Minggu, 27 Desember 2020

Murid Tahun Kedua

Ini adalah kali pertama kita bertemu. Bukan tentang aku sebagai pengandungmu dan engkau sebagai benih yang tengah kutunggu. Ini adalah kali pertama kita bertemu sebagai guru dan muridnya di tahun kedua. 
Dulu, lama sebelum aku memasuki ranah penuh perjuangan ini. Dulu, sebelum nadiku masih utuh dan belum terbagi. Aku pernah memimpikanmu menjadi yang pertama. Sesuai nama yang hendak engkau rengkuh, Alfa.
Tapi nyatanya engkau hadir setelah Hara. Yang pertama untuk urutan kedua. Tapi memang harus seperti itu adanya. Ketika hidup ini adalah sebuah lahan pertanian, untuk memulai bercocok tanam maka hal pertama yang perlu di perhatikan oleh petani adalah kesuburan tanahnya. Dan kemudian unsur terpenting dalam hidup itupun mulai melaksanakan hakikat dari namanya. Hara. Mempersiapkanku, dari diri yang sangat begitu mentah, dan begitu keras menjadi sesuatu yang sedikit melembut dan juga memiliki kelenturan. Hara begitu telaten, meski terkadang diri ini masih mengutuk dan mengancam tapi dia tetap tegak di sana, menawarkan bangku peristirahatan, menggumamkan mantra-mantra baru penuh keajaiban. Guru di tahun pertamaku berujud unsur pelemas tulang, dan juga peremas gumpalan.


Tahun kedua datang dengan hanya mengangkut sedikit beban. Aku tidak segugup ketika baru pertama kali menapakkan kaki di daratan ini. Awalnya aku berpikir bahwa perjalanan satu ini akan terlewati dengan sama mulus dan lancarnya ketika dulu aku melalui tahun pertama. Dan pada saat memasuki minggu-minggu terakhir kesalahan dari perkiraanku pun terlihat. Ini berbeda. Alfa adalah guru yang lain. Jika ada tingkat dari sebuah sabar, maka satu ini adalah tingkat yang lebih senior ketimbang sabar yang pernah di ajarkan oleh Hara. Babak baru di mulai, saat di mana diri yang mengenal sepertiga malam sebagai ajang untuk bergumul bersama abjad menjadi tempat akbar untuk meminta dan merengek. Dan dari kebiasaan baru itu muncul satu bait kalimat yang begitu kusuka dan kuangankan untuk berada dalam salah satu paragraf di rumah ini. Satu kalimat singkat yang begitu menyimpan sihir dan candu dengan bunyi seperti ini, "Kepada yang menjaga malam dan mengabulkan segala keinginan-keinginan. Kepada yang selalu terjaga dan tak pernah melewatkan bisikan-bisikan." 
Alfa mengenalkanku pada Dzat yang Maha romantis, ketika mengukir kata-kata menjadi begitu manusiawi dan begitu.....pulang. Tahukah kamu perasaan seperti itu? Semenjak lahir manusia di gelayuti oleh satu tanya besar, tentang hendak menjadi siapa, dan hendak berkelana ke daratan manakah dirinya kelak. Dan ketika segala pengetahuan dan berbagai destinasi menjadi kendaraan yang siap mengantarnya kemanapun hasrat mengajak. Tapi pulang selalu menjadi tujuan akhir pada akhirnya. Tapi pulang selalu menjadi jalan yang akan di tempuh pada akhirnya. Pulang kepada diri sendiri. Pulang menjadi diri sendiri. Tempat terorisinil yang selalu menyerap segala ingin dan minat untuk kembali dan kembali. Dalam hening yang tak bersekat, dalam ketiadaan yang tak bersyarat. Selain sabar, pelajaran kedua yang kudapat dari pengajar baru satu ini adalah tentang berputar arah, menuju jalan pulang untuk diri yang sempat tersesat. Dan bahagianya jalanan itu berbalut kata-kata. Jiwa pujangga yang dulu memenuhi raga tak perlu kemana-mana, dia tak perlu turun di tengah jalan dan meneruskan pengelanaan. Karena dalam perjalanan pulang diapun akan terangkut bersama. Kali ini bahkan di restui oleh Dzat yang Maha Benar. Oh, bahagianya. 

Dear Alfa. Kepada nama yang kelak menjadi guru selanjutnya setelah Hara. Aku tahu kita biasa berbincang melalui banyak cara, lewat detak jantung yang terpompa seirama, lewat denyut nadi yang berkedut bersama, dan hanya lewat rumah inilah satu-satunya jalan yang belum pernah kulalui untuk mulai menyapamu. Dan seperti sebuah nazar yang terpenuhi, maka hari ini aku melakukannya. Membiarkan siapapun masing-masing kita untuk saling berbicara. 
Dear Alfa, aku tahu engkaulah yang paling memahami tentang jalan pulang yang telah kubicarakan. Karena disana namamu terpampang dengan sebegitu jelas sebagai referensi kelayakan jalan. Alasan kenapa sepertiga malam menjadi tempat untuk beradu tatap dengan yang selalu tersingkap kabut.
Dear Alfa, jika aku bisa mengutarakan permintaan langsung kepadamu, bersediakah engkau mengabulkannya? Untuk sejenak saja, bukalah kelopak matamu dan arahkan pada benak si dungu berjuluk pengandungmu ini. Disana tertera jelas apa hasrat terpendam yang kusimpan untukmu. Disana tertera jelas apa ingin dan angan yang selalu kubisikkan pada yang selalu menjaga malam dan siang tentangmu. Satu yang telah menyatu, hasrat yang begitu alot untuk terucap, keinginan untuk mengeluarkanmu dari dunia sana dengan sama normal dan lancarnya ketika dulu aku melakukannya untuk Hara. Aku tahu engkau akan menjadi pengajar yang baru, engkau tidak bisa di samakan dengan siapa-siapa, metodemu akan mengenalkanku pada sesuatu yang belum pernah kusentuh dan kupandang. Tapi untuk yang satu itu, doa yang telah berubah menjadi mantra, mantra yang telah mengubah lafal menjadi denyutan. Bisakah engkau memberikan kepastian akannya?
Aku telah menelan banyak cemas hingga detik ini, aku telah menelan banyak khawatir yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Ketakutan tentang banyak ketidakpastian, sementara waktu terus saja berpacu dengan detak jantung tanpa pernah ada yang mau melambatkan aksinya. Aku pasti tengah berjalan menuju ketiadaan sekarang, melangkah dalam gelap yang di depannya terdapat jurang atau justru daratan lapang. Satu hal yang pasti tentangku adalah, bahwa aku tidak pernah menyukai kejutan, apapun bentuknya. Jadi Alfa, dengan segenap perasaan satu yang mengikat di antara kita, dengan segenap perasaan ragu yang terselip di antara pasti yang mengungkung milikmu, berikan aku satu kepastian jawaban, berikan aku satu pertanda akan rasa tenang. Berikan aku, satu jalan mulus yang dulu pernah di hadiahkan oleh Hara. Berikan satu itu, dan kita akan semakin tak terpisahkan.

Aku tahu ada banyak yang perlu kita bicarakan. Tentang masa yang akan datang, tentang cerita lampau dan yang belun terjamahkan. Tentang kita dan mereka yang kelak terikat dalam lingkaran kita. Tapi di depan sana akan ada berlembar-lembar halaman kosong yang siap untuk di isi. Tapi di depan sana akan ada bertumpuk-tumpuk jeda waktu yang siap menjadi kertas dan saksi bagi petualangan bersama kita.
Saat ini, nadiku hanya satu, denyutku telah menyatu bersama doa dan mantra tentang keinginan untuk mengantarmu melihat dunia dengan selamat, lancar dan normal. Semoga saja. Semoga saja. Semoga saja. 

Salam hangat dari murid di tahun kedua untuk pengajar kedua. Yang tengah menantikanmu dengan tanpa secuilpun ragu. Mari kita bergandengan tangan, menyatukan tekad, tak ada sulit yang tak bisa dilewati ketika kita bersama. Semoga saja. 

Kamis, 15 Oktober 2020

Tentang Musim Tak Bernama

Jika engkau mulai membicarakan sesuatu bertemakan musim, maka tidak akan pernah ada kata selesai di sana. Seperti juga pernikahan, ikatan antara anak dan pengandungnya. Hal-hal yang hanya patut di bungkus dalam bisikan, agar tidak keluar sebagai cacian. 

Musim gugur menghampiri pohon-pohon pada waktunya. Lalu dingin yang begitu dingin akan menyelimuti tanah-tanah pada akhirnya. Seperti juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul bak tunas baru di tahun-tahun kian menuanya sebuah ikatan. Entah untuk pernikahan, atau hubungan antara anak dan pengandungnya. 

Pepohonan kian meranggas, memperlihatkan tulang-tulang rantingnya yang mencuat bak jemari yang mencoba menggapai langit. Dingin yang tak tertahankan masih memiliki level siksa di atasnya. Yakni ketika mulut-mulut mulai mengulum bara yang menyala. Membukanya hanya akan menyemburkan asap. Sementara menelannya hanya akan membuat senam gigi yang begitu teratur dan berirama. Sesuatu yang semacam itu juga berlaku bagi sebuah hubungan. Entah pertalian dalam sebuah pernikahan atau pertalian antara anak dan pengandungnya. Titik dimana seperti semua tempat akan menyuguhkan udara yang lebih baik ketimbang hanya berdiam dan mencoba menelan. Ada kekuatan di dalam untuk lari sekencang-kencangnya, memutus segala resah dan mengabaikan segala sudut pandang. Hanya demi mendapat sebuah kenyamanan. Tapi lagi-lagi manusia di ingatkan, untuk tidak pernah membahas musim, pernikahan, atau ikatan antara anak dan pengandungnya atau tidak akan pernah ada kata selesai di ujung kalimatnya.



Maka di sinilah aku. Dengan kaki-kaki yang bukan hanya beku, tapi separuh dalam perjalanan menjadi batu. Maka di sinilah aku. Dengan mata-mata jengah yang begitu haus akan warna hijau memayungi, yang begitu dahaga dengan aroma pucuk daun dan bukannya suguhan aroma api, membakar kisah tentang ranting-ranting, dedaunan kering yang menyerah pada musim meranggas. Dan sampai di mana kisah tentang  pernikahan dan juga hubungan antara anak dan pengandungnya? Mungkin sudah selesai. Pertanyaan yang dulu ada tengah dalam masa penantian untuk bertemu jawabannya. Jengah dan resah yang selalu giat menyirami tak bisa menemukan kekuatannya untuk berlari dan mencari. Hanya menunggu. Dan akan terus menunggu. 


Musim gugur mulai menyapa pohon-pohon. Dingin yang semakin dingin mulai menyelimuti tanah-tanah. Tapi di bawah itu semua ada kaki-kaki yang tengah berjuang agar tetap bisa berjalan dengan seimbang. Menyetarakan antara nalar dan juga sudut pandang. Meski sesekali terpeleset, meski sesekali harus terjatuh dan merasa tidak akan bisa melanjutkan. Tapi api di bawah sana selalu berusaha, menyulut apapun yang bisa menjadi perantara untuk kembali membakarnya. Bahkan meski hanya berupa bara di ujung mulut. Bahkan meski hanya asap yang menyelinap dari kepungan bibir. Ada hangat yang terus terjaga. Ada bara yang tak pernah berhenti menjaga. Menunggu saat yang tepat untuk membakar apa saja, menunggu saat yang tepat untuk memperbaiki semuanya, menunggu waktu yang tepat untuk merobek sesak yang di tebar bak kelambu membebat raga.

Selasa, 07 April 2020

Pendaki Amatir

Aku mendaki sebuah gunung. Terdapat banyak jalan menuju puncaknya. Dari yang di sarankan oleh ahli pendakian, lalu jalan yang di buat oleh penduduk sekitar, hingga jalan yang di tuntun oleh nurani. 
Aku memilih jalan yang terakhir. Menjadi manusia kebanyakan sama sekali bukan ciri khasku. Sementara mengikuti setapak yang telah di buat oleh penduduk sekitar sama sekali tak memberi tantangan, lagi pula apa enaknya berjalan dengan di tuntun oleh setapak yang di buat oleh orang lain? Kau harus menciptakan sendiri setapakmu. Membelah belantara hanya demi menemukan puncak tujuan. Tersesat bukan halangan, salah bukan sebuah masalah. Aku mencoba peruntunganku. Menaklukkan gunung melewati jalur yang tidak biasanya. Perjudianku dengan keberuntungan dan juga alam. 

Gelap, aku melihat nyala cahaya yang hanya berupa titik, jauh di belakang sana, pintu masukku menuju kepekatan total. Ini pilihanku. Bahkan jika ini adalah perjalanan terakhirku, sebisa mungkin tidak akan ada penyesalan di sana, karena ini adalah pilihanku. 

Aku sendiri. Berkawankan jamur dan lumut hijau yang menyebar rata di setiap kaki pepohonan tua. Aku sendiri. Hanya bertemankan nafas dari pegunungan yang tengah ku daki. Aku mencoba berbicara pada denyut yang kian menyatu dengan detak jantungku. Aku mencoba menyapa dan berharap akan mendapat petunjuk baru untuk keluar dari gelap yang kian mendekap. 

Jangan tanya seberapa banyak aku menjejalkan bekal ke dalam ransel yang menggantung kokoh di punggung. Aku tak mengira perjalananku akan menjadi semenantang ini. Dalam pemberhentianku yang selanjutnya aku berencana untuk mengurangi isi ransel, membuang barang-barang yang tidak kubutuhkan. Menghemat tenaga tentu cara terbaik untuk situasi ini. 
Ujung belantara masih panjang di depan sana, melambai, mencoba memanggil semangat yang kian menghilang seiring bertambahnya langkah. 

Tenggorokanku terasa kering, membunyikan suara akan membuatnya semakin terasa parah, tapi aku perlu melakukannya. Untuk membunuh sepi, untuk membunuh sunyi yang kian mencekam.
Satu, dua, tiga, kunyanyikan lagu tentang pahlawan. Tapi suasana justru semakin terasa buruk. Perjuangan mereka terlalu agung untuk di dendangkan di tengah belantara. Lalu aku mencoba lagu lembut. Dan sihir seketika meghampiri, memilih kelopak mata untuk merekatkan mantranya. Memang baik jika kita bisa terlelap di tengah gempuran rasa takut. Tapi proses tidurku kali ini tidak menguntungkan. Karena di alam sana, aku menemui kegelapan yang lain lagi. Kegelapan yang terasa getir. Menyapu seluruh langit-langit mimpi dan melemparkanku pada nyala nanar seketika. Aku bangun untuk tenggelam lagi dalam kegelapan yang pertama. Saatnya untuk melanjutkan jalan, bahkan jika denyut pegunungan sama sekali tidak mengirimkan pertanda, tentang jalan mana yang harusnya kupilih, tentang tikungan mana yang harus kupilih. 


Puncak masih setengah perjalanan. Dan ini adalah hari ke limaku. Memang bukan pegunungan biasa yang kupilih untuk di daki kali ini. Gunung ini biasa di sebut sebagai gunung abadi, karena panjangnya jalan yang harus di tempuh dan berapa banyak bahaya yang menghadang. 

Tidak hanya peluh yang turun membasahi tapi juga air mata, oh Tuhan, aku mulai lelah dengan jalan pilihanku. 

Mengeluh tidak akan mengurangi beban, mengeluh tidak lantas memperpendek jarak pada tujuan. Mengeluh hanya menandakan bahwa aku manusia biasa. Dan menaklukkan alam bukanlah sesuatu yang ada dalam jangkauan kekuatanku. 

Dia dengan keluasannya, dia dengan segala kisah pertama, kedua dan lainnya. Dia dengan kebesarannya yang tak mungkin bisa sepenuhnya kurengkuh. 

Penat menguji tekad. Penat menguji pilihan. Bukan sekali aku berakhir untuk mengakhiri ini. Bukan hanya sekali aku berpikir untuk menyerah pada niat pertamaku dalam menaklukkan gunung satu ini. 

Aku ingin tidak hanya nafasku saja yang mengejar jarak, aku ingin bukan hanya nadiku saja yang berima menyelaraskan langkah. Tapi dia tetap diam. Tapi dia tetap jauh di sana, ada jurang yang memberatkan langkah, bahkan ketika aku membabi buta memperpanjang langkah, dia tetap akan sepertu itu, dia akan tetap diam. 

Dear gunung tinggi nan berkuasa. Bisakah kita bercakap-cakap barang sejenak? Bisakah kau merasakan peluh yang mengaliri raga ini? Bercampur dengan air dari retina. Meski penting untuk mempertahankan tekad di awal niat tapi jujur saja aku ingin mengakhiri perjalanan ini. Meski penting mempertahankan perjuangan sampai ke puncak, tapi di sini, sesuatu tengah membeku. Aku selalu merasa bahwa dalam perjalanan ini hanya aku yang menginginkan puncak itu, engkau menutup diri, sembunyi entah dimana, tak pernah mencoba untuk berbaik hati memuji penat yang kian mendera, tak pernah mencoba untuk berbaik hati agar puncak dapat cepat terselesaikan. 

Aku merasa tengah berjuang sendiri untuk pucak itu. Dan kini aku ingin menyerah. Tidak apa jika jalan ke belakang ternyata lebih panjang ketimbang jalan di depan sana. Tidak apa jika ternyata hanya akan kutemui penyesalan di pintu masuk sana. Karena jujur saja, terlalu sulit melanjutkan perjalanan dengan hanya menggunakan satu kaki. Niatku sendiri. 

Semoga pendaki lebih beruntung dalam menaklukkan puncakmu. Semoga pendaki lain kuat niat ketimbang diriku. 

Sabtu, 04 April 2020

Jembatan, Malam dan Hujan Kecil-Kecil

Beberapa nama begitu inspiratif untuk di jadikan bahan tulisan. Beberapa nama terlalu menggiurkan untuk hanya sekedar di jadikan bahan angan-angan. 

Namamu salah satunya. Pemilik retina yang selalu mengundang siapapun untuk memandangnya. Pemilik senyum yang selalu menghadirkan kepakan kupu-kupu di setiap pulasannya. 

Aku punya rahasia manis tentang jembatan. Dengan amukan deras air di bawahnya. Aku punya rahasia manis tentang ingatan akan jembatan, dan malam, bahkan hujan kecil-kecil. Yang terkadang menawarkan undangan agar aku bersedia menilik seperti apa isinya. Masa lalu yang selalu menebarkan feromon menggelitik agar aku bersedia kembali untuk membuka halamannya. 

Kadang aku tergoda, tapi ajakan itu kian waktu kian menyusut. Bukannya tidak ada, hanya saja asinnya air yang tergenang, telah menghilang secara samar, menyisakan kepulan asap berisikan kepingan gambar, tentang bagaimana aku menangis diam-diam, tentang proses bagaimana topeng di tangan meluruhkan diri pelan-pelan. 

Namamu tetap bercokol di sana, seperti hantu yang enggan meninggalkan tempat keramatnya. Seperti bayangan hitam yang mengikuti manusia. Namamu tetap di sana dalam ingatan terdalam beserta jembatan, malam, dan hujan kecil-kecilnya. 

Aku tidak pernah berpikir tentang nama lain yang akan menjadi pendampingku. Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan lain jika Ari tidak mengiyakan tawaran untuk berhubungan waktu itu. Beberapa kali si pembuat baret datang dalam lamunan, dan namamu secara konstan hadir juga meski dengan tegas ikatan itu telah mematahkan harapan. 

Biarkan aku menyimpan rahasia manis tentang itu.  Aku tidak ingin membuatnya hilang atau terlupakan, karena namamu pernah mengajarkan sesuatu sangat penting dalam kehidupan. Yakni tentang mengikhlaskan.
Biarkan aku menyimpan sendiri rahasia manis itu. Tentang malam, tentang jembatan, tentang amukan air di bawahnya, dan tentang hujan kecil-kecil yang menjadi serbuk pemanis kebersamaan kita. Singkat, harus di akui waktuku begitu singkat. Kemarin aku mengagumi senyuman matamu, lalu keesokan harinya aku jatuh dalam pelupuk mengundang, dan lusanya pengakuan itu datang. Aku menyerah memperjuangkan sekian hariku yang terbuang untuk mengamati, mengagumi dan mengharapkanmu. Aku menyerah untuk mengakui pada kuncup yang tengah tumbuh di dalam sana. 

Biarkan aku puas memilikimu dalam kepala. Biarkan aku menyimpan rahasia manis yang meski hanya memiliki durasi singkat namun begitu membekas dan enggan untuk di tanggalkan. Hantuku yang kesekian dan tetap bertahan hingga sekarang. 
Kenangan tentangmu hanya seputar tiga kata itu, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil, tapi pelajaran yang kuambil dari masa singkat itu banyak hingga tak terhingga. Aku jatuh cinta, aku menjadi pengagum rahasia. Dan satu-satunya hal yang kudapat hanyalah air mata, tetesan air asin yang keluar dari retina bukan karena indikasi adanya luka, tapi perasaan bahagia. Aku terlalu bahagia untuk menjadikanmu nyata, sementara mencuri waktumu telah berhasil kulakukan, sementara senyummu telah berhasil mengenyangkan, sementara menculikmu dari siang yang membakar telah berhasil kulakukan, menculik lalu menyekapmu dalam malam-malam singkat di atas jembatan. Aku akan jadi serakah jika menginginkan lebih dari itu. 

Dalam waktu singkat kita aku bahkan lupa mengucapkan kata perpisahan. Lambaian tangan yang ku isyaratkan tak mendapat tanggapan. Sementara melayangkan pandangan mencuri untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal akan terasa seperti melanggar sebuah batasan. Garis yang di buat oleh takdir untuk mengingatkan bahwa milikmu bukan aku, bahwa namamu tercipta bukan untuk bersanding dengan namaku, bahwa peta untuk pulang kita tidak sama. Batasan yang membuatku hilang akal dan memutuskan untuk menghilang seketika. 
Biarkan aku menggenggam rahasia manis ini. Pijakan terakhir untuk terlepas keluar dari jurang yang engkau ciptakan. Aku harus menuntaskan, mengakui dan menuliskan. Menelan hanya akan mendatangkan bisa. Agar kelak yang tertinggal di dalam sana hanyalah kenang-kenangan semata, dan bukan lagi cinta. Rahasia manis kita sudah bukan lagi berbentuk rahasia. Karena aku telah berhasil mengatasi dan mengeluarkan, Ari mungkin akan membaca ini dan aku lega karena tidak harus menatap matanya langsung ketika menyatakannya. Pengakuan bahwa namamu telah melewati batas izin tinggalnya, bahwa namamu hanya menyalakan ingatan samar semata, menyisakan tiga kata kunci yang mungkin akan tersimpan selamanya. Jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. Tiga nama yang akan membawaku kembali pada ingatan tentangmu. Tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak memori manis lainnya, tapi kini Ari dan cetak birunya telah berhasil mengumpulkan banyak kenangan di tempat yang sama. Namamu bukan lagi satu-satunya. Namamu bukan lagi yang paling istimewa. Jika memungkinkan aku ingin dengan benar mengucapkan selamat tinggal. Cara terakhir untuk melepaskan dan mengikhlaskan. Maaf jika membutuhkan waktu selama itu, selama ini aku hanya berpikir bahwa ikhlas tidak butuh pengucapan, ikhlas tidak memerlukan formalitas semacam jabat tangan. Dan aku salah. Cara terbaik untuk melepaskan adalah dengan mengucapkan selamat tinggal, cara terbaik untuk merelakan adalah dengan mengangkat dagu dan tangan, dan mengakui secara gamblang bahwa engkau telah berhasil melepaskan. 


Biarkan namamu membeku di rumah kecil ini. Tempat abadi di mana aku akan selalu kembali, kemanapun langkah membawaku pergi. Biarkan rahasia manis itu tertuangkan disini. Hanya sebagai penanda jika kelak kenangan tentangmu kembali menggoda, bahwa aku telah berhasil menuntaskan segalanya, memutus rantai suka yang tertanam semenjak pertama kali menemui senyuman di matamu, bahkan sebelum aku dengan resmi mengetahui namamu. 

Beberapa nama memang begitu layak untuk di jadikan bahan tulisan, beberapa yang lain kenangan tentang nama itulah yang layak mendapatkan tempat dalam tiap baris dan halaman catatan. 
Namamu mengekal di sini bersama tiga kata kunci yang selalu menyertai, jembatan, malam dan hujan kecil-kecil. 

Seperti juga rahasia manis itu, begitu juga rasa kagumku terhadap namamu. Aku ingin siapapun tahu, aku ingin siapapun membaca. Agar kelak tidak ada lagi rahasia yang tersisa di kedalaman sana. Agar kelak yang terkubur bersama waktu hanyalah kenangan samar tentang persahabatan manis kita yang telah berakhir dan lupa untuk ku tutup dengan ucapan selamat tinggal. Aku tidak mengharapkan retinamu membaca ini, atau tulisan-tulisan lain tentang pengakuan cintaku padamu. Kita akan menua dengan menggenggam ingatan yang berbeda. Dan di dalam kepalaku, ijinkan jembatan, malam dan hujan kecil-kecil yang menjadi penghuni tetapnya. Cara terbaik untuk tetap memilikimu tanpa harus menyakiti siapa-siapa. Hanya ingatan singkat tanpa kata penutup, hanya kenangan singkat tanpa judul. Itu saja. 

Kamis, 02 April 2020

Menyelami Kolam Ilusi

Sudah berapa kali tepatnya aku mengelak dari kalian? Sudah berapa kali tepatnya aku mengukuhkan niat untuk pergi dari kalian? Mudah untuk pergi sulit untuk pulang. 

Aku kira kehidupan akan berakhir landai ketika kita jatuh cinta dan terikat dengan seseorang. Aku kira kehidupan telah mencapai titik puncaknya ketika berhasil mengklaim diri bahwa kita bahagia. Tapi ternyata ada puncak lain yang harus di daki. Tapi ternyata ada lembah lain yang harus di seberangi. Karena menikah bukan hanya mengesahkan kegiatan tidur bersama pasangan di atas ranjang. Menikah berati ada tahap selanjutnya dalam kehidupan yang perlu di daki, menikah berati ada banyak ikatan yang harus di urus dan di perhatikan. Menikah berati menjaga banyak kepala dan banyak perasaan. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk semuanya. Karena belakangan aku menyadari ada banyak luka yang lupa untuk di obati, ada banyak topeng yang harus di kenakan, ada banyak kompromi yang harus di selesaikan. Aku tidak tahu apakah aku siap untuk semuanya. 

Apa kalian tahu sesuatu? Ari mengajariku untuk tidak mengeluh, Ari mengajariku untuk menjadi yang terbaik dan memberikan yang terbaik. Dan di sinilah aku sekarang. Terseok dalam langkah sendiri. Mencoba bangkit dari keterpurukan. Dan kalian selalu ada di sana, untuk memberikan dukungan. Untuk memberikan ilusi akan adanya teman. 

Aku merisaukan banyak hal akhir-akhir ini. Belakangan ragaku di mana dan pikiranku di tempat yang berbeda. Aku merisaukan tentang banyak nama. Tentang Ari yang tengah berjuang di kejauhan sana, tentang kalian yang telah berhasil baik-baik saja, tentang Hara yang tulang di tubuhnya kian terasa dalam sentuhan, tentang rumah lain yang begitu kumimpikan. 
Ya, aku memendam keinginan satu itu. Bukan berati aku tidak mau bersama pengandungku. Bukan berati aku ingin melepas tanganku dari kewajiban menjaga mereka. Tapi ada hati yang selalu teriris sewaktu-waktu. Kalian paham benar bagaimana diriku. Manusia kaca yang memiliki potensi untuk pecah lebih cepat dari pada apapun. Manusia kaca yang memiliki kepekaan lebih ketimbang siapapun. Aku mudah terluka, aku mudah merasa sakit. Bahkan hanya dengan kata-kata, bahkan hanya dengan suara-suara. Keadaan yang terkadang membuatku ingin mengutuk siapapun yang berani menyentuhku sembarang, mengusir siapapun yang berani mendekatiku sembarang. Aku semenakutkan itu. Aku setajam dan serapuh itu. Dan mengungsikan diri dalam tempat terjauh dari peradaban adalah cita-cita terbesarku hingga saat ini. Aku hanya perlu membawa Ari, membawa Hara, dan kalian. 

Seseorang mungkin akan mengingatkan bagaimana sekian tahun lalu berkali-kali telah kusanggah kenyataan bahwa aku masih memiliki rasa untuk kalian. Seseorang mungkin akan melempariku kaca hingga aku dapat melihat seperti apa ujud si penjilat ludah sendiri satu ini. Tapi dengan Ari tak bisa ku bagi kerisauan ini. Tapi bersama Ari tak ingin kubagi beban ini. Aku pernah mengatakannya sekali, dan melakukannya lagi dan lagi hanya akan membuat Ari bosan dan terbebani. Dan di sinilah aku sekarang, duduk termangu bersama suara kalian. Kerisauan ini meluncur begitu tepat dengan di latar belakangi suara kalian. Nama-nama yang masih bercokol di dalam sana, menunggu untuk di datangi, meski harus di akui aku hanya datang ketika duka tengah melanda. Aku sebrengsek itu memang. Seseorang yang bahkan tidak pantas mendapat julukan teman. Seseorang yang bahkan tidak pantas untuk sekedar mendapat sapaan, karena aku akan otomatis menghilang jika dunia nyata tengah dalam kondisi baik-baik saja. 

Aku mengkhawatirkan banyak hal belakangan ini. Tentang berapa lama sisa hariku bersama Ari. Tentang siapa yang akan pergi lebih dulu, antara aku atau Ari. Wabah ini memutus jarak pandangku akan masa yang akan datang wabah ini membuat segalanya menjadi tak terduga. Dan aku takut karenanya. 

Kalian harus baik-baik saja, bukan untukku tapi untuk penggemar di luar sana yang tak pernah lelah dalam mendukung kalian. Kalian harus baik-baik saja, untuk mereka, para penggemar yang tak pernah merasa kecewa dengan segala keputusan dan kehidupan nyata kalian. Aku hanya hidup di bawah ilusi, aku hanya pantas tenggelam dalam dunia yang bahkan tidak pantas untuk di pertahankan. Pandanganku tentang dunia telah berubah kini. Tentang suara-suara, tentang bahasa-bahasa, dan kalian berjasa besar atas pelebaran sudut pandangku sejauh ini. Tidak ada yang kusesali selama ini. Pertemuan kita, momen jatuh cinta kita, hingga ketidakmampuanku menerima kenyataan bahwa kalian perlu mentas dari panggung hiburan. Sekali lagi kutegaskan bahwa aku hidup di bawah ilusi. Teruslah berjalan, tinggalkan saja aku bersama duniaku, seseorang yang bahkan tidak pantas mendapat predikat teman. Aku telah menemukan sumber bahagiaku. Dalam ujud seseorang. Tapi berbahagia bukan puncak dari kehidupan. Akan ada puncak lain yang harus kutaklukkan. Ada daratan lain yang perlu kudaki. Dan aku menggenggam ingatan tentang kalian, temanku melangkah dalam pekat yang enggan kumasuki bersama Ari. Dan aku menggenggam ingatan tentang kalian, bekal untuk mendaki puncak lain yang menunggu di depan sana. Maaf jika aku sebrengsek itu. 

Aku akan menua, dan kalian juga. Tapi ingatanku tentang kalian akan selamanya muda, tetap utuh dan tak tersentuh. Bahkan jika esok kalian telah melangkah dalam tahap hidup selanjutnya, bagiku dan kenanganku, kalian terawetkan dalan kesendirian sekaligus kebersamaan yang mengekal. Mungkin, jauh di dalam sana, inilah alasanku sebenarnya memutuskan untuk berhenti menjadi penggemar kalian sekian tahun dulu. Aku tidak ingin menodai ingatan tentang keutuhan kalian. Hatiku tidak di siapkan untuk melihat keretakan terlebih pemutusan ikatan. Aku tidak bisa dan tidak akan pernah siap. 

Terimakasih untuk kesediaan kalian menjadi pendengar. Terimakasih untuk keheningan yang berhasil kalian hantarkan hingga ujung paragraf ini. Ari tidak akan bisa senetral itu jika menjadi pendengar. Alasan kenapa beberapa hal lebih baik tidak kusampaikan padanya, sesuatu yang hanya bergejolak di dalam hati dan hanya membutuhkan jeda sunyi untuk membuatnya mereda. Emosi seperti itu, apakah kalian pernah terjebak di dalamnya? Dan suara-suara kalian menuntunku agar lebih gampang dalam menjabarkan. Terimakasih tak terhingga untuk bantuannya dalam menjaga kestabilan warasku. 

Aku akan datang lain waktu. Entah untuk pengaduan apalagi nanti. Tetaplah di sini, berenang dalam kolam ilusi. Sekeping dunia dimana hanya ada aku dan kalian dengan anggota penuh di dalamnya. Sekeping dunia dimana hanya ada mimpi dan harapan di dalamnya. Dimana kecewa dan kata akhir tak pernah eksis di dalamnya. Sekeping dunia dimana aku bisa berdiri dengan keutuhan nama dan melangkah dengan kakiku sendiri. Sesuatu yang telah lama kutinggal di belakang sana. Karena konon dalam sebuah pernikahan yang terpenting bukanlah tentang siapa kalian. Tapi yang terpenting adalah tentang bagaimana kalian bisa bertransformasi dalam banyak nama. Dan terkadang, aku merasa lelah dengan semuanya. Kepenatan yang tidak bisa di halau dengan ketelanjangan, hanya perlu berjalan menuju senyap dengan satu nama, dengan satu peran, satu identitas. Waktu ajaib untuk memulihkan diri dan memulai semuanya lagi. 

Selasa, 31 Maret 2020

Langkah Kelima

Tidak ada parang atau pedang yang menjadi penghubung untuk ikatan ini. Tidak ada sumpah atau mantra yang mengikat aku dan Ari. 
Semua terjadi begitu saja. Aku menawarkan padanya sebuah hubungan lalu Ari mengiyakan. Sesingkat itu. Tanpa ada drama, tanpa ada bunga ataupun kata-kata. 

Skenario seterusnya berlanjut dengan sedikit berbeda, ada tambahan bumbu di dalamnya. Ari yang dari awal sedingin butiran salju tetap saja seperti itu, tidak ada rencana atau tanda-tanda ingin menjadi air yang mengalir terlebih lagi menjadi air di dalam panci dan berada di atas tungku penuh api, menjadi air yang menghangatkan. Aku yang meminta, menuntut Ari agar bisa lebih menghayati perannya dalam sebuah hubungan. Dari sinilah drama itu di mulai. 

Tumbuh semakin besar dengan di suguhi berbagai macam hidangan tentang Korea membuatku haus akan segala drama yang di sajikannya. Pengakuan adalah hal pertama yang kuinginkan dari Ari. Maklum saja, ini hubungan pertamaku, dan tidak seperti pada umumnya gadis-gadis akan mendapati hatinya tumbuh di usia yang relatif muda, terikat, patah lalu tumbuh lagi, terikat lagi, patah lagi lalu tumbuh, begitu seterusnya. Ini ikatan pertamaku, benar-benar yang pertama. Bukannya aku tidak pernah mendapati sesuatu tumbuh di dalam hati, tapi apapun itu akan patah lebih dulu sebelum sampai pada sebuah ikatan, sekali, dua kali, aku mempunyai banyak pengalaman tentang gagal tunbuhnya benih di dalam hati. Keadaan yang otomatis membuatku menjadi si posesif dan si buta tak tertolong. Aku tidak tahu cara bermain dalam sebuah hubungan, apa saja peraturannya, apa saja pantangan dan yang di sarankan. Hubungan pertamaku menjadi ajang pembuktian akan drama yang dihidangan dari Negeri ginseng sana, yang kutelan bulat-bulat tanpa pernah bersusah payah mengunyahnya. 

Aku kehausan di tengah jalan, sementara Ari tetap bersikap manis dan beku seperti biasa, tapi aku membungkam diri, membiarkan rasa itu kian membakar dari dalam sana, dan sampai pada titik dimana aku hampir sekarat karenanya. Tetesan air yang kuharap akan meluncur dari sikap Ari, hanya menyisakan kekecewaan semata. Aku bukan yang pertama dalam hidup Ari, sebelumnya ada beberapa nama, Ari jelas saja sangat berpengalaman dalam menangani dan bertindak dalam sebuah hubungan. Aku yang buta, aku yang tak tahu apa-apa. Kubiarkan diriku tersesat dalam pengharapan-pengharapan kosong, kubiarkan diriku tersesat dalam drama yang tak mungkin akan terjadi di dunia nyata, terlebih jika Ari adalah lawan mainnya. Dia benar-benar menyalahi segala standar romantis yang pernah kubaca dan kulihat di layar kaca. 

Tapi Ari bertindak, tapi Ari menunjukkan aksi. Kompensasi atas segala depresi yang kulalui sendiri selama sekian waktu. Tetesan salju itu perlahan menemui titik lelehnya. Ari mulai berkata-kata meski tetap tanpa untaian bunga. Kali pertama Ari menunjukkan pesonanya dan aku jatuh seketika di dalamnya. Skenario berlanjut dengan di bumbui semakin banyak drama. 


Pengakuan sudah ada dalam genggaman, yang selanjutnya kuinginkan adalah menguasai. Serakah, aku paham benar kebenaran satu itu. Tapi saat itu aku merasa hanya memiliki cangkang yang membungkus Ari. Ada kedalaman yang terus di lindunginya agar tidak bisa kumasuki. Sesuatu tentang Ari yang tidak benar-benar kuketahui. Sesuatu tentang Ari yang ingin segera kumiliki. Aku memaksa, aku menuntut, tapi sadar benar bukan cara itu yang akan membuka Ari dari ketertutupannya. Aku harus melakukan pendekatan dengan cara lain, jika ternyata yang di sembunyikan Ari adalah emas berharga, maka mungkin akan membutuhkan lebih dari sekedar sabar untuk mendapatkannya. Dan lagi-lagi aku terbakar sendiri oleh tantangan yang di berikan Ari. Aku ingin segera menaklukkan puncak itu, kemustahilan yang menguras waras dan juga isi hati. Aku hampir menyerah pada semuanya. Pada ikatan pertamaku. Pada hubungan dengan si manusia beku. Menyerah pada Ari. 
Tapi lagi-lagi drama terjadi. Aku mulai jatuh cinta pada Ari. Petualanganku dalam mengenal, menjelajahi dan ambisi untuk menaklukkan Ari ternyata membuahkan sebuah rasa yang kelak akan mengubur semua identitasku. Aku jatuh cinta pada ikatan pertamaku. Manusia buta yang bersanding dengan si manusia beku. Jika awalnya aku mengira hubungan ini akan menjadi yang pertama dan akan menghadirkan rangkaian patah lalu tumbuh lagi seperti yang umum di lalui para gadis-gadis, ternyata aksi Ari dan kata-katanya yang meski tetap tanpa di sertai bunga telah menciptakan pemahaman lain. Ada ikatan di dunia ini yang memang tercipta tanpa sama sekali dikalungi untaian bunga. Ada ikatan di dunia ini yang memang tercipta dan tidak sedramatis yang ada di film-film Korea. Dan baru belakangan ini aku menyadari bahwa ternyata bukan drama Korea yang menggambarkan kehidupan nyata, dan justeru kebalikannya. Tidak ada kisah nyata di dunia yang semanis drama Korea, dan baru belakangan ini juga aku mendapati pemahaman betapa Ari adalah cerminan dari laki-laki idaman yang selalu di teriakkan para wanita. Ikatan pertamaku memberikan bonus tak terduga, keberuntunganku karena telah berhasil menaklukkan puncak yang di suguhkan Ari. Kebekuan yang telah melalui masa lelehnya, mengalir sedemikian rupa menuju kolam penuh siraman panas matahari. Kehangatan yang kuharapkan hanya bersifat sementara ternyata di taburi panas abadi. Aku tenggelam seketika, dalam kebahagiaan yang mendera. 
Drama belum berhenti. Masih ada banyak dan sepertinya tidak pernah ada hari yang akan terlalui tanpanya, tanpa drama, tanpa bumbu yang menjadi perekat bagi ikatan yang sering tiba-tiba merenggang ini. 

Aku menemukan palung itu. Kedalaman yang selalu di sembunyikan Ari selama ini. Realisasinya tercipta pada banyak malam tanpa benang yang kami lalui bersama. Jika awalnya aku mengira kedalaman itu tersembunyi di ruang yang tak bisa kusentuh dan kujelajahi, ternyata aku salah. Kedalaman itu ada pada kebungkaman yang selama ini terus menyelimuti ikatan ini. Kesempurnaan dan kebaikan yang selalu di junjung teguh dan di harapkan akan menjadi tiang pancang bagi menara dalam hubungan ini, ternyata justeru menjadi jurang pemisah antara aku dan Ari. Baru ketika kata-kata semakin banyak meluncur, baru ketika kekurangan-kekurangan perlahan merembes keluar melalui banyak kata, saat itulah ketelanjangan mendadak menjadi tangga menuju jurang yang kedalamannya tak terlihat dan tak terduga. Akulah yang menciptakan ruang, si bisu yang terus mengais cara untuk memasuki palung dan jalan tersembunyi menuju kesana hadir ketika si bisu ini mengakhiri kebiasaannya dalam menelan kata-kata.

Ikatan membutuhkan lebih dari sekedar dua raga tanpa benang untuk bisa saling terhubung, ikatan membutuhkan lebih dari sekedar perasaan telanjang untuk bisa mengenali satu sama lain. Kata-kata tetap harus di muntahkan. Di telan hanya akan menciptakan jurang. Dan mengutarakan adalah jalan terbaik untuk menuju kesempurnaan hubungan. Sesuatu yang jarang di ketahui oleh pemikiran umum. Bahwa sempurna tidak berati harus sesuatu yang utuh, tanpa celah, tanpa retak, sempurna bukan berati harus sesuatu yang berbau wangi, berwarna putih dan bertekstur halus. Sempurna bisa jadi adalah tentang lubang-lubang menganga. Kesempurnaan bisa jadi tentang perasaan menerima celah yang tak mungkin bisa tertutupi dan tak mungkin juga di tiadakan. Kesempurnaan dalam sebuah hubungan adalah tentang menerima kekurangan. Butuh lebih dari sekedar sabar untuk bisa sampai pada tahap itu. Kesempurnaan ikatan, yang selalu di idam-idamkan oleh semua pasangan. Dan aku beruntung karena tidak hanya telah melewati tapi juga telah melalui tahapan-tahapan keramat yang di suguhkan hidup untuk mendapatkan Ari.
Langkah kaki ikatan ini yang telah sampai pada hitungan lima. Dan aku masih belum menemukan kata yang pas untuk menggambarkan betapa aku bersyukur karena telah menawarkan sebuah hubungan di awal kepada Ari. Dan bukan kepada nama yang lain. 

Drama tidak pernah luput untuk hadir, drama tidak pernah alpa untuk membumbui. Ikatan yang semula hanya berupa tawaran tanpa tujuan mendaki sebuah hasil yang begitu di nanti. Kesempurnaan yang begitu diminati. Dan meski tak ada parang dan pedang yang menjadi pengikat hubungan ini. Tapi di sana tertoreh banyak luka, di setiap inchi, di setiap lekukan. Hanya saja semua luka itu terbahasakan. Hanya saja semua luka terkatakan. Kata-kata yang tanpa bunga tapi lebih bekerja ketimbang bunga yang di bungkus kata-kata. Tentang keunikan Ari dalam memahami si buta dan si bisu satu ini. Tentang kekuatan Ari untuk melelehkan diri demi sebuah kehangatan yang di harapkan mengekal. Dan langkah kelima barulah sebuah awal untuk perjalanan yang sangat panjang. Dan langkah kelima adalah sebuah lompatan besar bagi si buta dan si bisu dan juga si beku. Tiga nilai minus yang menjadi penopang bagi adanya kesempurnaan hubungan. Ikatan yang di harapkan sempurna hingga akhir masa. Semoga saja. 

Rabu, 25 Maret 2020

Menyeberangi Pekat

Gelap dan berat. Dua kata yang mewakili perjalanku kali ini. Pekat dan sesak adalah dua perkataan yang mungkin bisa di gunakan untuk menjabarkan perasaanku saat ini.
Aku memasuki medan perang dengan bekal yang bisa di bilang sangat sedikit. Aku memasuki medan perang dengan banyak angan dan harapan tersimpan di belakang. 

Dulu ketika medan pertempuran masih jauh di ujung sana, melihat manusia lain telah bergerak cepat dan memasuki medannya lebih dulu, membuatku bertanya-tanya seperti apa rasanya di dalam sana. Ini kali pertama kakiku akan memasukinya, dan wajar saja jika aku bertanya. 
Aku tidak tahu bekal apa yang seharusnya kumasukkan dalam kantong belacuku. Aku tidak tahu harus memilah apa di antara sekian banyak yang harus kujadikan teman untuk perjalanan panjangku. Perang pertama memang selalu membuat gugup dan gagap. Tapi aku tetap bersiap. 

Aku melihat darah menggenangi tanah pertempuran. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Beberapa ada yang bersorak dan merayakan, namun ada lebih banyak lagi yang memilih mengubur raga teman seperjuangan untuk melampiaskan rasa kemenangan. 
Seperti apa rasanya berada di tengah-tengah mereka? Akan menjadi pihak mana kelak jika aku resmi memasuki medannya? Ataukah menjadi yang merayakan? Menjadi yang megubur temannya? Atau justru menjadi yang di gotong lalu di timbun tanah oleh teman-temannya?  Aku begitu ingin tahu namun juga begitu ingin segera pergi dari setapak ini. Takdir yang di gariskan untuk kulalui. Dimana melalui jalanan ini ribuan orang telah lebih dulu melewati dan terpandu menuju medan bermandikan merah darah di depan sana. 

Aku meninggalkan banyak nama kusayangi di belakang sana. Mengikat mereka pada tiang kegarangan agar langkahku tidak tercegat oleh tangisan dan ratapan pilu mereka. Menangisi bukanlah cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan pada pejuang yang hendak maju ke medan perang. Tapi sebagian orang melakukan itu. Dan dalam kasusku, aku mengenali benar seperti apa bentuk hati sendiri. Jangankan melihat mereka membasahi setapak yang hendak kulewati dengan air mata. Melihat bunga kesedihan mekar di tengah-tengah retina mereka pun sudah berhasil menyurutkan baraku. Aku tidak akan bisa melakukan langkah pertama jika masih membiarkan mereka berkeliaran bebas, mengikuti semua jejak langkahku hingga batas pengantaran. Aku tidak akan setegar itu jika harus berangkat perang dengan di antar oleh air mata orang-orang terkasihku. Biarkan saja kuikat kaki dan tangan mereka, lalu kututup mataku sendiri dengan kain seadanya. Bukan mata mereka. Agar jika kelak perjalanan ini tidak berhasil mengantarkan ragaku pulang, mereka masih memiliki sedikit kenangan tentang betapa gagahnya langkahku menuju medan perang. 

Untuk itulah perjalanan ini di mulai. Untuk mereka nama-nama yang kusayangi. Bahkan jika gelap dan berat, bahkan jika pekat dan sesak tidak ada lagi alasan untukku kembali tanpa membawa kemenangan di atas pundak. 
Begitulah perjalanan ini di mulai. Perang melawan kegelapan yang akan menjadi ajang pertamaku mengayunkan pedang. Meski malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang, namun tak ada pejuang yang gentar dengan perang. Sekalipun yang harus di menangkan adalah kabut pekat yang memampatkan pernapasan. Sekalipun yang harus di menangkan adalah bayangan tak terlihat. 
Ini sungguh akan menjadi malam yang sangat panjang. 

Lelah menjadi menu makan malamku yang di nikmati terlalu dini. Dan lelah sepertinya juga akan menjadi santapan malamku dalam menjelang pagi. 

Perang ini baru kumasuki ujung pintunya. Aliran lautan yang begitu dalam dan kelam dan aku baru mencelupkan ujung jari kukuku untuk bisa mengerti betapa dingin dan membekukannya medan yang hendak kumasuki ini. 

Sudah bukan lagi waktunya untuk merenungi mimpi. Sudah tidak ada lagi waktu untuk menengokkan pandangan kepada jalan yang telah terlalui. Di depan sana, takdir terbentang seluas samudera. Memasukinya, mengarunginya, adalah cara terbaik dan terakhir untuk mengetahui apa yang tengah menanti di seberang sana. Bahkan jika ini adalah perjalanan terkahirku di atas bumi. Bahkan jika ternyata aku di gariskan untuk menjadi pihak yang di gotong lalu di timpa tanah hingga ujung lihatku. 

Jika saja sekali lagi bisa, aku ingin melihat mereka, nama-nama yang kusayangi meski hanya sekelebat saja. Aku tidak tahu perang akan datang secepat ini, aku tidak tahu jika jadwalku untuk memasuki medan perang adalah hari ini. Karena jika aku tahu sebelumnya, aku akan menahan siapapun untuk pergi. Karena jika aku tahu sebelumnya, aku akan mengerahkan segala daya agar bisa menahan mereka beranjak. Kesempatan terakhirku yang kusia-siakan dengan mengikat selembar kain hitam di atas mata. Berharap agar pemandangan terakhir yang terkenang dari mereka bukanlah wajah sembab berurai air mata. Berharap agar langkahku kian lantang menebas ketidakpastian jalan. Berharap mataku tidak melihat kesedihan mekar di ujung mata mereka. Tapi bahkan di kesempatan yang sempit ini aku masih melupakan sesuatu. Jika mata tertutup maka telinga akan melipat gandakan siaganya menjadi lebih peka. Dan aku memiliki rekaman jelas tentang bagaimana banyak kuntum bunga jatuh di depan langkahku ketika aku memulai perjalanan ini dulu. Tentang bagaimana aku memiliki rekaman tentang isak yang kutangkap lolos dari beribu dengung yang menyerbu gendang telingaku. Terkutuklah pendengaran ini. Jalan terakhirku untuk berpamitan dan mengucapkan selmat tinggal. Terkutuklah pendengaran ini. Yang berhasil merekam banyak momen perpisahan dengan di penuhi aroma kesedihan. 

Langkahku semakin maju. Bukan langkah yang kini tengah kuhitung, tapi tentang seberapa banyak tebasan pedangku tepat mengenai sasaran. Bayangan hitan busuk yang melayang-layang kesana kemari mengundang kemarahan. 
Aku harus menghabisi mereka semua. Aku harus melenyapkan musuh tak terlihat ini. Aku harus berhasil menyeberangi daratan berkolam darah ini. Aku harus pulang kepada mereka yang tak lelah menanti. Aku harus pulang demi memenuhi janji bahwa akan kuantar cenderamata dari peperangan ini. Bahkan jika yang kembali dari raga ini hanya bersisa separuhnya, bahkan jika yang kembali dadi pertempuran ini adalah raga yang dengan jiwa yang tak lagi sama. Aku harus kembali untuk mereka. 

Dulu aku selalu berkata jika manusia hendaknya jangan terlalu keras dalam mengadili. Sesuatu yang hitam tidak selalu benar-benar berisi pekat, sesuatu yang putih tidak selalu benar-benar berisi kemurnian. Dan kutukan yang di awal perjalanan kulayangkan pada telinga yang menggantung di kedua sisi kepalaku kutarik secepat kilatan pedang yang keluar dari sarungnya. Aku memiliki rekaman kenangan tentang mereka dan itu adalah pelita di tengah kegelapan yang semakin membaur dengan seluruh bumi. Aku memiliki rekaman tentang mereka, meski hanya berujud denting kuntum bunga yang jatuh satu langkah di depan sana, meski hanya berujud lolongan tertahan yang masih harus berbaur dengan lautan tangisan dan sesenggukan. Tapi aku mengenalinya. Dan keduanya telah beralih sebagai mantra. Bekerja sedemikian rupa menciptakan percik-percik bunga api yang terus menyala menuju bara. 

Aku harus kembali untuk mereka yang selalu menanti. Bahkan jika hanya separuh dari raga ini yang kembali, bahkan jika jiwa ini sudah tak lagi sama. Aku harus kembali pada mereka.


Akhir masih jauh di depan sana. Suatu tempat yang tak terlihat meski hanya ujung daratannya. Ramalanku sebelumnya telah bekerja. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Bahkan malam-malam yang akan datang, bahkan siang yang menjadi gulita hingga menipu pandangan mengira gelap ini adalah malam. 
Mengakumulasi tentang apa saja penopang keberanian dan kebahagiaan selama ini adalah bagian terpenting dari sebuah peperangan. Dan aku melakukannya meski medan ini baru saja kumasuki. Ada hati yang perlu kukenyangkan terlebih dahulu sebelum tanganku menjadi kebas dalam mencengkeram pedang. Ada waras yang perlu kutenangkan terlebih dahulu sebelum kegilaan dari pekat ini membius dan mengantarku pada kekalahan. Bekal yang dulu selalu kupertanyakan. Pertanyaan tentang seperti apa rasanya berada di tengah-tengah medan perang. Aku mempunyai jawaban untuk semuanya, yang datang bersamaan dengan langkah kaki dan ayunan pedang. 

Tak ada lagi waktu untuk mengeluhkan beban. Tak ada lagi waktu untuk mengeluhkan cahaya yang kian temaram. Dalam kebutaan total segalanya justru kian menantang. Dalam kelelahan total kesadaran justru memberikan kekuatan.

Akan kumenangkan peperangan ini bahkan jika ragaku tak kembali dengan ujud utuh seperti semula. Akan kumenangkan pertarungan ini bahkan jika satu-satunya sinar yang bisa kunyalakan untuk menerangi kegelapan ini adalah dari tiap tetes-tetes darah yang kumiliki.

Pekat ini salah jika mengira aku segagap yang terlihat. Pekat ini salah jika mengira aku selentur pedang yang terayun kesana kemari menciptakan larik kilat kecil di setiap tebasannya. Aku lebih kuat dari itu. Aku lebih kuat dari yang dikira. 

Karena di balik kabut ini ada tangan-tangan mereka yang siap terulur menyambut kedatanganku. Karena di ujung kegelapan ini ada masa indah yang tengah menanti dengan banyak tawa dan celoteh yang sepertinya telah absen dari pendengaranku selama berabad-abad lalu. Karena di balik beban berat ini ada nama-nama yang telah mengucurkan mantra dan kata ajaib lainnya demi membakar bara di dalam hati. Bekal pertama yang tak akan pernah habis meski peperangan ini telah usai. Bekal pertama yang menjadi nyala di kala kegelapan total membungkus raga ini menuju puncak pertarungan. Bekal yang berubah menjadi janji akan kedatanganku di masa yang akan datang. Kepulanganku dari medan perang. Entah di ujung pagi yang keberapa, entah di sudut pagi yang mana. Karena sungguh tak ada yang lebih di nanti oleh kaum pejuang selain nyala matahari di ufuk sana, sinar pembawa harapan abadi yang tak pernah terkalahkan. Pagi yang di nanti. Pagi yang menyembuhkan. Semoga saja lekas datang. 

Senin, 23 Maret 2020

Sembunyi dan Temukan

Aku harus memulai ini dari mana? Ketakutan yang memuncak sebelum waktunya, atau menjabarkan kesedihan yang kian menumpuk dan kelegaan yang enggan untuk menemui?

Aku hampir lupa seperti apa indahnya warna langit di siang hari. Aku hampir lupa pada wangi yang selalu meruap di bawa sang mentari pagi. Aku bahkan benar-benar lupa bagaimana caranya terlelap tanpa harus lebih dulu merinding ngeri dengan kemungkinan-kemungkinan akan masa yang akan datang. 
Di masa yang sulit ini, semua orang mendadak menjadi peramal. Menakutkan masa depan, selalu memandang suram selagi matahari masih sama bersemangatnya untuk bersinar seperti hari-hari indah di belakang. 
Satu yang pasti adalah aku hampir tidak bisa mencerna apa itu makna dari kata tenang. Jangankan untuk menerapkan, memahami kata itu saja hampir membuat linglung tanpa bisa menangkap maksudnya. Tenang. Satu kata yang selalu di suntikkan kepada semua yang bisa mendengar dari awal perjalananmu oleh si bontot yang kini terseok menanti yang terburuk menjelang. Tenang. Satu kata yang selalu di harapkan Ari bisa menyumpal ketegangan yang selalu merangsek keluar dari si bayi besar satu ini. 
Seseorang, siapapun tolong ajarkan aku untuk mengerti bagaimana untuk menjadi tenang. 

Namamu kian di santer terdengar di berbagai sudut daratan di muka bumi ini. Namamu kian menjadi momok yang menghantui di setiap ujung bumi. Sampai-sampai aku hampir takut, rasa takut itu yang akan menghabisi lebih banyak orang ketimbang sentuhan mautmu itu. 

Aku sedang mengoreksi pemikiranku tentang tulisan yang lalu, bagaimana dulu aku mempunyai niat ingin menjadi temanmu. Disaat semua nama yang masuk dalam jajaran kata berhargaku mulai engkau intai dan ikuti. Tidak, engkau mengikuti langkah semua orang kini, tidak peduli siapa dan dimana. 

Teror ini mencemaskan dengan sedemikian rupa, hingga aku hampir-hampir lupa tentang cara paling mustajab dari semuanya, yakni menyerahkan segalanya pada yang Maha Berkuasa. Kecemasan ini menggerogoti waras dan nalarku sedemikianan rupa. Tentang bagaimana Ari akan pulang, tentang di mana Ari seharusnya tinggal, tentang bagaimana aku harus mengkhawatirkan langkah Hara dan semua orang. 
Seseorang, siapapun tolong bantu aku untuk memahami satu kata kunci, tenang. 


Aku berhenti mengikuti pemberitaan lain, ketika di segala jendela akan pengetahuanku tentang dunia luar mendadak hanya memiliki satu jalan, yakni menujumu, menuju namamu. Engkau benar-benar sepopuler itu. Selamat. 

Aku merasa ngeri jika harus memikirkan kita akan menjadi teman seperti yang pernah ku ucapkan dulu, ketika menyentuhmu adalah hal terakhir yang mungkin bisa kulakukan. Lalu bagaimana caranya kita bisa berteman jika bersentuhan pun akan menjadi momen untuk mengakhiri satu sama lain? Bisakah aku mengakhirimu? Siapakah yang akan menjadi penemu dari masa akhirmu? Kenapa dia tak kunjung datang? Tolong, tapi aku terjebak bersama si bontot yang di ramalkan akan memiliki akhir paling panjang. 

Fokus menjadi hal lain yang selalu sulit kulakukan akhir-akhir ini. 
Menjauhi segala hal tentangmu mungkin ide yang bagus. Tapi aku perlu tahu, segala sesuatu tentangmu berhubungan erat dengan Ari, bagaimana bisa aku melepasmu begitu saja? Aku jarang sekali meminta pada siapapun, tapi tolong, jangan dekap Ari dalam pelukanmu. 
Hara tengah menunggu uluranku, kesediaanku untuk bergabung dengan permainannya, sembunyi dan temukan. Salah satu permainan yang paling di sukainya, dia akan selalu tertawa lepas ketika kejutan demi kejutan datang menghampirinya, menemukannya, dimanapun dia bersembunyi di seluruh sudut rumah ini. 
Tapi ada satu yang selalu menjadi titik khas dari hara ketika melakukan sembunyi dan temukan ini. Yakni kebiasaannya untuk muncul terlebih dahulu bahkan sebelum si pencari benar-benar mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk mencari. Dia mempunyai cara tersendiri untuk mengagetkan si pencari. Membalas keterkejutannya akan temuan-temuan yang selalu bisa menangkapnya dimanapun dia bersembunyi. 

Dan aku merasakan sisi lucu dari ironi yang tengah mengurung kita. Aku dan namamu, si kandidat teman yang sekarang tengah terjebak dalam sebuah permainan, sembunyi dan temukan. 
Aku tidak tahu, dalam kasus kita siapa yang akan lebih dulu memberikan kejutan. Di saat Ari masih enggan untuk pulang, di saat namamu kian mendekat ke permukiman dimana aku tengah meringkuk dan berdiam. 
Aku akan menemukan cara, tentang bagaimana terlepas dari rasa takut dan cemas yang memiliki puncak landai dan bukannya meruncing seperti puncak-puncak pada umumnya. 
Aku akan menggenggam lagi kewarasan yang tengah hilang itu. Engkau akan terkejut nanti dengan kegaranganku menantangmu. Aku berpredikat seorang ibu sekarang, ada kemustahilan yang telah kucapai sebelum ini, aku pernah berada di ujung maut juga sebelum ini. Dan jika ini bisa membuatmu terkejut, tapi aku juga pernah bosan dengan kehidupan ini, meski itu ada pada jauh, pada waktu di belakang yang telah tertinggal jauh. Kedatanganmu mungkin saja akan kusambut, tergantung dengan cara apa engkau mengetuk pintu nanti. 

Pelangi mungkin tengah kehilangan kepercayaan dirinya untuk bisa memukau manusia saat-saat ini. Bahkan bintang mungkin tengah dalam masa terpuruk karena untuk sekali ini manusia gagal mencapainya untuk bisa menggantungkan harapan dan menempelkan mimpi. Semua cahaya mendadak hanya mengeluarkan nyala samar. Dingin tengah mengetuk semua pintu. Kabut tengah membungkam birunya langit agar berhenti sejenak memberi terang dan nyala pengharapan. Hanya menyisakan pagi dengan embun baru yang tak pernah gagal menyelipkan asa di setiap tetesannya. Hanya menyisakan pagi dengan nyala tersembunyi di setiap hati manusia. Tentang kepasrahan unik mereka pada Sang Pencipta. Yang menciptakan dan mengakhiri segala denyut di muka bumi ini. 

Jika aku bisa bertanya untuk satu hal saja, seberapa besar hasratmu untuk menelan sebenarnya? Sudah mencapai angka fantastis kini dan ufuk pagi sepertinya masih jauh di depan sana, di tempat di mana jam-jam tak berhasil menyentuhnya. Apakah sebesar itu nafsumu untuk meluluh lantahkan? Tidakkah engkau ingin sejenak saja berhenti untuk merasa terkejut pada kesiapan yang muncul di hati setiap orang? Tidakkah engkau ingin sejenak saja berhenti dan bertanya pada tanah apakah ia sudah muak menelan raga-raga dengan banyak bekas kecupan milikmu? Sekali lagi jika ini bisa membuatmu terkejut, tapi seseorang yang mengulurkan tangan dan memintamu menjadi teman ini kebetulan bernama tanah, dan aku hampir sepenuhnya mual dengan angka-angka tentang raga yang pergi karena terkena sentuhan. Sentuhan milikmu. 

Sekarang hampir tak ada jendela yang terbuka tanpa menyuguhkan pemandangan tentang korban-korbanmu, sekarang hampir tak ada jendela yang terbuka tanpa menolehkan wajah kearahmu. Engkau benar-benar semenarik itu. Aku terkejut kepopuleranmu melejit begitu cepat dalam hitungan jari saja. 
Bagaimana aku akan mengakhiri tulisan ini sekarang? Bagaimana aku akan mencapai titik tanpa lebih dulu mengoyak pertahanan? Tapi jujur saja, aku mendapatkan sedikit terang sekarang. Bukan lagi gulita yang mencengkeramku, apalagi pengap yang menekan pernapasan. Jika Hara saja bisa keluar dari persembunyian untuk memberi kejutan lebih dulu pada si pencari, lalu kenapa aku tidak bisa? Mungkin akan membutuhkan beribu-ribu halaman untuk mencapainya, mungkin akan membutuhkan berlapis-lapis keberanian untuk menemukannya, tapi aku rindu akan tawa meledak yang mengisi bumi ini. Kegelapan yang menekan telah menghilangkan begitu saja keceriaan isi bumi. Dan aku merindukan keheningan menenangkan yang selalu di sajikan oleh alam, bahkan bisa di temui di setiap persimpangan dan ujung jalan. Keheningan yang menenangkan dan bukannya hening yang mencengkeram. 
Bukan butiran pil yang akan menghempaskanmu dari muka bumi ini. Tapi keteguhan hati akan kerinduan pada tawa di udara. Dan aku percaya hati manusia di ciptakan sedemikian istimewa untuk bisa menciptakan kejutan bagi makhluk mungil sepertimu. Dan ya, masih ada Sang Pencipta di atas segala yang pernah tercipta. Sang Penolong bagi segala yang tak pernah tertolong. Terang yang menyisir kabut hingga celah tersempit sekalipun. Karena setiap yang tersembunyi pasti akan di temukan. Karena di setiap permainan sembunyi dan temukan akan selalu ada kejutan. Bedanya hanya pada siapa yang akan memberikan kejutan terlebih dahulu. Harapan yang di balut kepasrahan atau maut dengan hobi memeluk dan memberi kecupan. 

Senin, 09 Maret 2020

Tentang Menyerupai Manusia

Aku keluar dari selimut beku setelah sekian lama. Melalui cahaya biru yang sinarnya hanya menyirami sisi bumi bagian tertentu saja. Aku terlahir dari balutan kepompong semesta hanya dengan mengikuti sinarnya. Cahaya ungu yang kilaunya selalu jatuh lebih dulu ketimbang kilatan gunturnya. 

Telanjang, dan kemanapun mata memandang tidak pernah kutemui deru napas menghadang. 
Telanjang, dan kemanapun kaki melangkah tidak pernah kutemui detak jantung menyapu daratan. 

Terlahir ke samsara pernah menjadi hal yang ku cita-citakan ketika masih berada dalam embrio. Melebur pernah menjadi harapan yang terus berpacu bersama detak nadi agar kehadirannya cepat terwujud. Dan hari ini datang, ketika bebatan kain yang selama ini membalut akhirnya melonggarkan diri dan melepaskan.  Aku terlahir untuk dunia yang begitu senyap, aku terlahir pada dunia dengan di sambut semburat ungu dan biru yang berkilau terang di hamparan langit. Keindahan tak terperi pertama yang menyita perhatian dan lamunanku. Tapi berdiam diri bukanlah tujuanku. Aku harus melangkah, aku harus menemukan, aku harus mencari. 

Malu tidak pernah menjadi daftarku, urat satu itu sudah ada di dalam sana namun masih belum menunjukkan diri apa fungsi dan kegunaannya. Aku berlari, menyongsong butir-butir embun yang membanjiri penglihatan. Dingin adalah definisi pertama yang ingin kusampaikan. Seluruh tubuhku memerah seketika. Kebekuan tidak hanya memampatkan pernapasan, tapi juga merebus permukaan kulitku dalam kedinginan tak terkira. Tapi tak ada waktu untuk berhenti, atau sekedar menghangatkan diri. Tapi tak ada waktu untuk berhenti atau sekedar memikirkan nyala api. Pucuk-pucuk daun menyapa kulit, menghantarkan ucapan selamat datang bagi diriku seorang. Dimana peradaban? Dimana kehidupan? Harus berapa banyak langkah lagi aku mengarungi ketidak pastian hanya untuk menemukan keduanya. Aku terengah, napasku tercekat, selain dua sinar menakjubkan biru dan ungu di awal ku membuka mata, ternyata semesta pun memiliki cara unik tersendiri untuk menyambut para tamunya. Dan tetes-tetes embun yang menyentuhku secara berkala menjadi keajaiban selanjutnya. Kemurnian yang begitu agung. Ketenangan yang begitu alami. Seperti inilah bentuk semesta yang selama ini kudamba dan kurakit dalam setiap untaian mimpi. Oh, betapa aku telah terkenyangkan dalam seketika. 

Semakin jauh kakiku melangkah, menyusuri rerimbunan tanpa setapak, kebekuan yang semula menggigit perlahan melonggarkan cengkeramannya. Ada hangat samar yang perlahan melingkupi, aku mungkin sudah berjalan cukup jauh sekarang, hingga akhirnya kutemukan peradaban, hingga akhirnya kutemukan kehidupan. Dan di depan sana semua yang kucari terserak rapi dan mengagumkan. Inilah kehidupan. Inilah peradaban. Selamat datang. 


Aku mulai mengamati mereka, tentang bagaimana cara mereka menutupi ketelanjangan, bagaimana cara mereka mengenakan topeng, bagaimana mereka bercengkerama dengan sesamanya. Untuk melebur dalam sebuah kaum bukankah kita harus menyerupai mereka? Dan aku melakukannya. Topeng terbentuk seketika di tangan, untaian ribu benang menenun gaun panjang berwarna putih tulang, aku merasa hangat dalam kungkungannya, kehangatan yang samar. Aku menyerupai mereka namun ada hal yang sama sekali tidak bisa kulakukan. Yakni mengenakan topeng. Aku terlahir dengan raut tanpa ada emosi yang bisa tertuang di sana. Tidak ada gambaran, tidak ada antusias, sedih ataupun sebaliknya. Sementara peradaban di sana berjalan dengan satu topeng konstan yang merata, yakni menunjukkan raut bahagia. Di antara begitu banyak racikan emosi yang pernah ada, dan mereka memilih untuk mengenakan topeng satu itu. Entah kenapa. 

Gemerisik gaun sewarna tulangku adalah satu-satunya penanda bahwa ada kehidupan di sana, sekarang aku tahu apa yang kurang dari penyamaan misi ini, menapakkan kaki dan membuat kebisingan dari setiap langkah yang di buatnya. Dan voila, aku berhasil mengimitasi keberisikan cara berjalan mereka.
Sebentar lagi dan aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kucari. 
Sebentar lagi dan aku akan menemukan sesuatu yang selama ini menghilang. 
Sebentar lagi semua tujuanku terlahir ke dunia akhirnya menemukan alasannya.
Menjadi manusia yang benar-benar manusia.


Harapan melambung begitu cepat seiring kebisingan yang hinggap di indra pendengaran.
Aku sampai pada tujuan, namun masih berada di ujung mulut dari keseluruhan harapan. 
Anak kecil berambut hitam legam adalah yang pertama menyadari keberadaanku. Matanya menunjukkan keterkejutan, tapi kemudian senyum kecilnya mulai menyambutku. Untuk sesaat aku merasa aman.
Aku melenggang sehalus yang bisa kuamati dan kupraktekkan. Aku melangkah seberisik mungkin agar bisa menyaru dengan manusia-manusia sekitar. Bibirku menyunggingkan senyum semanis yang bisa di kerahkan. Di perpotongan jalan tadi aku menyerah dan membuang begitu saja topeng yang harusnya kukenakan, jika manusia terbiasa dengan topeng berwajahkan bahagia kenapa mereka tidak bisa menerima kehadiranku yang tanpa raut apa-apa? Ya, emosi bukan bagian dari diriku tapi aku akan berusaha.

Seperti ini rupanya wajah kehidupan, seperti ini ternyata raut peradaban. Manusia-manusia begitu manis, begitu mengejutkan dengan keramahan dan keterbukaannya. Aku menangkap banyak sekali emosi yang terbang di udara, tapi seberapapun kuatnya mereka, hanya ada tawa dan senyum manis yang terus menyerbu pandangan. Oh dunia, setebal ini ternyata topeng yang di kenakan manusia. Koki dari dapur agung yang mengolah begitu banyak perasaan, sayang hanya hidangan penutup yang bisa mereka sajikan. Makanan manis dan kelebihan manis yang terutama sekali sangat dipuja dan selalu di sukai oleh anak-anak. 

Aku terlena seketika. Untuk sesaat aku merasa telah menjadi manusia seutuhnya, mulutku akan menarik bibirnya otomatis begitu retinaku bertabrakan dengan milik manusia lain. Untuk sesaat aku merasa bahagia, emosi samar yang tertangkap karena terbawa euforia. Untuk sesaat aku merasa telah di terima sebagai manusia seutuhnya, ketika yang membedakanku dengan manusia-manusia lain hanyalah rambut sewarna platinum dan gaun berwarna putih tulang milikku saja. 
Aku melangkah dengan begitu alami seperti telah kutapaki bumi ini sekian waktu lamanya. Dan meski terkadang kutangkap tatapan yang secara sembunyi-sembunyi di lemparkan padaku, aku tidak melihat ancaman dari semuanya. Langit benar-benar berhujankan rantai emosi penuh warna-warni dan dari kesemuanya sulit untuk merunut dan mengungkapkan apakah benar-benar ada bahaya di sekitar. 

Oh langit, oh bumi, demi pohon tertua di bumi ini, dan dari semua yang pernah kutemui kenapa pandanganku selalu tertuju pada satu hal itu saja? alam semesta yang begitu mempesona, dan sepertinya aku jatuh cinta pada hampir separuh isinya. Bintang yang bersinar di tengah gelap yang kian memekat. Mentari yang membanjiri seluruh daratan tanpa terkecuali. Refleksi jatuhnya kegelapan yang terpantul di kejernihan danau malam. Jalanan lengang yang panjang berliku membelah perkebunan padang canola berwarna cerah. Bahkan aku jatuh cinta pada ilalang yang tumbuh liar di tanah bekas perkebunan. 
Makhluk tanpa emosi yang dulu selalu mempertanyakan seperti apa kehidupan dan peradaban perlahan mulai menikmati jalan menemukan jawaban. Kulit pucat yang dulu hampir-hampir terlihat transparan di awal kelahiran mulai menunjukkan pigmen-pigmen warna. Hangus bukan kata yang tepat, tapi sinar mentari jelas bertanggung jawab banyak akan perubahan warna kulitku. 

Sekian lama membaur dengan manusia, berupaya menyerupai mereka, membuatku hampir lupa tentang darah apa yang mengalir di bawah lapisan kulit ari. Dan manusia membangunkan keterlenaanku hampir sekian tahun sejak waktu kedatangan. Ya, aku hampir linglung dengan konsep waktu yang di usung manusia. Dalam balutan kepompong semesta waktu tidak memiliki sekat, apa itu jam, apa itu hari, apa itu bulan dan tahun, semua terlewati dalam satu dua masa penuh emas dan musim yang abadi. Realisasinya adalah kemarin ketika langit tengah bermandikan warna biru tanpa sedikitpun lompokan awan. Beberapa manusia datang bertamu dengan membawa seonggok senyuman dangkal. Topeng masih setia menempeli wajah mereka, tapi di udara berhasil kupilin garis emosi bercampurkan sedikit bahaya. Entah hal apa yang kiranya mereka bawa, namun sedikit antisipasi perlahan merangkak naik ke permukaan. Terjadinya begitu cepat ketika kudapati diri manusia-manusia itu ambruk seketika di hadapanku. Total kuhitung ada tiga manusia yang tergeletak begitu saja, tanpa nyawa, tanpa baret luka. 

Aku menyalahi aturan, aku tahu bahwa keberadaanku sudah tidak lagi aman. Manusia-manusia malang itu mencoba menggali emosi yang tak pernah ada, manusia-manusia malang itu mencoba mengorek informasi tentang keaslian diriku. Hingga tanpa sadar aku bertransformasi menjadi sesuatu bercakar yang tidak pernah siapapun duga akan ada dalam diriku. Ujud lain yang aku sendiripun tidak tahu. 

Aku berlari menembus kegelapan yang datang tiba-tiba. Gaunku terciprati banyak lumpur yang kubangannya tak sengaja terinjak langkah kaki. Dalam waktu singkat aku berhasil melihat pilinan jaring tebal mengangkasa, menyaingi gelapnya awan di atas sana. Aku melihat kemarahan, sesuatu yang jarang sekali kulihat dari manusia-manusia bertopeng wajah bahagia. Aku melihat kebengisan menyapu daratan. Catatan perjalananku sebagai manusia tidak pernah menuliskan tentang betapa mengerikannya emosi manusia satu itu. Dan aku begitu terhenyak untuk sekian waktu. 
Aku belum lulus benar dalam mempelajari konsep salah dan benar dalam peradaban manusia. Tapi aku meyakini bahwa keputusan ketiga manusia itu untuk menggali emosi dalam diriku bukanlah sesuatu yang bijak apalagi tepat. Aku mengabaikan tentang penyamaran, aku mengabaikan tentang kebingungan, kemarahan dan kepanikan yang tengah melanda bumi. Fokusku kini hanya satu, mencari ujung tangga yang akan membawaku kembali menuju pelukan semesta. Kepompong abadi yang konon di sebut manusia sebagai surga. Dan aku menemukannya. 


Kepada daun-daun sewarna emas yang berjatuhan di pangkaun, kepada mereka kisah singkatku sebagai manusia mulai mengalir perlahan. 
Aku telah di beri kesempatan, untuk melebur, untuk membaur, untuk menyerupai. Peradaban dan kehidupan yang selama ini kukira akan begitu dramatis dan menakjubkan justru membawa banyak sekali kejutan. Menemukan diri kembali telanjang seperti menghadirkan sengatan. Manusia-manusia bumi berhasil menorehkan sedikit jejak emosi dalam waktu singkat. Aku kembali menjadi si makhluk tanpa gambaran, tanpa emosi, tanpa antisipasi. Senyum yang sekian waktu terukir konstan di wajah tidak meninggalkan jejak sama sekali. Aku benar-benar telah kembali. 


Kehidupan manusia layaknya sekelumit mimpi yang datang di sela-sela tidur panjang. Suatu saat meski entah kapan siapapun akan mengakhirinya, siapapun akan terjaga. Peradaban dan kehidupan. Aku muak dengan topeng-topeng itu, merasa bisa mencopot kesemuanya dari setiap wajah yang kutemui, hanya agar bisa melihat dengan pasti perasaan mereka tanpa harus ada yang di sembunyikan dan di tutup-tutupi. Kebenaran yang mereka dengar dan punya adalah sesuatu samar yang letaknya begitu dangkal, siapapun bisa melihat, siapapun bisa memindah letakkan, siapapun bisa membalik dan membuangnya. Kebahagiaan yang mengelilingi mereka tidak cukup untuk mengajari bahwa sesuatu yang murni tidak selalu harus berwarna putih dan jernih. Terkadang hitam dan telanjanglah yang menjadi pemenang meski podium tidak pernah mengijinkan keduanya untuk naik ke atas dan mengangkat trofinya. Manusia tidak mengenal warna transparan, alasan kenapa kedatanganku di bumi membutuhkan sebuah gaun, selain agar kedatanganku di terima juga untuk membentuk sebuah nyata yang bisa masuk dalam kategori mereka. 

Aku merasa muak dengan senyum-senyum itu. Lengkungan bibir yang tidak menyampaikan kebenaran apa-apa. Ketika aku mengira bisa mengelabui manusia dengan menyamai mereka, nyatanya tidak semudah itu. Manusia menangkap gelagatku yang kian menyimpang dari kebiasaan mereka. Tentang kenapa aku selalu menghindari kerumunan, tentang kenapa aku selalu menghindari adanya keramaian. Peradaban sebenarnya yang menyimpan perisai kasat mata, dan hatiku melarang untuk mendekatinya. 
Alasan lain untuk menghindari terkuaknya fakta tentang siapa diriku sebenarnya. Cukup tiga raga yang menjadi penanda bahwa aku bukan manusia seutuhnya, cukup tiga raga untuk membuatku berhenti melakukan perjalanan dan pencarian tentang adanya kehidupan dan peradaban. Karena aku telah menemukan, pemahaman bahwa sebaik apapun aku menyamai manusia, meniru kebiasaan-kebiasaannya, darah di balik kulit ari tidak bisa membohongi, bahwa aku bukan bagian dari mereka. 

Kamis, 05 Maret 2020

Aku, Batu, dan Namaku

Beberapa manusia menyerupai kayu, yang mudah basah ketika hujan namun cepat kering ketika matahari datang. Dan ketika api menyapa secepat itu pula dia menyambarnya. 
Beberapa yang lain menyerupai batu, tidak peduli seberapa keras hujan dan terik mengguyuri dirinya, dia akan tetap keras seperti itu, tak tersentuh apalagi berubah. 

Aku adalah salah satu yang menyerupai batu. Terlahir dari seseorang yang murni manusia dan di namai tanah. Entah filosofi apa yang terpikirkan oleh pengandungku saat itu, tapi yang pasti aku bertumbuh sejalur dengan nama yang di sematkan oleh mereka di awal perjalanan. Terinjak, dan menjadi pijakan. Ya, aku mengalami keduanya secara bersama-sama. Masa kecil yang di harapkan bisa membawa keceriaan di dalamnya, ternyata hanya menyisakan aku dengan rasa malu yang sedikit berada di bawah garis standar. Pengandungku dengan secara gamblang dan menyatakan sedini mungkin tentang siapa dirinya, siapa diriku, dan siapa mereka. Tunduk menjadi sesuatu yang sulit di cerna saat itu, tapi kepalaku terus di paksa agar melakukannya tidak peduli apa arti dan tujuannya. Pengandungku benar-benar sesiap itu membentuk diriku agar bisa sejajar dengan dirinya. 
Tumbuh lebih besar membawa keliaran di setiap langkahku. Aku mulai bisa mempertanyakan, aku mulai bisa mengatakan tidak, namun jawaban yang selalu kutunggu dan kucari tak pernah datang dengan gamblang dan segera. Aku harus menunggu lebih dari sekedar lama untuk mengetahui apa sebenarnya makna terselubung di balik tunduk yang selalu di jejalkan kedalam kepalaku. Awal mula terbentuknya batu di dalam diriku, meski saat itu aku justru menyalahi artinya sebagai calon lahirnya bibit kayu. Aku berontak, tidak mengerti harus menjadi siapa diriku saat itu, tidak ada panutan yang bisa membimbing langkahku, karena jujur saja aku tidak pernah melihat siapa-siapa, efek pelajaran tunduk yang terlalu dini membuatku takut untuk melihat sekitar, kemanapun mata memandang hanya ada tanah dan jangkauan satu langkah di depan kakiku sendiri. Tunduk, bisakah aku mengutuk keberadaannya? 
Tentang namaku memang ada filosofi yang terkandung di dalamnya, aku menyadari itu ketika benar-benar telah tumbuh dewasa. Selain menjadi tempat berpijak dan terinjak, adalagi sesuatu istimewa yang dimiliki oleh tanah, yakni menjadi dasar bagi adanya kehidupan. Tidak peduli seberapa tingginya seseorang, tidak peduli seberapa besarnya dia, tanah tetaplah landasan bagi semuanya. Awal dan akhir adanya kehidupan, tempat berpasrah bagi raga-raga yang telah padam, tempat terakhir bagi nyawa-nyawa yang tak lagi memiliki cahaya. 
Dan meresapi semua itu membuatku akhirnya bisa menikmati kutukan yang selama ini selalu hadir di tengah-tengah serapah panjangku. Tunduk yang begitu telaten mengajarkan. Ada hal penting yang lupa untuk ku buka tutup sajinya, yakni tentang sebuah pandangan. Pengandungku sepertinya paham benar tentang bibit-bibit batu yang akan tumbuh di dalam diriku, bahwa kenyataan tentang menjadi batu yang meski terlihat diam dan tak bergerak namun juga terdapat fakta lain yang menyelubunginya, yakni tentang kekuatannya untuk menyakiti, tentang kebisuannya, tentang tak ketersentuhannya. Pengandungku secara tidak sengaja mengantisipasi segalanya sedemikian rupa. Di jadikanlah tunduk sebagai pelajaran sekaligus pengajar pertamaku. Di jadikanlah tunduk sebagai remah roti yang di harapkan bisa menyumpal mulut sekaligus mengenyangkanku. Karena pengandungku mungkin memahami ini, bahwa ketika sebuah batu mulai membuka mulut dan mengeluarkan suaranya, bukan keindahan yang dapat diperdengarkan, tapi serapah dan sekali lagi serapah. Itu saja. 

Oh, aku ingin menangis sekarang, batu yang selama ini kuagung-agungkan keberadaannya, batu yang tidak hanya kupoles namun juga kukubur dalam-dalam lewat namaku agar tak seorangpun mencium betapa keras dan tak tersentuhnya dia. Namun kenyataannya tak ada raga yang sanggup mengubur dirinya sendiri tanpa bantuan, tanpa terlihat oleh sekitar. 

Batu dan tanah tidak di takdirkan untuk bisa berkombinasi hingga bisa menciptakan identitas baru. Batu dan tanah memiliki entitas kuat di dalam diri masing-masing, dan menyatukan keduanya hanya akan membuat benturan baru, peperangan tiada akhir. 
Dan kata itulah yang menggambarkan tumbuh kembangku hingga hari ini. Kemanapun kaki melangkah tak pernah kutemui jawaban atas segala pertanyaan yang memenuhi angka-angka hidupku. Tentang kenapa harus menjadi batu dan bukan kayu, tentang kenapa harus tanah dan bukan api. Pertanyaan yang jawabannya menghilang ditelan kesunyian dan kegelapan. Aku terlalu takut untuk membuka kunci keduanya, lebih memilih untuk tidak mengetahui apa-apa ketimbang harus bertamu pada keduanya. 
Namun hari ini, di tengah kepungan keramaian sayup-sayup, di tengah tangisan yang terasa kian menghambar, aku, manusia perpaduan batu dan tanah, yang tidak pernah menemui jawaban tapi akhirnya bisa terkenyangkan dengan pemikiran dan kesadaran, terimakasih semesta, untuk tamparan dan pemahamannya. 

Jika kita tidak bisa menerima diri sendiri bagaimana manusia lain akan menerimanya? Aku sudah mengetahui tentang perihal nama, perihal tentang berperan sebagai apa diriku di dunia. Tengah belajar dan sepertinya selamanya akan berada di tahap itu untuk bisa menerima dan menikmatinya. Dan manusia di luar sana menuntut terlalu banyak dariku, menuntut agar aku bisa sejajar dan bisa menjadi senormal mereka. Ini terasa seperti kamu adalah seekor katak yang di paksa menjadi peserta di arena pacuan kuda. Lompatanku tidak akan bisa menyamai langkah mereka, jangkauanku berada jauh dari yang di harapkan, tapi satu yang mereka benar-benar lupa, bahwa katak dan kuda bahkan di gariskan untuk hidup di dua dunia yang berbeda. Aku tidak bisa, dan manusia tidak bisa memahami jawaban tidak. 

Dear tanah, siapapun kamu nanti atau sekarang, bahkan jika sampai akhir ternyata dirimu tetap tak di kenal namun tetap menjadi pijakan, bisakah kita bersalaman dan menjadi teman? Aku tahu seperti apa pahit dan keluasan dirimu. Aku bahkan satu-satunya yang paham tentang betapa berat dan langkanya menjadi dirimu. Aku ingin engkau tahu, bahwa jika di sodori pilihan, akupun ingin menjadi kayu, yang suatu saat akan bertemu api lalu terbakar dan menjadi abu, untuk sesaat di terbangkan angin sebelum akhirnya jatuh kepelukanmu, satu-satunya tempat yang bersedia menjadi penampungku. Satu-satunya tempat yang memang di sediakan semesta untuk menjadi tempat peristirahatanku. Sedangkan menjadi batu, selamanya aku hanya akan menjadi beban untukmu, di biarkan menghalangi langkah pejalan, di telan pun hanya menyamarkan keberadaanku dari pandangan. Aku benar-benar tercipta untuk menjadi semengganggu itu. Alasan kenapa hanya segelintir saja di antara ribuan yang di gariskan untuk menjadi seperti aku. Menjadi batu. 

Dear tanah, keluasanmu mungkin bisa menempatkanku di daratan mana saja yang benaran jauh dari jangkauan, keluasanmu mungkin bisa saja menyembunyikanku bahkan di relung terdalam, tapi apa aku tidak seberharga itu untuk terlihat dan di perjuangkan? Aku bahkan ingin mengutuk siapapun yang bertanggung jawab akan diriku, tapi semesta adalah hal baik, memberinya serapah bukan hal yang bagus untuk di lakukan. Bahkan ketika manusia-manusia lain tidak menerima perpaduan kita berdua dalam satu raga, serapah masihlah hal yang tidak bagus untuk di ucapkan. 
Aku sekompromi itu untuk keberadaan kita, dan manusia-manusia lain yang tidak memiliki andil apa-apa, hanya bertugas mengamati dan mengomentari, mereka bahkan tidak mau repot-repot untuk mengerti dan menerima. Hanya menerima dan raga ini masih menerima cela. 

Kepada raga yang mungkin pernah merasa ingin menyerah pada adanya kehidupan. Jika bisa, aku ingin meminta maaf untuk pertemuan batu dan tanah di dalammu. Dirimu mengandung identitas yang sulit untuk di ajak berbagi rasa dalam setiap kesempatan. Dirimu bahkan mengandung jawaban yang sulit untuk di terima dengan akal. Tapi demi dirimu, aku dan tanah akan mencoba untuk sejajar dengan baik-baik saja, tapi demi dirimu aku dan tanah pun akan mencoba untuk belajar tunduk agar kita benar-benar berjalan sejajar. Tumbuh lah lebih lama dan lebih tegar dari semuanya. Karena dirimu memang terlahir untuk menjadi berbeda. Bahkan ketika seluruh dunia mengabaikan dan hanya mencela, bahkan ketika seisi dunia tidak bisa menerima, ketahuilah bahwa akan selalu ada tanah yang siap untuk menghibur dan mengubur, ketahuilah bahwa ada batu yang akan selalu sedia untuk menjadi bantal dan penopang. Berhenti untuk ragu dan tersenyumlah, selalu ada dirimu yang menjadi teman terbaikmu. Selalu. 

Rabu, 04 Maret 2020

Berjalan

Aku berjalan keluar pekarangan, berharap jalanan yang dingin bisa menangkapku tanpa kami harus terlebih dulu bersentuhan. 
Aku berjalan menuju langit gelap tanpa kerlip bintang, berharap kesenyapannya bisa membiusku tanpa kami harus terlebih dulu beririsan. 
Aku mencari dan terus mencari tempat terbaik bagi makhluk yang tidak pernah bisa bertahan pada adanya sentuhan, irisan. 

Bahkan ketika sayapku mulai mengembang, menerbangkanku menuju awan, di sana masih ada bulir-bulir air yang akan menyiramiku dengan begitu ganas dan tanpa ampunan. 

Kemana, harus melangkah kemana hati yang tak pernah bisa berteman? Harus melangkah kemana kaki yang selalu enggan menemui adanya pertemuan?

Dingin, udara dari segala penjuru sepertinya berkomplot untuk menyerbu di manapun aku berdiam. Tak ada celah, apalagi ruang. Semua terkurung dalam ujung saluran mampat yang memblokir segala jalan.

Aku berharap bisa memiliki rumah dimana di dalamnya tak ada kompromi, tak ada pengertian. Yang ada hanyalah tangan terbuka, siap memeluk apa saja, siap menelan apa saja. 
Tapi memiliki rumah seperti itu membutuhkan lebih dari sekedar harga mahal. Tapi memiliki rumah seperti itu membutuhkan lebih dari sekedar pengorbanan. 
Aku terbaring dengan mata terpejam erat, berharap dengan menutup mata bisa sekaligus menutup semua pintu pengantar rasa. Tapi satu, dan hanya satu yang tak pernah bisa terdiam sepanjang waktu, bahkan ketika tengah terlelap dia masih bisa menelusup masuk lewat mimpi tanpa ucapan. Sebuah nama yang mendiami isi kepala, berlarian dari satu ujung sel ke ujung sel yang lainnya, berenang-renang dengan tanpa beban dari satu aliran darah menuju cekungan di sisi lainnya. Sebuah mulut yang tidak pernah bisa di bungkam meski segala daya dan cara telah di kerahkan. Dia yang bertanggung jawab atas segala karut marutnya indra perasa yang menempel di sekujur tubuh. Dia yang menciptakan perasaan anti sentuhan, perasaan anti irisan. 

Jalanan tidak akan pernah terdengar lengang lagi sekarang, langit gelap tidak akan pernah terlihat sunyi lagi mulai sekarang. Karena dia yang begitu rapuh seperti mekarnya bunga ilalang dewasa, yang akan pergi begitu angin datang, yang akan meluruhkan diri ketika terkena sentuhan. 
Kaca masih beruntung karena memiliki volume untuk menahan beberapa beban, setidaknya tidak ada kaca yang akan pecah karena kejatuhan daun kering. Dan dia lebih berbahaya dari sekedar itu. Dia lebih rapuh dari sekedar semua itu.

Ketika semua daratan di bumi ini mendadak memiliki kerikil di atas permukaannya. Ketika semua benda di bumi ini mendadak memiliki ujung lancip pecahan kaca, saat itulah aku ingin menangis, meraung hingga tergugu, menyadari kenyataan bahkan dia yang berdiam di ujung kepalaku sendiri tak bisa kurengkuh, kutenangkan, apalagi kumenangkan. Hanya aku dan dia, yang memahami betapa sangat menyiksanya keadaan ini, betapa berbahayanya hidup ini sebenarnya. 

Aku berjalan gontai menuju arah yang tak di rencanakan. Hanya melangkah, dan terus melakukannya. Mati rasa bukan pilihan yang terbaik, tapi bahkan kita tidak pernah bisa memilih efek samping apa yang akan di bawa oleh sebuah kejadian. Dan aku mengalaminya. Perasaan pertama yang datang begitu kuat dan hadir secara konstan dari waktu yang terlupakan hingga waktu yang bisa di kenang. Aku mengalaminya atau mungkin memilih, lebih tepatnya.

Beberapa tempat yang kudatangi menguarkan aroma tak terbendung, yang membuatku harus mengeluarkan isi perut seketika. Beberapa yang lain bisa melakukannya hanya dengan melalui pandangan saja. Lambungku baret saat itu juga. 

Aku ingin menundukkan kepala, menengadah membuatku buta, aku bahkan ingin menghentikan langkah, tidak terjatuh, tapi juga tidak berada dalam dekapan apa-apa. Perasaan telanjang saja tidak cukupan untuk merangkum semua keinginanku. Lalu jika telanjang saja tidak bisa, hal lebih polos apalagi yang bisa mengungkapkannya? 

Rumah oh rumah, betapa aku sangat mendambamu, tempat dimana aku bisa melepaskan pundak dan memereteli bagian tubuh lainnya untuk di letakkan di meja dan di istirahatkan barang sebentar saja. Rumah oh rumah, betapa aku sangat mengharapkan ujudnya menjadi nyata. Aku tidak membutuhkan bangunan, ataupun raga. Aku tidak membutuhkan pekarangan ataupun belas kasihan. Aku bahkan tidak membutuhkan semua hal yang di angan-angan kan oleh begitu banyak orang. Hanya kekuatan untuk menelan, hanya keinginan untuk melahap. Itu saja.

Jika aku menyerah, apa kiranya hal yang akan menjemputku? Identitas baru? Ataukah kekuatan baru? Jika aku ingin melebur bersama kelopak bunga ilalang dewasa, kira-kira apa hal terbaik yang bisa kuterima? Jatuh ke tanah lalu terinjak oleh siapapun yang melewatinya? Atau terbang jauh mengelilingi lautan awan? 
Bahkan bangunan terkuat pun terkadang ingin meruntuhkan dirinya sendiri kadang-kadang. 

Aku menemukan cahaya di pertigaan kedua. Dia datang menawariku bangku peristirahatan. Mencoba mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan sebelum akhirnya dia menyadari bahwa akulah si tak tersentuh, sebuah nama yang begitu ingin di hindarinya. Rautnya menunjukkan ketertarikan untuk mengetahui alasan kenapa aku terlunta di telan gelap. Di balik keengganannya bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa dia benar-benar ingin mengetahui kenapa aku berkeliaran sebegitu jauh dari pekarangan. Tapi aku tak memiliki jawaban. Meski kerongkonganku gatal untuk melepaskan arus yang tertahan, tapi tetap tak ada kata-kata yang bisa keluar untuk menjelaskan. Bahkan cahaya pun enggan menyertai kebekuanku. Bahkan cahaya pun enggan melumatku menjadi serpihan kunang. Satu lagi alasanku untuk tidak bersentuhan, satu lagi alasanku untuk kian memeluk pekat. 

Darah, oh darah. Masihkah engkau di sana? Mengangkut segala bara yang tersisa? Karena jujur saja aku lupa kapan terakhir kali merasakan hangat yang membanjur di setiap helaan napas. Darah, oh darah. Masihkah engkau di sana? Memompa tempat yang selalu haus akan adanya tekanan? Karena jujur saja aku lupa kapan terakhir kali merasakan getaran di setiap deguban.
Darah, oh darah. Tolong jangan melarikan diri dari tanggung jawabmu. Tolong penuhi semua tugas dan kewajibanmu. Tak apa jika aku tak pernah lagi merasakan getaran, tak apa jika aku berhenti menerima sentuhan apalagi kehangatan. Karena mati rasa telah menguasaiku. Karena mati rasa telah memilih untuk mendekap erat telapak tanganku. Bersama kami akan melayang, pergi kemanapun tempat di mana tak ada sentuhan yang akan membuatku terluka sampai menitikkan air mata. Bersama kami akan menghilang, di telan apapun yang tak pernah melayangkan protes apalagi keluhan. Karena jujur saja aku sudah sampai pada tahap putus asa. Untuk mengerti, untuk memahami, untuk mencoba. 

Sabtu, 29 Februari 2020

Surat Kepada Kandidat Teman

Engkau hadir bak bulir air yang jatuh dari langit di penghujung musim kemarau. Engkau bahkan lebih dari itu, gerakmu melaju seperti angin yang tertiup kipas raksasa. Kuyup bukan kata yang tepat, karena engkau datang dan pergi tanpa menyisakan apa-apa, bahkan kata-kata. 

Aku takut tentu saja, bahkan sebelum kedatanganmu menjadi nyata engkau telah menyebar teror sedemkian rupa.
Bisakah kita menjadi teman? Tidakkah engkau ingin sejenak saja menghentikan langkahmu untuk sekedar mengistirahatkan diri atau membuka telinga dan mata bagi mereka yang telah banyak melihat dan mengalami kehilangan? Tidakkah engkau ingin tahu mimpi apa saja yang harus hanyut paksa karena serbuan tanpa peringatanmu? Aku berada di sini, jauh dari jangkauanmu dan tengah tergugu membayangkan betapa meriahnya pesta yang engkau mulai di pembukaan tahun ini. 
Sekali lagi aku ingin menjabat tanganmu dan bertanya, bisakah kita menjadi teman? Mari masuk dan menjelajahi gorong-gorong waktu dari perjalananku yang telah lalu. Aku memiliki banyak orang istimewa di luaran sana, yang nyawanya memiliki urat penyambung khusus dengan nyawaku. Sehingga apapun yang melukai mereka akan terhubung juga rasa sakitnya padaku. Aku memiliki mimpi yang setiap harinya tengah bertumbuh dan akan terus bertumbuh. Gadis kecil yang begitu kusayangi dan kucintai dengan segenap jiwa, raga dan juga hati. Memperbaiki dunia adalah cita-cita terbesar yang pernah terucap dan terpikirkan olehku hanya agar kelak dia bisa memiliki kedamaian jalan, hanya agar kelak dia bisa berjalan tanpa harus terperosok dalam jurang yang selalu menganga di tiap tikungan. Aku bahkan masih belum menentukan tentang keinginan agar gadis kecilku tumbuh besar menjadi dan seperti apa. Karena kedatanganmu perlahan mengaburkan semuanya. Ya, engkau yang hingga hari ini di harapkan masih belum menyentuh daratan dimana aku dan seluruh keluargaku tengah berpijak. Semua cerita dan derita yang datang bersamamu sampai lebih dulu di daratan ini. Dan sekali lagi kutegaskan bahwa aku takut. 

Semua orang bertanya-tanya tentang obat apa yang bisa memadamkan api dari pesta poramu. Sebagian masih mencari jalan tentang bagaimana caranya agar tidak sampai bertatap muka denganmu, sebagian yang lain pergi begitu saja dari dunia tanpa sempat melambaikan tangan, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal setelah sempat beririsan denganmu. 
Sulit sekali untuk membayangkan makhluk sekecil dirimu bisa memiliki hati, sulit sekali membayangkan makhluk sekecil dirimu bisa menjadikan makhluk lain sebagai teman, tapi disini aku ada dan mengulurkan tangan. Bisakah kita menjadi teman? Aku tidak pandai berbicara, semua usahaku untuk menaruh kalimat manis di ujung lidah selalu menghasilkan serapah dan kekacauan saja, tidak ada yang keluar seperti yang di inginkan dan di rencanakan. Lidahku melukai lebih tajam juga lebih keras daripada yang mungkin bisa dilakukan oleh anggota tubuh lain, hingga terkadang aku sampai pada titik berdoa agar tidak bisa berbicara. Ya, aku sefrustasi itu menghadapi kekacauan yang ditimbulkan oleh anggota tubuh tak bertulangku satu itu. Tapi aku bisa menghasilkan mantra. Tapi aku bisa merunut kata-kata dengan begitu manis dan halus. Aku bisa menyentuh dengan kata-kata itu, dan berharap aku bisa menyentuhmu juga seperti yang selalu berhasil kulakukan pada manusia, menyentuh dan merangkulmu dengan begitu mesranya, sampai engkau terketuk dan akhirnya rela meninggalkan pesta pora yang telah tercipta dan pergi dari dunia ini dengan tanpa harus membawa lebih banyak nyawa mereka yang tak berdaya. 

Jika kita bisa saling terbuka untuk menyuarakan pemikiran dari tempat terdalam, jujur saja aku tidak begitu peduli dengan kerugian-kerugian yang harus di tanggung sebuah pulau atau sekumpulan manusia. Aku hanya peduli pada mereka yang masih ada dan tak pernah tahu kapan kau akan mendatanginya, memeluk dan menyeretnya pada ambang batas dunia. Aku hanya peduli pada ribuan mimpi yang harus terputus begitu saja tanpa adanya peringatan apalagi aba-aba. Aku hanya peduli pada mereka yang harus terputus dari orang-orang yang berharga dalam hidup dengan begitu tragis, dengan sekali pukul dan sekali lambaian. Kehidupan terlalu komplek untuk diberi senyuman singkat sebagai ucapan selamat tinggal. Kematian bahkan terlalu sakral untuk di hadiahkan pada ribuan nyawa dalam sekali tebasan ayunan pedang. Engkau tidak seharusnya seegois itu dengan merenggut sekian ribu dalam satu waktu, hanya karena engkau berkuasa, hanya karena engkau memiliki daya. Intip sebentar saja pada kepala-kepala mereka yang berada di tengah ambang, lihat dan rasakan apa yang tengah bergumul di dalam sana, tanyakan berapa kesiapan yang bisa mereka kumpulkan, rasakan berapa keras ketakutan yang berhasil menyelimuti. Kematian memang akan datang pada setiap yang hidup, tapi mengetahui sesuatu bertanggung jawab akan melayangnya ribuan nyawa membuatku berpikir ulang untuk mengutuk kematian, membuatku berpikir ulang untuk mengabaikan.

Dari apa sebenarnya engkau tercipta kalau aku boleh tahu? Apa engkau hadir begitu saja seperti cacing yang keluar dari dalam tanah? Apa engkau hadir begitu saja seperti tunas baru yang tumbuh dari pohon yang telah mati? Atau engkau hadir seperti manusia? Datang karena adanya penyatuan dua indukmu? Manusia perlu tahu semua itu untuk menghentikan pengelanaanmu yang begitu meraja lela tanpa melihat perbatasan dan usia. Aku khususnya perlu tahu agar bisa melanjutkan mimpiku tanpa harus terbumbui ragu tentang kapan engkau akan mendatangiku dan orang-orang di sekitarku. Aku khususnya perlu tahu agar bisa bernapas tanpa harus membawa serta beban dalam setiap helaannya. Ketakutan yang begitu menyelubungi seperti kabut tebal di atas api pembakaran. Aku sesak, aku tergugu, aku terdiam dan dari kesemuanya tidak cukupan untuk memperlihatkan bagaimana aku tengah di landa cemas berlebih dan ketakutan. 

Andai saja engkau mau menyambut uluran tanganku, lalu kita berteman seperti yang kuinginkan. Kepadamu akan kuperlihatkan indahnya siang dan malam, kepadamu akan kutunjukkan betapa nikmatnya berkhayal, memupuk mimpi dan menungguinya. Andai saja kita berteman, ingin kurengkuh dirimu dalam dan kunyanyikan lagu serta kubacakan dongeng agar engkau bisa terlelap dan menjadi tenang. Bahkan andai kita berteman, ingin sekali kuperlihatkan padamu bagaimana cara kerja dunia agar engkaupun bisa hidup di dalamnya tanpa harus membuat mereka yang terkena sentuhanmu pergi dipeluk kematian. 
Tapi sepertinya makhluk sekecil dirimu terlalu riskan jika masih harus dijejali tentang konsep hati, nurani, apalagi mimpi. Semua yang engkau butuhkan hanya pemuasan akan rasa dahagamu tentang berkembang dan berkembang. Semua yang engkau butuhkan hanya pemuasan akan rasa dahagamu tentang berpesta pora dan bersenang-senang. 

Aku mengabaikan banyak untuk menulis dan mengulurkan tangan sebagai tanda pertemanan. Menekan banyak rasa takut dan keresahan yang terus menggunung sejak pembukaan tahun baru ini. Aku setakut itu hingga sampai pada titik merasa bahwa mungkin yang engkau butuhkan uluran pertemanan dan pelukan dan kata-kata manis dan pengakuan, semua hal dan satu-satunya yang bisa kulakukan. 

Maaf jika harus menginterupsi kebahagiaanmu dalam berpesta pora. Maaf jika harus menginterupsi kesenanganmu memeluk manusia dan mengantarkannya pada ambang batas nyawa. Tapi aku percaya suatu hari nanti, entah esok atau lusa, langkahmu akan terjegal oleh penemuan dan pengetahuan. Kuasamu yang hampir melegenda akan tersapu oleh tak terhitungnya doa-doa. Dan ketahuilah bahwa masih ada Yang Maha Kuasa diatas yang paling berkuasa.
Semoga waktu yang menyembuhkan akan segera datang secepat semangat yang tumbuh di dalam hati usai menuliskan ketakutan dan keresahan ini. Semoga.

Selasa, 25 Februari 2020

Bintang Murung Dan Makhluk Hitam

Kehidupan di atas langit sering kali kurang menarik minat dan perhatian manusia. Kecuali bintang-bintang, kecuali mentari, kecuali rembulan. Tiga sumber cahaya yang begitu di agung-agungkan keberadaannya. 

Aku adalah makhluk hitam. Bernama demikian karena hanya memiki ujud dalam kegelapan malam. Ketika siang datang, wujudku menjadi transparan, menyaru dengan langit biru, dengan awan-awan melayang. Aku selalu ada di sana meski keberadaanya tak pernah disadari apalagi menuai puja puji. Jika di bandingkan dengan manusia, maka keberadaan kaumku hanya sebagian sangat kecil dari mereka. Perbandingannya adalah ketika pasir di seluruh dunia di gabungkan, lalu segenggam dari mereka adalah makhuk hitam. 
Meski tak bernama, hanya memiliki identitas sebagai makhluk hitam saja, tapi nyatanya cerita tentang kami tidaklah seminim itu. 
Konon segelintir manusia memiliki dongeng tentang makhluk hitam yang di ceritakan secara turun temurun, hingga keaslian kisahnya kian mengabur tergerus waktu. 


Makhluk hitam tidak memiliki mata, jika yang di maksud dengan mata adalah dua lubang di wajah bagian atas dengan bola putih dan lingkaran hitam kecil di tengahnya. Tapi kami memiliki jari yang begitu banyak, cukupan untuk meraup serbuk bintang yang bertabur di langit sana dalam satu pelukan. Dan meski tidak bermata, tapi kami tetap bisa melihat, melalui ujung jemari yang jumlahnya lebih dari cukup untuk menggantikan fungsi mata. 
Langit malam adalah taman bermain yang begitu mengasyikkan, memandang kerlip lampu di bawah sana yang begitu sesak dengan banyak pola dan ribuan puntiran, tidur tidak pernah ada dalam daftar hidup makhluk hitam. Bahkan ketika siang datang, cerahnya mentari terlalu sayang untuk di lewatkan dengan mengistirahatkan badan. 

Gelap selalu membawa keceriaan sendiri. Menangkapi bintang adalah permainan yang selalu membawa kejutan. Manusia entah bagaimana selalu bisa menggantungkan harapan dan asa di setiap pucuk bintang, konon doalah yang menjadi tangga sekaligus perekat bagi kemustahilan itu. Dan menyentuh harapan mereka, membaca asa dan impian mereka adalah kegiatan menyenangkan bagi makhluk hitam, terutama untukku. Aku melihat banyak nama, banyak gabungan nama dan lebih banyak lagi kata-kata yang memerlukan penerjemah khusus untuk mengetahui isinya. Manusia lebih menyukai menimbun angan di kepala mereka, melafalkan banyak mantra, begitu tergesa-gesa dalam keseluruhannya, hingga kemudia jatuh terserimpet untaian doa yang mereka panjatkan sendiri. Itu lucu, sangat lucu, terlebih lagi mengetahui ternyata sebagian besar manusia memilih untuk menghindari malam, melilih untuk tidak di lumat oleh gelap. Bola lampu adalah penyelamat untuk sepanjang malam. Entah apa sebenarnya yang mereka takutkan. Bukankah tidak ada yang lebih menyeramkan di dunia ini ketimbang momen turunnya hujan? Aku khususnya selalu menghindari hujan. Beralih dari petak satu ke ujung petak yang lain, hanya agar bisa terhindar dari berkubik-kubik air yang turun secara acak dan bertabrakan. Tidak ada yang perlu di antisipasi dari malam, hanya jika manusia mengerti bahwa gelap selalu mengulurkan tangan memohon sambutan, hanya jika manusia mengerti bahwa ada semua takut dan perasaan waspada yang menghantui manusia adalah tak lain buah dari hasil pemikiran tentang kecemasan mereka sendiri. Manusia begitu lucu dengan segala tindak dan kebiasaannya. 

Tentang menyentuh bintang, tempat di mana semua harapan dan asa manusia di gantungkan. Kemarin lalu yang telah lama aku menemukan satu bintang besar, berdiri jauh dari pandangan. Bahkan jemari terpanjangku harus sedikit mengeluarkan usaha untuk bisa menyentuhnya. Bintang satu itu berbeda, bukan bersinar putih terang seperti kebanyakan, tapi ada nyala abu yang mengelilingi dan membalut keseluruhan dirinya, membuatnya seakan hanya bintang kecil murung yang terus meredup. Karena awalnya akupun mengira begitu. Tapi ketika dilihat dadi dekat, dia benar-benar bintang dengan ukuran yang cukup besar. Dan selimut abu yang membuatnya terlihat seolah bintang murung adalah ujud dari ribuan asa yang membentuk konstelasi tersendiri. Dia memiliki beban untuk menggantungkan harapan lebih dari yang bisa dia bawa. Beberapa malah benar-benar jatuh dan tidak bisa menemukan ruang untuk merekatkan dirinya di sana. Bintang yang malang, sungguh bintang yang malang.

Aku mendekapnya, dengan begitu erat dan penuh kehati-hatian, berharap bisa mengusir selapis kecil saja selimut abu dari tubuhnya. Bintang murung itu tersenyum, mengedipkan mata padaku dan menarikku dengan lebih erat. 
"Kita akhirnya bertemu," begitu bisikknya padaku, aku tercengang lebih dari sekian cara. Suara itu begitu menggetarkan hati dan menyentuh ingatan. Aku mengenalnya, di putaran kehidupan yang entah keberapa, suaranya berdengung pelan di udara, mengirimkan lebih dari satu sinyal untuk mengetuk kembali ingatan di antara tumpukan ribuan ingatan tentang permainan dan bintang. Aku mengetahui siapa dia, melihat perjalanannya, mengenal kisahnya. Dia adalah bintang pertama yang kusentuh ketika aku masih bayi dulu. Ya, aku memahami kebingungan kalian, akan kujelaskan secara singkat sekarang, makhluk hitam di ciptakan dengan siklus sama seperti manusia, terlahir, bertumbuh lalu mati. Hanya saja putaran bertumbuh makhluk hitam mencakup waktu yang sangat lama, membutuhkan waktu lebih dari seribu tahun meski bagiku terasa seperti sekejapan mata. Dan lagi, makhluk hitam memiliki keluasan pilihan untuk menentukan sendiri kapan waktu yang diinginkan untuk menghilang, mati ketika manusia membahasakannnya. 

"Kau kembali sekarang, setelah sekian lama," lanjut si bintang murung lagi, aku mengirim getar emosi melalui jemari yang memebebat rapat badannya, dia tahu aku tengah tersenyum sekarang,
"Jangan mengalihkan pandanganmu lagi dariku," kali ini dia mengucapkan dengan sedikit merajuk. Demi semua bola lampu dengan untaian rumit di bawah sana, ingin sekali rasanya kulumat gelap malam itu agar mentari segera datang. Sinar mentari adalah pertanda bagi para bintang untuk melepaskan semua asa dan harapan yang menempeli badannya, pertanda bagi mereka untuk sebentar menghilang dari pandangan dan mengistirahatkan badan. 
Dekapanku tak mungkin bisa lebih erat lagi, tapi emosi yang merapat di ujung jemari benar-benar meminta sentuhan untuk meloloskan perasaan. 

"Sekarang waktuku untuk menghilang, maukah kau menyertai kehilanganku?" aku melepaskan pertanyaan dalam ujud sentuhan, mengangguk pelan untuk memberikan keyakinan. Jujur saja, aku belum terlalu lama lahir dalam kehidupan kali ini. Bintang besar yang sekarang murung dulunya adalah bintang paling bersinar di alam semesta. Berdiri di tempat paling strategis untuk dilihat manusia, alhasil dia menjadi sasaran bagi ribuan mata di bawah sana untuk di jadikan target penempelan asa dan harapan. Aku yang menyarankannya untuk menyingkir dari peradaban, akupula yang memboyongnya sebagai bintang jatuh meski dia tak pernah benar-benar terjatuh seperti yang terlihat. 
Menyentuh isi mimpi dan harapan manusia awalnya adalah permainan yang paling kusukai, mengetahui bagaimana mereka melalang buana dalam imaji yang tak bersekat benar-benar menyenangkan. Tapi bintang murung menunjukkan hal lain padaku. Baginya harapan manusia adalah beban sekaligus hipnotis yang begitu menggiurkan. Dua sisi koin yang memiliki magnet kuat untuk membuatnya benar-benar terbebani secara nyata. Dan dia ingin mundur perlahan dari penampakannya yang sangat menonjol dan cemerlang. Istirahat buka kata yang tepat, karena sinar mentari selalu menyuguhkan keistimewaan itu, tapi dia menginginkannya yang abadi, tanpa jeda, tanpa celah untuk bisa memulai lagi. Bintang yang selalu berkelip manja di ladang langit, bagaimana bisa memiliki sisi emosional yang begitu mencekam? Apakah kata lelah pernah ada dalam bagian hidupnya? Bagaimana dia bisa terus bersinar dengan begitu banyak beban menggelayuti dirinya? 


Sekian waktu berlalu dan disinilah aku sekarang, bersama dengan bintang murung dalam dekapan. Menikmati malam terakhir dengan jalan mematikan pandangan. Karena jujur saja, dalam relung yang terduga, akupun memiliki sedikit keluhan yang tak pernah berniat untuk kumuntahkan. 

Aku bosan di lihat sebagai hantu, hidup dalam dongeng yang keaslian ceritanya kian memudar, menganggapku sebagai makhluk yang bisa melihat apa saja, seakan kedua mata mereka belum cukup untuk mengetahui segalanya. Akupun bosan di perlakukan sebagai kaca, yang hanya bisa mendatangkan refleksi bagi siapapun yang melihatnya, yang akan hancur ketika hujan menimpanya. 

Bukan gelap apalagi pekat yang menakuti dan mengganggu denyut napasku, tapi limpahan emosi yang tersalur ketika berhasil kusentuh gantungan-gantungan angan di sekeliling badan bintang. Efek samping dari kegiatan yang kuanggap sebagai permainan. Dan aku merasa lelah karenanya. Manusia, mereka kira mereka itu siapa? Dengan ceroboh melayangkan mantra begitu saja ke atap langit, belum lagi dengan kebiasaan mereka menggantung asa dan harapan pada bintang-bintang. Tidak pernahkan sekali saja mereka sampai pada satu pemahaman, bahkan bintang yang tak pernah bergerak, menyiku apalagi berputar-putar itu pun memiliki kehidupannya sendiri, dan meski separo abadi, apakah itu alasan yang tepat untuk mereka menggerecoki kehidupannya denga ribuan asa dan harapan? Bahkan bintang paling besar dan bersinar pun pernah di gelayuti kata lelah dan ingin menyerah.

"Sekarang watunya," bisik bintang murung dalam dekapanku. Aku tersenyum, memandang untuk terakhir kali pada tempat sinar mentari biasa menampakkan diri di ufuk pagi. 
Selamat tinggal para mimpi, selamat tinggal para asa, selamat tinggal manusia, meski kita tidak benar-benar saling mengenal aku bisa meraba kalian melalui jemariku yang panjang. Kita mungkin akan kembali di pertemukan, dalam tangga doa yang terkadang menyandung langkah dan pergerakanku. Selamat tinggal makhluk naif, suatu hari nanti ketika waktu kalian tiba untuk menghilang, pemahaman itu mungkin akhirnya akan datang. Bahwa bintang juga makhluk nyata senyata kalian. Bahkan aku, si makhluk hitam, yang terlanjur meninta dalam dongeng yang kian memudar. Bahkan impian kalian memiliki berat, dan panjang, yang kian hari kian membebani langit karena volumenya. Dan ingatlah ini, jika kalian tidak benar-benar berhenti untuk berharap dan berkhayal maka bukan tidak mungkin kalian akan lenyap tertimbun reruntuhan langit yang kelebihan beban. Selamat tinggal.