membahasakan itu sebagai apa agar dunia paham..sebuah kealamian yang di gariskan ada untuk kami tapaki.
.
Tak ada yang harus mempedulikan dua anak mikroba seperti kami, hanya perlu menikmati sejuk yang sesekali turun dari hasil endapan embun yang tak sanggup lagi ditahan. Dan jatuh.
.
Ini tentang dua cerita..kenapa kita ada, meski kurang bermakna namun mungkin sanggup untuk saling menguatkan.

Sabtu, 29 November 2014

Dalam Balutan Abu-Abu

Pagi menyapa dalam balutan rinai yang turun teratur dari langit. Awan sendu terlihat semakin mengikis dari balik kaca jendela kamar. Lama. Lama kubiarkan jarum jam berjalan tanpa disandingi aktivitas berarti, selain hanya bernafas. Ya, bernafas.

.

Sesosok kawan lama datang menyentak lamunanku dalam cicit merdunya. Merayap dalam jarak yang tak terlalu dekat untuk dilayangkan kibasan, juga tak terlalu jauh untuk sekedar menatap sorot kecil matanya. Ekor lencirnya terpaku seiring dengan waktu yang juga membekukan hujan diluar sana. Sekali lagi mata kami saling beririsan. Menyapa.

.
.
Ku kirim sapaan berupa sinyal getaran yang hanya bisa dimengerti oleh kaum spiral seperti kami. Mataku mengerjap sekali ketika samar kutangkap seulas hangat tersapu dilingkar mata berairnya. Dia membuka pintu hadir untukku. Hai, teman...sudah sangat lama ketika terakhir kali aku menyapamu dalam bait panjang yang telah lalu. Masih ingatkah?
Aku tersenyum ketika sosok itu tak lantas pergi menjauh ketika tanganku sedikit terjulur mendekat. Ia menerima permintaan pertemananku lusa kemarin. Aku tau itu, kehadiranku yang tak lagi mengusik menjadi pertanda bahwa aku diperbolehkan menjadi temannya. Hujan terus membungkus kami dalam hangat yang tak lagi membakar dalam beberapa waktu kedepan. Membungkus hening yang terus melingkari percakapan kami bak pelangi diatas garis awan. Mengagumkan.

.

Adalah seekor cicak yang menyita perhatian selama berjam-jam waktuku tersekap dalam rintik hujan. Dalam ruang kotak bernama kamar dan getaran menjadi bahasa yang menyambungkan selain tatapan. Pernah kusapa ia dalam lain kesempatan, detik pertama ketika akhirnya kuputuskan untuk menamai ketertarikanku pada makhluk mungil melata itu menjadi keinginan sebuah ikatan bernama teman. Sebelum hari itu, aku telah melayangkan banyak sapaan. Tapi tak pernah kulewati detik ketika mata kami pada akhirnya harus beririsan. Aku selalu mengira ia tak akan sudi berteman dengan monster sepertiku. Kami beda alam, beda tanah jajahan, bahkan berbeda tanah jalanan. Aku selalu mengira diamnya adalah penolakan tak langsung pada niat baikku untuk menjadikannya teman. Dan hujan pagi ini menjadi saksi bahwa semua yang menjadi dugaanku hanyalah prasangka tanpa alasan.

.
Dear makhluk manis, aku senang ketika kita akhirnya bisa menjalin ikatan bernama teman. Telah sangat lama kudamba hubungan tak lazim ini. Dan bukankah akhirnya engkau sadar bahwa keberadaanku bukanlah sebuah ancaman? Kita berada dalam lingkup udara sama, dan hanya getaran yang mampu mencerna ucapan yang tak sanggup diterima oleh masing-masing kita. Diamku bukan berarti tengah dalam siaga untuk melahapmu. Diammu pada akhirnya ku tau bukanlah kesombongan yang meruak dari pribadimu. Dan aku senang engkau akhirnya bisa mencerna bahasa tatapan.
Dear makhluk tipis, hujan diluar tengah dalam skala besarnya. Alam sepertinya tengah ikut merayakan hubungan kita. Diturunkannya air dalam jumlah tak terhingga hanya agar engkau dan aku bisa saling menyapa dan bersalaman. Hari ini istimewa, aku tau. Sekalipun jika nanti sosokmu harus lenyap dalam gulita yang menelan. Tak apa, karena akupun tak akan selamanya ada dalam sekat berdinding ini. Duniaku tak seluas ruangan kita, tapi aku tau..jalanmu tak akan pernah melangka jauh dari jangkauan pandang ruangan kita. Dan disini ku temukan nyawa. Dalam seulas senyum diwajah cicak manis sepertimu. Dan disini ku temukan teman dalam ujud makhluk berekor dan bercakar tajam. Sekali lagi ku ucapkan terimakasih karena kita pada akhirnya menjadi teman.

.
.
Hujan berhenti dan menghadirkan semburat merah diufuk atas. Mentari menyapa dalam balutan agung nan anggunnya. Hai alam, sejauh apapun aku memaksa..tak ada yang lebih bermakna selain ketika adanya sebuah penantian akan waktu yang seharusnya datang. Aku memiliki arti hari ini, duri yang dulu pernah menjadi aspal jalan tak akan lagi menakutkan setelah ini. Karena aku sekarang berteman, bersama ia makhluk manis yang ekornya selalu menyapu awang. Tak apa jika esok ia lupa pernah tersenyum dan menyambut sapaku. Tak apa jika esok ia tak datang dalam penantian seorang diri didalam kamar. Karena kami terikat hanya dalam frekuensi getaran. Tanpa mengenal jarak juga pagar penghalang. Dimanapun ia tengah merangkak, sinyalku tak akan berhenti mengetahui apa yang tengah ia tatap. Dan jika esok aku harus berganti ruang sekapan. Setidaknya hari ini ia telah membalas sapaku dalam senyuman. Tatap manis yang mengantarku pada lamunan tak berarah. Tatap manis yang menyalurkan pada semangat tak bernama. Dan aku hanya perlu meraba untuk mengetahui adanya kehadiran.

Minggu, 23 November 2014

Mencerna Spasi, Titik dan Koma

Petang ini, kembali aku terdiam menatapi atap bambu bergaris dikamar. Membuka dan memahami kembali isi tiap halaman rumah atau yang biasa kalian sebut blog, tempat ini. Lama..aku mencermati tiap keping judul hingga remah per baitnya. Aku ternyata serumit tulisanku, mungkin. Karena jujur saja aku harus menyingkirkan berbagai suara hingga dengung sekitar hanya agar pendengaranku sanggup intensif meraba apa yang sekiranya tengah dilahap sang retina.
Aku penulis. Bukankah? Aku tidak yakin. Aku adalah salah satu yang percaya bahwa menjadi penulis adalah kewajiban untuk juga memiliki serbuk ajaib pemanis kata, mantra yang digadang sanggup menjadi sirep bagi pembacanya agar demi apa yang tengah disampaikan tidak hanya sampai kepada mereka, tapi juga menjadi hidup dan bernyawa bagi otak mereka. Dan aku tak memiliki kemampuan untuk menyihir. Jangankan menjadi penyihir, percaya mereka itu nyata dan ada saja masih diragukan. Aku pasti bukanlah penulis. Sekalipun aku pernah membahasakan tentang Kura dan Pemancing Sayu-nya pada suatu hari yang telah lalu, sekalipun pernah kuracik juga dengan apik dan telaten rasa rindu menjadi Semangkuk Cinta Dalam Semur Tahu, sekalipun pernah kucengkeram nyawa seseorang melalui paragrafku yang panjang dan melelahkan. Aku tetaplah bukanlah penulis dengan segala label itu. Yang selama ini kulakukan adalah hanya sekedar membahasakan. Menciptakan tali bagi hati juga hariku yang senantiasa butuh mulut untuk menyalurkan apa yang tengah terasa.
.
Cinta, apa yang menjadi definisi bagi kalian tentang kata satu itu? Akankah ia adalah bumbu? Ataukah dzat maha agung? Atau sekedar kerikil ditengah sungai? Kenapa setiap orang berlomba-lomba menciptakan plang tanda kepemilikan pada ia yang disebut cinta? Akankah cinta memang hadir hanya antar sesama? Sesama manusia yang mengerti, sesama manusia yang sejenis, sesama manusia yang sepihak. Akankah arti cinta memang memiliki makna sesempit itu? Kali ini, maukah mendengar sekelumit singkat tentang penjelasanku? Aku memaksa kalian untuk menjawab, ya.
.
Cinta, sejujurnya terlalu naif untuk bercerita tentang kata satu itu. Aku mendapatkan cinta dari pencipta agungku. Aku menerima cinta dari mereka yang melahirkanku. Aku mendapat cinta dari bocah-bocah kecil yang ku senyumi saat sebelum masuk gang rumah. Dan yang pasti, aku menerima cinta dari kekasih juga mereka yang menyayangi dan menerima kehadiranku. Termasuk juga dari jajaran binatang yang kupelihara dipekarangan rumah, aku tau mereka mencintaiku. Makanan yang kusediakan setiap pagi selalu tandas tak bersisa dan itu adalah bukti nyata adanya cinta.
Cinta itu luas, keluasan yang tak akan sanggup dicernakan manusia kedalam bahasa sekalipun oleh pujangga. Ya, didunia ini memang ada rasa yang tak sanggup dicerna oleh logika. Termasuk ketika aku sepertinya memiliki ikatan dengan para aksara. Aku mencintai paragraf, dari tiap keping kata hingga titik, spasi juga koma. Tak ada yang paham seberapa gilanya aku pada mereka-aksara itu. Untuk itulah rumah ini tercipta. Tempat yang kalian sebut blog, adalah tak lain sebagai kanvas bagi berlimpah ruahnya imaji juga inginku merunut kata per kata. Aku mencintai bagaimana sejumput nada dalam bait tulisan sanggup menghadirkan nyawa, sanggup juga menyuntikkan nutrisi bagi jiwa yg selalunya haus akan asupan. Aku menulis ketika tengah menunggu penanak nasi selesai dengan tugasnya. Aku menulis ketika dingin mulai mengetuk tulang menyampaikan kabar gembira bahwa ia telah berhasil menembus daging dan kulit ari. Aku menulis ketika atmosfir mulai menggigit melalui tatapan mereka yang penuh amarah dan keangkuhan. Aku bahkan menulis ketika semua baik-baik saja.
Ketika gelap malam selalunya melapor padaku tentang kejamnya kalian meracuni pendengarannya dengan keluh dan desahan. Maka gelap malam juga melayangkan protes padaku yang memaksanya menjadi saksi bagi sesi bercintaku dengan tulisan. Menangkapi banyak tanya tentang apa dan kenapa diudara. Merogoh saku demi memunguti remah spasi juga kepingan koma. Melumat banyak aksara hingga sanggup dicerna oleh banyak mata dan nama. Ya, aku cinta aksara. Mereka membuatku merasakan berharga dengan terus menghadirkan diri. Mereka membuatku sehat dengan jalan menyalurkan apa yang kiranya menjadi penyumbat. Mereka membuatku nyaman pada adanya kesepian yang mencekam. Pada akhirnya, memang ada rasa didunia ini yg tak sanggup dicerna logika.
.
Kembali pada pernyataan awal kenapa ketikan ini tercipta. Jadi sebenarnya apa yg menjadikan sebuah tulisan bernyawa dan menjadikan si empunya berlabel kata si penulis? Benarkah memang diperlukan adanya serbuk sihir demi memantrai si pembaca agar bisa tersambung dan merasakan? Bagaimana jika yang aku punya adalah rasa? Cinta pada jajaran aksara yg kerasionalannya masih kucari. Apapun itu, aku adalah yang seperti ini. Hadir dalam kerumitan dimana memang dibutuhkan lebih dari sekedar ada, dibutuhkan lebih dari sekedar mata untuk meraba dan mencerna. Aku tak memaksa dunia paham. Tentang siapa aku dan tulisanku.

Sabtu, 22 November 2014

Satu - Tiga - Tujuh

Musim panas hanya tinggal menunggu hari untuk berakhir. Kita seharusnya adalah sepasang kekasih yang manis, kita seharusnya adalah sepasang kekasih yang menyebar rasa iri pada sekitar karena berlimpahnya cinta kita, tidak..tapi cinta dariku yang melumuri tiap inchi hingga helai rambutmu. Musim panas hanya menunggu hari untuk berakhir. Dan ditempat ini, jalanan ramai di sudut persimpangan adalah tempat pertama rasa itu menetes dan semakin deras setiap detik setelah akhirnya aku mengetahui namamu dan bisa menyentuh tanganmu. Rasa cinta yang tak diizinkan dunia untuk bertumbuh dengan subur.

.

Hari itu adalah pertengahan musim dingin yang mengesankan. Aku yang tak seharusnya menghampirimu malah tanpa bisa kutahan kaki-kakiku berjalan menuju tempatmu berdiri, matamu terasa anggun memandangi salju turun..seakan tiap butir yang menyapa wajahmu adalah benih hidup yang harus terus kau nikmati kedatangannya. Aku yang sebelumnya tak pernah memiliki keberanian untuk memulai harus berjalan diluar jalur aman. Senyum itu, menyapaku dengan sangat hangatnya. Senyum sama yang mengantarku pada malam-malam penuh adanya harap dan cinta. Ya aku jatuh..pada tawa yang selalu tergores diwajah manis itu. Ya aku jatuh..pada mata yang sesekali menggulirkan butiran emas dalam kedukaannya. Tidak. Tolong, jangan biarkan butiran berharga itu jatuh. Tidak. Tolong, jangan biarkan mata yang memancarkan luka itu menghabisi pernafasanku. Karena ternyata ikut kurasakan denyut sakit disetiap tetes air ditelaga matamu. Wajah manis, tawa yg mengagumkan harus tetap terlukis disana. Harus tetap berada disana, tak peduli jika senyum itu harus datang dari ia, gadis berkuncir yang sangat kukenali. Tak apa jika senyum itu harus berkembang karena ia yang akhirnya mau melihat peluh dan perjuanganmu demi mendapatkannya. Tak apa, abaikan saja aku yang tetesan cintanya mendadak beku dan menghujani tiap inchi permukaan hati. Aku tak apa, setidaknya mau menjadikanku tempatmu berbagi airmatapun adalah suatu yg sangat berharga. Aku tak apa, musim semi akan datang dan membawa pergi juga pasti rasaku yg semakin terasa melelahkan langkah. Dan kau akan bahagia. Bersamanya.

.

Waktu telah berlalu dengan sangat lama ketika terakhir kali kita kembali terlempar dijalanan yang sama. Tapi hari itu bukan senyumku yg mengembang dan menghapuskan airmata diwajah manismu. Hari itu berbeda, ketika engkau dengan sepenuh dayamu bercerita tentang kebahagiaan yg akhirnya bisa kau peluk, dan aku dengan lelehan airmata pengakuan..pengakuan tentang rasa irasional yang membuatmu beku. Hanya beku dan berkata semua hanya candaan semata. Aku tak mungkin menyukaimu, itu penyangkalan terakhirmu sebelum semua semakin memburam dan langkahmu perlahan menjauh dari tatapan. Jauh dan semakin jauh, bahkan jika aku memaksa berlari dan menggapaimu, tangan itu tak akan bisa ku sentuh, senyum itu tak akan bisa kumiliki. Waktu telah berlalu dengan sangat lama ketika akhirnya semua harus menjadi seperti ini. Kita seharusnya menjadi sepasang kekasih yg manis, bukan malah menjadi sepasang orang asing yang tak saling mengenal.

.
Hari ini aku kembali berdiri di jalanan ramai di sudut persimpangan. Musim panas hanya tinggal menunggu hari untuk berakhir. Mataku sesekali terpejam erat, lama. Dan ketika kembali membuka mata, kuharap sosokmu ada disana, disudut yg sangat kuhafal letak persisnya. Aku berharap sosokmu akan datang meski hanya sekali dan menghadirkan lagi padaku senyum manis yg pernah menawanku dengan sangat kuatnya. Dan akhirnya harap tinggal harap saja. Aku melangkah meninggalkan sudut persimpangan dengan dagu menantang langit. Aku adalah manusia kuat. Tak akan kubiarkan diriku lemah hanya untuk rasa yg bahkan tak layak disebut cinta. Tak akan kubiarkan diriku lemah untuk rasa yang telah menghujaniku dengan kerasnya selama banyak musim. Setidaknya aku pernah memiliki keberanian untuk melangkah menujumu. Setidaknya aku pernah merasakan sentuhan tanganmu. Setidaknya aku pernah mengusap butiran langka yang menetes dari pelupuk matamu. Berjalanlah dengan baik. Dan kelak ketika kita harus dengan tanpa sengaja bertemu, tatap aku dengan senyum manis itu. Berjalanlah dengan baik dan aku akan mendoakan untuk tetap bertahannya senyum diwajah manismu itu.

.

Tak ada yang harus ditangisi lagi hari ini. Musim semi telah datang, dan sekalipun rasa itu telah dipaksa terhapus dari memoriku. Ketika aku berjalan dipersimpangan itu, denyut sakit yang telah membasi seperti bangkit dan membangunkanku. Hiduplah dengan baik dan ketika kelak kita harus dengan tanpa sengaja bertemu, tatap aku dan tetaplah tersenyum manis seperti pertama kali musim dingin menjadi saksi untuk pertemuan kita. Cinta itu ada dan sepertinya kita memang tidak digariskan menjadi sepasang kekasih yang harus terlihat manis. Sekalipun cintaku lebih deras membanjirimu ketimbang aliran cinta miliknya. Tak apa, karena hatimu tak sanggup melihatku. Hiduplah dengan baik dan tetap tersenyum dengan manis. Musim semiku telah datang dan selamat tinggal.

Anonim Berdarah Klorofil

Hari itu istimewa..ketika ku buka mata dan berhasil ku kepakkan sayap bercorak milikku. Hari pertama dimana aku akhirnya mengetahui bahwa diriku bukan lagi sesosok kepompong yg melingkar manis dalam perjalanan hibernasinya dilekukan daun hijau ditengah pematang. Aku bahagia, sungguh tak pernah kucicipi kebebasan melegakan seperti yg tengah kurasakan itu sebelumnya. Kaki-kaki yg sebelumnya terjerat dalam lumatan sarang, mata yg sebelumnya juga tersudut hanya bisa memandang sebatas ruang inapan semata. Keberhasilan metamorfosa yg hanya sepertiga dari harapan. Semua keterbatasan itu terbayar oleh waktu yg menghadirkan padaku dua sayap indah dipunggung. Aku adalah sejenis kupu-kupu. Ya,
hari itu takdir telah mengutukku menjadi makhluk yg sanggup mengangkasa dengan sayap beracun nan indah mempesona. Kalian pernah mendengar fakta bahwa serbuk yang menaburi halus permukaan sayap kupu-kupu adalah ternyata sejenis racun? Ia bukan racun sebenarnya. Serbuk halus itu adalah salah satu tameng untuk melindungi diri dari dekapan tangan-tangan liar. Alam memang penuh sihir. Diciptakanlah aku dalam warna mencolok juga beragam ditiap lekuk sayap, dan wush!! Celup keindahan itu tak lain adalah tameng baja. Sejenis perisai dikalangan pembuat pagar halaman, atau mungkin sejenis mantra kontradiktif dalam pelajaran sihir diseberang sana.

.

Aku bahagia, akhirnya secara bertahap kutemukan duniaku. Menikmati celah ruang ditiap sudut bumi dan langit. Menyusuri tiap tangkai bait aksara dan mencucupnya dalam mantra. Menikmati juga warna celupan alam selain hijau daun dan putih sarang rumahku.
Dari setiap inchi kebahagiaan yang menyelimutiku..ada satu yg masih mengikat kakiku sebenarnya. Ya, daun masih belum siap menerima transformasiku menjadi kupu-kupu. Daun hijau ditengah pematang belum sepenuhnya bisa menerima adanya perubahan alam. Entah apa yg mengikatkan kakiku dengan partikel klorofilnya, entah apa pula yg telah ku doktrinkan dalam darah hijaunya hingga kini ia sulit untuk melepaskan.
Malam-malam terakhir sebelum masaku datang menjadi makhluk penjaja angkasa, daun hijau ditengah pematang itu mengirimiku surat dalam ujud getaran. Ia memintaku agar tetap tinggal. Ia memintaku untuk tetap bertahan. Tidak taukah ia, keberadaanku yg dipaksakan hanya akan mendatangkan kematian? Aku digariskan untuk menjadi kupu-kupu. Sebelum kemudian mati benaran karena usia atau jamahan alam. Tak taukah ia keberadaanku yang dipaksakan hanya akan menghadirkan kecacatan? Aku dalam balutan putih rumahku, yg abadi tanpa ada metamorfosa lanjut menjadi makhluk penjajah angkasa. Aku tanpa nyawa dalam balutan putih rumahku yg akan menempeli ruang tulus juga murni lembaran daun hijau ditengah pematang. Dan sesungguhnya hadirku yg dalam kecacatan sebenarnya adalah hanya noda untuk kebersihan ruang memori juga harimu. Bahkan jika format diri kupu-kupu harus dilalui dengan terus menjadi inang dalam helai tubuh si daun hijau hanya akan menyakitinya perlahan karena kontaminasi serbuk racunku? Tidak sadarkah engkau, wahai daun hijau? Tak ada yg mudah untuk setiap perubahan. Dan pernah kujanjikan disatu masa bahwasanya kita akan tetaplah menjadi kita sekalipun kita beda dunia. Lupa dengan perkataanku satu itu? Setidaknya izinkan aku berbagi bahagia dengan jalan telaten membukakanmu mata.

.
.

Daun hijau ditengah pematang yg masih dalam kegigihannya untuk bisa paham. Daun hijau yg pernah menjadi pesinggahan nyamanku dalam melewati waktu berhibernasi. Daun hijau yg pernah kuminta pada pencipta agar namanya tercatat rapi dalam tulisan ilahi menjadi teman abadi dalam dunia yang tak pasti ini. Daun hijau yg pada akhirnya menggores permukaan kulit tipisku dalam pengabaian adanya kehadiranku. Ya, ia tau aku masih rentan, ia paham aku tengah dalam labilku dan ia sangat paham aku tak memiliki teman. Tapi penolakannya untuk menjadi teman beda darah, udara dan aksara dimalam dengan suhu mencekik itu menjadi tamparan tersendiri. Ia tidak paham jalanku. Aku tak diizinkannya kembali singgah.

.

Dear daun hijau ditengah pematang..siapapun engkau nanti, malam lusa dan kemarin. Aku tidak tau apa yg dituliskan, bicarakan..dan apa yg engkau inginkan. Sosokmu ini siapa? Aku kenapa? Sungguh aku sendiri tidak tau kenapa harus memilih menjadi monster kali ini. Tolong maafkan dia, maafkan kekanakannya. Dan maafkan juga keputusannya. Tunggu sebentar lagi, dia labil..monster itu masihlah kupu-kupu yg tidak pernah tega melihat mangsanya terluka. Tunggu sebentar lagi, sampai hujan mengikis hati batu juga otak gilanya. Tunggu sebentar lagi..sampai waktu menyembuhkan semuanya juga berkata, Ya! maafkan aku juga.


.

Aku tau daun hijau ditengah pematang memahami baitku kali ini. Aku harap ia paham. Kehidupanku haruslah ditapaki dengan berjalan. Mencuri sesuap sinar cahaya, dan mencari ranum putik sari untuk dijadikan cadangan kekuatan esok dan selanjutnya. Sementara ia, darah hijau telah membanjinya dengan cinta tanpa perlu ia meraba.


-teruntuk, anonim berdarah klorofil didaratan seberang-

Sabtu, 15 November 2014

Aku Ingin Pulang

Sajak mencuat dari jajaran kata. Menyanyikan rintih yang tak bernada. Dan sungguh tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang kesedihan yang tak bisa ditangiskan.

.
.

Aku pernah memasuki dimensi waktu, saat dimana tak pernah kuangankan sajak bertepi ini akan tercipta. Aku pernah tertawa, aku pernah menikmati dunia, aku pernah merasa terlengkapi sekalipun keberadaanku hanya sekedar sebagai pelengkap. Mencoreti langit dengan banyak warna, menggulung ombak pantai sebelum akhirnya melepas dan menikmati deburannya. Menaiki pijakan tangga, mengintip celah surga. Bermain diantara celah warna pelangi dan berayun diawang yang sanggup menahan gravitasi manusia. Aku pernah bahkan sekali menaiki tangga awan, melongok kerak bumi. Menikmati sejenak dunia tanpa nama dan batasan diluaran bola bumi yang tengah ku singgahi. Aku pernah bahagia, sebelum akhirnya menginginkan untuk pulang.

.
.

Kemanapun aku pergi, bayang-bayang gumpal kenangan selalu mengejar. Terus mengejar bahkan hingga celah tersempit persembunyian. Ia menemukan. Mengenaliku dalam berbagai topeng yang ku kenakan. Aku merasa letih dan ingin sendiri. Sesuatu yang hadir dari celah otakku pun sanggup memaksaku untuk menjerit takut. Kebahagian yang hadir dari celah jepitan tak pernah ku sangka akan meninggalkan rekam jejak sekuat ini. Aku merasa lelah dan ingin sendiri.
Dalam perjalananku menuju pulang, kusapa satu-dua-enam orang. Kutanya pada siapapun yang kiranya memiliki nafas. Aku siapa, aku kemana, mereka kenapa. Namun tak ada yang menjawab. Tak ada yang sudi menghentikan langkahku mencari tempat yang ku sebut sebagai tujuan pulang. Namun tak ada yang menjawab, karena memang semua peristiwa hanya terjadi dirongga dada. Karena memang aku tak bertanya, hanya sekedar memandang dengan tatapan sarat makna. Dan mereka tak memahami percakapan antar mata. Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. Dan aku tak pernah berani mengungkapkan.

.
.
Aku mencari jawaban dipantai. Bertanya pada pasir, pada sayup angin, pada ombak yang menyapa. Aku siapa. Aku kemana. Mereka kenapa.
Dan sayup perlahan seperti kudengar satu suara. Oh mungkin itulah jawaban. Dimana? Dimana? Suara itu.
.
Kemanapun aku melangkah, selalu mengikutiku ia tanpa lelah juga jera. Perasaan yang bersalah. Menghantui setiap sendi, menghantui setiap penglihatan. Perasaan yang bersalah hanya karena aku pernah memutuskan untuk pulang. Masih mungkinkah kini, aku membuka pintu itu..tidak untuk kembali, hanya ingin sekedar bertamu dan mengucapkan salam perpisahan dengan lebih alami dan kerelaan.
Masih mungkinkah kini, aku membuka pintu itu..dengan kunci sama yang pernah ku patahkan. Dan mungkin memang, tak ada obat yang lebih tepat selain waktu untuk menyembuhkan kekecewaan. Lihatlah, aku terkapar dan luka. Gorong-gorong bahagia dalam jepitan yang kini terbungkus kenangan mencabikku. Meloloskan banyak butir tangis penyesalan. Harusnya dulu, kulepas engkau lebih dengan kealamian juga kerelaan.
Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. Mimpi hadir justru laksana samurai tipis dengan gagang berbisa. Dalam mimpipun sering kudapati diri tengah menyeraki, tengah membersihi, tengah menepati. Masih mungkinkah, pintu itu terbuka. Dengan kunci yang pernah ku patahkan. Bukan untuk kembali, tapi hanya sekedar bertamu dan mengucapkan salam perpisahan dengan lebih alami dan kerelaan.
Dengarkanlah jeritan tangis dalam jiwa, dengarkan raungan batin yang menginginkan pulang. Kembali pada kedamaian. Tanpa lagi mimpi-mimpi tentang adanya menyeraki, membersihi atau sekedar balas budi. Aku merasa letih dan ingin sendiri. Sendiri dan hanya sendiri, bahkan tanpa adanya genangan memori membanjiri. Karena kebahagian yang hadir dari celah jepitan bukanlah yang aku impikan. Ia bukanlah si immortal. Mungkin saja hanya kompensasi demi tetap ada sedikit alasan untuk tetap bernyawa. Aku pernah bahagia sebelum akhirnya menginginkan untuk pulang. Biarkan aku pulang. Biarkan aku pulang.


.

Aku ingin pulang, kembali kepada tempat dimana tak kudapati adanya kalian. Menguliti sendiri kenangan dalam kebahagiaan yang hadir dari celah jepitan. Bukan. Bukan seperti ini kepergian yang ku inginkan. Memaksa kerelaan hadir dari pihakmu dan juga dari angkuhku. Tapi bukankah semuanya sudah hanyalah tinggal sebuah kenangan? Karena aku telah memutuskan. Karena aku telah dalam jalan menuju pulang. Dan kebahagiaan yang hadir dari celah jepitan bukanlah yang aku impikan. Meleburlah bersama jajaran kenangan, sudilah untuk iba padaku yang kini tengah tersiksa. Menahan perih gorong yang hilir mudik menyapaku dalam mimpi mengerikan. Aku ingin pulang. Biarkan aku untuk pulang.

Tangisan Anak Rimba

Alam tak pernah sudi berdusta untuk menutupi ketidakadilan yang diterapkan anak rimbanya. Dan jamur, tumbuhan bertudung manis itu adalah satu dari sedikit kawanan disana yang berani menggeliat memanggil nurani yang terus terkikis aspal.

.

Aku dan jamur adalah kawan. Menjalin hubungan dengan mengandalkan getaran halus bernama perasaan bawah sadar. Kami adalah sebuah interaksi yang sulit dipahami. Menggulung banyak skema juga tanya hanya dengan terus manut pada kealamian. Dan petang ini berbeda, jamur memilih interaksi yang tak biasanya untuk menyentuhku. Yakni dengan bercerita.
Ia menangis, ketika mulai membuka percakapan dengan satu saja tanya kenapa. Ia menangis dan membiarkan tudung putihnya tercoreng aliran air mata berwarna hitam yang menguap deras dari retina. Ia bercerita tentang adanya ketidak adilan ditengah rimba. Ia bercerita tentang mewah yang dipanggul salah satu penghuni rimba sebagai alasan hadirnya kecemburuan tak berlogika. Ia terus bercerita hingga alam terpaksa mencuri dengar apa yang kiranya tengah terjadi pada salah satu anak rimbanya.

.
.

Alam, kenapa aku harus melihat begitu banyak kebobrokan? Bahkan dalam keagungan luasmu masih kudapati pula tangis lara ketidak adilan. Alam, kenapa aku harus menjadi jawaban? Menjadi tangan dari keluh si jamur hingga akhirnya engkau mengetahui dan tersadar.
Aku adalah segumpal lumut diantara rindang pohon juga lebatnya hutan. Dan pertemananku dengan jamur adalah ketidaksengajaan yang ditakdirkan untuk ada. Kejujuran itu, dimanakah kejujuran seharusnya berdiri lantang tanpa harus takut akan adanya turun jabatan? Kejujuran itu, kemanakah harus berlari, menghinggapi dan menaungi bukan justru menjadi momok yang terus dihindari? Ah alam, aku tau engkau melihat lebih seksama dari apa yang sanggup diperjelas oleh mata istimewaku. Ah alam, aku tau engkau berdiri disana sebagai ibu beserta dekapannya yang akan menyapa tiap anak rimbanya tanpa memandang spesies juga volumenya. Dan bukan sebagai hakim yang dengan mulut besarnya justru menggilas adanya kejujuran yang mencuat dari tudung suci sebuah jamur dibelantara tanpa nama. Akankah kejujuran yang berdiri sedemikian agung harus hidup terkaveling kaveling? Dan mataku memang tak sehalus pujangga, ia menuangkan apa yang sekiranya tengah dirasa dan bukan justru mencari bahan disemak tak terduga.

.
.

Dear alam, sekiranya belum terlalu larut untuk meminta padamu sejumput kehangatan. Sudikah engkau menurunkan hujan bagi kami, dataranmu yang haus akan adanya keadilan. Terlalu banyak mata tertutup untuk adanya kesenjangan ini. Pohon jati menjadi salah satu diantara jajaran mereka yang tak mengenal dosa. Pohon paku dengan gagah dan keanggunannya menyilaukan mata konsep emas yang memenuhi tiap inchi gaun yang dikenakan bahkan hingga ujung akarnya. Dan ah, ataukah keadilan adalah sesuatu yang mahal untuk bisa menyentuh kehidupan sekumpulan jamur kawanku? Aku harus tidur, aku tau aku harus tidur. Memahami sebentar apa yang menit lalu diperlihatkan oleh mimpi padaku, mengerti sebentar yang hari lalu diceritakan oleh tumbuhan bertudung manis padaku.
Mungkin dengan ikut memejamkan mata, bisa kutemukan jawab tentang pertanyaan antara limapuluh berbanding tigapuluh dan empatlima. Mungkin dengan ikut memejamkan mata, bisa kumahfumi keberadaan sayang berlebih pada mereka yang justru telah menjulang menenteng nama.

.

Dear jamur kawanku. Ingatlah sekiranya alam tak pernah sudi berdusta untuk menutupi ketidakadilan yang diterapkan anak rimbanya. Ia akan menurunkan hujan, yang kelak menghujam juga mengoyak mereka yang dengan angkuhnya mengerdilkan keberadaan kita. Dear jamur kawanku, sekiranya engkau akan terus mengingat. Sekalipun kita harus menyapa dalam bahasa yang tak sama. Tapi dataran kita tumbuh berada dalam jangkauan mata yang tak jauh beda. Ku saksikan bagaimana engkau perlahan tumbuh tanpa tudung dari balik rerimbunan daun kering yang jatuh ke tanah. Ku saksikan bagaimana engkau tersenyum cerah mendapati kenyataan engkau sanggup lahir dan menyapa matahari. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Alam telah mengetahui melalui mata istimewa yang secara alami hadir ditiap ujung jemariku. Alam telah mendengar melalui beraninya engkau berjalan dalam setapak yang tak biasanya. Dan ingatlah...aku, engkau juga mereka adalah anak rimba yang memiliki andil sama. Tak harus alam yang turun tangan menegakkan keadilan. Karena merekapun kelak akan menurunkan peringatan ketika alam terlalu patuh pada keluhan kita. Tak harus alam yang harus meluruskan jalanan dan menyeraki dedaunan diantaranya. Engkau hanya membutuhkan keberanian dirimu untuk bisa mendapat keadilan. Dengan jalan manut pada apa yang tengah menuntunmu menuju kemuliaan. Rimba memang seperti ini. Rimba memang tak hanya tentang satu dan dua. Tapi rimba adalah tentang ribuan bahkan jutaan umatnya. Mari kita coba beralih jalan. Bersalaman dengan musang yang mungkin lebih ramah dan berkawan ketimbang mereka yang tak sudi merunduk demi menggapai genggaman.

Kamis, 30 Oktober 2014

Ketika Tinta Mulai Meleleh

Aku melepas terlalu banyak orang untuk beberapa waktu terakhir ini. Beberapa dari mereka pernah kuharapkan tetap ada hingga akhir masa. Selebihnya pernah diharapkan tetap terjaga baik hingga aku menutup mata. Sosok-sosok yg tak lagi muat untuk kukenali namanya, tapi hafal aroma ketika mereka mulai berada dalam jangkauan indraku. Dan dari kesemuanya, hanya satu yg tak akan kulepas apapun pertimbangannya.
Ia adalah yang terlahir dihari yg sama denganku. Melangkah dalam waktu juga langkah yang terkadang tak sejalan, tapi apapun dan kemanapun aku menuju..kaki-kaki ini selalu hanya akan kembali padanya.
Ah..patner hidup yang manis.

.

Sebelum hari ini, pernah kujaga hati agar tak goyah pada apapun yg sekiranya terbumbui kata, 'hilang'. Pernah kutegarkan jiwa agar tak terlalu limbung pada adanya penopang yg terpaksa melakukan undur jabatan sebelum mati terkapar. Pernah kurapatkan telinga, mata, bahkan segala indra agar ketika nanti harus kulangkahi hari sendiri tak ada efek drama yg membuat semuanya terasa mengerikan. Persiapan menyambut teman agung bernama kesenyapan. Dan ketika masa itu datang tak pernah kuduga jika kehilangan yang berturut-turut sanggup menjadi parasetamol bagi tubuh yang senantiasa merindukan adanya kenormalan. Aku mencari teman, mengumpulkan banyak nama dari berbagai belahan dunia. Berharap dari jalinan yang terikat diantara semuanya sanggup menghadirkan satu saja kelengkapan jiwa. Aku berbagi rasa, berbagi nyawa dengan segelintir umat yang sekiranya sanggup memenuhi kriteria untuk kuserahi sebungkus kado bernama kepercayaan. Dan sejauh ini aku masih dikecewakan. Tak ada yang sanggup bertahan lebih lama dari apa yg pernah dilakukan ia, patner hidupku.

.
.

Hilang pernah menjadi sebuah misteri. Bagaimana waktu menjulurkan lidah demi mengucap adanya janji, dan waktu juga yang merontokkan segala asa hingga akhirnya tak ada remah yg tersisa. Jangan pernah merasa tersakiti pada adanya janji yang tak terpenuhi. Jangan mengizinkan dirimu terlukai pada adanya perubahan adab yang seringnya menggoresi gumpalan daging bertekstur lembut berjuluk perasaan. Tak ada yg akan tetap berpijak seperti ditempat awal kehadiran karena memang tak ada yg bisa abadi dalam dunia nan maya ini. Termasuk juga engkau yang tengah berharap pada adanya kekekalan. Sadarkah betapa egomu memaksa terlalu dalam sebuah kehadiran? Dan sejatinya tak ada keberadaan yang lebih diharapkan dari ia yang rela datang dengan kealamian. Tak ada yang pernah berhasil memahami esensi satu ini. Memaknai kata bahwa mengalir berarti harus sejalan. Memaknai kata bahwa bersama adalah kemutlakan.
Aku tak sepemikiran. Dan kalian tak paham.
Hilang pernah menjadi misteri yg sangat diminati para penggemar drama kehidupan. Menangisi adanya kehilangan adalah hal terwajar dalam siklus satu itu. Dan yeah..aku manusia, kita sama..aku juga pernah diterjang badai kehilangan seperti kalian. Dan pertahanan terhebatku menghadapinya adalah dengan menjadi monster berke-egoisan giga, menjalani trik para jawara gulat didunia. Memukul sebelum terpukul. Hilang sebelum dihilangkan. Dan berpura-pura tegar sebelum mati terjerembab karena dirobohkan. Aku memilih untuk tidak menangisi, aku memilih untuk memetik buah pengetahuan. Karena pada dasarnya kehilangan adalah simbol lingkaran pada adanya kehidupan. Sesuatu yg tumbuh harus bersiap mati. Tapi jangan sekalipun izinkan dirimu ikut mati bersama ia yang pernah hidup. Maafkan aku yang terlalu keras membentengi diri dari ke-mainstream-an kehidupan. Menjadikan engkau, ia dan mereka adalah jalanan aspal yang harus dilalui dan bukan persinggahan terakhir yang tengah kucari. Mengajakmu memahami ini akan sedikit berat juga merepotkan. Dan berharap pada kalian agar paham ketika masa datang untukku menghilang sebelum dihilangkan adalah sesuatu yg wajar, sejauh ini pula jawaban yang kuterima masih mengecewakan. Let go, let flow.

.
.

Jangan membebani setiap pertemuan dengan terus melibatkan perasaan. Jika engkau tergores karena harus membaca kejujuran malam ini, ketahuilah yang tengah kulakukan sebenarnya adalah tengah merengkuhmu dan mengajakmu melakukan persiapan. Jangan merasa tersakiti ketika harus kujadikan aspal lintasan. Setidaknya kulalui engkau beserta waktumu dengan mendedikasikan daya terbaikku untuk mengisinya. Kecewa dan marahlah pada ia atau bahkan dirimu yang memaknai setiap adanya pertemuan adalah satu pintu pengharapan akan adanya yg kekal. Kebohongan yg fana berlipat memiliki tajam lebih ketimbang kejujuran yg datang menyakitkan.

.

Maafkan aku untuk berkata setegar ini, sekalipun sejujurnya ketika datang ombak dimana satu-demi satu diantara kalian menghilang ditelannya, aku tetaplah menjelma bak bocah kecil dengan segala keterbatasannya. Membanjiri guling dengan ingus juga limpahan airmata, memaki diri karena tak kunjung memahami dan sadar bahwa seharusnya tak kusandarkan harapan pada adanya kekekalan. Menjadikan semuanya pelajaran dan kembali melangkah bersama diriku yg kusembunyikan. Aku, patner hidupku.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Season In The Sun

Musim semi menyapa, angin berhembus sejuk dari waktu matahari terbit hingga terbenam. Bahkan malam adalah saat yang manis sekaligus tenang untuk sekedar menikmati pelataran. Burung-burung berkicau dikala siang, mengitari hamparan langit membiru dengan sedikit awan, dan taman juga jalanan terpenuhi oleh anak-anak dengan tangan kotor lumpur, tapi lihatlah tawa mereka mendera tulus dan penuh kealamian.
Selamat tinggal teman kecilku..kita telah saling mengenal baik dari umur lima atau enam tahunan. Bersama kita mendaki bukit, menuruni jurang, memanjat pohon, juga menyeberangi sungai. Waktunya sudah berlalu sangat lama ketika kita pertama kali bersama belajar mengeja cinta, tangan kita berlari menggunduli semak dan menggali aksara. Dan dari kesemuanya, hati kita terkadang harus tergores karenanya, lutut kita mengatuk batu jalanan tapi tawa sehalus kapas tak pernah berhenti hadir mewarnai hari. Tak jarang kita berdebat juga bermusuhan. Tapi pada akhirnya kita akan saling bergandengan.
Selamat tinggal teman dekatku, terasa sulit harus mengucapkan perpisahan disaat musim justru tengah dalam masanya untuk tumbuh dan berkembang. Lihatlah keatas, tempat matahari tersenyum dan awan menari-nari menyapa, juga lihatlah burung berputar menyanyikan keriangan. Ketika esok datang pangeran tampan menghampirimu dan mengetuk pintu rumah juga hatimu. Saat itu ingatlah aku maka aku akan datang memberimu pelukan dan kita akan menikmati masa bahagia bersama. Atau jika esok gelombang dan dinginnya musim mendatangimu bergantian, saat itu ingatlah aku maka aku akan disana memberimu penguatan bahwa engkau tidak sendirian. Karena aku tau, dingin selalu membekukan tubuh dan membirukan wajahmu. Aku menyukai dingin, tapi engkau bermusuhan dengannya. Dan tanganmu selalu berhasil menghangatkanku disaat aku terlalu lama menggenggam butiran salju, dan bara diwajahmu selalu bisa menyalurkan kehangatan. Kebahagiaan.

.

Kita telah bersama..memasuki musim semi yang lalu, menggigil bersama dimusim dingin yang lain. Dan tertawa mendaki bukit ketika musim panas menyapa.
Selamat tinggal teman baikku. Sungguh tidak mudah untuk mengucapkan kata perpisahan. Dan sekalipun aku tidak menyukainya aku harus mengucap itu sekarang dan kau harus terus mengulang untuk mendengarnya agar perpisahan ini terjadi dengan kealamian. Seperti musim panas tahun lalu saat kita masih menyempatkan bergandengan, sebelum musim dingin datang dan kita harus berpisah demi tugas yang masih menumpuk hingga akhir musim datang. Kita bersenang-senang, kita bersenda gurau, kita tertawa menikmati datangnya musim panas. Dan hingga saat musim itu berakhir, berganti dengan musim lain kita tak menyadari dan lupa mengucapkan selamat jalan.

.
.

Selamat tinggal ayah tolong berdoalah untukku. Aku mungkin pernah menjadi arang untukmu. Engkau telah mengajarkan padaku tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Memukul tanganku jika aku salah dan menghardikku ketika aku terlalu banyak membantah. Selamat tinggal ayah. Untukmu, berlipat lebih sulit untuk mengucapkan perpisahan terlebih setelah puluhan musim terlewatkan tanpa adanya alpa kebersamaan. Dan aku kagum ketika kita ternyata bisa melalui banyak airmata juga tawa selama ini.
Selamat tinggal ayah, tengok ladang halamanmu dan lihatlah kelangit atas, tempat kita biasa menghabiskan hari membabati rumput, menamani sayuran atau sekedar berlarian. Juga tempat kita menikmati sepiring kue hangat sambil menontoni langit oranye diufuk barat. Ketika engkau mendatangi taman diujung jalan atau dimanapun yang kiranya kau dapati banyak anak tengah bermain dan tertawa, maka tersenyumlah karena aku tengah ada bersama mereka. Tersenyumlah bersama mereka karena aku juga tengah menikmati musim yang terus bergulir seiring langkah mereka.

.

Kita telah bersama. Melewati banyak malam, melalui tak terhitungnya siang. Terlalu banyak minuman tertuang, juga lagu yang terputar untuk dijadikan latar kita menertawakan kehidupan.
Sungguh tidak mudah untuk mengucap kata perpisahan. Dan sekalipun aku tidak menyukainya aku harus mengucap itu sekarang dan kau harus terus mengulang untuk mendengarnya agar perpisahan ini terjadi dengan kealamian.

.

Kita bersenang-senang, kita bersenda gurau, kita tertawa menikmati datangnya musim panas. Dan hingga saat musim itu berakhir, berganti dengan musim lain kita tak menyadari dan lupa mengucapkan selamat jalan.

Jumat, 24 Oktober 2014

Menyandera Malaikat [Catatan Terakhir]

Alunan nada menyapa tanpa suara, membiarkan nuraniku mengeja apa yang tengah sebenarnya ingin disampaikan pada dunia. Tentang kisah, cinta, tentang dia makhluk tunggal yang terus membekap hingga mulut hati.

.

Hembusan dingin mulai menyapa lirih permukaan pori tanganku. Meremangkan dalam hening bulu-bulu halus tanpa identifikasi lengkap dipintu utama lapisan kulitku. Hari itu berbeda, hari itu bahkan aroma yang terhisap rongga batinku pun tak sama seperti sebelumnya. Semua terasa lebih sarat makna seperti hendak menyambut datangnya sang agung yang detik nanti menyapaku dalam balutan sempurnanya. Symphoni lembut menuntun untukku menutup mata erat dan lebih erat lagi. Memaksa juga untukku terus memaki sendiri karena tak kunjung juga menemukan titik nyawa. Satu titik yang diharap itu adalah awal untuk kehidupan yang lebih hidup milikku. Dan lima tahun datang, tetap dalam aroma yang tak menua, dalam balutan yang terlihat sangat nyata bersama dengan kepak sayap merumbai malu di balik punggung tak bercela. Aku pernah mendekap makhluk bersayap.

.
.
.

Senyumnya kembali terukir ketika aku menghela nafas mencari sebuah sentuhan dicelah hembusan paru. Kusentuh perlahan dagu mencuatnya. Lekuk gores Tuhan yang sangat sempurna. Sungguh tak lagi terhitung berapa banyak kekaguman yang terucap hanya dengan menikmati untuk menyentuh makhluk tanpa asa itu. Namanya..aku tak mengetahui namanya, sosok indah yang tengah terpejam terlihat sangat meresapi usapan tanganku. Menelusuri garis indah wajahnya..sosok yang kutemukan lima tahun lalu tergeletak manis penuh bertabur bulu sayap yang mengoyak karena terlalu menukik jatuh bukan dialamnya. Tanganku kembali menari menghabiskan segala keindahan yang tersaji dengan khayalan meluber.


"Terima kasih sayang untuk telah turun ke bumi kecil milikku. Terima kasih sayang untuk senyum yang terus terpaku disana tanpa harus mempertanyakan satu saja jawaban keberadaannya. Lima tahun aku memilikimu, dengan tanpa batas menikmati setiap bahkan satu saja titik peluh yang mencair dari ujung porimu. Kulitmu teramat sensitif. Ketersensitifan yang tak kunjung kutemukan celanya. Bahkan dalam gempuran atmosfer yang berbeda kau tetap tak apa..menyunggingkan gigi rapi tanpa ada ringis kesakitan, dan ketidak sempurnaanmu ada pada tak ditemukannya titik celamu..."


Kepak-kepak sayap besarnya dengan perlahan mengembang menunjukkan kuasanya padaku. Dalam kemayaan yang menyelubungi pasti detik sayapnya menyapa udaralah saatnya untukku terkagum memasangkan wajah terbodoh mungkin.

Ia malaikat, satu hal yang tetap tak bisa ku pungkiri irasionalnya kenyataannya. Lima tahun aku menyekap malaikat indah nan elok disekat ruangku, iya..hanya didalam sekat milikku. Menyapanya kapanpun aku mau. Menikmati setiap jengkal lengan kekar miliknya untuk kujadikan sandaran disaat aku lelah. Menuangkan segala apa yang tak bisa kubagi dengan makhluk lain yang selalunya hanya bisa meninggalkan rekam jejak mengerikan untukku. Dengan tanpa batas juga mengecupi setiap incian manis permukaan tanpa sudut miliknya. Berbagi segala penat berbincang tanpa henti dan tanpa mengenal waktu juga. Meski yang terlihat hanyalah diam hampa tanpa ada sekelumitpun pembicaraan yang tercipta tapi nyatanya kita memang tercipta ajaib. Saling mengucap dalam bahasa hati. Sebuah candaan lepas yang seringnya datang malu-malu dibalik wajah sebuah Memorandum of Quantum. Menyisakan senyum masing-masing yang menyapa hangat secara nyata.
Jangan mempertanyakan ataukah dia tak memiliki daya untuk memberontak dari sekapan paksaku. Karena satu nafas takdir telah dengan sangat rumitnya menyimpul matikan ikatan mutlak tanpa formalitas milikku. Lima tahun untukku ketika harus terjebak manis dalam hidup pengap sebuah pita suara satu sosok bersayap. Lima tahun untukku ketika harus mengendap-endap sembunyi dari mata dunia hanya agar tak seorangpun tau bahwa aku memiliki segalanya disekat kecil milikku..kekasihku, keajaibanku, bantal hangatku, malaikat tampanku, bintangku, dan segala apa yang hanya bisa menjadi khayalanku ada dibalik tangannya.
Bukankah jika kubukakan mata hati mereka dengan secuplik cerita tentang keberadaan semua itu hanya akan menyudutkanku pada penggeseran mutlak sel kewarasanku? Aku terlalu benci untuk sekedar mendengar cacian apapun yang memperjelas ke-abnormalanku.

.

Terimakasih sayang, untuk perisai yang terhunus manis pada apapun yang selalunya mengendap melumpuhkan pertahananku karena terlalu sempurna untuk bisa menyandra satu sosok indah bernama malaikat dalam kehidupan nyata. Satu bingkisan terima kasih yang tak akan terhenti terucap begitu saja meski semua nada berhenti menyuarakan aroma lembutnya. Satu ucapan terima kasih karena telah dihadiahi kesempatan memiliki sebelum akhirnya dunia murka karena mengetahui dan berakhir mengalir, tanpa lagi ada satupun hembusan yang tersisa. Dengan pasti meninggalkan lembaran kanvas penuh beralaskan guratan kenangan..sel kecil yang menempel lekat pada nadi waktu yang mati. Lepas. Namun tidak hilang.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Kiamat Personal

Angin berhenti menyapa. Darah mengental dan bergumul diareal yang tak berguna. Ketika harapan sirna, adakah yang lebih mengerikan dari sebuah manekin tanpa kepala?

.

Bulan dipenghujung tahun seperti baru menyapa dalam beberapa hitungan harinya. Tapi aroma yang tercipta seperti bau buku tua dengan segala kebosanannya. Lama. Lama sekali.
Aku mencermati hari ini, kemarin, lusa seperti lomba lari tanpa adanya aba-aba. Begitu banyak manusia pergi dalam beberapa hari ini. Aku yang tak berkawan semakin linglung ditelan kesunyian mencekam. Begitu banyak sel tak peduli dengan alarm darah beku. Aku yang tengah sekarat hanya mampu meredam rintihan dalam bunyi tetes yang terlelehkan.
Malam semakin mengigau dalam balutan selimut pekat. Siang berlalu tanpa adanya nyawa berdenyut ditempat yang seharusnya. Dan sungguh tak ada yang lebih menjengkelkan dari depresi yang datang tanpa alasan.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Suatu pagi pernah kutawarkan matahari untuk tidak berotasi. Suatu petang pernah kuyakinkan matahari untuk tidak menyembunyikan diri dari peradaban. Dan yang kudapati adalah jawaban sia tanpa makna. Siapa aku hingga beraninya menawarkan bangku peristirahatan kepada yang terus bersinar? Siapa aku hingga beraninya menawarkan selimut kepada ia yang tak mengenal cuaca? Bukan ia. Tapi aku yang membutuhkan adanya pelukan. Tanpa batasan hari, tanpa batasan akal.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Aku merindukan terlalu banyak nama. Hanya nama, karena mungkin jika nafas mereka yang ku leburkan, sudah lama aku mati karenanya. Kenapa semua menjadi seperti bom terencana? Aku menginginkan kehangatan, juga kebersamaan. Tapi aku terlalu memaksakan diri untuk meyakinkan bahwa mereka juga menginginkan hal yang sama. Pagi datang tanpa senyuman. Siang berlalu tanpa ada alasan pasti untuk menjemput malam. Dan ketika malam datang, kesemuanya kembali mengalir dalam lelehan yang tak bisa dicegah. Aku berbicara tentang rekan kerja, tentang rekan bermimpi, tentang rekan berimajinasi, juga tentang rekanku kelak menata hidup.
Harapan mati, mata tak lagi sanggup meneliti. Bahkan tangan seakan dipaksa untuk berkontribusi dalam depresi kali ini, tak ada paragraf tercipta. Bukan karena tak ada tema, tapi karena terlalu banyak aliran yang sulit untuk dicerna.
Kemanakah aku seharusnya melaju? Tujuan kehilangan sinar setelah sekian lama mempertahankan nyala. Kemana aku seharusnya bercerita? Jika ternyata yang kubutuhkan saat ini adalah nyawa. Nyawa yang utuh tanpa cela. Aku mulai mendamba adanya kematian sepertinya.
Ingin ku berteriak lantang, menerjang jatuhnya hujan, melewati serbuan angin yang menyelimuti awan. Dan tetap. Keruntuhan tercipta ada didalam sana, tak ada suara yang sepertinya sanggup membahasakan kengerian runtuh puingnya.

.

Matahari berotasi. Tetap seperti itu sekalipun aku merajuk, atau mengajaknya berempati. Matahari tetap pada lajunya seperti tak ada daya untuk menumbuhkan sedikit saja daun semangatku. Matahari tetap pada kegiatannya seperti tak ada peka untuk sekedar membagi hangat juga panasnya. Ah..mungkin tidak seharusnya aku membutakan mata pada adanya perbedaan hakikat. Bahwasanya aku dan matahari berbicara pada bahasa yang tak saling dimengerti.

.

Tetes. Dan lagi tetes itu menyerbu ulu milikku. Melayangkan tinjunya hingga menggoreskan tajam tatapnya pada si daging hati. Aku ingin menyerah. Aku ingin menyerah. Bukan kepada seseorang. Tapi kepada kehidupan. Tawa hambar tak juga menyadarkan mereka untuk kembali pada hangat yang pernah tersaji. Sementara disini aku membeku menanti sinar matahari, atau bahkan kiamat personal. Tak apa..tak apa jika yang terakhir adalah yang harus menghampiri. Karena jujur saja, aku mulai bosan akan adanya pernafasan. Aku mulai lelah pada adanya harapan dan harapan.
Kosong, dan yang kutatap adalah kosong. Diam, dan yang kutangkap adalah hanya kebekuan. Dingin, dan yang kudekap adalah kesunyian tak berjudul. Dan yang ku harap adalah sesuatu yang tumpul berjubah beludru tajam.

Jumat, 03 Oktober 2014

Kandang Imajinasi

Andai bumi ini adalah selembar kertas. Maka udara yang menjadi partikel mutlak adanya kehidupan adalah banyaknya cakrawala aksara yang membumbung terbang disetiap lipatan.
Menulis adalah tentang pelepasan. Menyalurkan adanya hasrat terpendam dari adanya imajinasi yang meluber. Menulis adalah tentang bercinta. Mengawini dunia aksara hingga kemudian mencapai titik cukupnya dalam ujud paragraf akhir. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan, tapi aku tau. Menulis tidaklah segampang apa yang retina kita cerna. Kendati menulis juga tidak serumit apa yang tersembunyi dibalik langit untuk meminta dibahasakan. Seperti halnya kelahiran. Dalam sudut penglihatanku bukanlah sesuatu yang instan untuk bisa disebut penulis. Dan disana juga tak ada bakat untuk mau dijadikan dasar sebagai penulis. Yang ada hanyalah cinta, kasih, tekad dan ketelatenan. Mengibaratkan bayi yang baru lahir, seperti itulah adanya kita. Awal kali mungkin hanyalah kesenangan untuk membaca, menyimak atau sekedar merunuti gambar lucu per halaman. Kemudian terbersit tanya akankah aku bisa? Sanggupkah aku menjadi sebuah nama yang nantinya akan diabadikan oleh sejarah? Dan proses menapaki dewasa hingga kemudian menemukan jati diri adalah paradok yang sama ketika masa itu juga harus dilalui seorang penulis. Dulu aku bertanya, membaca begitu banyak buku dari pelajaran sampai koran bekas bungkus makanan sekalipun. Minatku saat itu pada adanya tulisan sangatlah besar dan berkobar. Belajar, melihat, mengetahui hingga akhirnya proses terakhir dalam perjalanan pun dimulai. Memilih. Aku tidak tau jika penulis lain juga merasakan ini, tapi sungguh diantara beribu pencipta karya hingga sekedar deretan tulisan dipapan. Aku tau, seseorang dari mereka mengetuk jiwaku, menggetarkan roh yang selama ini tertidur pulas dalam awan, mengguncang keberanian untuk menyeberang. Aku tau, satu diantara mereka memiliki tempat istimewa yang karyanya tak hanya enak untuk dilahap mata, tapi juga lezat bagi jiwa..juga mengenyangkan syaraf otak yang selama ini dehidrasi akibat krisis nutrisi berkepanjangan. Aku tau, satu diantara mereka sanggup membangkitkan gairah untuk segera memindai, mencari, menyentuh bahkan menelanjangi imaji dalam bentuk aksara. Aku tau aku mulai gila. Tapi menelan setiap karya 'si satu' ini adalah seperti sebuah candu untuk berciuman. Ya, kita tidak pernah bisa membedah sensasi apa yang tersaji dalam sebuah ciuman bukan?

.
.

Menulis adalah menyembuhkan, mengalirkan lagi hormon yang rela digodok lebih lama ditengah jalan hanya karena sang empunya kepala tengah dalam beban pikiran. Menulis adalah menyehatkan. Jajaran aksaranya tercipta bak amunisi cinta yang memenuhi rongga dada. Menaburkan tabir bahagia sekalipun sebenarnya kita tengah terkepung duka. Dan nyatanya..tak akan ada sebuah tulisan jika pemegang penanya sendiri tak mencintai apa yang tengah ia garapi. Setiap orang bisa saja memenuhi halaman dengan penuh paragraf. Tapi tidak semuanya bisa menyelesaikan sampai titik akhir hingga hasil keringatnya bisa disebut tulisan. Sebuah karya pun butuh nyawa. Sebuah karya pun meminta untuk dimanusiakan agar bisa dicerna manusia. Seringnya ketika tanganku tengah terpekur bersama goresan-goresan tinta, kudapati seakan kertas dihalamanku kemudian menjulurkan tangan. Menggapai jemariku dan bersama kami saling bercengkerama, meninggalkan (kewajiban) kegiatan menulis. Aku dan tangan tak terlihat itu meniti huruf demi huruf, membiarkannya mengaliri paragraf tanpa harus aku bersusah payah menciptakan plot juga judul. Ah..saat indah yang langka. Aku menyebutnya adalah 'moment percintaan', membiarkan waktu membungkus kami yang tengah bergumul dalam lumatan spasi. Membiarkan waktu menjadi saksi betapa sebenarnya aku tidaklah hanya diri ini, betapa sebenarnya aku dan imaji adalah pola induk yang sanggup menciptakan dunia hanya dengan mantra, betapa sebenarnya aku harus mengakui bahwa bercinta memang adalah benar, 'surga dunia'. Alam yang menyaksikan percintaanku bersama aksara seringnya dibuat linglung dengan gelombang yang menyerbuku, menggulung diriku dalam lebur yang tak berperi. Hingga akhirnya saat datang ketika klimaks itu menghampiriku, detik kala jari-jemariku mengisyaratkan lelah, detik ketika titik besar merengek mohon agar aku membiarkannya keluar dan mengakhiri sebuah tulisan. Ah aku gila, aku tidak tau bagaimana bisa sebesar ini kuapresiasikan rasa cintaku pada cakrawala aksara. Aku gila ketika harus menjauhi kertas-kertas kosong, dan merasa siap terjun disaat justru tak kutemukan ruang juga waktu untukku menggumuli 'kekasih aksara'ku. Disana adalah tempat. Surga dimana air mengalir meluberi tiap cekungan sungai, surga dimana api sanggup menyala dan tertangkap retina hanya dalam ujud bara saja. Adakah emosi yang sanggup merekah tanpa harus memercikkan bara? Godok ia dalam paragraf panjang, lumuri ia bersama secangkir koma juga sesendok tanya. Adoni ia dengan sepenuh cinta. Adoni ia dengan menambahkan sebutir kasih sayang. Ah..aku penulis.

Kamis, 02 Oktober 2014

20111102

Hujan dan dingin,


Aku hanya terduduk manis dibalik jendela kamarku,
suaramu.. memenuhi ruanganku seperti biasa-
tiga hari , lima hari atau mungkin seminggu lebih aku tidak menyapa siapapun dan tidak disapa siapapun, ya itulah yg sepertinya kuingat..
hari-hari berlalu hanya antara aku dan khayalanku, semua terasa begitu indah, aku dan kau, aku kau dan mereka.. tanpa kalian.


Aku yg menginginkan seperti ini, dan aku tak akan berjalan mundur sekalipun semua teriak langkahku salah,
aku dan khayalanku.. melangkah jauh kemanapun tempat yg ku inginkan, tempat yg tak bisa ku tuju ketika bersama kalian..
khayalanku membawaku semakin menjauh dari kalian, apa kalian merasakannya..
aku hanya menulis bukan bertanya.


Setitik sakit secercah ketakutan dan segaris lelah adalah partikel utama pembentuk khayalanku,
aku terperangkap dalam imajinasi yg semakin mengasingkanku dari dunia nyata,

Suatu tempat yg tak terjamah oleh siapapun..

Mencuri Kedamaian Alam

Ia hadir dalam seperempat hariku. Menyuguhkan seringai seujung kuku yang terbit bersama matahari diufuk peraduan. Langkahku memanjang pasti seakan memang seharusnya ku jemput ia dalam terjangan pelukan.
Ari. Nama yang membungkus hari singkatku sebagai manusia. Nama yang menyandingkan nalar dengan tawa hambar kegilaan.

.

Aroma pagi kelahiran masih bisa kucecap dalam mulut ingatan. Memaki kepala untuk tidak menyimpannya dalam ujud kenangan adalah hal sia-sia. Haruskah ku bekukan waktu demi menjaga frekuensi Ari agar tetap dalam jangkauan? Sepertinya tidak beretika memang, tapi itulah kenyataan. Bahwa menghirupi sisa campuran sampo, keringat dan bekas parfumnya adalah sebuah ketercanduan.

.

Lusa lalu, kujemput alam dalam gengaman. Tapi semua berjalan tanpa adanya satupun sentuhan. Harusnya kusambut ia dalam gelak tawa yang sangat ku hafal. Harusnya kusambut alam dengan telanjang. Membiarkan kulit mencerna betapa hadirnya sangat mengagumkan. Tapi demi Ari, dengan alasan awal bahwa ingin kuhabiskan seluruh hari hanya dengannya..maka untuk pertama kali dalam hidup aku melaju dalam setapak abnormal. Kucampakkan alam beserta debur merdu nyanyian airnya. Dear alam..engkau yang menyatukanku dengan Ari, menghadirkannya dalam ujud yang lebih nyata, dan aku paham engkau tak akan lebih merasa bahagia ketika melihatku bersama imun ciptaanmu semakin menyatu. Sekalipun tetap harus ada yang tersingkirkan. Dear alam, aku tau engkau memahami ilmu ikhlas lebih dari siapapun. Dan alam, ketika nanti datang hari dimana Ari harus pergi, bersediakah engkau menemani kesepian berkaratku ini? Hari ini, lusa lalu, bahkan malam tadi Ari bertanya padaku, meminta restu untuknya kembali meracuni hari. Hariku lebih tepatnya. Ia tidak tau alam, ia sangat mengetahui apa isi jawabanku. Berpura membuka tutup saji dengan alasan aku akan lebih bereaksi. Kenapa manusia senang sekali mempertanyakan sesuatu yang ia sendiri telah ketahui jawabannya? Tidakkah diam adalah yang paling baik dari segalanya? Bukankah ketika pada akhirnya jawaban datang dibungkus ketidak tepatan dengan harapan hanya akan menyisakan kekecewaan? Kenapa manusia memiliki ketercanduan yang tak lazim? Memunguti kekuatan dari tiap tutur yang keluar dari mulut manusia lain. Tidakkah ia sendiri yakin dengan kekuatannya bahkan sekedar untuk menjatuhkan pilihan? Pada akhirnya aku harus mengakui kebenaran lama. Bahwa manusia memang terlahir untuk mengurai. Menyekap rumit dari kepolosan bumi. Memaksa isi kepala menjabarkan setiap tanya dan menciptakan tanya itu sendiri hingga akhirnya mati.

.
.

Dear Ari, aku membenci saat-saat ini. Ketika kita ternyata harus mengakhiri, ketika kita harus kembali menyapa sepi, ketika kita harus kembali mengencani ketiadaan. Tidakkah rautku berhasil menyajikan satu saja isyarat? Bahwa aku ingin kau agar tetap tinggal? Seperti lusa yang telah mengakar, menyambangi tiap jengkal bumi dengan goresan cerita milik kita. Menapaki seutas tali yang disuguhkan malam dengan banyak gempa lokal. Dear Ari..tidak bisakah menghadirkan lagi untukku beberapa jam saja dalam format hari milikmu? Membiarkan gempa lokal kembali mengguncang kebersamaan kita dalam euforia.

.

Terik hari seperti melayangkan tamparan manisnya. Utusan alam yang membisikkan pesan agar aku tak memiliki izin untuk ketergantungan. Ya alam, Ari sekarang telah menjelma menjadi tali sepatu. Mengikatku dalam pasti dan meyakinkan bahwa langkahku akan lebih kuat ketika bersamanya. Ari sekarang telah menjelma menjadi akar. Menggerogoti pasti dan menciptakan keraguan. Akankah esok akan beraroma sama ketika ia memutuskan sejenak hilang dari pandangan? Akankah asaku sanggup menahan untuk sebentar saja berhenti menyalurkan? Semoga daging tak bertulangku bisa mencerna ucapan.
Terik panas yang menghantarkan, dari imaji kepada nyata, kepada harap, kepada ego, kepada rela yang terlahir paksa. Dan Ariku tak setangguh alam. Yang akan tetap diam sekalipun hanya ku pandangi dalam jarak setelah sekian lama tangan tak bersua. Dan Ariku ternyata lebih gila dari alam. Menyulap ribuan kagum dari udara kosong, menatanya dalam meja sakral bernama ketercanduan. Ah..kata itu lagi, aku sebenarnya membenci ketika harus mengucap untuk kesekian kali. Tapi sungguh, belum kutemukan padanan lain untuk kehadiran sebentar Ari dalam menemani waktu singkatku sebagai manusia.
Letupan manisnya, bisikan bergiginya, serta ilmu-ilmu lain yang membuatku sanggup menguasai mantra seketika.
Alam, tidakkah sekarang aku telah menjadi sesuatu yg utuh dan sempurna? Kehadiran yg melahirkan banyak agenda. Frekuensi dicuri dari dimensi lain demi menyeimbangkan absensi. Melepas sebentar lagi saja Ari untuk bersembunyi dari jangkauan retina bukankah adalah sesuatu yang gampang? Tidak setelah aku terkontaminasi ketercanduan. Tidak setelah aku mulai berani menginginkan. Tidak setelah tanganku dan tangan Ari berhasil menyingkap sedikit adanya rahasia kehidupan. Dan sepertinya mulai malam ini aku harus kembali lagi, untuk terbiasa bercinta dengan alam.

Minggu, 28 September 2014

Ketika Alam Harus Berhenti Bernyanyi

Aku adalah manusia realistis. Yang hanya menganggap cinta adalah sekedar sampah semata. Aku adalah manusia statis. Yang memiliki ketercanduan untuk terus merobek jaring sabar setiap harinya. Aku adalah manusia tanpa garis. Yang menganggap dunia adalah neraka.

.
.

Dalam kestatisanku, alam perlahan menyapa. Menyuguhkan sepiring rasa yang ia sebut ramuan cinta. Dalam keabstrakkanku, tanah memberontak. Memaksaku menyeruput secangkir panas bernama takdir. Dan misteri hidup beserta lingkupannya terlalu pelik untuk dibahas dalam sepertiga malam ini.

.

Dimanakah asa, dimanakah rasa. Kemanakah nama, kemanakah nyawa. Rintihan senandung alam menggema memenuhi gendang telinga, mencoba memantrai setiap pernafasan dengan sayatan melodinya. Aku tau..alam tengah merajuk, memintaku melebur dalam rotasi semunya. Aku tau..alam tengah mengutuk, melalui gelombang yang tak berfrasa. Mungkin memang seharusnya aku dan alam tak memaksakan diri untuk bersatu dengan terus membutakan tak terhingganya perbedaan. Satu putar, dua ulangan. Nada sumbang penyayat jiwa kembali berkuasa. Menengadahkan tangan dan kembali mengucap mantra. Seperti inikah cinta ketika sesekali kudapati permukaan hati tergores denting ucapan? Seperti inikah cinta ketika sering kutemui bercak kering pertanda disana telah tercipta aliran? Aku buta. Aku terlalu muda untuk bisa bertahan bersama perkawinan alam. Aku terlalu buta untuk bisa melihat adanya gumpalan es tajam berserak ditepi badan. Dan aku terlalu awam untuk bisa memahami adanya alur permainan alam.

.

Dear alam, dengan segala keluasan kau tunjukkan padaku misterimu. Dalam keabuanmu kau perlihatkan kuasa juga tipu muslihatmu. Dan untuk pertama setelah sekian lama, bisakah kita bertukar peran? Aku ingin kau rasakan betapa mewahnya menjalani takdir sebagai manusia. Berlimpah ego melumuri raga, bermilyar jerami menumpuk diri membentuk kerangka bernama badan. Dan untuk sekali ini juga kuingin kau rasakan seperti apa rasanya retak-pecah dan terbakar. Dear alam..tak seharusnya ku ucap kata penolak mantramu. Keagunganmu menjejali mulut juga otakku untuk tetap terkagum pada adanya kehadiranmu. Tapi jujur saja, seringnya kudapati diri yang tengah memaksa meloloskan serpihan paku menuju dasar pencernaan. Tapi jujur saja, tajamnya getar virtualmu justru menggariskan sebaris rasa berbau anyir dan menyakitkan. Mungkin memang tidak seharusnya kita dulu berjabat tangan dan bersama memulai petualangan.

.
.

Aku dan alam yang malang, terlahir bersamaan dalam jangkauan batasan. Tumbuh bersama dalam dekapan jurang. Seperti inikah cinta yang dipuja oleh manusia? Bersubstansi kotak mengambang dipermukaan tanpa berniat menjejakkan diri diatas hamparan ladang. Seperti inikah cinta yang diburu sepertiga penghuni kehidupan? Terjebak manis dalam kubangan setan bertameng dewa. Dan yang ingin kuperbaiki disini adalah engsel alam yang tak seharusnya masih dipasang untuk keseharian. Dan yang ingin ku luruskan disini adalah bahwa aku tidak terlahir untuk bisa menandingi keluasan alam. Dan yang ingin ku tulis hari ini adalah bahwa aku tidak terprogram untuk terbiasa menyantap abu-abu melayang.

.

Dear alam, sesekali aku berharap engkau sanggup memahami bahasaku, sesekali aku berharap pintar yang terkandung dalam keluasanmu sanggup mencerna remah-remah aksara yang kuhadirkan. Dear alam, untuk inikah sebenarnya kita dipertemukan? Agar demi terbiasa mengunyah sumber gizi dari bahan yang diluar nalar? Untuk inikah sebenarnya kita dipersatukan? Agar demi balutan ego dalam kerangka ragaku memiliki skala wajar dan kepongahan untuk keluasan agungmu sanggup berturun kadar? Untuk inikah?
Mantra ternyata benar bukan sekedar ucapan. Mantra ternyata benar memiliki kuasa tak terdefinisikan. Dan jika ternyata belitan jaring kita terputus ditengah tanpa adanya lagi ikatan sambungan, bisakah aku menyalahkan mantra? Bisakah aku menyalahkan mantra dengan segala dayanya membuatku buta? Bisakah aku menyalahkan mantra yang berhasil mengubahku dari manusia menjadi setara dengan tingkatan dewa? Dan aku masih berharap keagunganmu sudi menundukkan luas dari semestamu hingga terbiasa dan mampu memahami bahasaku.

.

Kembali ku ingatkan jika aku adalah manusia realistis. Darah wanita menyemai banyak titik kepekaan yang mungkin berlebihan. Sedang alam, nyanyianmu membahana membalut bumi, raungan merdumu mengangkasa menembus pertahanan awan. Aku yang terbiasa memandangmu sebagai sosok semesta raya, akhirnya patuh dan manut untuk mengikuti perjalanan rotasimu dengan menebalkan perasaan, dengan menebalkan mata juga pendengaran.
Dear alam, aku tau ini bukan tentang sebuah pertandingan. Sekalipun seringnya dengan waspada kuangkat parang demi semak belukar yang membentengi kelembutan hati. Tapi ini adalah tentang.............Dear alam, untuk sekali ini biarkan aku menumpahkan, biarkan aku untuk tidak mengalah pada nalar. Karena didepan sana, tak lagi ada jalur keluar.

Kamis, 25 September 2014

Tiga

Pagi menyapa melalui banyak nama. Dekapan asing seketika menaburkan hangat ketika alam mulai memanggil demi menegakkan raga. Dan sebelum ini, tak pernah kubaui aroma matahari sehambar kopi olahan mesin. Hangat yang sama, cerah yang tak memiliki intensitas kurang, tempat yang tak berpindah dari pijakan awalnya. Dan hanya dari aroma sanggup ku kenali adanya indikasi, bahwa sesuatu ada dan tak lagi sama keberadaannya.

.

Adalah tentang cerita tiga nama. Tiga aksara yang membuat pagiku seperti kehilangan nyawa. Mengais disegala sudut ranjang, bahkan disemua lipatan selimut yang tak lagi berbentuk. Bukan pagi yang mengganti parfum dan membuatku sedikit tak mengenalinya. Bukan matahari yang menenteng aroma baru dan menyajikan dalam misteri baru juga bernama tanya. Aku tau..sepertinya nyawaku lupa datang pagi ini. Sepertinya nyawaku mulai bosan pada adanya rangkaian kegiatan sama, yakni mengisi raga dikala fajar hingga detik saat pergumulan mimpi. Tiga aksara yang selama ini kujaga. Sedemikian rupa mengepas kenop pintu ruang bara agar tak ada sisi celah hangat yang terbuang. Mengatur lagi beranda beserta isi tutup penyaji, menjaga kestabilan isi demi tetap bekerjanya sistim kerja sebuah perekat. Dan kesemuanya..dan dari kesemuanya membeku digulung hujan es dikala senja. Tiga aksara yang malang.

.
.

Jarak menggelembung memenuhi ruang bernapas, menjadikan setiap tarikan oksigen mengangkut juga didalamnya remah-remah kecil paku. Dan andai bisa kumemberitahumu, sepucuk surat tentang waktu telah kuketik lama, jauh sebelum si empunya mampu menangkapi kosakataku.

.

Dear Park Jung Soo..ini tentangmu, ini tentang adik-adikmu, dan inti tentang darahku. Waktu telah lama berlalu semenjak terakhir kali aku menyapamu, mengurai helai-helai tampan yang menutupi matamu. Masihkah sorotmu setajam dulu sayang? Bisakah kita berbicara hanya berdua sekarang? Ini mungkin juga tentangmu yang tengah dalam perjalanan. Engkau mungkin akan sakit ketika harus menghabiskan ini. Tapi aku harus menuangkan sebelum akhirnya semua menguap terbawa angin dimusim hujan. Dear Park Jung Soo..taukah engkau matahari yang kucecap kini tengah dalam tahap mengkhawatirkan? Udara beraroma lain, sinar menyapa dengan hangat berbeda dan..dan aku tak bisa memberi jawaban tepat kenapa langit biru cerah yang menggantungi langit tergeser perlahan oleh warna netral. Dear Park Jung Soo..masihkah aku kini berharga? Ketika ternyata sakit telah tertoreh karena adanya kenyataan yang terus menampakkan ujud dan garisnya malah melunturkan keapikan warna darahku. Masihkah kini aku berharga? Aku merasa tengah menjadi bocah yang sangat malang. Ketika sadar akan gagal ketika harus terjun bersama manusia kebanyakan. Sedang berada dalam daratan kita justru harus kuakui adanya sepi. Dear Park Jung Soo..sekiranya perkataanku kali ini benar. Tolong dengarkan, bukankah sekarang adalah saat tepat dan terbaik untuk melepaskan? Bukankah fondasi kalian telah cukup kuat untuk kubiarkan terus berdiri tanpa harus ada aku sebagai salah satu penyangganya? Inikah akhir yang ku ucapkan dulu? Tidakkah akhir datang terlalu awal? Tapi pernyataan yang merujuk adanya kenyataan semakin mengukuhkan bahwa kehadiranku tak lagi dibutuhkan. Aku ingin engkau tau sayang, aku tidak sudi hadir pada mereka yang utuh.

.

Aroma pagi masih seperti awalnya. Hambar yang memilukan. Dan aku tidak tau jika didunia ini ada proses pelepasan yang ternyata sangat menyakitkan. Derap airmata mengalir membanjiri jiwa yang tengah rapuh. Aku lumpuh untuk berkata, aku bisu untuk sekedar berucap. Inikah kiamat itu? Kenapa sosoknya hadir dalam balutan modern yang kelewat tampan? Dan sesaat aku kembali ditampar. Ia dan mereka telah hadir dengan sangat pas mengisi ruang kosongku. Dan sesaat aku kembali disadarkan. Semangatku ada pada tiap hela nafas juga hiruk pikuk tetes peluhnya. Oh nyawa..oh nama, sudikah kalian memberiku kaca? Tiga nama yang tak seharusnya ku ikat dan sisihkan. Tiga nama yang tak seharusnya kulepas masa lajang tanpa adanya persiapan. Tiga aksara yang menjadi nyawa untuk nyata dan mimpiku. Mungkin sehabis petang ini. Semuanya benar tak akan lagi sama, keropos yang menyebar tanpa halangan tidak bisa begitu saja dilelang dalam sekali tambal. Harus ada yang dibayar, harus ada yang direlakan. Dan ah..dunia ini sekali lagi mengajariku tentang manisnya buah keikhlasan.

.

Indikasi aroma baru mengisi ruangan, dan ketika matahari mulai dipersalahkan..aku tau disana sesuatu perlu diluruskan.
Dear Park Jung Soo..aku memahami ketika engkau beserta adik-adik manismu mulai menginginkan nyawa baru sepaham ketika aku sadar nyawaku tak lagi sepenuhnya terpaut padamu dan tiga aksara duniaku.

Sabtu, 20 September 2014

Cicak Lugu Dan Si Manusia Bisu

Petang ini aku mendapati seekor cicak diatas meja nakas. Kuamati dengan seksama ketika dengan mulut kecilnya berusaha mengangkut remah besar makanan diatas meja. Ia mungkin tau tengah kupandangi, ketika tak sengaja tatapan kami beradu dalam putaran yang sama. Bola hitam matanya mengawasiku pasti, dengan kepayahan ia menarik makanan dengan terus tanpa memutus kontak. Tubuh bagian dadanya mengembang kempis seirama nafasnya, ekor lencir terdiam diujung tubuh tak menunjukkan nyawa. Ah, kenapa engkau begitu indah wahai makhluk melata. Sekali lagi ku tampilkan tatapan selidik, tangan kakinya terlihat halus sekalipun pasti telah banyak ia lewati jajaran runcin dinding yang sekiranya sanggup melukai permukaan tubuhnya. Sungguh, belum pernah kuapresiasikan kekaguman pada makhluk kecil berkekuatan lugu sepertinya sebelumnya. Dan cicak diatas meja nakas hari ini menjadi rekor tersendiri bagiku. Menit berlalu dengan penuh tegang, mata kami tetap beradu pandang pada lingkaran yang persis sama. Kuletakkan tak jauh darinya sekeping kecil makaman yang kiranya muat untuk ia gigit dan bawa tanpa harus memerlukan usaha berarti seperti mangsa yang kini masih dalam sapuan mulutnya. Dalam hati, dan hanya dalam hati ku sapa ia pelan, "Hai teman.." Aku tau makhluk lugu itu tak akan membalas sapaku, tapi melalui getaran gila yang hanya sanggup dimengerti oleh kepala kelebihan nutrisi, aku tau ia menyapaku juga..kuperkenalkan siapa diriku lebih lanjut dan ia memberiku jawaban serupa menurut versinya. Singkatnya kita berteman. Ah..makhluk lugu ini lagi-lagi memberiku pengalaman baru. Menggali lagi kemampuan bawah sadarku demi menangkapi bahasanya yang tersampaikan acak melalui getaran alam. Dering pesan masuk alat komunikasiku memutuskan irisan pertemanan yang tengah berlangsung. Pandang mata kami terputus seiring dengan perginya ia meninggalkan remah besar makanan yang tadi hendak dipungutnya. Ah..nada pesan sialan.

.

Bertemankan hening malam, kuresapi lagi pengembaraan pada pengalaman baruku tadi. Makhluk yang benar-benar lugu. Dimanakah sekiranya ia tinggal? Aku hampir yakin kami masih berada dalam satu ruangan. Tapi ia bukan manusia, yang akan menyahut ketika kutanya ia dimana. Kehadiran singkatnya sekilas mengingatkanku pada seseorang disekitarku. Aku tak begitu yakin ketika harus menyebutnya teman, kendatipun mata kami seringnya beradu pandang dalam ketidaksengajaan. Hening selalu membungkus ketika waktu membuat jarak semakin mengikis dalam jengkal saja. Setiap ucapan yang terlontar dari pita suaranya tak pernah lebih dari sekedar pertanyaan apa dan kenapa. Sedang aku, berada dalam jangkauannya secara otomatis mengaktifkan isolasi yang membungkam mulut berisikku. Jadilah kami dua manusia bisu berkekuatan ekstra diantara manusia-manusia berpola seadanya. Seringnya kudapati banyak percakapan tercipta diantara keheningan mengelilingi. Seperti halnya aku dan cicak diatas meja nakas, aku dan ia juga hanya bisa saling sibuk menangkapi sinyal yang terkirim melalui getaran alam. Dan untuk sesuatu yang tak bisa ku mengerti, terkadang aku tersenyum ketika kutangkapi sinyal aneh dalam gerak ragunya. Ia kenapa?

.

Cicak dan seseorang dilingkupanku mungkin adalah kembar. Menyalamiku dengan segala keanehan. Mengajariku pelajaran baru tentang adanya komunikasi kealamian. Dan keduanya sama-sama membuatku gugup ketika kontak mata tak sengaja menyampaikan sapa dan senyuman.

.

.

Dear kalian yang tak memahami pengucapanku, kembali kukirim sinyal pada kaliajm meski dalam ujud tulisan. Aku harap pesanku tersampaikan sama baiknya ketika aku dan engkau saling berbicara dalam diam. Bisakah aku menyerukan pada dunia bahwa kita berteman? Bisakah aku menganggapmu teman? Aku menangkapi banyak pesan halus melalui getaran sekitar bahwa engkau tidaklah sedingin yang diperlihatkan. Untuk itu, bisakah izinkan aku membuat tangga pengantar untuk segala ketercanggungan ini? Kalian adalah sesuatu yang baik. Aku mengetahui itu sejelas membaca tumpahan tinta berupa aksara pada tiap kertas kosong. Aku mengetahui itu karena yakin aku menemukan sinyal sejalan dalam perbincangan kita kemarin, lusa, dan baru saja. Bisakah kita berteman? Aku tak berniat buruk dengan segala niatku. Setidaknya bahasa lisan lebih membuatku semakin terlihat waras dan normal ketimbang bahasa tatapan. Seperti kalian, aku juga makhluk nyata meski keaslian manusiaku masih dalam proses pengesahan. Namun aku berani menjamin bahwa tubuhku tak lantas menyimpan api sekalipun mataku seringnya menghantarkan kobaran-kobaran tajam. Aku berani menjamin bahwa ragaku tak lantas mengandung samurai setipis guratan kaca sekalipun terkadang nadaku tak lebih hangat dari gumpalan es dipalung samudra. Aku hanya ingin kita berteman.

.

.

Malam menyuguhiku nada dalam ujudnya yang hanya hening dan guratan gelap merata. Cicak dan ia yang tak beridentitas tak lantas hanya dua tokoh dalam paragraf tak berjudul ini. Karena aku dan mereka sama, tengah mencoba hadir diantara banyaknya mayat bernama.

I Have Nothing

I have nothing. Aku tak punyai apapun ditanganku. Aku tau ketika akhirnya sebuah kesadaran menghantam otak kananku pada salah satu waktu menuju dewasaku. Terlahir menjadi manusia utuh sepertinya adalah kompensasi Tuhan untuk tidak membekaliku apapun dalam berkelana didunia penuh tanya ini. Beruntung sekali tanganku hadir lengkap untuk bisa menjabarkan atau setidaknya menyamarkan kepunyaan terpendam yang sebenarnya kenyataannya hanya virtual saja.

.

Beranjak besar dalam segi umur tidak serta merta membawaku juga pada garis dewasa-syarat mutlak untuk bertahan menjadi manusia. Dan salah satu bukti kegagalan dari masa pendewasaanku adalah ketika dengan segala ego juga angkuhku, masih kusebut alam, aksara, bahkan sekedar rumput liar dijalanan tetaplah lebih baik untuk disebut teman ketimbang manusia nyata. Aku tau tengah dalam setengah perjalanan menuju gagal, sedangkan yang selama ini terus merajai akal juga nalarku adalah kesadaran bahwa aku benar. Aku selalu benar. Sekalipun dunia membuktikan padaku kesalahan, yang ada pada peganganku adalah suatu benar tanpa selaput lainnya. Untuk alasan singkat itulah aku menjadi sosok hari ini. Kuciptakan dunia, kubangun setapak menuju istanaku, kupasang plakat tentang sayembara, kusebar juga ucapan selamat datang disetiap ujung jalanan. Tapi yang aku sendiri lakukan setelahnya justru adalah mengunci diri dalam hunian khusus tanpa udara. Tanpa ada satu nyawapun kupersilahkan larut dalam damai tak tersentuhku.

.

Dulu, aku serupa manusia. Meski sekarang pun masih berujud sama, namun kesadaran memberitahuku bahwa aku adalah sejenis setengah dewa. Dan berada dalam lautan manusia seringnya membuatku linglung, menelan paksa tentang milyaran apa dan kenapa. Tak ada sepi yang seberat seperti yang tengah kupanggul saat ini. Bukan karena memang tidak ada. Tapi karena dengan sengaja kubutakan mata pada adanya sepi yang lebih menggigit dari milikku, juga karena telah dengan sukses ku blokir jalan bagi para relawan yang hendak membantu meringankan sepiku. Arogansiku menghempaskan segala sisi dramatis dari kotak kemanusiaan. Egoisku menyapu bersih semua uluran tangan hanya karena telah kutanamkan hingga tulang terdasar bahwa hanya aku yang boleh kusuguhi kepercayaan, bahwa hanya aku yang boleh kuhidangkan kursi istimewa bernama teman.
Lihatlah betapa kegagalanku pada tahap dewasa menenggelamkanku pada lautan beku. Lautan dimana keberadaan air adalah hanya dongeng semata. Dimana yang bisa kulakukan adalah mengais udara diatas hamparan beku keluasan dunia. Bahwa aku telah tenggelam dalam ruang sepi yang ku bangun sendiri. Berdiam dalam hamparan hijau tanaman padi selalu bisa menghadirkan padaku kehangatan setara pelukan erat seorang kawan. Meresapi angin menyapa beraroma tanah selalu sanggup memberikan padaku senyum seakan seseorang tengah berada disisi dengan celoteh renyahnya. Menyesap harum juga asin air laut selalu mampu menenggelamkanku pada imaji seorang kekasih dengan cumbuan-cumbuan disetiap jengkal persendian. Dan yang lebih gila dari semuanya, adalah ketika jemari juga mata beserta segalaku tengah melesat dalam ketinggian batas angan bermandikan kilauan sinar raya yang terpancar dari tatanan aksara, saat ketika aku tengah menikmati indah ruang kedap waktu milikku, saat dimana seakan sanggup kuciptakan tangga menuju surga hanya dengan hitungan detik dan selentingan kilat jari saja..saat yang menyadarkanku bahwa telah kurengkuh nikmat klimaks tanpa harus terlebih dulu aku bercinta. Ya! Cakrawala aksara adalah ibarat sejenis manusia yang kesempurnaan diamnya begitu kudamba dalam tubuh seorang teman. Sudah dalam tahap segila inikah aku dalam substansi sepiku? Lalu kiranya kemana aku memiliki ruang untuk sekedar bertamu dikala senggang? I have nothing. Aku tak memiliki apapun. Aku tetap tak memiliki apapun untuk kusuguhkan ketika pada akhirnya aku memiliki ruang untuk sekedar menautkan tambang pelayaranku.

.

Satu-satunya bekal yang mungkin 'lupa' telah disematkan sang pencipta pada sosok kecilku adalah seikat kontrak yang melekat dalam raga. Mengawasiku bak mata elang diatasan sana. Menilik apapun batasan yang dengan paksa kulanggar, dan meniupkan suara peringatan bahwa itu berada dalam jalur keluar, dan aku diingatkan dengan melarang. Sepi ini, senyap yang membekapku tak akan lebih mengerikan dan lantas mencekik pernapasanku dengan kuasanya hingga hingga bernyawa. Tidak, tak akan kubiarkan siapapun membunuhku. Kubangun dinding angkuh, kulapisi dengan setebal mungkin ego, dan kuhias garis terluarnya dengan banyak ambisi. Aku tidak salah ketika mengatakan bahwa alam, bahkan sekedar rerumputan liar dijalanan masih lebih baik untuk dianggap kawan ketimbang manusia sejenis. Karena mereka tak pernah alpa untuk hadir, karena mereka berbicara dengan segala anomali..satu-satunya bahasa yang kumengerti didunia ini. Karena aku dan mereka sama. Titisan-titisan setengah murni yang sadar diri dirinya tak pernah memiliki. Hanya ambisi. Hanya jemari.

Senin, 15 September 2014

Aku Rapopo VS Aku Selalu Rapopo

Bocah lanang itu paling bodo nek dikon maca kode. Dadi buat bocah wadon, oraha njur kesel-kesel ngasah golok sue-sue utawane ngalor-ngidul pesen keris ukiran jempolan kepada empu baheula yang kuburannya saja pasti uwis rata karo lemah sekitar. Apamaning ndadak permisi, ketok pintu, ngucap assalamualaikum, basa-basi cengengesan..menawane kepengin memutilasi bocah lanang. Langsung smackdown saja. Dan pastikan nganggo kekuatan penuh..ben ora diserang balik.

.

Aja pula njur dadi bocah wadon bodo, gawe kesel awake dewek dengan nulis panjang lebar tanpa mention target korban bahwa mungkin sebenarnya engkau haus akan darah pembunuhan, atau bahasa alaynya arep ngomong "intine aku kesuh." Karena pasti sang calon korban yang pasti telat sadar bahwa tulisanmu kui dedikasi untuknya hanya akan membalas dengan sama ambigunya..isinya oralia-lia pasti kayakie, "aku bukan dedy corbuzer sing bisa maca pikirane wong"

.

Nah kan! Aku sebagai bocah wadon ngomong apa mau? Bocah lanang iku buta kode..bodomu bae cah ayu gelem repot-repot aweh clue. Hahaha
Duh bocah lanang, rungokna tho ana mulut arep berpujangga ria.... "Sekiranya jangan terus engkau menyiksa kaum hawa yang bodoh akan penyampaian nalar, dengan terus memaksanya berkata, AKU RAPOPO."

.

Duh bocah lanang..aja njur kamu terus membela diri dengan malah membalas kata-kata mutiara diatas, dengan jawaban yang isine pasti kira-kira kayakie.. "Aku selalu rapopo ngadepi koe sing sok tabah dengan terus berkata akurapopo..padahal yo koe sing angel, awakmu rewel, kakehan ini dan itu, aku sebagai bocah lanang selalu rapopo cah ayu..aku maklum, aku sabar, aku tabah..karena aku bocah lanang"

.

Njur nek bocah lanang wis berpuisi ria kayakue..mestine kari aku sebagai bocah wadon langsung ngelus dada..iya aku kalah. Wes, aku kalah. Sepisan maning ben katon meyakinkan..aku kalah mas.

.

Bagi kaum perempuan dan kaum laki-laki silahkan dipahami, silahkan direnungkan. Tulisan diatas dimaksudkan dan ditujukan kepada kakek saya yang seorang laki-laki, dengan alasan karena saya sedang kesuh dengannya. Anggap saja ini bendera perang dari cucu kepada kakek tersayangnya yang sangat disyukuri dia tidak punya hape..jadi bisa dipastikan saya aman dari perang balasan. Saya sebagai kaum dipertanyakan, telah menganalisis pasti kenyataan tulisan diatas dengan menjadikan pacar tercinta yang juga seorang kaum dipertanyakan sebagai kelinci percobaannya. Sekian.



Salam Kode

Minggu, 14 September 2014

Membunuh Malaikat

Namanya Ari, begitulah ia pertama kali memperkenalkan diri dalam sebuah reuni putih-biru. Bukan perkara mudah saat itu ketika harus mengingat nama beserta pemilik wajah dalam keramaian perhelatan akbar, terlebih bagiku yang tercatat memiliki memori jangka singkat yang sangat payah. Dan mengingat juga mengenali yang mana ia ketika berada dalam baris daftar pengurus ternyata sama buruknya dengan menghafal raut muka satu-persatu para tamu. Yang tertangkap sekilas dalam otakku hanyalah polahnya yang sedikit lain atau lebih tepatnya, kelebihan dosis normal untuk manusia seumuran. Aku menyerah. Aku datang tanpa teman, kehadiranku sendiri tak benar-benar diharapkan. Adakah yang bisa mendeskripsikan tanpa harus membabi buta menunjukkan ego tentang kemalanganku saat itu? Biarkan hanya alam yang menjabarkan, dalam diam.

.

Aku dan Ari berteman, dari sederetan daftar kejanggalan sosokku entah alasan apa yang bisa membuat kami bertahan konstan. Mengikat hubungan teman beralaskan satu jawaban kembar, kami sama-sama manusia surplus kewarasan. Dan tanpa lagi memandang sebuah etika dari perundangan emansipasi wanita..kuajak ia menjalin sebuah hubungan. Alasanku saat itu jelas, karena pertama aku tidak memiliki teman segila Ari, dan jujur saja..aku bosan dianggap penyuka sesama! Dan menjadikan Ari pacar adalah pilihan terbaik saat itu hanya agar bisa dianggap normal. Sekalipun hingga hari ini, detik dimana aku hampir memiliki seutuhnya, masih kuragukan kelelakiannya.
Alasan Ari sendiri mengiyakan permintaanku masih dipertanyakan. Ia tau, aku gila dan tidak pernah berpikir apapun tentang yang diucapkan termasuk mengajaknya berkencan. Tapi sekali lagi, biarkan alam yang menjawab semuanya dalam diam.

.

Sekian banyak tanya menggantung diudara, tentang siapa, apa dan kenapa. Sosok Ari pun ternyata menyimpan banyak koma, kisah cintanya sendiri baru saja dalam gulungan tsunami. Dan kegilaannya dalam berkata mampu menyembunyikan kuyup juga bekas longsor dari terjangan yang dihadapinya. Sesosok malaikat kecil telah mengoyak bentuk hatinya. Membentuknya menjadi pribadi Ari yang saat ini ku kenali. Bagaimana bisa seorang manusia mengikat hubungan dengan bangsa peri? Dan kita semua tau betapa agungnya kredibilitas makhluk tanpa cacat bernama malaikat. Satu pertanyaan yang juga mengakar menjadi PR untukku-makhluk setengah nyata yang masih dipertanyakan asal muasalnya. Harus menjadi apakah aku untuk bisa menggantikan kehadiran sesosok malaikat kecil? Sedang diriku sendiri masih dipertanyakan kebenaran predikat manusianya. Terang saja, karena sesekali bahkan seringnya aku bermutasi menjadi monster, mencabik hati siapapun yang tengah dalam jangkauan tangan. Harus menjadi apa aku untuk Ari yang pernah mencicipi anggun kehadiran malaikat? Sedang aku, reputasi terbaikku dalam mengikat hubungan adalah sebatas teman. Itupun masih dalam syarat, jangkauan waktu membatasi pertemananku dengan siapapun. Seringnya, semakin lama berteman semakin aku ingin menjadikannya lawan. Siapa memangnya yang dengan bodoh tabah dicakar-cabik kapanpun aku dalam situasi burukku? Tapi Ari bertahan. Tapi Ari menunjukkan ketahanannya. Tapi Ari meyakinkan ketulusan bernama cinta. Untuk itulah aku mulai berpikir untuk mengikat dan menganggapnya nyata. Selama ini? Bahkan hingga setengah tahun umurku dan Ari bergandengan, tetap kujadikan ia hanya tameng agar aku terlihat normal. Maaf sayang..tapi terkadang, dalam hening masih kupertanyakan tentang kemungkinan adanya penyimpangan dalam sosokku. Dan untuk Ari si manusia surplus kewarasan, kuyakinkan diri dengan patuh bahwa aku normal. Ku tabahkan diri menghapus seinchi demi seinchi jejak terbang malaikat kecilnya..untuk Ari si manusia baja yang menyimpan banyak serum anti gores demi menghadapiku ketika tengah bertransformasi menjadi monster.

.

Dear Ari..aku tengah berjuang, menjadi manusia seutuhnya..menjadi perempuan yang bukan dalam tanda tanya. Kusingkap lengan baju dengan semangat menyala..menghadirkan ketidakmungkinan ketika dihadapkan pada keharusan melengser keberadaan Ratu bahkan Malaikat kecilmu dulu. Bukankah setiap manusia dibekali kekuatan tanpa batas? Dan aku ini ajaib! Terlahir alami dengan blasteran darah monster mengaliri tiap sendi. Dan kuyakini kekuatanku berlipat ketimbang ia dan mereka. Aku tengah berjuang Ari, namun jika suatu hari nanti serum anti goresmu habis. Tolong maaf, dan maafkan keliaran monster didalamku yang tak pernah mau mengenali siapa yang hendak ia sakiti. Tetap bertahan. Mari berjuang lebih keras lagi. Kecacatanku mungkin akan menjadi timpang dibanding keanggunan yang dihadirkan ia dan Malaikat kecilmu dulu. Tapi keluasan hatiku sanggup diadu jika kau masih mempertanyakan ketangguhanku. Sejauh hingga hari ini, monster masihlah si makhluk kuat di atas bumi. Dan jika kau lupa Ari, tanpa lelah akan kuingatkan kesejatianmu. Hidupmu menjejak tanah bukan mengangkasa mengepak sayap bebas diatas langit sana.

Menunggu Lahirnya 'Gelombang'

Dalam balutan sang agung Supernova, ia hadir diantara Putri dalam keanggunannya melangkah dimedan perang bernama junalis dan seorang Ksatria berotak gila berkemampuan gigantis dalam bercita rasa kata bernama pujangga. Ia hadir dalam ujudnya yang setara dengan kekuatan alamiahnya. Meluncur menghantam bumi menciptakan moment bagi mereka yang percaya akan keajaiban pada satu harapan yang terucap. Ia yang melesat tanpa peduli lagi adanya ruang dan melumpuhkan berapapun banyaknya waktu.

.

Ia yang didalam kungkungan akar melahirkan Batman tanpa kasta layar lebarnya. Batman dalam balutan punk, berbatok gundulisme dan tak lupa garis Avatar simbol keabnormalannya berliku disepanjang garis kemanusiaannya. Ia yang menghadirkan juga kepermukaan, ketabuan manusia di ufuk timur hingga tanpa sadar dipaksalah aku untuk mencecap dan mentolerir segala ketidaknormalannya. Ia yang menguntai surat dalam salah satu file didalam warnet diujung jalanan. Menyemai banyak cerita sarat peringatan, untuk embrio yang akan datang..untuk akar agar tidak pernah takut kandasnya kebenaran yang tak bernyawa.

.

Ia yang menyusup bak virus dalam kilatan petir yang membungkus badan sebuah raga bernama Elektra. Mengalirinya dengan segudang kepolosan yang dengan perlahan meracuni akal sehat, menjadikan seekor kucing dengan sadisnya dinamakan kambing. Ia yang menghadirkan seorang dalam kaus belel untuk dijadikan teman, pasangan, patner adu dalam memperjuangkan keegoisan. Ia yang secara misterius berhasil mempertemukan bintang Akar dengan si ahli listrik berkemampuan klenik.

.

Ia yang dalam kemampuan tak terhingganya mendalangi kehilangan seorang ahli beserta remah terkecilnya. Menyisakan buah dari spermanya mengorek dan menggali begitu dalamnya tanah hingga pulau seberang sana. Demi satu pencarian yang telah beda bahasa dan dunia. Ia yang mempertemukan dua tangan. Antara Zarah si manusia hutan, dengan Batman si manusia dipertanyakan kemanusiaannya.

.

Aku bercerita tentang ia yang mengajariku membuka mata, mengenalkanku pada banyak karakter dan nama. Menempaku akan begitu kayanya alam dan akal pikiran berbagai makluk bernyawa. Aku yang mengagumi bagaimana namanya mampu menyeruak dan bercokol tenang merajai pemikiran tak peduli seberapapun banyaknya aku membuka buku cerita. Karena ia hidup dalam kematian yang abadi. Karena ia sanggup hadir dalam substansi yang tak bisa disebut nyata..hanya karen aku sadar kita sesama nama yang tercipta oleh Ia. Pengalamanku akan hidup sama nolnya dengan kecakapanku bercinta. Tak tau mana teknik, tak tau mana waktu. Yang aku tau hanyalah bahwa aku tengah mengalami..dan ketika Bintang Jatuh hadir membagi keajaiban bagi mereka yang percaya, dalam balutan Supernova inilah kusebut jajaran embrio dan anaknya adalah dunia. Masing-masing lembar mengajarkan tentang jalan, masing-masing nama mengajarkan tentang rumus yang menyelimuti banyak misteri. Dalam mukanya, entah ia atau penciptanyalah yang tengah berkorespondensi..menciptakan sebait syair penuh keluguan, mengemasnya bersama paraf yang berhasil mengecoh ketegangan saraf otak. Aku tergoda, aku terpesona.. Oh Tuhan, aku telah jatuh cinta. Pada barisan lelehan tinta yang berhasil mengalirkan nyawa pada tiap alir darahku. Membangkitkan lagi nada yang terkurung mati dalam kejamnya bongkahan takdir. Menggerakkan adanya kekuatan Dewa yang tengah tersekap dalam raga, milikku. Oh Tuhan..aku telah jatuh cinta pada adanya luapan laut aksara..membanjiriku dengan ingin dan obsesi tanpa mata. Aku jatuh cinta berkat ia yang bernyawa. Aku jatuh cinta dan serumnya berhasil menyuntikku menjadi manusia berkekuatan dewa. Dan satu bab terakhir menantiku untuk seutuhnya disebut manusia gila.

Minggu, 31 Agustus 2014

Warna Dan Nama

Catatan kecil dipagi buta tentang dunia fangirl setelah sekian lama memilih diam untuk berapapun banyaknya cuatan.

.

Aku tidak tau, kenapa akhir-akhir ini masalah perfandoman menjadi sangat besar kansnya untuk dijadikan sebagai pemicu fanwar. Aku semakin tidak mengenali mereka yang membahasakan kegilaan juga obsesinya kedalam satu kata singkat bernama cinta. Aku semakin tidak mengerti mereka yang menyebut dirinya pure atau multi, aku semakin tidak mengenali mereka yang kebanyakan darinya adalah anak kemarin sore.
Aku bagian dari Super Junior. Kanvas Coklat, buku pertamaku menceritakan detail betapa darahku telah sepenuhnya terkontaminasi warna safir biru. Tapi sungguh, masih satu hal yang riskan ketika harus menyebut diri adalah PURE. Menyebut diri berdarah murni. Sekalipun tetap, dimanapun aku memiliki kesempatan tetap kucantumkan satu, ELF sebagai fandomku. Keluasan dunia fangirl memperkenalkanku banyak cerita, banyak nama, banyak darah juga. Dan untuk kesemuanya, untuk kehadiran mereka, untuk usaha mereka bertahan ada, aku menyebutnya teman. Bahkan saudara, tanpa lagi peduli ataukah ia mendiami satu fandom, dua fandom, lima fandom sekalipun. Bahkan jika darah kita berseberangan warna, untukku keberadaan mereka dalam dunia singkat ini lebih penting ketimbang dari sekedar perbedaan warna.

.

Sungguh masih sesuatu yang mengelukan untuk ikut berteriak lantang bahwa aku adalah seorang pure. Karena kenyataannya biasku lebih dari satu saja. Karena ternyata aku memiliki beberapa banyak teman berharga dengan darah berbeda. Aku membutakan darah mereka, yang aku lihat adalah utuh mereka yang terjebak dalam dunia sama denganku. Terlalu sulitkah fangirl masakini untuk ikut memiliki cara pandang sesingkat itu?
Aku sendiri selalu beranggapan, mungkin..mungkin Super Junior akan lebih bahagia jika memiliki penggemar gila dalam batasan yang sebenarnya. Untuk apa berkata pure, dan sebagainya jika masih menganggap fans lain adalah musuh yang perlu dicaci cerna? Aku tidak yakin mereka yang disana akan menerima alasan "cinta" dengan jalan menebar paku kebencian. Aku tidak pernah beranggapan Super Junior akan membenarkan sikap elf yang terlalu menyekat, menggaris pasti dan menjadikan batas sengketa sebagai ajang adu mulut.
Aku memahami untuk Super Junior yang menangisi kepergian elf karena memilih berganti warna darah, aku memahami itu sebagaimana kuresapi rasa ketika seorang orangtua harus melihat anaknya justru lebih dekat dengan ibu-ibu tetangga.

.

Dear my dears elf, jadilah cerdas..tidakkah waktu mengajarimu tentang bagaimana cara menunjukkan dukungan dengan benar? Tidakkah waktu menunjukkanmu bahwa mereka menginginkan kita berada dalam satu warna damai biru safir? Kenapa tidak sekali saja beberapa darimu belajar tentang indahnya diam? Oh tidak, aku ingin menangis sekarang. Sungguh. Untuk mereka yang ditinggalkan setelah menghadirkan segala terbaiknya, aku ingin menangis untuk mereka yang menghabiskan seperempat hidup diatas panggung demi fans yang masih bermulut tajam memuntahkan larva yang diberi judul cinta.
Dear pure elf, aku tidak tau apakah aku sama sepertimu..sekalipun jelas kita berada dibawah kibaran satu bendera, terkontaminasi virus mereka, berharap bisa mendukung juga memberi banyak cinta untuk mereka. Tapi cara kita berbeda, aku memaknai diamku untuk mereka yang menyulut api adalah hal terbaik untuk Super Junior. Dan nalarku masih bekerja dengan tidak terlalu ketat membatasi diri dari fandom lain. Adik tersayangku adalah seorang berdarah hijau lime bernama Bana, kakak tercantikku adalah seseorang mengagumkan bernama Shawol. Dan beberapa mereka yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Untuk keduanya..untuk si Bana dan si Shawol aku menahan diri untuk tidak menamakan diriku pure dan menebas segala yang berseberangan. Aku menahan untuk tidak membabi buta menunjukkan rasaku pada mereka yang tak tersentuh. Untuk kehadiran keduanya aku memilih diam akan segala api yang terkadang meminta untuk dikobarkan. Hanya karena aku sadar, dunia fangirl tidak akan selama yang diinginkan untuk tetap eksis, aku tau disana akan ada akhir..dan tapi dari persaudaraan, disana tetap akan ada ikatan terjalin tanpa batasan waktu.
Dear elf masakini, aku bahkan terkadang ragu untuk menunjukkan identitasku pada kalian, aku berpikir kita beda masa..aku terlalu tua untuk bisa berkoar-mengangkat pedang, beradu mulut dan meladeni berbagai fanwar. Kalian yang tengah dalam kobaran api menyala, sementara aku..semangat dukunganku sebatas kedipan bara, menyala tanpa menunjukkan bahwa ia benar-benar ada. Namun jangan ragukan tentang keberadaan bara..kekuatannya menyala bertahan hingga menjadi arang.