Sabtu, 22 November 2014

Anonim Berdarah Klorofil

Hari itu istimewa..ketika ku buka mata dan berhasil ku kepakkan sayap bercorak milikku. Hari pertama dimana aku akhirnya mengetahui bahwa diriku bukan lagi sesosok kepompong yg melingkar manis dalam perjalanan hibernasinya dilekukan daun hijau ditengah pematang. Aku bahagia, sungguh tak pernah kucicipi kebebasan melegakan seperti yg tengah kurasakan itu sebelumnya. Kaki-kaki yg sebelumnya terjerat dalam lumatan sarang, mata yg sebelumnya juga tersudut hanya bisa memandang sebatas ruang inapan semata. Keberhasilan metamorfosa yg hanya sepertiga dari harapan. Semua keterbatasan itu terbayar oleh waktu yg menghadirkan padaku dua sayap indah dipunggung. Aku adalah sejenis kupu-kupu. Ya,
hari itu takdir telah mengutukku menjadi makhluk yg sanggup mengangkasa dengan sayap beracun nan indah mempesona. Kalian pernah mendengar fakta bahwa serbuk yang menaburi halus permukaan sayap kupu-kupu adalah ternyata sejenis racun? Ia bukan racun sebenarnya. Serbuk halus itu adalah salah satu tameng untuk melindungi diri dari dekapan tangan-tangan liar. Alam memang penuh sihir. Diciptakanlah aku dalam warna mencolok juga beragam ditiap lekuk sayap, dan wush!! Celup keindahan itu tak lain adalah tameng baja. Sejenis perisai dikalangan pembuat pagar halaman, atau mungkin sejenis mantra kontradiktif dalam pelajaran sihir diseberang sana.

.

Aku bahagia, akhirnya secara bertahap kutemukan duniaku. Menikmati celah ruang ditiap sudut bumi dan langit. Menyusuri tiap tangkai bait aksara dan mencucupnya dalam mantra. Menikmati juga warna celupan alam selain hijau daun dan putih sarang rumahku.
Dari setiap inchi kebahagiaan yang menyelimutiku..ada satu yg masih mengikat kakiku sebenarnya. Ya, daun masih belum siap menerima transformasiku menjadi kupu-kupu. Daun hijau ditengah pematang belum sepenuhnya bisa menerima adanya perubahan alam. Entah apa yg mengikatkan kakiku dengan partikel klorofilnya, entah apa pula yg telah ku doktrinkan dalam darah hijaunya hingga kini ia sulit untuk melepaskan.
Malam-malam terakhir sebelum masaku datang menjadi makhluk penjaja angkasa, daun hijau ditengah pematang itu mengirimiku surat dalam ujud getaran. Ia memintaku agar tetap tinggal. Ia memintaku untuk tetap bertahan. Tidak taukah ia, keberadaanku yg dipaksakan hanya akan mendatangkan kematian? Aku digariskan untuk menjadi kupu-kupu. Sebelum kemudian mati benaran karena usia atau jamahan alam. Tak taukah ia keberadaanku yang dipaksakan hanya akan menghadirkan kecacatan? Aku dalam balutan putih rumahku, yg abadi tanpa ada metamorfosa lanjut menjadi makhluk penjajah angkasa. Aku tanpa nyawa dalam balutan putih rumahku yg akan menempeli ruang tulus juga murni lembaran daun hijau ditengah pematang. Dan sesungguhnya hadirku yg dalam kecacatan sebenarnya adalah hanya noda untuk kebersihan ruang memori juga harimu. Bahkan jika format diri kupu-kupu harus dilalui dengan terus menjadi inang dalam helai tubuh si daun hijau hanya akan menyakitinya perlahan karena kontaminasi serbuk racunku? Tidak sadarkah engkau, wahai daun hijau? Tak ada yg mudah untuk setiap perubahan. Dan pernah kujanjikan disatu masa bahwasanya kita akan tetaplah menjadi kita sekalipun kita beda dunia. Lupa dengan perkataanku satu itu? Setidaknya izinkan aku berbagi bahagia dengan jalan telaten membukakanmu mata.

.
.

Daun hijau ditengah pematang yg masih dalam kegigihannya untuk bisa paham. Daun hijau yg pernah menjadi pesinggahan nyamanku dalam melewati waktu berhibernasi. Daun hijau yg pernah kuminta pada pencipta agar namanya tercatat rapi dalam tulisan ilahi menjadi teman abadi dalam dunia yang tak pasti ini. Daun hijau yg pada akhirnya menggores permukaan kulit tipisku dalam pengabaian adanya kehadiranku. Ya, ia tau aku masih rentan, ia paham aku tengah dalam labilku dan ia sangat paham aku tak memiliki teman. Tapi penolakannya untuk menjadi teman beda darah, udara dan aksara dimalam dengan suhu mencekik itu menjadi tamparan tersendiri. Ia tidak paham jalanku. Aku tak diizinkannya kembali singgah.

.

Dear daun hijau ditengah pematang..siapapun engkau nanti, malam lusa dan kemarin. Aku tidak tau apa yg dituliskan, bicarakan..dan apa yg engkau inginkan. Sosokmu ini siapa? Aku kenapa? Sungguh aku sendiri tidak tau kenapa harus memilih menjadi monster kali ini. Tolong maafkan dia, maafkan kekanakannya. Dan maafkan juga keputusannya. Tunggu sebentar lagi, dia labil..monster itu masihlah kupu-kupu yg tidak pernah tega melihat mangsanya terluka. Tunggu sebentar lagi, sampai hujan mengikis hati batu juga otak gilanya. Tunggu sebentar lagi..sampai waktu menyembuhkan semuanya juga berkata, Ya! maafkan aku juga.


.

Aku tau daun hijau ditengah pematang memahami baitku kali ini. Aku harap ia paham. Kehidupanku haruslah ditapaki dengan berjalan. Mencuri sesuap sinar cahaya, dan mencari ranum putik sari untuk dijadikan cadangan kekuatan esok dan selanjutnya. Sementara ia, darah hijau telah membanjinya dengan cinta tanpa perlu ia meraba.


-teruntuk, anonim berdarah klorofil didaratan seberang-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar