Minggu, 27 Desember 2020

Murid Tahun Kedua

Ini adalah kali pertama kita bertemu. Bukan tentang aku sebagai pengandungmu dan engkau sebagai benih yang tengah kutunggu. Ini adalah kali pertama kita bertemu sebagai guru dan muridnya di tahun kedua. 
Dulu, lama sebelum aku memasuki ranah penuh perjuangan ini. Dulu, sebelum nadiku masih utuh dan belum terbagi. Aku pernah memimpikanmu menjadi yang pertama. Sesuai nama yang hendak engkau rengkuh, Alfa.
Tapi nyatanya engkau hadir setelah Hara. Yang pertama untuk urutan kedua. Tapi memang harus seperti itu adanya. Ketika hidup ini adalah sebuah lahan pertanian, untuk memulai bercocok tanam maka hal pertama yang perlu di perhatikan oleh petani adalah kesuburan tanahnya. Dan kemudian unsur terpenting dalam hidup itupun mulai melaksanakan hakikat dari namanya. Hara. Mempersiapkanku, dari diri yang sangat begitu mentah, dan begitu keras menjadi sesuatu yang sedikit melembut dan juga memiliki kelenturan. Hara begitu telaten, meski terkadang diri ini masih mengutuk dan mengancam tapi dia tetap tegak di sana, menawarkan bangku peristirahatan, menggumamkan mantra-mantra baru penuh keajaiban. Guru di tahun pertamaku berujud unsur pelemas tulang, dan juga peremas gumpalan.


Tahun kedua datang dengan hanya mengangkut sedikit beban. Aku tidak segugup ketika baru pertama kali menapakkan kaki di daratan ini. Awalnya aku berpikir bahwa perjalanan satu ini akan terlewati dengan sama mulus dan lancarnya ketika dulu aku melalui tahun pertama. Dan pada saat memasuki minggu-minggu terakhir kesalahan dari perkiraanku pun terlihat. Ini berbeda. Alfa adalah guru yang lain. Jika ada tingkat dari sebuah sabar, maka satu ini adalah tingkat yang lebih senior ketimbang sabar yang pernah di ajarkan oleh Hara. Babak baru di mulai, saat di mana diri yang mengenal sepertiga malam sebagai ajang untuk bergumul bersama abjad menjadi tempat akbar untuk meminta dan merengek. Dan dari kebiasaan baru itu muncul satu bait kalimat yang begitu kusuka dan kuangankan untuk berada dalam salah satu paragraf di rumah ini. Satu kalimat singkat yang begitu menyimpan sihir dan candu dengan bunyi seperti ini, "Kepada yang menjaga malam dan mengabulkan segala keinginan-keinginan. Kepada yang selalu terjaga dan tak pernah melewatkan bisikan-bisikan." 
Alfa mengenalkanku pada Dzat yang Maha romantis, ketika mengukir kata-kata menjadi begitu manusiawi dan begitu.....pulang. Tahukah kamu perasaan seperti itu? Semenjak lahir manusia di gelayuti oleh satu tanya besar, tentang hendak menjadi siapa, dan hendak berkelana ke daratan manakah dirinya kelak. Dan ketika segala pengetahuan dan berbagai destinasi menjadi kendaraan yang siap mengantarnya kemanapun hasrat mengajak. Tapi pulang selalu menjadi tujuan akhir pada akhirnya. Tapi pulang selalu menjadi jalan yang akan di tempuh pada akhirnya. Pulang kepada diri sendiri. Pulang menjadi diri sendiri. Tempat terorisinil yang selalu menyerap segala ingin dan minat untuk kembali dan kembali. Dalam hening yang tak bersekat, dalam ketiadaan yang tak bersyarat. Selain sabar, pelajaran kedua yang kudapat dari pengajar baru satu ini adalah tentang berputar arah, menuju jalan pulang untuk diri yang sempat tersesat. Dan bahagianya jalanan itu berbalut kata-kata. Jiwa pujangga yang dulu memenuhi raga tak perlu kemana-mana, dia tak perlu turun di tengah jalan dan meneruskan pengelanaan. Karena dalam perjalanan pulang diapun akan terangkut bersama. Kali ini bahkan di restui oleh Dzat yang Maha Benar. Oh, bahagianya. 

Dear Alfa. Kepada nama yang kelak menjadi guru selanjutnya setelah Hara. Aku tahu kita biasa berbincang melalui banyak cara, lewat detak jantung yang terpompa seirama, lewat denyut nadi yang berkedut bersama, dan hanya lewat rumah inilah satu-satunya jalan yang belum pernah kulalui untuk mulai menyapamu. Dan seperti sebuah nazar yang terpenuhi, maka hari ini aku melakukannya. Membiarkan siapapun masing-masing kita untuk saling berbicara. 
Dear Alfa, aku tahu engkaulah yang paling memahami tentang jalan pulang yang telah kubicarakan. Karena disana namamu terpampang dengan sebegitu jelas sebagai referensi kelayakan jalan. Alasan kenapa sepertiga malam menjadi tempat untuk beradu tatap dengan yang selalu tersingkap kabut.
Dear Alfa, jika aku bisa mengutarakan permintaan langsung kepadamu, bersediakah engkau mengabulkannya? Untuk sejenak saja, bukalah kelopak matamu dan arahkan pada benak si dungu berjuluk pengandungmu ini. Disana tertera jelas apa hasrat terpendam yang kusimpan untukmu. Disana tertera jelas apa ingin dan angan yang selalu kubisikkan pada yang selalu menjaga malam dan siang tentangmu. Satu yang telah menyatu, hasrat yang begitu alot untuk terucap, keinginan untuk mengeluarkanmu dari dunia sana dengan sama normal dan lancarnya ketika dulu aku melakukannya untuk Hara. Aku tahu engkau akan menjadi pengajar yang baru, engkau tidak bisa di samakan dengan siapa-siapa, metodemu akan mengenalkanku pada sesuatu yang belum pernah kusentuh dan kupandang. Tapi untuk yang satu itu, doa yang telah berubah menjadi mantra, mantra yang telah mengubah lafal menjadi denyutan. Bisakah engkau memberikan kepastian akannya?
Aku telah menelan banyak cemas hingga detik ini, aku telah menelan banyak khawatir yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Ketakutan tentang banyak ketidakpastian, sementara waktu terus saja berpacu dengan detak jantung tanpa pernah ada yang mau melambatkan aksinya. Aku pasti tengah berjalan menuju ketiadaan sekarang, melangkah dalam gelap yang di depannya terdapat jurang atau justru daratan lapang. Satu hal yang pasti tentangku adalah, bahwa aku tidak pernah menyukai kejutan, apapun bentuknya. Jadi Alfa, dengan segenap perasaan satu yang mengikat di antara kita, dengan segenap perasaan ragu yang terselip di antara pasti yang mengungkung milikmu, berikan aku satu kepastian jawaban, berikan aku satu pertanda akan rasa tenang. Berikan aku, satu jalan mulus yang dulu pernah di hadiahkan oleh Hara. Berikan satu itu, dan kita akan semakin tak terpisahkan.

Aku tahu ada banyak yang perlu kita bicarakan. Tentang masa yang akan datang, tentang cerita lampau dan yang belun terjamahkan. Tentang kita dan mereka yang kelak terikat dalam lingkaran kita. Tapi di depan sana akan ada berlembar-lembar halaman kosong yang siap untuk di isi. Tapi di depan sana akan ada bertumpuk-tumpuk jeda waktu yang siap menjadi kertas dan saksi bagi petualangan bersama kita.
Saat ini, nadiku hanya satu, denyutku telah menyatu bersama doa dan mantra tentang keinginan untuk mengantarmu melihat dunia dengan selamat, lancar dan normal. Semoga saja. Semoga saja. Semoga saja. 

Salam hangat dari murid di tahun kedua untuk pengajar kedua. Yang tengah menantikanmu dengan tanpa secuilpun ragu. Mari kita bergandengan tangan, menyatukan tekad, tak ada sulit yang tak bisa dilewati ketika kita bersama. Semoga saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar