Sabtu, 04 April 2020

Jembatan, Malam dan Hujan Kecil-Kecil

Beberapa nama begitu inspiratif untuk di jadikan bahan tulisan. Beberapa nama terlalu menggiurkan untuk hanya sekedar di jadikan bahan angan-angan. 

Namamu salah satunya. Pemilik retina yang selalu mengundang siapapun untuk memandangnya. Pemilik senyum yang selalu menghadirkan kepakan kupu-kupu di setiap pulasannya. 

Aku punya rahasia manis tentang jembatan. Dengan amukan deras air di bawahnya. Aku punya rahasia manis tentang ingatan akan jembatan, dan malam, bahkan hujan kecil-kecil. Yang terkadang menawarkan undangan agar aku bersedia menilik seperti apa isinya. Masa lalu yang selalu menebarkan feromon menggelitik agar aku bersedia kembali untuk membuka halamannya. 

Kadang aku tergoda, tapi ajakan itu kian waktu kian menyusut. Bukannya tidak ada, hanya saja asinnya air yang tergenang, telah menghilang secara samar, menyisakan kepulan asap berisikan kepingan gambar, tentang bagaimana aku menangis diam-diam, tentang proses bagaimana topeng di tangan meluruhkan diri pelan-pelan. 

Namamu tetap bercokol di sana, seperti hantu yang enggan meninggalkan tempat keramatnya. Seperti bayangan hitam yang mengikuti manusia. Namamu tetap di sana dalam ingatan terdalam beserta jembatan, malam, dan hujan kecil-kecilnya. 

Aku tidak pernah berpikir tentang nama lain yang akan menjadi pendampingku. Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan lain jika Ari tidak mengiyakan tawaran untuk berhubungan waktu itu. Beberapa kali si pembuat baret datang dalam lamunan, dan namamu secara konstan hadir juga meski dengan tegas ikatan itu telah mematahkan harapan. 

Biarkan aku menyimpan rahasia manis tentang itu.  Aku tidak ingin membuatnya hilang atau terlupakan, karena namamu pernah mengajarkan sesuatu sangat penting dalam kehidupan. Yakni tentang mengikhlaskan.
Biarkan aku menyimpan sendiri rahasia manis itu. Tentang malam, tentang jembatan, tentang amukan air di bawahnya, dan tentang hujan kecil-kecil yang menjadi serbuk pemanis kebersamaan kita. Singkat, harus di akui waktuku begitu singkat. Kemarin aku mengagumi senyuman matamu, lalu keesokan harinya aku jatuh dalam pelupuk mengundang, dan lusanya pengakuan itu datang. Aku menyerah memperjuangkan sekian hariku yang terbuang untuk mengamati, mengagumi dan mengharapkanmu. Aku menyerah untuk mengakui pada kuncup yang tengah tumbuh di dalam sana. 

Biarkan aku puas memilikimu dalam kepala. Biarkan aku menyimpan rahasia manis yang meski hanya memiliki durasi singkat namun begitu membekas dan enggan untuk di tanggalkan. Hantuku yang kesekian dan tetap bertahan hingga sekarang. 
Kenangan tentangmu hanya seputar tiga kata itu, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil, tapi pelajaran yang kuambil dari masa singkat itu banyak hingga tak terhingga. Aku jatuh cinta, aku menjadi pengagum rahasia. Dan satu-satunya hal yang kudapat hanyalah air mata, tetesan air asin yang keluar dari retina bukan karena indikasi adanya luka, tapi perasaan bahagia. Aku terlalu bahagia untuk menjadikanmu nyata, sementara mencuri waktumu telah berhasil kulakukan, sementara senyummu telah berhasil mengenyangkan, sementara menculikmu dari siang yang membakar telah berhasil kulakukan, menculik lalu menyekapmu dalam malam-malam singkat di atas jembatan. Aku akan jadi serakah jika menginginkan lebih dari itu. 

Dalam waktu singkat kita aku bahkan lupa mengucapkan kata perpisahan. Lambaian tangan yang ku isyaratkan tak mendapat tanggapan. Sementara melayangkan pandangan mencuri untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal akan terasa seperti melanggar sebuah batasan. Garis yang di buat oleh takdir untuk mengingatkan bahwa milikmu bukan aku, bahwa namamu tercipta bukan untuk bersanding dengan namaku, bahwa peta untuk pulang kita tidak sama. Batasan yang membuatku hilang akal dan memutuskan untuk menghilang seketika. 
Biarkan aku menggenggam rahasia manis ini. Pijakan terakhir untuk terlepas keluar dari jurang yang engkau ciptakan. Aku harus menuntaskan, mengakui dan menuliskan. Menelan hanya akan mendatangkan bisa. Agar kelak yang tertinggal di dalam sana hanyalah kenang-kenangan semata, dan bukan lagi cinta. Rahasia manis kita sudah bukan lagi berbentuk rahasia. Karena aku telah berhasil mengatasi dan mengeluarkan, Ari mungkin akan membaca ini dan aku lega karena tidak harus menatap matanya langsung ketika menyatakannya. Pengakuan bahwa namamu telah melewati batas izin tinggalnya, bahwa namamu hanya menyalakan ingatan samar semata, menyisakan tiga kata kunci yang mungkin akan tersimpan selamanya. Jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. Tiga nama yang akan membawaku kembali pada ingatan tentangmu. Tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak memori manis lainnya, tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak kenangan di tempat yang sama. Namamu bukan lagi satu-satunya. Namamu bukan lagi yang paling istimewa. Jika memungkinkan aku ingin dengan benar mengucapkan selamat tinggal. Cara terakhir untuk melepaskan dan mengikhlaskan. Maaf jika membutuhkan waktu selama itu, selama ini aku hanya berpikir bahwa ikhlas tidak butuh pengucapan, ikhlas tidak memerlukan formalitas semacam jabat tangan. Dan aku salah. Cara terbaik untuk melepaskan adalah dengan mengucapkan selamat tinggal, cara terbaik untuk merelakan adalah dengan mengangkat dagu dan tangan, dan mengakui secara gamblang bahwa engkau telah berhasil melepaskan. 


Biarkan namamu membeku di rumah kecil ini. Tempat abadi di mana aku akan selalu kembali, kemanapun langkah membawaku pergi. Biarkan rahasia manis itu tertuangkan disini. Hanya sebagai penanda jika kelak kenangan tentangmu kembali menggoda, bahwa aku telah berhasil menuntaskan segalanya, memutus rantai suka yang tertanam semenjak pertama kali menemui senyuman di matamu, bahkan sebelum aku dengan resmi mengetahui namamu. 

Beberapa nama memang begitu layak untuk di jadikan bahan tulisan, beberapa yang lain kenangan tentang nama itulah yang layak mendapatkan tempat dalam tiap baris dan halaman catatan. 
Namamu mengekal di sini bersama tiga kata kunci yang selalu menyertai, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. 

Seperti juga rahasia manis itu, begitu juga rasa kagumku terhadap namamu. Aku ingin siapapun tahu, aku ingin siapapun membaca. Agar kelak tidak ada lagi rahasia yang tersisa di kedalaman sana. Agar kelak yang terkubur bersama waktu hanyalah kenangan samar tentang persahabatan manis kita yang telah berakhir dan lupa untuk ku tutup dengan ucapan selamat tinggal. Aku tidak mengharapkan retinamu membaca ini, atau tulisan-tulisan lain tentang pengakuan cintaku padamu. Kita akan menua dengan menggenggam ingatan yang berbeda. Dan di dalam kepalaku, ijinkan jembatan, malam dan hujan kecil-kecil yang menjadi penghuni tetapnya. Cara terbaik untuk tetap memilikimu tanpa harus menyakiti siapa-siapa. Hanya ingatan singkat tanpa kata penutup, hanya kenangan singkat tanpa judul. Itu saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar