Minggu, 06 November 2022

Membuat Cerita

Beberapa hari kebelakang aku seperti melihat Hara yang lain. Dia sering diam dan selalu berkutat dengan gambar-gambarnya saja. Dia mulai sering membicarakan dirimu, entah kepada Alfa atau sekedar memutar koleksi ingatannya ketika bersamamu kepadaku. Dia bahkan beberapa kali melukis tentang bagaimana dirimu sekarang. Semuanya terlalu terlihat jelas seperti mendapati pantulan diri yang terjebak di dalam cermin. Dia merindukanmu, sangat merindukanmu, lebih dari sekedar itu, dia membutuhkanmu lebih dari pada aku. Dulu aku pernah berkata bahwa ada dua wanita yang terluka dalam oleh kepergianmu, yakni aku dan ibumu. Tapi aku melupakan satu perempuan lain lagi, dan dia adalah Hara. Untuk sesaat aku lupa siapa dirimu untuknya dan dimatanya. Kamu adalah cintanya, mimpinya, tiangnya dan 
payungnya. Dan aku tidak bisa memahami perasaan ketika harus kehilangan semua itu dalam satu waktu. Aku selama ini terlalu egois karena hanya merasa diri sendiri paling menderita. Dan yang paling genting dari semuanya adalah ketika aku tidak tahu cara untuk mengobati kehilangannya. Maafkan ibumu nak, suatu hari nanti kau akan melihat ini dan memahami betapa jauh-jauh waktu berlari dengan membawa beban dipundak ibumu yang berlipat karena ada tambahan rasa bersalah pada anak-anaknya. Aku selalu merasa harus menjadi dan memberikan yang terbaik meski yang bisa kulakukan hanyalah mencoba dan mencoba. Aku masih ingat betul bagaimana selama ini telah memakai topeng manusia lain. Mengajari Hara tentang rasa bersyukur untuk setiap detail hidup ini, aku memberinya contoh tentang keadaan buruk di luar sana. Beberapa tidak bisa makan setiap hari, beberapa tidak memiliki orangtua sama sekali, beberapa tidak memiliki tempat untuk berteduh, dan yang terkejam aku menakutinya dengan berkata diluar sana ada yang tidak pernah diberi pelukan. Aku bekerja sekeras itu untuk membuatnya merasakan surga ditengah lunglainya kaki mengarungi gunung pasir. Dan ada bagian diriku yang merasa bahwa semua ajaran itu harusnya diteriakkan untuk telingaku sendiri, bukan untuk Hara. Kelemahanku untuk berdamai dengan duka ini menjadi kemunduran bagi Hara untuk bisa kembali bangkit segera. Dan dia layak mendapatkan pengobatan segera. Tapi aku bisa apa? Yang bisa kuberikan hanyalah pelukan dan waktu, sisanya adalah semangkuk masakan dengan bumbu cinta. Dan sosokmu, dimana aku harus mencarinya? Dengan apa aku harus menggantinya? Atau bagian mana yang harus kuambil dari dirimu untuk kujadikan contoh peran? Dirimu tidak sempurna, tapi peranmu iya. Ini sedikit aneh, kepergianmu justru hanya menamparku pada satu hal, yakni pengakuan betapa kurang ajarnya aku dan betapa baiknya dirimu. Kudapati itu ketika dalam perjalanan menuju paragraf ini. Mataku sejauh ini hanya bisa melihat rekaman kebaikanmu dan hanya itu, 

Dear Ari, jika suatu masa di waktu tunggumu itu ada kekuatan untuk membaca semua ini, maukah kau melihatnya? Rasakan betapa hancurnya kami disini, semua keadaan berjalan kembali normal bagi mata orang diluar sana, akupun mengakui bahwa kehidupan ini sudah kembali baik-baik saja, tapi rindu serta kebutuhan akan hadirnya sosokmu enggan sekali kuusir pergi. Dia bercokol disana, mendekapku ketika suasana sedang sendu, hanya untuk membuatku tergugu dan menjilat asinnya air mata. 
Dear Ari, jika entah dengan cara apa dirimu bisa mengetahui semua ini, lihatlah betapa aku telaten dalam memupuk cerita, agar kelak ketika kita bisa kembali bertemu tak ada waktu kosong di antara kita, aku akan menjejalimu dengan banyak sekali protes dan tabungan cerita, aku akan melihat dirimu yang tersenyum karena melihatku merengek dan merajuk ketika melakukan semuanya. Aku akan bekerja begitu keras untuk membuatmu mengusap kepalaku sambil berkata bahwa dirimu begitu bangga dan tidak salah karena menitipkan anak-anak pada sosok sepertiku. Aku akan berusaha keras lagi agar bisa melihatmu mengusap air mataku ketika tengah menceritakan ulang betapa kerasnya hidup setelah kepergianmu. Bukankah esok kita kembali bertemu? Tolong berbisiklah iya, karena jujur saja hanya harapan itu satu-satunya pelita yang menerangi jalanku sekarang.
Kepada Alfa dan Hara, tolong genggam erat tangan ibu. Jangan biarkan aku beranjak dan lari dari kesadaran ini. Tumbuhlah lebih bahagia dan selalu bahagia. Aku akan berusaha menjadi sosok yang lebih baik, aku ingin mengisi kekosongan itu dengan tepat, kepingan puzzle yang dibawa pergi Ari, aku akan berusaha menempatinya juga. Tolong tunggu ibumu ini berproses, tidak mudah untuk begitu saja mengurai ikatan dengan duka, diperlukan doa, waktu, atensi dan juga lebih dari sekedar tenaga. Tapi aku akan berusaha. Jangan mengendurkan pelukan kalian, atau aku akan terjatuh dan terbang. Jangan mengeluhkan keadaan kalian, atau aku akan runtuh dari ujung karang. Karena senyum kalian lebih berharga dari apapun isi dunia ini. Dan ya, yang kumaksud adalah lebih dari apapun. Apapun. 

















 

Kamis, 12 Mei 2022

Segumpal Tanah

Aku adalah sebongkah tanah yang terbiasa berada di bawah. Aku adalah sebongkah tanah yang biasa terinjak dan menengadah. Bukan hanya secara harfiah tapi juga dalam artian yang sebenarnya. Ibuku menamaiku tanah, entah karena jika menamainya dengan nama langit atau mentari akan menjadi sesuatu yang terlihat sangat muluk atau memang murni bertujuan agar aku selalu sadar siapa diri ini bermula.

Hidupku selalu berdampingan dengan air, aku berteman dengannya, mengaguminya, lalu mengutuknya. Tapi kini aku terbiasa memandangi air sebagai kawan biasa, seperti Draco yang memperlakukan Harry pasca perang. Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui.

Ari adalah sejenis pot bunga yang mengangkatku dari bawah sana dan memperkenalkan dunia baru beserta keindahan yang di tawarkannya. Ari datang begitu saja pada suatu waktu yang tengah berbadai. Ari datang begitu saja, memungutku, membuatku berharga, membuatku memiliki nama dan menghasilkan juga. Tanah yang dulu selalu terinjak dan berada di bawah kaki akhirnya menemui masa untuk bisa naik ke atas meja, di siram setiap hari, di rawat, di sayang-sayang untuk kemudian di pamerkan. Tanah yang dulu hanya bisa melihat tapak kaki manusia kini bisa sejajar dengan mata si empunya, ketika ada istilah sombong maka itulah definisi yang tepat untuk menggambarkan betapa melayangnya situasiku berkat keberadaan Ari. Aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah liat di luar sana yang di proses begitu rumit untuk dijadikan sebuah maha karya, aku tidak membandingkan hidupku dengan tanah galian manapun, yang mencoba di angkat namun tetap harus berakhir di bawah juga. Aku hanya membandingkan hidupku dengan kehidupanku juga selama Ari belum datang. Aku berangan, aku bermimpi, aku menyentuh pelangi, aku memeluk rembulan, bahkan pernah kuagendakan diri untuk memetik bintang. Segala hal mustahil yang pernah di larang untuk sekedar kubayangkan satu persatu mulai kunikmati, mulai kujelajahi. Ari seperti melemparkanku pada bulatan bumi yang benar-benar lain dan baru. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa ada jenis keindahan seperti itu di atas muka bumi ini. Aku tidak pernah tahu sebelumnya bahwa aku akan sanggup melangkah sejauh ini, ketika dulu yang terbayang olehku hanyalah bagaimana aku akan menua, terkurung dalam dunia mencekam dan menakutkan. Aku terbang, bukan sesuatu yang bisa kulakukan memang, tapi aku berhasil merasakan sensasinya. Lagi-lagi Ari berperan dalam hal itu. Seakan segala hal yang melingkari kehidupan baruku adalah kreasi dan tak akan terjadi tanpa campur tangan dari seorang Ari. Seonggok tanah ini mulai lupa diri, bukan hanya sombong tapi sangat tidak sadar diri. Bahwasanya ada yang lebih berkuasa pada diri setiap makhluk yakni Penciptanya.
Dan hari itupun datang, setelah gelap melanda, dan Ari membiarkanku menari di atas danau bercerminkan kerlip bintang. Setelah cerahnya padang canola memeluk dan aku lari melepaskan diri, menjauh dari jangkauan Ari sekedar untuk mengetahui seberapa besar inginnya untuk bisa menangkapku.
Dan sekali lagi, hari itu datang, dimana tempat biasa kubernaung dari segala kejahatan dan ketidak amanan yang ada dibumi ini mendadak jatuh dan untuk pertama kalinya melepaskan kesiagaannya untuk melindungi diri ini. Aku yang semula tak berbebat untaian benang, merasa memiliki arti setelah berada dalam eratnya pelukan Ari. Aku yang semula merasa tak memiliki makna, perlahan memiliki nama, angan, sebelum akhirnya harus kembali di paksa merasa rawan dan telanjang. Sang Pemilik merasa sudah saatnya melepas segumpal tanah ini dari pelukan potnya. Sang Pemilik secara tidak sengaja dalam tanda kutip membuat Ari terjatuh, terpecah dan tercerailah dirinya dari segumpal tanah ini. Aku menangis. Tangisan terbesar dan terdalam yang pernah kulakukan selama hidup, bukan yang terkeras, karena kuasa akan raga ini telah memudar seiring informasi yang datang dan tercerna mengenai proses jatuhnya Ari. Ketakutan terbesar yang bahkan belum sempat kubayangkan itu terjadi. Ketakutan yang tak pernah berani kuangankan mendadak menjadi sebuah nyata yang membetot hingga separuh akar yang mengikat nyawa. Seonggok tanah ini telah porak poranda. Seonggok tanah ini ikut menelan serpihan Ari yang jatuh tanpa aba-aba, hingga ketika dunia harus mengumpulkan remahan Ari untuk kemudian dikebumikan, ada bagian dariku yang terikut dalam pemakamannya.
Dunia mungkin hanya melihat aku dan Ari seperti pot dan tanah yang lainnya, seperti ribuan bahkan jutaan lain yang ada di dunia. Yang tidak dunia tahu adalah bagaimana Ari telah mencemplungkanku pada dunia baru, mengangkatku dari keterpurukan dan memberiku kehidupan. Aku tidak mengutuk apapun, aku tidak membenci siapapun. Aku menerima semuanya seperti halnya menikmati takdir yang membuatku menjadi tanah, dan bernasib juga bernama sama pula. Bukan karena keberadaan Ari kurang berharga, bukan pula karena kurangnya rasa cintaku padanya. Aku hanya merasa Ari tidak pernah melepaskan pelukannya. Aku hanya masih belum percaya semua kesudahan ini adalah sebuah nyata. Aku hanya masih menyimpan asa bahwa suatu masa nanti entah di kehidupan yang mana kami akan kembali bertemu dan kembali menjadi satu. Itu saja.
Sang Pemilik yang selalu berkuasa, mencabut apapun sekehendakNya, segumpal tanah yang selalu bersombong diri inipun akhirnya harus terisak dan berkaca. Segala hal di muka bumi ini memiliki pemilik, bahkan untuk sebutir debu, bahkan untuk setetes keringat. Dan pemilik di atas segala yang paling berhak untuk memiliki. KepadaNya harus kutumpahkan segala rasa yang mendera.
Tuhan, aku terluka, aku sakit, aku sekarat, aku mati rasa, dan aku di paksa untuk tetap hidup dan menikmatinya.
Memang apalagi yang masih tersisa? Ari adalah segalanya. Sang Pemilik membuatku pergi ketempat baru, berjumpa dengan banyak gumpalan lain yang memiliki takdir sama atau bahkan lebih buruk dari pada aku. Sang Pemilik membukakan pintu lain dari sudut lain bumi ini namun pandanganku tetap saja terpaku. Segala keindahan yang kutemui seperti tak bisa lagi menyentuhku. Beberapa nyawa mencoba berempati dan berusaha, tapi aku sudah terpuruk terlalu dalam untuk bisa diselamatkan. Aku memang menerima segalanya, tapi kehilangan ini benar-benar nyata dan tidak lantas membuatku bisa berkata bahwa aku sudah baik-baik saja. Dan aku tidak yakin jika waktu memang bisa bekerja sesakti itu untuk bisa menyembuhkan luka jenis satu ini.

Di suatu petang yang telah lalu, aku mencoba menengadah ke langit lepas, pekatnya masih sama seperti dulu ketika kami masih bersama, ada bintang tergantung di sana, ada rembulan yang menyembul malu dari persembunyiannya, dan.....ada Ari di antara semuanya, duduk berayun di salah satu awan, memandang turun ke bumi, matanya menghujam tepat menemuiku. Ada yang ingin dia sampaikan namun suaranya tertahan oleh perbedaan dimensi dan waktu.
Aku tahu dia ingin menyemangatiku, ingin memberikan kata-kata penghiburan yang selalu bisa menyalamatkan mental hampir matiku. Seperti yang selalu dia lakukan sebelum-sebelumnya di kehidupan ini.
Aku kembali pergi ke jalan lama, ingin kembali melihat apakah dunia masih berputar seperti biasa atau ikut macet mengarat seperti duniaku, tapi tak kutemui apa-apa, selain fakta bahwa aku melihat Ari beserta segala kenangannya saat kami masih bersama-sama. Aku seperti tengah berada di tengah bioskop dimana layarnya hanya menampilkan potongan-potongan gambar yang telah lalu. Dan aku harus kembali tergigit oleh perasaan ngilu. Luka ini seperti tak ada kata-kata yang bisa hadir untuk mendefinisikan. Luka ini, seperti tak ada satu manusiapun yang bisa menyentuh apalagi ikut merasakan sedikit saja legit perihnya.

Segumpal tanah ini kehilangan pelindung terbaiknya, kehilangan pendengar terbaiknya, kehilangan satu-satunya temannya, kehilangan oli pengatur putaran rodanya, seperti waktu yang sanggup mengarat, begitu pula nafasku selama ini tersendat. Segumpal tanah ini masih belum sepenuhnya percaya bahwa makhluk sekuat Ari bisa amblas begitu saja dalam satu pukulan. Segumpal tanah ini masih belum percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang tak akan bisa kembali hadir untuk memeluknya meski dengan apapun caranya. Segumpal tanah ini hanya hidup berbekal asa bahwa di kehidupan selanjutnya kami akan kembali bertemu dan dipersatukan, itu saja.

Aku sering berandai pada semua momen mengambil keputusan yang datang di depan hidungku. Akan bereaksi seperti apa Ari jika kini ia masih ada dan mengalami juga melihat semua yang tengah kulihat? Aku hampir menanyakan pertanyaan satu itu di setiap kesempatan, mengulangnya ribuan kali sejauh ini.
Dulu ketika jatuhnya Ari masih berada dalam hitungan hari, aku sering bertanya kepada Sang Pemilik kehidupan, kenapa bukan aku saja yang pergi? Biarkan Ari tetap utuh, ada dan melanjutkan semuanya. Aku segumpal tanah yang buta, pemarah dan rentan tersesat. Jika hari ini aku masih tetap berada di jalan yang benar, maka itu tak lain adalah berkat dari Ari sebagai pemandu navigasinya. Kenapa bukan aku yang kehilangan kuasa untuk bersuara, mendengar dan merasa, lalu kembali menjadi tanah yang tak berdaya
seperti fitrahnya?
Kehilangan Ari berati kehilangan rumah terbesarku, kehilangan Ari berati kehilangan pakaian terbaikku. Kehilangan Ari berati kehilangan perisai terkuatku.
Segumpal tanah ini seketika merasa telanjang, merasa rentan, tak aman dan tak nyaman.
Segumpal tanah ini selalu kehujanan meski musim tengah gersang, selalu di dera dingin meski terik mentari tengah berada di puncaknya. Aku harus kembali menjadi anomali yang mempertanyakan fungsi denyut nadi, mempertanyakan guna matahari, tapi segumpal tanah ini tak akan pernah kembali kepada waktu di mana Ari masihlah sebuah teka-teki. Aku terpuruk, tapi Ari telah menyentuhku. Meninggalkan banyak kenangan selama kami berjalan bersama, dan saat ini, itu cukup untuk menjadi penopangku. Aku akan kembali melangkah, entah menjadi apa diriku nanti, entah singgah dimana, dan entah seperti apa bentukku saat ini, itu semua tak lagi penting. Yang terpenting adalah memulainya, entah dengan merangkak atau berjalan, entah berupa remahan atau hanya sebagian.
Semua lelah yang kudekap hanya akan menjadi milikku sepenuhnya. Semua resah yang menghampiri hanya akan menjadi spasi bagi kelanjutan gerakku. Aku tidak sedang berjanji, aku hanya sedang membangun tongkat penyangga bagi diriku, aku tak lagi sanggup berdiri sendiri, aku memerlukan tongkat hingga segala tremor ini menghilang.

Dan kepada Ari, maaf jika aku terlalu egois karena meminta Dia untuk selalu mengahadirkanmu dalam mimpiku. Engkau kini tengah di sibukkan dengan urusan dunia barumu, tak akan lagi sempat menilik dunia kecil yang kau tinggalkan ini. Tapi aku disini, hidup, terikat pada masa lalu dan tidak hilang ingatan. Semua kenangan tentangmu masih sama segarnya seperti saat engkau masih ada. Aku masih menangis tiba-tiba, masih menemukanmu di setiap sudut rumah ini, bahkan meski jika aku keluar. Maka hadirmu meski hanya dalam dunia gelap alam bawah sadar akan menjadi sebuah morfin yang memacu nadiku untuk lebih bersemangat dalam mendenyutkan darahnya.
Dan kepada Ari, maaf jika selama ini aku masih belum menjadi yang terbaik dan hanya selalu mencoba. Aku tahu engkau lebih dari layak untuk mendapatkan yang lebih dari pada semua itu. Tapi waktu tidak memberiku kesempatan lebih untukku mempersembahkan darah dalam mencobanya.
Aku akan menjaga mereka, menjadikannya tangga bagiku dan bagimu agar bisa kembali bersua di surga. Sungguh tak ada lagi pecut yang lebih dahsyat daripada sebuah ingin untuk menemuimu lalu melanjutkan kisah kita.
Dan kepada Ari, maaf jika kelak aku akan menerima dengan lapang dada ketiadaanmu. Seperti aku yang semula memaki air lalu kemudian berteman dengannya, maka akan seperti itu jugalah nanti keadaanku sepertinya, berdamai dengan masa lalu. Tidak peduli sedramatis apa luka ini. Tidak peduli sejauh apa aku terjatuh dalam keputusasaan. Karena aku yakin engkau akan lebih berbahagia ketika melihatku bangun dan tertawa. Meski aku tidak yakin masih mengingat caranya.


Kita tetap bisa berdamai dengan efek yang ditimbulkan oleh masa lalu, sekelam apapun masa itu pernah terlalui. Semoga saja. 

Kamis, 31 Maret 2022

Petang itu

Aku tidak akan melupakan perjalanan petang itu. Ketika senja mengirim rintik gerimis. Saat ketika aku harus melewati tempat dimana dirimu meregang nyawa dan di tempat yang sama aku masih berpikir harus membawa bekal pakaian apa saja jika harus merawat inapkan dirimu nanti. Luka itu tidak membutuhkan perawatan berlanjut rupanya, tidak ada yang harus di tunggui sampai harus menginap di bangunan besar berbau disinfektan itu. Engkau begitu cepat, bahkan terkesan tegesa-gesa, hingga lupa untuk pamit, lupa untuk menyematkan doa di kepala si kecil seperti kebiasaanmu ketika hendak pergi. Semuanya menghilang secepat senja yang di telan malam. 

Jumat, 04 Februari 2022

Kepada Hara

Kepada Hara, aku harus berimajinasi sedemikian rupa untuk menjelaskan dimana sekarang dirimu berada. Pertama aku menggambar bola dunia, lalu matahari beserta planet-planetnya, di luar itu semua aku membuat sebuah tempat tersendiri yang kunamai surga, di sana kamu tengah duduk menunduk kebawah yang kuandaikan sebagai dirimu yang selalu mengawasi dan melihat setiap perilaku anak-anaknya. Untuk itu Hara harus rajin mengaji, bersikap baik dan menurut sama mamanya. Kemudian imajinasi itu di revisi oleh kenyataan. Aku memberitahu Hara yang sebenarnya, masih memakai imajinasi meski dengan gambar berbeda. Kali kedua aku membuat sebuah tempat dimana ragamu bersemayam. Aku menggambar bola yang di andaikan sebagai rohmu yang pergi dari alam dunia, lalu selanjutnya kubuat sebuah lingkaran besar, kujelaskan bahwa ini bernama alam tunggu. Disana tempat para roh2 orang yang telah pergi dari raganya berkumpul. Alam surga masih jauh dari itu,
"Selama ini mama berbohong dengan bilang bapa sudah di surga, yang sebenarnya terjadi adalah bapa masih di alam tunggu. Sampai hari kiamat tiba, lalu saat itulah amal baik dan buruk setiap manusia di timbang. Jika lebih berat amal baik dia masuk surga, jika lebih berat amal buruk maka dia masuk...."
"Neraka!" Hara selalu menyelesaikan kalimatku dengan benar pada akhirnya.
Kepada Hara, di halaman selanjutnya aku menggambarkan sebuah timbangan besar dengan kendi di masing-masing tempat duduknya, sengaja kubuat sebelah lebih besar dari satunya, dan di atasnya kugambari koin-koin beterbangan yang tengah mengantri untuk masuk ke dalam kendi besar itu.
"Ini adalah doa-doa, sedekah yang dikirimkan oleh Hara dan mama, juga oleh orang-orang yang sayang sama bapa, sama Alloh diubah jadi koin lalu dimasukkan ke kendi amal baiknya bapa, jadi semakin sering kita berdoa dan bersedekah, semakin penuh deh kendi amal baiknya bapa,"  sengaja kubuat timbangan itu semakin miring sebelah.
"kalau kendinya penuh gimana ma? Hara kan sekarang rajin berdoa."
"kalau kendinya penuh ya tinggal di ganti aja sama yang lebiih besar."
Hara begitu suka dengan pengandaian kendi dan timbangan itu, dia berimajinasi sendiri tentang bagaimana jika koin-koin itu meluber dan tak tertampung lagi, tentang bagaimana kamu akan tertawa-tawa di tempatmu begitu tahu ada banyak koin berjatuhan yang datangnya dari doa anakmu.
Selanjutnya, aku menggambar tentang deretan antrian panjang manusia-manusia tanpa wajah menenteng kendi di kedua tangannya. Hara bersikukuh bahwa manusia pertama di barisan gambar itu adalah kamu, lalu aku, kemudian dia. Aku menjelaskan bahwa itu adalah hari penimbangan. Hari penentu ataukah kita akan di celupkan di neraka atau di masukkan ke surga.
Sampai di sana aku sudah tidak bisa berimajinasi lagi. Aku hanya mampu mengakhiri cerita itu dengan menggambar sebuah bangku di sebuah taman. Ada beragam jenis bunga dan berbagai macam buah serta tumbuhan lainnya. Sungai yang airnya memantulkan sinar keemasan mentari di penghujung hari terlihat berkelok-kelok di kejauhan sana, membelah daratan-daratan seindah mimpi. Aku memberinya nama surga. Lalu disana, di bangku itu duduk aku dan kamu. Hara dan adik tengah bermain menangkapi kupu-kupu yang beterbangan kesana kemari. 
"Jika Hara berhasil menjadi anak baik, rajin bersedekah, nurut sama mama, dan rajin berdoa. Insyaalloh kita akan berkumpul kembali dengan bapa di tempat indah ini."

Kepada Hara aku tidak bisa terus berbohong dengan mempertahankan cerita bahwa kamu sudah berada di tempat yang indah dan di damba oleh semua doa. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu masih membutuhkan dirinya, membutuhkan doa, sedekah-sedekah dan tingkah baiknya. Aku ingin Hara tahu bahwa sisa hidupnya adalah satu-satunya kesempatan untuk "mengumpulkan koin" agar bisa kembali bertemu denganmu. Karena aku tahu di banyak kesempatan, meski tidak berbicara tapi dia merindukanmu lebih daripada aku. Aku ingin Hara tahu bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh sampai lupa dengan tugasmu yakni menjaga dan mengawasi setiap tindak tanduknya. Aku ingin Hara mengerti bahwa kamu tidak pergi terlalu jauh, tapi hanya melangkah masuk dan sekarang hidup di dalam hatinya. Aku ingin Hara termotivasi untuk tetap mempertahankan cintanya, sayangnya pada sang idola, yakni ayahnya. Karena aku tahu waktu bisa memudarkan segalanya. Waktu bisa memutuskan apa saja. Bahkan waktu bisa menghilangkan apapun sesuka kehendaknya. 

Terlepas dari itu semua. Aku hanya tidak ingin kita berpisah begitu saja, harus ada kelanjutan dari kisah yang terjeda tanpa aba-aba ini. Di sini aku tengah menabung banyak cerita, Hara dan aku tengah berlomba dengan waktu untuk mengisi kendi kami dan juga milikmu. Supaya di tempat yang kugambar indah dan kunamai surga itu, kita semua bisa kembali bersama. Semoga saja. 

Sabtu, 20 November 2021

Mengurai Duka

Tiga hari sebelum kepergianmu, kita datang ketempat ini. Kamu masih ingat tentang bagaimana si kakak begitu terkagum-kagum melihat pengering tangan otomatis di tempat cuci tangan? Atau tentang bagaimana ia akan mengomentari betapa lucunya bentuk piring kotak disana, yang berbeda dari bentuk piring yang biasa ia gunakan di rumah. Iya, ini adalah kali pertama kita mengajak anak-anak pergi makan di tempat selain warung baso dan mie ayam. Restoran, begitu si kakak menyebutnya meski tempat yang kita tuju hanyalah tempat makan cepat saji khusus ayam. Di sana kita berbagi tugas, kamu menyuapi si kakak aku bagian si kecil.
"Pesan lagi saja satu untukmu," berkali-kali aku mengatakan itu dan jawabanmu selalu sama, 
"Tidak usah, keperluan kita masih banyak, toh kamu juga nggak makan, aku akan menghabiskan sisanya saja."
Satu piring di serbu satu keluarga dengan dua anak, aku sempat melihat berkeliling barangkali ada yang sedang menertawakan meja kami, tapi suasana saat itu terlihat cuek. 
"Aku senang sekali melihat si kakak bahagia," begitu ucapmu dengan wajah berbinar, si sulung yang mendengar itu langsung saja memanfaatkan untuk meminta kembali datang lain waktu. 
Dan jawabanmu selalu sama untuk setiap permintaannya, 
"Insyaalloh kalau kita punya uang lebih ya,"
Aku tidak pernah tahu jika lain waktu yang kita janjikan tidak akan pernah datang, 

(Inhale, exhale) 

Hari ini aku datang lagi ketempat itu, bukan untuk makan bersama, tapi untuk memenuhi janji pada si kakak, karena apa kamu tahu apa yang di tanyakan padaku beberapa hari selang kepergianmu? 
"Ma, apa sekarang kakak sudah enggak bisa makan ayam goreng?"
"Loh, kenapa begitu sayang?"
"Karena bapak sudah enggak ada, itu berati mama nggak punya uang."
Jangan tanya seperti apa rasaku saat itu, luka yang dikarenakan oleh kepergian tanpa pamitmu masih sangat baru, mataku masih membuta, telingaku masih menuli, jangankan mencerna atau memikirkan tentang bagaimana hidup akan berlanjut kedepannya, aku bahkan masih belum bisa berduka dengan tenang. Dan pertanyaan si sulung membangunkan dukaku seketika, ada yang harus kuurus sekarang, meski ada yang telah lebur dan tak lagi berbentuk tapi ia harus tetap bisa merasa dan menata. 
"Kita masih bisa makan ayam, kan mama punya bos jadi tetap punya uang,"
"Siapa bos mama?"
"Bunda,"
"Terus siapa lagi?" 
Aku menangkap keraguan di mata gadis kecilku, pertanyaan besar menggelayuti pikiran polosnya, ia melihat ada jurang lebar di depan sana, dan jawaban yang akan kuberikan entah kenapa terasa begitu penting. 
"Mama masih punya Allah sayang, kan Allah yang memberi kita rezeki. Insyaallah besok-besok kalau mama pergi dan punya uang, mama belikan."

Janji itu sudah kupenuhi, seperti halnya hak-hak lain miliknya yang mungkin dia takut akan ikut hilang bersamaan dengan kepergianmu, aku tidak berjanji tapi aku mencoba. Mencoba menyisakan waktu untuk membacakannya dongeng sebelum tidur. Mencoba menyisakan tenaga untuk bermain kokomakuci atau perang monster seperti yang selalu kalian lakukan pada malam-malam kita masih bersama. Mencoba lebih taat lagi dalam hal mengingat Yang Maha Tunggal. Bahkan, mencoba membawa mimpi sejengkal lebih dekat, meski aku sendiri telah lupa apa itu harapan.

(Inhale, exhale)

Sejatinya manusia terlahir mandiri, dibungkus kulit ari secara eksklusif tanpa harus berbagi. Tapi begitu banyaknya ikatan membuat manusia lupa, membuat manusia menjadi kurang percaya diri, dibayangi keraguan untuk melangkah ketika pasangan mulai berbeda jalan. Dan kini aku tengah terjebak di fase itu. 
"Apakah aku bisa?" Adalah pertanyaan tunggal yang konstan hadir dalam kepala. Kamu tahu benar aku terlatih menjadi tulang, dan jika sekarang kakiku harus kembali menjadi kepala, begitu juga sebaliknya. Maka dengan segala kerelaan yang masih enggan hadir, aku akan memaksa bergegas untuk bersiap. 
Seperti yang selalu kujelaskan pada si kakak di tengah-tengah sulitnya menjejalkan konsep mati-doa-surga-neraka pada anak berusia 5tahun, dengan itu pula aku meyakinkan diri bahwa aku tidak sendirian. Kamu mendengar, memperhatikan dan melihat semuanya. Hanya saja sekarang melalui jendela yang berbeda.
Terimakasih untuk sekian tahun yang telah terlalui bersama. Meski membosankan tapi aku akan masih berkata bahwa aku beruntung karena telah memintamu menjadi partner hidupku 6tahun yang lalu, dan bukan yang lain. Aku tidak akan berjanji tapi mencoba, mengisi tempatmu dihati si sulung dan si bungsu, meski aku tidak yakin tahu seperti apa caranya. Jika entah dengan cara apa kamu berhasil tahu tentang tulisan panjang dan penuh drama ini dan kamu tertawa, maka maafkan aku karena memberitahu dunia bahwa aku terluka dan sedang tertatih memaksa diri untuk bangun segera.
Seperti pesan si kakak ketika mengunjungi rumah barumu kemarin, "bubu dengan tenang ya bapa, kakak disini selalu doain bapa." Sekarang kembali kepada tanah dan beristirahatlah dengan tenang, kamu aku selalu dirindukan. 
Teriring doa di setiap kesempatan.

Minggu, 27 Desember 2020

Murid Tahun Kedua

Ini adalah kali pertama kita bertemu. Bukan tentang aku sebagai pengandungmu dan engkau sebagai benih yang tengah kutunggu. Ini adalah kali pertama kita bertemu sebagai guru dan muridnya di tahun kedua. 
Dulu, lama sebelum aku memasuki ranah penuh perjuangan ini. Dulu, sebelum nadiku masih utuh dan belum terbagi. Aku pernah memimpikanmu menjadi yang pertama. Sesuai nama yang hendak engkau rengkuh, Alfa.
Tapi nyatanya engkau hadir setelah Hara. Yang pertama untuk urutan kedua. Tapi memang harus seperti itu adanya. Ketika hidup ini adalah sebuah lahan pertanian, untuk memulai bercocok tanam maka hal pertama yang perlu di perhatikan oleh petani adalah kesuburan tanahnya. Dan kemudian unsur terpenting dalam hidup itupun mulai melaksanakan hakikat dari namanya. Hara. Mempersiapkanku, dari diri yang sangat begitu mentah, dan begitu keras menjadi sesuatu yang sedikit melembut dan juga memiliki kelenturan. Hara begitu telaten, meski terkadang diri ini masih mengutuk dan mengancam tapi dia tetap tegak di sana, menawarkan bangku peristirahatan, menggumamkan mantra-mantra baru penuh keajaiban. Guru di tahun pertamaku berujud unsur pelemas tulang, dan juga peremas gumpalan.


Tahun kedua datang dengan hanya mengangkut sedikit beban. Aku tidak segugup ketika baru pertama kali menapakkan kaki di daratan ini. Awalnya aku berpikir bahwa perjalanan satu ini akan terlewati dengan sama mulus dan lancarnya ketika dulu aku melalui tahun pertama. Dan pada saat memasuki minggu-minggu terakhir kesalahan dari perkiraanku pun terlihat. Ini berbeda. Alfa adalah guru yang lain. Jika ada tingkat dari sebuah sabar, maka satu ini adalah tingkat yang lebih senior ketimbang sabar yang pernah di ajarkan oleh Hara. Babak baru di mulai, saat di mana diri yang mengenal sepertiga malam sebagai ajang untuk bergumul bersama abjad menjadi tempat akbar untuk meminta dan merengek. Dan dari kebiasaan baru itu muncul satu bait kalimat yang begitu kusuka dan kuangankan untuk berada dalam salah satu paragraf di rumah ini. Satu kalimat singkat yang begitu menyimpan sihir dan candu dengan bunyi seperti ini, "Kepada yang menjaga malam dan mengabulkan segala keinginan-keinginan. Kepada yang selalu terjaga dan tak pernah melewatkan bisikan-bisikan." 
Alfa mengenalkanku pada Dzat yang Maha romantis, ketika mengukir kata-kata menjadi begitu manusiawi dan begitu.....pulang. Tahukah kamu perasaan seperti itu? Semenjak lahir manusia di gelayuti oleh satu tanya besar, tentang hendak menjadi siapa, dan hendak berkelana ke daratan manakah dirinya kelak. Dan ketika segala pengetahuan dan berbagai destinasi menjadi kendaraan yang siap mengantarnya kemanapun hasrat mengajak. Tapi pulang selalu menjadi tujuan akhir pada akhirnya. Tapi pulang selalu menjadi jalan yang akan di tempuh pada akhirnya. Pulang kepada diri sendiri. Pulang menjadi diri sendiri. Tempat terorisinil yang selalu menyerap segala ingin dan minat untuk kembali dan kembali. Dalam hening yang tak bersekat, dalam ketiadaan yang tak bersyarat. Selain sabar, pelajaran kedua yang kudapat dari pengajar baru satu ini adalah tentang berputar arah, menuju jalan pulang untuk diri yang sempat tersesat. Dan bahagianya jalanan itu berbalut kata-kata. Jiwa pujangga yang dulu memenuhi raga tak perlu kemana-mana, dia tak perlu turun di tengah jalan dan meneruskan pengelanaan. Karena dalam perjalanan pulang diapun akan terangkut bersama. Kali ini bahkan di restui oleh Dzat yang Maha Benar. Oh, bahagianya. 

Dear Alfa. Kepada nama yang kelak menjadi guru selanjutnya setelah Hara. Aku tahu kita biasa berbincang melalui banyak cara, lewat detak jantung yang terpompa seirama, lewat denyut nadi yang berkedut bersama, dan hanya lewat rumah inilah satu-satunya jalan yang belum pernah kulalui untuk mulai menyapamu. Dan seperti sebuah nazar yang terpenuhi, maka hari ini aku melakukannya. Membiarkan siapapun masing-masing kita untuk saling berbicara. 
Dear Alfa, aku tahu engkaulah yang paling memahami tentang jalan pulang yang telah kubicarakan. Karena disana namamu terpampang dengan sebegitu jelas sebagai referensi kelayakan jalan. Alasan kenapa sepertiga malam menjadi tempat untuk beradu tatap dengan yang selalu tersingkap kabut.
Dear Alfa, jika aku bisa mengutarakan permintaan langsung kepadamu, bersediakah engkau mengabulkannya? Untuk sejenak saja, bukalah kelopak matamu dan arahkan pada benak si dungu berjuluk pengandungmu ini. Disana tertera jelas apa hasrat terpendam yang kusimpan untukmu. Disana tertera jelas apa ingin dan angan yang selalu kubisikkan pada yang selalu menjaga malam dan siang tentangmu. Satu yang telah menyatu, hasrat yang begitu alot untuk terucap, keinginan untuk mengeluarkanmu dari dunia sana dengan sama normal dan lancarnya ketika dulu aku melakukannya untuk Hara. Aku tahu engkau akan menjadi pengajar yang baru, engkau tidak bisa di samakan dengan siapa-siapa, metodemu akan mengenalkanku pada sesuatu yang belum pernah kusentuh dan kupandang. Tapi untuk yang satu itu, doa yang telah berubah menjadi mantra, mantra yang telah mengubah lafal menjadi denyutan. Bisakah engkau memberikan kepastian akannya?
Aku telah menelan banyak cemas hingga detik ini, aku telah menelan banyak khawatir yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Ketakutan tentang banyak ketidakpastian, sementara waktu terus saja berpacu dengan detak jantung tanpa pernah ada yang mau melambatkan aksinya. Aku pasti tengah berjalan menuju ketiadaan sekarang, melangkah dalam gelap yang di depannya terdapat jurang atau justru daratan lapang. Satu hal yang pasti tentangku adalah, bahwa aku tidak pernah menyukai kejutan, apapun bentuknya. Jadi Alfa, dengan segenap perasaan satu yang mengikat di antara kita, dengan segenap perasaan ragu yang terselip di antara pasti yang mengungkung milikmu, berikan aku satu kepastian jawaban, berikan aku satu pertanda akan rasa tenang. Berikan aku, satu jalan mulus yang dulu pernah di hadiahkan oleh Hara. Berikan satu itu, dan kita akan semakin tak terpisahkan.

Aku tahu ada banyak yang perlu kita bicarakan. Tentang masa yang akan datang, tentang cerita lampau dan yang belun terjamahkan. Tentang kita dan mereka yang kelak terikat dalam lingkaran kita. Tapi di depan sana akan ada berlembar-lembar halaman kosong yang siap untuk di isi. Tapi di depan sana akan ada bertumpuk-tumpuk jeda waktu yang siap menjadi kertas dan saksi bagi petualangan bersama kita.
Saat ini, nadiku hanya satu, denyutku telah menyatu bersama doa dan mantra tentang keinginan untuk mengantarmu melihat dunia dengan selamat, lancar dan normal. Semoga saja. Semoga saja. Semoga saja. 

Salam hangat dari murid di tahun kedua untuk pengajar kedua. Yang tengah menantikanmu dengan tanpa secuilpun ragu. Mari kita bergandengan tangan, menyatukan tekad, tak ada sulit yang tak bisa dilewati ketika kita bersama. Semoga saja. 

Kamis, 15 Oktober 2020

Tentang Musim Tak Bernama

Jika engkau mulai membicarakan sesuatu bertemakan musim, maka tidak akan pernah ada kata selesai di sana. Seperti juga pernikahan, ikatan antara anak dan pengandungnya. Hal-hal yang hanya patut di bungkus dalam bisikan, agar tidak keluar sebagai cacian. 

Musim gugur menghampiri pohon-pohon pada waktunya. Lalu dingin yang begitu dingin akan menyelimuti tanah-tanah pada akhirnya. Seperti juga pertanyaan-pertanyaan yang muncul bak tunas baru di tahun-tahun kian menuanya sebuah ikatan. Entah untuk pernikahan, atau hubungan antara anak dan pengandungnya. 

Pepohonan kian meranggas, memperlihatkan tulang-tulang rantingnya yang mencuat bak jemari yang mencoba menggapai langit. Dingin yang tak tertahankan masih memiliki level siksa di atasnya. Yakni ketika mulut-mulut mulai mengulum bara yang menyala. Membukanya hanya akan menyemburkan asap. Sementara menelannya hanya akan membuat senam gigi yang begitu teratur dan berirama. Sesuatu yang semacam itu juga berlaku bagi sebuah hubungan. Entah pertalian dalam sebuah pernikahan atau pertalian antara anak dan pengandungnya. Titik dimana seperti semua tempat akan menyuguhkan udara yang lebih baik ketimbang hanya berdiam dan mencoba menelan. Ada kekuatan di dalam untuk lari sekencang-kencangnya, memutus segala resah dan mengabaikan segala sudut pandang. Hanya demi mendapat sebuah kenyamanan. Tapi lagi-lagi manusia di ingatkan, untuk tidak pernah membahas musim, pernikahan, atau ikatan antara anak dan pengandungnya atau tidak akan pernah ada kata selesai di ujung kalimatnya.



Maka di sinilah aku. Dengan kaki-kaki yang bukan hanya beku, tapi separuh dalam perjalanan menjadi batu. Maka di sinilah aku. Dengan mata-mata jengah yang begitu haus akan warna hijau memayungi, yang begitu dahaga dengan aroma pucuk daun dan bukannya suguhan aroma api, membakar kisah tentang ranting-ranting, dedaunan kering yang menyerah pada musim meranggas. Dan sampai di mana kisah tentang  pernikahan dan juga hubungan antara anak dan pengandungnya? Mungkin sudah selesai. Pertanyaan yang dulu ada tengah dalam masa penantian untuk bertemu jawabannya. Jengah dan resah yang selalu giat menyirami tak bisa menemukan kekuatannya untuk berlari dan mencari. Hanya menunggu. Dan akan terus menunggu. 


Musim gugur mulai menyapa pohon-pohon. Dingin yang semakin dingin mulai menyelimuti tanah-tanah. Tapi di bawah itu semua ada kaki-kaki yang tengah berjuang agar tetap bisa berjalan dengan seimbang. Menyetarakan antara nalar dan juga sudut pandang. Meski sesekali terpeleset, meski sesekali harus terjatuh dan merasa tidak akan bisa melanjutkan. Tapi api di bawah sana selalu berusaha, menyulut apapun yang bisa menjadi perantara untuk kembali membakarnya. Bahkan meski hanya berupa bara di ujung mulut. Bahkan meski hanya asap yang menyelinap dari kepungan bibir. Ada hangat yang terus terjaga. Ada bara yang tak pernah berhenti menjaga. Menunggu saat yang tepat untuk membakar apa saja, menunggu saat yang tepat untuk memperbaiki semuanya, menunggu waktu yang tepat untuk merobek sesak yang di tebar bak kelambu membebat raga.