Sabtu, 15 November 2014

Tangisan Anak Rimba

Alam tak pernah sudi berdusta untuk menutupi ketidakadilan yang diterapkan anak rimbanya. Dan jamur, tumbuhan bertudung manis itu adalah satu dari sedikit kawanan disana yang berani menggeliat memanggil nurani yang terus terkikis aspal.

.

Aku dan jamur adalah kawan. Menjalin hubungan dengan mengandalkan getaran halus bernama perasaan bawah sadar. Kami adalah sebuah interaksi yang sulit dipahami. Menggulung banyak skema juga tanya hanya dengan terus manut pada kealamian. Dan petang ini berbeda, jamur memilih interaksi yang tak biasanya untuk menyentuhku. Yakni dengan bercerita.
Ia menangis, ketika mulai membuka percakapan dengan satu saja tanya kenapa. Ia menangis dan membiarkan tudung putihnya tercoreng aliran air mata berwarna hitam yang menguap deras dari retina. Ia bercerita tentang adanya ketidak adilan ditengah rimba. Ia bercerita tentang mewah yang dipanggul salah satu penghuni rimba sebagai alasan hadirnya kecemburuan tak berlogika. Ia terus bercerita hingga alam terpaksa mencuri dengar apa yang kiranya tengah terjadi pada salah satu anak rimbanya.

.
.

Alam, kenapa aku harus melihat begitu banyak kebobrokan? Bahkan dalam keagungan luasmu masih kudapati pula tangis lara ketidak adilan. Alam, kenapa aku harus menjadi jawaban? Menjadi tangan dari keluh si jamur hingga akhirnya engkau mengetahui dan tersadar.
Aku adalah segumpal lumut diantara rindang pohon juga lebatnya hutan. Dan pertemananku dengan jamur adalah ketidaksengajaan yang ditakdirkan untuk ada. Kejujuran itu, dimanakah kejujuran seharusnya berdiri lantang tanpa harus takut akan adanya turun jabatan? Kejujuran itu, kemanakah harus berlari, menghinggapi dan menaungi bukan justru menjadi momok yang terus dihindari? Ah alam, aku tau engkau melihat lebih seksama dari apa yang sanggup diperjelas oleh mata istimewaku. Ah alam, aku tau engkau berdiri disana sebagai ibu beserta dekapannya yang akan menyapa tiap anak rimbanya tanpa memandang spesies juga volumenya. Dan bukan sebagai hakim yang dengan mulut besarnya justru menggilas adanya kejujuran yang mencuat dari tudung suci sebuah jamur dibelantara tanpa nama. Akankah kejujuran yang berdiri sedemikian agung harus hidup terkaveling kaveling? Dan mataku memang tak sehalus pujangga, ia menuangkan apa yang sekiranya tengah dirasa dan bukan justru mencari bahan disemak tak terduga.

.
.

Dear alam, sekiranya belum terlalu larut untuk meminta padamu sejumput kehangatan. Sudikah engkau menurunkan hujan bagi kami, dataranmu yang haus akan adanya keadilan. Terlalu banyak mata tertutup untuk adanya kesenjangan ini. Pohon jati menjadi salah satu diantara jajaran mereka yang tak mengenal dosa. Pohon paku dengan gagah dan keanggunannya menyilaukan mata konsep emas yang memenuhi tiap inchi gaun yang dikenakan bahkan hingga ujung akarnya. Dan ah, ataukah keadilan adalah sesuatu yang mahal untuk bisa menyentuh kehidupan sekumpulan jamur kawanku? Aku harus tidur, aku tau aku harus tidur. Memahami sebentar apa yang menit lalu diperlihatkan oleh mimpi padaku, mengerti sebentar yang hari lalu diceritakan oleh tumbuhan bertudung manis padaku.
Mungkin dengan ikut memejamkan mata, bisa kutemukan jawab tentang pertanyaan antara limapuluh berbanding tigapuluh dan empatlima. Mungkin dengan ikut memejamkan mata, bisa kumahfumi keberadaan sayang berlebih pada mereka yang justru telah menjulang menenteng nama.

.

Dear jamur kawanku. Ingatlah sekiranya alam tak pernah sudi berdusta untuk menutupi ketidakadilan yang diterapkan anak rimbanya. Ia akan menurunkan hujan, yang kelak menghujam juga mengoyak mereka yang dengan angkuhnya mengerdilkan keberadaan kita. Dear jamur kawanku, sekiranya engkau akan terus mengingat. Sekalipun kita harus menyapa dalam bahasa yang tak sama. Tapi dataran kita tumbuh berada dalam jangkauan mata yang tak jauh beda. Ku saksikan bagaimana engkau perlahan tumbuh tanpa tudung dari balik rerimbunan daun kering yang jatuh ke tanah. Ku saksikan bagaimana engkau tersenyum cerah mendapati kenyataan engkau sanggup lahir dan menyapa matahari. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Alam telah mengetahui melalui mata istimewa yang secara alami hadir ditiap ujung jemariku. Alam telah mendengar melalui beraninya engkau berjalan dalam setapak yang tak biasanya. Dan ingatlah...aku, engkau juga mereka adalah anak rimba yang memiliki andil sama. Tak harus alam yang turun tangan menegakkan keadilan. Karena merekapun kelak akan menurunkan peringatan ketika alam terlalu patuh pada keluhan kita. Tak harus alam yang harus meluruskan jalanan dan menyeraki dedaunan diantaranya. Engkau hanya membutuhkan keberanian dirimu untuk bisa mendapat keadilan. Dengan jalan manut pada apa yang tengah menuntunmu menuju kemuliaan. Rimba memang seperti ini. Rimba memang tak hanya tentang satu dan dua. Tapi rimba adalah tentang ribuan bahkan jutaan umatnya. Mari kita coba beralih jalan. Bersalaman dengan musang yang mungkin lebih ramah dan berkawan ketimbang mereka yang tak sudi merunduk demi menggapai genggaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar