Sabtu, 29 November 2014

Dalam Balutan Abu-Abu

Pagi menyapa dalam balutan rinai yang turun teratur dari langit. Awan sendu terlihat semakin mengikis dari balik kaca jendela kamar. Lama. Lama kubiarkan jarum jam berjalan tanpa disandingi aktivitas berarti, selain hanya bernafas. Ya, bernafas.

.

Sesosok kawan lama datang menyentak lamunanku dalam cicit merdunya. Merayap dalam jarak yang tak terlalu dekat untuk dilayangkan kibasan, juga tak terlalu jauh untuk sekedar menatap sorot kecil matanya. Ekor lencirnya terpaku seiring dengan waktu yang juga membekukan hujan diluar sana. Sekali lagi mata kami saling beririsan. Menyapa.

.
.
Ku kirim sapaan berupa sinyal getaran yang hanya bisa dimengerti oleh kaum spiral seperti kami. Mataku mengerjap sekali ketika samar kutangkap seulas hangat tersapu dilingkar mata berairnya. Dia membuka pintu hadir untukku. Hai, teman...sudah sangat lama ketika terakhir kali aku menyapamu dalam bait panjang yang telah lalu. Masih ingatkah?
Aku tersenyum ketika sosok itu tak lantas pergi menjauh ketika tanganku sedikit terjulur mendekat. Ia menerima permintaan pertemananku lusa kemarin. Aku tau itu, kehadiranku yang tak lagi mengusik menjadi pertanda bahwa aku diperbolehkan menjadi temannya. Hujan terus membungkus kami dalam hangat yang tak lagi membakar dalam beberapa waktu kedepan. Membungkus hening yang terus melingkari percakapan kami bak pelangi diatas garis awan. Mengagumkan.

.

Adalah seekor cicak yang menyita perhatian selama berjam-jam waktuku tersekap dalam rintik hujan. Dalam ruang kotak bernama kamar dan getaran menjadi bahasa yang menyambungkan selain tatapan. Pernah kusapa ia dalam lain kesempatan, detik pertama ketika akhirnya kuputuskan untuk menamai ketertarikanku pada makhluk mungil melata itu menjadi keinginan sebuah ikatan bernama teman. Sebelum hari itu, aku telah melayangkan banyak sapaan. Tapi tak pernah kulewati detik ketika mata kami pada akhirnya harus beririsan. Aku selalu mengira ia tak akan sudi berteman dengan monster sepertiku. Kami beda alam, beda tanah jajahan, bahkan berbeda tanah jalanan. Aku selalu mengira diamnya adalah penolakan tak langsung pada niat baikku untuk menjadikannya teman. Dan hujan pagi ini menjadi saksi bahwa semua yang menjadi dugaanku hanyalah prasangka tanpa alasan.

.
Dear makhluk manis, aku senang ketika kita akhirnya bisa menjalin ikatan bernama teman. Telah sangat lama kudamba hubungan tak lazim ini. Dan bukankah akhirnya engkau sadar bahwa keberadaanku bukanlah sebuah ancaman? Kita berada dalam lingkup udara sama, dan hanya getaran yang mampu mencerna ucapan yang tak sanggup diterima oleh masing-masing kita. Diamku bukan berarti tengah dalam siaga untuk melahapmu. Diammu pada akhirnya ku tau bukanlah kesombongan yang meruak dari pribadimu. Dan aku senang engkau akhirnya bisa mencerna bahasa tatapan.
Dear makhluk tipis, hujan diluar tengah dalam skala besarnya. Alam sepertinya tengah ikut merayakan hubungan kita. Diturunkannya air dalam jumlah tak terhingga hanya agar engkau dan aku bisa saling menyapa dan bersalaman. Hari ini istimewa, aku tau. Sekalipun jika nanti sosokmu harus lenyap dalam gulita yang menelan. Tak apa, karena akupun tak akan selamanya ada dalam sekat berdinding ini. Duniaku tak seluas ruangan kita, tapi aku tau..jalanmu tak akan pernah melangka jauh dari jangkauan pandang ruangan kita. Dan disini ku temukan nyawa. Dalam seulas senyum diwajah cicak manis sepertimu. Dan disini ku temukan teman dalam ujud makhluk berekor dan bercakar tajam. Sekali lagi ku ucapkan terimakasih karena kita pada akhirnya menjadi teman.

.
.
Hujan berhenti dan menghadirkan semburat merah diufuk atas. Mentari menyapa dalam balutan agung nan anggunnya. Hai alam, sejauh apapun aku memaksa..tak ada yang lebih bermakna selain ketika adanya sebuah penantian akan waktu yang seharusnya datang. Aku memiliki arti hari ini, duri yang dulu pernah menjadi aspal jalan tak akan lagi menakutkan setelah ini. Karena aku sekarang berteman, bersama ia makhluk manis yang ekornya selalu menyapu awang. Tak apa jika esok ia lupa pernah tersenyum dan menyambut sapaku. Tak apa jika esok ia tak datang dalam penantian seorang diri didalam kamar. Karena kami terikat hanya dalam frekuensi getaran. Tanpa mengenal jarak juga pagar penghalang. Dimanapun ia tengah merangkak, sinyalku tak akan berhenti mengetahui apa yang tengah ia tatap. Dan jika esok aku harus berganti ruang sekapan. Setidaknya hari ini ia telah membalas sapaku dalam senyuman. Tatap manis yang mengantarku pada lamunan tak berarah. Tatap manis yang menyalurkan pada semangat tak bernama. Dan aku hanya perlu meraba untuk mengetahui adanya kehadiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar