Selasa, 07 April 2020

Pendaki Amatir

Aku mendaki sebuah gunung. Terdapat banyak jalan menuju puncaknya. Dari yang di sarankan oleh ahli pendakian, lalu jalan yang di buat oleh penduduk sekitar, hingga jalan yang di tuntun oleh nurani. 
Aku memilih jalan yang terakhir. Menjadi manusia kebanyakan sama sekali bukan ciri khasku. Sementara mengikuti setapak yang telah di buat oleh penduduk sekitar sama sekali tak memberi tantangan, lagi pula apa enaknya berjalan dengan di tuntun oleh setapak yang di buat oleh orang lain? Kau harus menciptakan sendiri setapakmu. Membelah belantara hanya demi menemukan puncak tujuan. Tersesat bukan halangan, salah bukan sebuah masalah. Aku mencoba peruntunganku. Menaklukkan gunung melewati jalur yang tidak biasanya. Perjudianku dengan keberuntungan dan juga alam. 

Gelap, aku melihat nyala cahaya yang hanya berupa titik, jauh di belakang sana, pintu masukku menuju kepekatan total. Ini pilihanku. Bahkan jika ini adalah perjalanan terakhirku, sebisa mungkin tidak akan ada penyesalan di sana, karena ini adalah pilihanku. 

Aku sendiri. Berkawankan jamur dan lumut hijau yang menyebar rata di setiap kaki pepohonan tua. Aku sendiri. Hanya bertemankan nafas dari pegunungan yang tengah ku daki. Aku mencoba berbicara pada denyut yang kian menyatu dengan detak jantungku. Aku mencoba menyapa dan berharap akan mendapat petunjuk baru untuk keluar dari gelap yang kian mendekap. 

Jangan tanya seberapa banyak aku menjejalkan bekal ke dalam ransel yang menggantung kokoh di punggung. Aku tak mengira perjalananku akan menjadi semenantang ini. Dalam pemberhentianku yang selanjutnya aku berencana untuk mengurangi isi ransel, membuang barang-barang yang tidak kubutuhkan. Menghemat tenaga tentu cara terbaik untuk situasi ini. 
Ujung belantara masih panjang di depan sana, melambai, mencoba memanggil semangat yang kian menghilang seiring bertambahnya langkah. 

Tenggorokanku terasa kering, membunyikan suara akan membuatnya semakin terasa parah, tapi aku perlu melakukannya. Untuk membunuh sepi, untuk membunuh sunyi yang kian mencekam.
Satu, dua, tiga, kunyanyikan lagu tentang pahlawan. Tapi suasana justru semakin terasa buruk. Perjuangan mereka terlalu agung untuk di dendangkan di tengah belantara. Lalu aku mencoba lagu lembut. Dan sihir seketika meghampiri, memilih kelopak mata untuk merekatkan mantranya. Memang baik jika kita bisa terlelap di tengah gempuran rasa takut. Tapi proses tidurku kali ini tidak menguntungkan. Karena di alam sana, aku menemui kegelapan yang lain lagi. Kegelapan yang terasa getir. Menyapu seluruh langit-langit mimpi dan melemparkanku pada nyala nanar seketika. Aku bangun untuk tenggelam lagi dalam kegelapan yang pertama. Saatnya untuk melanjutkan jalan, bahkan jika denyut pegunungan sama sekali tidak mengirimkan pertanda, tentang jalan mana yang harusnya kupilih, tentang tikungan mana yang harus kupilih. 


Puncak masih setengah perjalanan. Dan ini adalah hari ke limaku. Memang bukan pegunungan biasa yang kupilih untuk di daki kali ini. Gunung ini biasa di sebut sebagai gunung abadi, karena panjangnya jalan yang harus di tempuh dan berapa banyak bahaya yang menghadang. 

Tidak hanya peluh yang turun membasahi tapi juga air mata, oh Tuhan, aku mulai lelah dengan jalan pilihanku. 

Mengeluh tidak akan mengurangi beban, mengeluh tidak lantas memperpendek jarak pada tujuan. Mengeluh hanya menandakan bahwa aku manusia biasa. Dan menaklukkan alam bukanlah sesuatu yang ada dalam jangkauan kekuatanku. 

Dia dengan keluasannya, dia dengan segala kisah pertama, kedua dan lainnya. Dia dengan kebesarannya yang tak mungkin bisa sepenuhnya kurengkuh. 

Penat menguji tekad. Penat menguji pilihan. Bukan sekali aku berakhir untuk mengakhiri ini. Bukan hanya sekali aku berpikir untuk menyerah pada niat pertamaku dalam menaklukkan gunung satu ini. 

Aku ingin tidak hanya nafasku saja yang mengejar jarak, aku ingin bukan hanya nadiku saja yang berima menyelaraskan langkah. Tapi dia tetap diam. Tapi dia tetap jauh di sana, ada jurang yang memberatkan langkah, bahkan ketika aku membabi buta memperpanjang langkah, dia tetap akan sepertu itu, dia akan tetap diam. 

Dear gunung tinggi nan berkuasa. Bisakah kita bercakap-cakap barang sejenak? Bisakah kau merasakan peluh yang mengaliri raga ini? Bercampur dengan air dari retina. Meski penting untuk mempertahankan tekad di awal niat tapi jujur saja aku ingin mengakhiri perjalanan ini. Meski penting mempertahankan perjuangan sampai ke puncak, tapi di sini, sesuatu tengah membeku. Aku selalu merasa bahwa dalam perjalanan ini hanya aku yang menginginkan puncak itu, engkau menutup diri, sembunyi entah dimana, tak pernah mencoba untuk berbaik hati memuji penat yang kian mendera, tak pernah mencoba untuk berbaik hati agar puncak dapat cepat terselesaikan. 

Aku merasa tengah berjuang sendiri untuk pucak itu. Dan kini aku ingin menyerah. Tidak apa jika jalan ke belakang ternyata lebih panjang ketimbang jalan di depan sana. Tidak apa jika ternyata hanya akan kutemui penyesalan di pintu masuk sana. Karena jujur saja, terlalu sulit melanjutkan perjalanan dengan hanya menggunakan satu kaki. Niatku sendiri. 

Semoga pendaki lebih beruntung dalam menaklukkan puncakmu. Semoga pendaki lain kuat niat ketimbang diriku. 

Sabtu, 04 April 2020

Jembatan, Malam dan Hujan Kecil-Kecil

Beberapa nama begitu inspiratif untuk di jadikan bahan tulisan. Beberapa nama terlalu menggiurkan untuk hanya sekedar di jadikan bahan angan-angan. 

Namamu salah satunya. Pemilik retina yang selalu mengundang siapapun untuk memandangnya. Pemilik senyum yang selalu menghadirkan kepakan kupu-kupu di setiap pulasannya. 

Aku punya rahasia manis tentang jembatan. Dengan amukan deras air di bawahnya. Aku punya rahasia manis tentang ingatan akan jembatan, dan malam, bahkan hujan kecil-kecil. Yang terkadang menawarkan undangan agar aku bersedia menilik seperti apa isinya. Masa lalu yang selalu menebarkan feromon menggelitik agar aku bersedia kembali untuk membuka halamannya. 

Kadang aku tergoda, tapi ajakan itu kian waktu kian menyusut. Bukannya tidak ada, hanya saja asinnya air yang tergenang, telah menghilang secara samar, menyisakan kepulan asap berisikan kepingan gambar, tentang bagaimana aku menangis diam-diam, tentang proses bagaimana topeng di tangan meluruhkan diri pelan-pelan. 

Namamu tetap bercokol di sana, seperti hantu yang enggan meninggalkan tempat keramatnya. Seperti bayangan hitam yang mengikuti manusia. Namamu tetap di sana dalam ingatan terdalam beserta jembatan, malam, dan hujan kecil-kecilnya. 

Aku tidak pernah berpikir tentang nama lain yang akan menjadi pendampingku. Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan lain jika Ari tidak mengiyakan tawaran untuk berhubungan waktu itu. Beberapa kali si pembuat baret datang dalam lamunan, dan namamu secara konstan hadir juga meski dengan tegas ikatan itu telah mematahkan harapan. 

Biarkan aku menyimpan rahasia manis tentang itu.  Aku tidak ingin membuatnya hilang atau terlupakan, karena namamu pernah mengajarkan sesuatu sangat penting dalam kehidupan. Yakni tentang mengikhlaskan.
Biarkan aku menyimpan sendiri rahasia manis itu. Tentang malam, tentang jembatan, tentang amukan air di bawahnya, dan tentang hujan kecil-kecil yang menjadi serbuk pemanis kebersamaan kita. Singkat, harus di akui waktuku begitu singkat. Kemarin aku mengagumi senyuman matamu, lalu keesokan harinya aku jatuh dalam pelupuk mengundang, dan lusanya pengakuan itu datang. Aku menyerah memperjuangkan sekian hariku yang terbuang untuk mengamati, mengagumi dan mengharapkanmu. Aku menyerah untuk mengakui pada kuncup yang tengah tumbuh di dalam sana. 

Biarkan aku puas memilikimu dalam kepala. Biarkan aku menyimpan rahasia manis yang meski hanya memiliki durasi singkat namun begitu membekas dan enggan untuk di tanggalkan. Hantuku yang kesekian dan tetap bertahan hingga sekarang. 
Kenangan tentangmu hanya seputar tiga kata itu, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil, tapi pelajaran yang kuambil dari masa singkat itu banyak hingga tak terhingga. Aku jatuh cinta, aku menjadi pengagum rahasia. Dan satu-satunya hal yang kudapat hanyalah air mata, tetesan air asin yang keluar dari retina bukan karena indikasi adanya luka, tapi perasaan bahagia. Aku terlalu bahagia untuk menjadikanmu nyata, sementara mencuri waktumu telah berhasil kulakukan, sementara senyummu telah berhasil mengenyangkan, sementara menculikmu dari siang yang membakar telah berhasil kulakukan, menculik lalu menyekapmu dalam malam-malam singkat di atas jembatan. Aku akan jadi serakah jika menginginkan lebih dari itu. 

Dalam waktu singkat kita aku bahkan lupa mengucapkan kata perpisahan. Lambaian tangan yang ku isyaratkan tak mendapat tanggapan. Sementara melayangkan pandangan mencuri untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal akan terasa seperti melanggar sebuah batasan. Garis yang di buat oleh takdir untuk mengingatkan bahwa milikmu bukan aku, bahwa namamu tercipta bukan untuk bersanding dengan namaku, bahwa peta untuk pulang kita tidak sama. Batasan yang membuatku hilang akal dan memutuskan untuk menghilang seketika. 
Biarkan aku menggenggam rahasia manis ini. Pijakan terakhir untuk terlepas keluar dari jurang yang engkau ciptakan. Aku harus menuntaskan, mengakui dan menuliskan. Menelan hanya akan mendatangkan bisa. Agar kelak yang tertinggal di dalam sana hanyalah kenang-kenangan semata, dan bukan lagi cinta. Rahasia manis kita sudah bukan lagi berbentuk rahasia. Karena aku telah berhasil mengatasi dan mengeluarkan, Ari mungkin akan membaca ini dan aku lega karena tidak harus menatap matanya langsung ketika menyatakannya. Pengakuan bahwa namamu telah melewati batas izin tinggalnya, bahwa namamu hanya menyalakan ingatan samar semata, menyisakan tiga kata kunci yang mungkin akan tersimpan selamanya. Jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. Tiga nama yang akan membawaku kembali pada ingatan tentangmu. Tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak memori manis lainnya, tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak kenangan di tempat yang sama. Namamu bukan lagi satu-satunya. Namamu bukan lagi yang paling istimewa. Jika memungkinkan aku ingin dengan benar mengucapkan selamat tinggal. Cara terakhir untuk melepaskan dan mengikhlaskan. Maaf jika membutuhkan waktu selama itu, selama ini aku hanya berpikir bahwa ikhlas tidak butuh pengucapan, ikhlas tidak memerlukan formalitas semacam jabat tangan. Dan aku salah. Cara terbaik untuk melepaskan adalah dengan mengucapkan selamat tinggal, cara terbaik untuk merelakan adalah dengan mengangkat dagu dan tangan, dan mengakui secara gamblang bahwa engkau telah berhasil melepaskan. 


Biarkan namamu membeku di rumah kecil ini. Tempat abadi di mana aku akan selalu kembali, kemanapun langkah membawaku pergi. Biarkan rahasia manis itu tertuangkan disini. Hanya sebagai penanda jika kelak kenangan tentangmu kembali menggoda, bahwa aku telah berhasil menuntaskan segalanya, memutus rantai suka yang tertanam semenjak pertama kali menemui senyuman di matamu, bahkan sebelum aku dengan resmi mengetahui namamu. 

Beberapa nama memang begitu layak untuk di jadikan bahan tulisan, beberapa yang lain kenangan tentang nama itulah yang layak mendapatkan tempat dalam tiap baris dan halaman catatan. 
Namamu mengekal di sini bersama tiga kata kunci yang selalu menyertai, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. 

Seperti juga rahasia manis itu, begitu juga rasa kagumku terhadap namamu. Aku ingin siapapun tahu, aku ingin siapapun membaca. Agar kelak tidak ada lagi rahasia yang tersisa di kedalaman sana. Agar kelak yang terkubur bersama waktu hanyalah kenangan samar tentang persahabatan manis kita yang telah berakhir dan lupa untuk ku tutup dengan ucapan selamat tinggal. Aku tidak mengharapkan retinamu membaca ini, atau tulisan-tulisan lain tentang pengakuan cintaku padamu. Kita akan menua dengan menggenggam ingatan yang berbeda. Dan di dalam kepalaku, ijinkan jembatan, malam dan hujan kecil-kecil yang menjadi penghuni tetapnya. Cara terbaik untuk tetap memilikimu tanpa harus menyakiti siapa-siapa. Hanya ingatan singkat tanpa kata penutup, hanya kenangan singkat tanpa judul. Itu saja. 

Kamis, 02 April 2020

Menyelami Kolam Ilusi

Sudah berapa kali tepatnya aku mengelak dari kalian? Sudah berapa kali tepatnya aku mengukuhkan niat untuk pergi dari kalian? Mudah untuk pergi sulit untuk pulang. 

Aku kira kehidupan akan berakhir landai ketika kita jatuh cinta dan terikat dengan seseorang. Aku kira kehidupan telah mencapai titik puncaknya ketika berhasil mengklaim diri bahwa kita bahagia. Tapi ternyata ada puncak lain yang harus di daki. Tapi ternyata ada lembah lain yang harus di seberangi. Karena menikah bukan hanya mengesahkan kegiatan tidur bersama pasangan di atas ranjang. Menikah berati ada tahap selanjutnya dalam kehidupan yang perlu di daki, menikah berati ada banyak ikatan yang harus di urus dan di perhatikan. Menikah berati menjaga banyak kepala dan banyak perasaan. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk semuanya. Karena belakangan aku menyadari ada banyak luka yang lupa untuk di obati, ada banyak topeng yang harus di kenakan, ada banyak kompromi yang harus di selesaikan. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk semuanya. 

Apa kalian tahu sesuatu? Ari mengajariku untuk tidak mengeluh, Ari mengajariku untuk menjadi yang terbaik dan memberikan yang terbaik. Dan di sinilah aku sekarang. Terseok dalam langkah sendiri. Mencoba bangkit dari keterpurukan. Dan kalian selalu ada di sana, untuk memberikan dukungan. Untuk memberikan ilusi akan adanya teman. 

Aku merisaukan banyak hal akhir-akhir ini. Belakangan ragaku di mana dan pikiranku di tempat yang berbeda. Aku merisaukan tentang banyak nama. Tentang Ari yang tengah berjuang di kejauhan sana, tentang kalian yang telah berhasil baik-baik saja, tentang Hara yang tulang di tubuhnya kian terasa dalam sentuhan, tentang rumah lain yang begitu kumimpikan. 
Ya, aku memendam keinginan satu itu. Bukan berati aku tidak mau bersama pengandungku. Bukan berati aku ingin melepas tanganku dari kewajiban menjaga mereka. Tapi ada hati yang selalu teriris sewaktu-waktu. Kalian paham benar bagaimana diriku. Manusia kaca yang memiliki potensi untuk pecah lebih cepat dari pada apapun. Manusia kaca yang memiliki kepekaan lebih ketimbang siapapun. Aku mudah terluka, aku mudah merasa sakit. Bahkan hanya dengan kata-kata, bahkan hanya dengan suara-suara. Keadaan yang terkadang membuatku ingin mengutuk siapapun yang berani menyentuhku sembarang, mengusir siapapun yang berani mendekatiku sembarang. Aku semenakutkan itu. Aku setajam dan serapuh itu. Dan mengungsikan diri dalam tempat terjauh dari peradaban adalah cita-cita terbesarku hingga saat ini. Aku hanya perlu membawa Ari, membawa Hara, dan kalian. 

Seseorang mungkin akan mengingatkan bagaimana sekian tahun lalu berkali-kali telah kusanggah kenyataan bahwa aku masih memiliki rasa untuk kalian. Seseorang mungkin akan melempariku kaca hingga aku dapat melihat seperti apa ujud si penjilat ludah sendiri satu ini. Tapi dengan Ari tak bisa ku bagi kerisauan ini. Tapi bersama Ari tak ingin kubagi beban ini. Aku pernah mengatakannya sekali, dan melakukannya lagi dan lagi hanya akan membuat Ari bosan dan terbebani. Dan di sinilah aku sekarang, duduk termangu bersama suara kalian. Kerisauan ini meluncur begitu tepat dengan di latar belakangi suara kalian. Nama-nama yang masih bercokol di dalam sana, menunggu untuk di datangi, meski harus di akui aku hanya datang ketika duka tengah melanda. Aku sebrengsek itu memang. Seseorang yang bahkan tidak pantas mendapat julukan teman. Seseorang yang bahkan tidak pantas untuk sekedar mendapat sapaan, karena aku akan otomatis menghilang jika dunia nyata tengah dalam kondisi baik-baik saja. 

Aku mengkhawatirkan banyak hal belakangan ini. Tentang berapa lama sisa hariku bersama Ari. Tentang siapa yang akan pergi lebih dulu, antara aku atau Ari. Wabah ini memutus jarak pandangku akan masa yang akan datang wabah ini membuat segalanya menjadi tak terduga. Dan aku takut karenanya. 

Kalian harus baik-baik saja, bukan untukku tapi untuk penggemar di luar sana yang tak pernah lelah dalam mendukung kalian. Kalian harus baik-baik saja, untuk mereka, para penggemar yang tak pernah merasa kecewa dengan segala keputusan dan kehidupan nyata kalian. Aku hanya hidup di bawah ilusi, aku hanya pantas tenggelam dalam dunia yang bahkan tidak pantas untuk di pertahankan. Pandanganku tentang dunia telah berubah kini. Tentang suara-suara, tentang bahasa-bahasa, dan kalian berjasa besar atas pelebaran sudut pandangku sejauh ini. Tidak ada yang kusesali selama ini. Pertemuan kita, momen jatuh cinta kita, hingga ketidakmampuanku menerima kenyataan bahwa kalian perlu mentas dari panggung hiburan. Sekali lagi kutegaskan bahwa aku hidup di bawah ilusi. Teruslah berjalan, tinggalkan saja aku bersama duniaku, seseorang yang bahkan tidak pantas mendapat predikat teman. Aku telah menemukan sumber bahagiaku. Dalam ujud seseorang. Tapi berbahagia bukan puncak dari kehidupan. Akan ada puncak lain yang harus kutaklukkan. Ada daratan lain yang perlu kudaki. Dan aku menggenggam ingatan tentang kalian, temanku melangkah dalam pekat yang enggan kumasuki bersama Ari. Dan aku menggenggam ingatan tentang kalian, bekal untuk mendaki puncak lain yang menunggu di depan sana. Maaf jika aku sebrengsek itu. 

Aku akan menua, dan kalian juga. Tapi ingatanku tentang kalian akan selamanya muda, tetap utuh dan tak tersentuh. Bahkan jika esok kalian telah melangkah dalam tahap hidup selanjutnya, bagiku dan kenanganku, kalian terawetkan dalan kesendirian sekaligus kebersamaan yang mengekal. Mungkin, jauh di dalam sana, inilah alasanku sebenarnya memutuskan untuk berhenti menjadi penggemar kalian sekian tahun dulu. Aku tidak ingin menodai ingatan tentang keutuhan kalian. Hatiku tidak di siapkan untuk melihat keretakan terlebih pemutusan ikatan. Aku tidak bisa dan tidak akan pernah siap. 

Terimakasih untuk kesediaan kalian menjadi pendengar. Terimakasih untuk keheningan yang berhasil kalian hantarkan hingga ujung paragraf ini. Ari tidak akan bisa senetral itu jika menjadi pendengar. Alasan kenapa beberapa hal lebih baik tidak kusampaikan padanya, sesuatu yang hanya bergejolak di dalam hati dan hanya membutuhkan jeda sunyi untuk membuatnya mereda. Emosi seperti itu, apakah kalian pernah terjebak di dalamnya? Dan suara-suara kalian menuntunku agar lebih gampang dalam menjabarkan. Terimakasih tak terhingga untuk bantuannya dalam menjaga kestabilan warasku. 

Aku akan datang lain waktu. Entah untuk pengaduan apalagi nanti. Tetaplah di sini, berenang dalam kolam ilusi. Sekeping dunia dimana hanya ada aku dan kalian dengan anggota penuh di dalamnya. Sekeping dunia dimana hanya ada mimpi dan harapan di dalamnya. Dimana kecewa dan kata akhir tak pernah eksis di dalamnya. Sekeping dunia dimana aku bisa berdiri dengan keutuhan nama dan melangkah dengan kakiku sendiri. Sesuatu yang telah lama kutinggal di belakang sana. Karena konon dalam sebuah pernikahan yang terpenting bukanlah tentang siapa kalian. Tapi yang terpenting adalah tentang bagaimana kalian bisa bertransformasi dalam banyak nama. Dan terkadang, aku merasa lelah dengan semuanya. Kepenatan yang tidak bisa di halau dengan ketelanjangan, hanya perlu berjalan menuju senyap dengan satu nama, dengan satu peran, satu identitas. Waktu ajaib untuk memulihkan diri dan memulai semuanya lagi.