"Selama ini mama berbohong dengan bilang bapa sudah di surga, yang sebenarnya terjadi adalah bapa masih di alam tunggu. Sampai hari kiamat tiba, lalu saat itulah amal baik dan buruk setiap manusia di timbang. Jika lebih berat amal baik dia masuk surga, jika lebih berat amal buruk maka dia masuk...."
"Neraka!" Hara selalu menyelesaikan kalimatku dengan benar pada akhirnya.
Kepada Hara, di halaman selanjutnya aku menggambarkan sebuah timbangan besar dengan kendi di masing-masing tempat duduknya, sengaja kubuat sebelah lebih besar dari satunya, dan di atasnya kugambari koin-koin beterbangan yang tengah mengantri untuk masuk ke dalam kendi besar itu.
"Ini adalah doa-doa, sedekah yang dikirimkan oleh Hara dan mama, juga oleh orang-orang yang sayang sama bapa, sama Alloh diubah jadi koin lalu dimasukkan ke kendi amal baiknya bapa, jadi semakin sering kita berdoa dan bersedekah, semakin penuh deh kendi amal baiknya bapa," sengaja kubuat timbangan itu semakin miring sebelah.
"kalau kendinya penuh gimana ma? Hara kan sekarang rajin berdoa."
"kalau kendinya penuh ya tinggal di ganti aja sama yang lebiih besar."
Hara begitu suka dengan pengandaian kendi dan timbangan itu, dia berimajinasi sendiri tentang bagaimana jika koin-koin itu meluber dan tak tertampung lagi, tentang bagaimana kamu akan tertawa-tawa di tempatmu begitu tahu ada banyak koin berjatuhan yang datangnya dari doa anakmu.
Selanjutnya, aku menggambar tentang deretan antrian panjang manusia-manusia tanpa wajah menenteng kendi di kedua tangannya. Hara bersikukuh bahwa manusia pertama di barisan gambar itu adalah kamu, lalu aku, kemudian dia. Aku menjelaskan bahwa itu adalah hari penimbangan. Hari penentu ataukah kita akan di celupkan di neraka atau di masukkan ke surga.
Sampai di sana aku sudah tidak bisa berimajinasi lagi. Aku hanya mampu mengakhiri cerita itu dengan menggambar sebuah bangku di sebuah taman. Ada beragam jenis bunga dan berbagai macam buah serta tumbuhan lainnya. Sungai yang airnya memantulkan sinar keemasan mentari di penghujung hari terlihat berkelok-kelok di kejauhan sana, membelah daratan-daratan seindah mimpi. Aku memberinya nama surga. Lalu disana, di bangku itu duduk aku dan kamu. Hara dan adik tengah bermain menangkapi kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari.
"Jika Hara berhasil menjadi anak baik, rajin bersedekah, nurut sama mama, dan rajin berdoa. Insyaalloh kita akan berkumpul kembali dengan bapa di tempat indah ini."
Kepada Hara aku tidak bisa terus berbohong dengan mempertahankan cerita bahwa kamu sudah berada di tempat yang indah dan di damba oleh semua doa. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu masih membutuhkan dirinya, membutuhkan doa, sedekah-sedekah dan tingkah baiknya. Aku ingin Hara tahu bahwa sisa hidupnya adalah satu-satunya kesempatan untuk "mengumpulkan koin" agar bisa kembali bertemu denganmu. Karena aku tahu di banyak kesempatan, meski tidak berbicara tapi dia merindukanmu lebih daripada aku. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh sampai lupa dengan tugasmu yakni menjaga dan mengawasi setiap tindak tanduknya. Aku ingin Hara mengerti bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh, tapi hanya melangkah masuk dan sekarang hidup di dalam hatinya. Aku ingin Hara termotivasi untuk tetap mempertahankan cintanya, sayangnya pada sang idola, yakni ayahnya. Karena aku tahu waktu bisa memudarkan segalanya. Waktu bisa memutuskan apa saja. Bahkan waktu bisa menghilangkan apapun sesuka kehendaknya.
Terlepas dari itu semua. Aku hanya tidak ingin kita berpisah begitu saja, harus ada kelanjutan dari kisah yang terjeda tanpa aba-aba ini. Di sini aku tengah menabung banyak cerita, Hara dan aku tengah berlomba dengan waktu untuk mengisi kendi kami dan juga milikmu. Supaya di tempat yang kugambar indah dan kunamai surga itu, kita semua bisa kembali bersama. Semoga saja.