Kamis, 15 Oktober 2020

Tentang Musim Tak Bernama

Jika engkau mulai membicarakan sesuatu bertemakan musim, maka tidak akan pernah ada kata selesai di sana. Seperti juga pernikahan, ikatan antara anak dan pengandungnya. Hal-hal yang hanya patut di bungkus dalam bisikan, agar tidak keluar sebagai cacian. 

Musim gugur menghampiri pohon-pohon pada waktunya. Lalu dingin yang begitu dingin akan menyelimuti tanah-tanah pada akhirnya. Seperti juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul bak tunas baru di tahun-tahun kian menuanya sebuah ikatan. Entah untuk pernikahan, atau hubungan antara anak dan pengandungnya. 

Pepohonan kian meranggas, memperlihatkan tulang-tulang rantingnya yang mencuat bak jemari yang mencoba menggapai langit. Dingin yang tak tertahankan masih memiliki level siksa di atasnya. Yakni ketika mulut-mulut mulai mengulum bara yang menyala. Membukanya hanya akan menyemburkan asap. Sementara menelannya hanya akan membuat senam gigi yang begitu teratur dan berirama. Sesuatu yang semacam itu juga berlaku bagi sebuah hubungan. Entah pertalian dalam sebuah pernikahan atau pertalian antara anak dan pengandungnya. Titik dimana seperti semua tempat akan menyuguhkan udara yang lebih baik ketimbang hanya berdiam dan mencoba menelan. Ada kekuatan di dalam untuk lari sekencang-kencangnya, memutus segala resah dan mengabaikan segala sudut pandang. Hanya demi mendapat sebuah kenyamanan. Tapi lagi-lagi manusia di ingatkan, untuk tidak pernah membahas musim, pernikahan, atau ikatan antara anak dan pengandungnya atau tidak akan pernah ada kata selesai di ujung kalimatnya.



Maka di sinilah aku. Dengan kaki-kaki yang bukan hanya beku, tapi separuh dalam perjalanan menjadi batu. Maka di sinilah aku. Dengan mata-mata jengah yang begitu haus akan warna hijau memayungi, yang begitu dahaga dengan aroma pucuk daun dan bukannya suguhan aroma api, membakar kisah tentang ranting-ranting, dedaunan kering yang menyerah pada musim meranggas. Dan sampai di mana kisah tentang  pernikahan dan juga hubungan antara anak dan pengandungnya? Mungkin sudah selesai. Pertanyaan yang dulu ada tengah dalam masa penantian untuk bertemu jawabannya. Jengah dan resah yang selalu giat menyirami tak bisa menemukan kekuatannya untuk berlari dan mencari. Hanya menunggu. Dan akan terus menunggu. 


Musim gugur mulai menyapa pohon-pohon. Dingin yang semakin dingin mulai menyelimuti tanah-tanah. Tapi di bawah itu semua ada kaki-kaki yang tengah berjuang agar tetap bisa berjalan dengan seimbang. Menyetarakan antara nalar dan juga sudut pandang. Meski sesekali terpeleset, meski sesekali harus terjatuh dan merasa tidak akan bisa melanjutkan. Tapi api di bawah sana selalu berusaha, menyulut apapun yang bisa menjadi perantara untuk kembali membakarnya. Bahkan meski hanya berupa bara di ujung mulut. Bahkan meski hanya asap yang menyelinap dari kepungan bibir. Ada hangat yang terus terjaga. Ada bara yang tak pernah berhenti menjaga. Menunggu saat yang tepat untuk membakar apa saja, menunggu saat yang tepat untuk memperbaiki semuanya, menunggu waktu yang tepat untuk merobek sesak yang di tebar bak kelambu membebat raga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar