Sabtu, 31 Desember 2016

Catatan Pembuka

Keresahan kali ini, berangkat ketika langit mulai teracuni aroma kembang api. Disaat gegap gempita lautan manusia mulai teraktifkan dibeberapa sudut kota. Dan satu-satunya hal yang menarik minatku hanyalah memandangi Hara. Seonggok nyawa yang dalam tiga bulan kedatangannya berangsur namun pasti mulai menancapkan karisma dan juga pesona magic nya. Matanya terkatup rapat, memeluk gelap yang hadir bersama semangkuk kantuk tak tertahankan. Milikku yang menenangkan. Dulu aku berniat menamainya Zarah Amala. Si partikel cinta. Tapi ternyata Ari tak begitu setuju dengan nama itu, ia berpikir nama Zarah akan sulit bergulir dilidah-lidah manusia yang telah kenyang memakan zaman. Sementara si terpilih Hara, diharapkan bisa meluncur indah tak hanya dilidah para sesepuh tapi juga anak sebaya. Dan si Hawa, si Hala, adalah pemenang yang bertengger dilidah anak-anak kecil disekitaran. Kedatangan Hara sebegitu mengejutkannya, kendati telah kukandung ia selama sekian puluh minggu. Dalam paragraf yang telah lalu telah kurangkum sejumput paragraf untuk menyambut Hara. Dalam paragraf yang lain pula pernah kusajikan doa dalam sepiring kata. Aku tak pernah seserius itu dalam menyambut sebuah datang. Hingga harapan dan khayalpun tak berani berkunjung bahkan hingga hari kesekian. Hara adalah yang terpilih, dan bukan sebuah akhir dari adanya begitu banyak pilihan. Dulu aku begitu takut membekalinya dengan doa, aku takut harapanku membebani langkahnya. Aku takut doaku menjadi sebuah mantra yang kelak menjadi tipe-x bagi takdir murninya. Aku tak mau menjadi si pengacau.
.
.
.
Sekarang semua ketakutan itu berubah menjadi cemas, aku mulai mencemaskan bagaimana jika binar retinanya akan meredup ketika harus menyadari luasnya ruang. Aku mulai mencemaskan bagaimana jika sinar keemasan yang membungkus tubuhnya terganti dengan cahaya karmik dan melunturkan pesonanya. Aku mencemaskan bagaimana jika tapak mungilnya tak sanggup melangkah menuju pintu kesadaran, aku mencemaskan bagaimana jika jemari cantiknya tak sanggup mengetuki banyak jiwa dan nama. Ya! Aku masih menyimpan secuil ambisi agar kelak Hara menjadi sepertiku, bahkan lebih. Kubebaskan ia dari segala jalanan menuju puji dan puja. Kubebaskan ia dari tugasnya merangkul kedamaian keluarga maupun dunia. Kubebaskan ia dari segala ciri yang disematkan dalam namanya oleh Ari. Aku hanya ingin Hara bisa mewarisi setidaknya jiwa pujanggaku. Menulis memang bukan ladang yang darinya bisa diraup emas dan uang. Menulis adalah pekerjaan yang darinya diperlukan kejujuran dasar, dan sebuah sadar. Dan jika memang jemarinya tidak terlalu telaten untuk mempreteli hujannya imaji menjadi paragraf-paragraf bernama, maka tak apa. Melihatnya hadir dan tumbuh pun telah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Aku dan Ari benaran telah sukses menciptakan sebuah kolaborasi. Seorang gadis mungil bermata bulat dengan lingkar pupil coklat menggemaskan, dengan pipi seharum bakpau hangat, dengan senyum semanis bongkahan gula batu yang mencair didasar poci, dan..entah keajaiban apalagi yang menyertai kedatangannya didunia ini. Hara begitu menyempurnakan sepiring hidup milikku yang begitu polos tanpa siraman kuah saus atau lelehan mentega. Milikku yang menenangkan.
.
.
.
Dulu aku pernah memiliki stigma bahwa peri, dimanapun mereka eksis yang terpancang diingatan adalah tentang makhluk menyala dengan rambut terguyur sinar bohlam, raut dengan kecantikan dan ketampanan yang tak terbantahkan dan telinga runcing. Peri adalah yang seperti itu. Hingga kemudian Ari menuntunku memahami bahwa peri tak selalu bertelinga runcing, tak selalu harus memancarkan cahaya dari tubuhnya. Ari mengajariku bahwa peri dapat hidup dengan format apa saja, termasuk berujud seperti Hara salah satunya. Jika kalian belum mengalami proses pengibuan, kata-kata diatas akan terdengar seperti banyolan semata. Tapi bagiku itu memang nyata dan benar adanya. Aku yang awalnya terpesona dengan keberadaan peri, begitu terkagum dengan kedatangan Hara. Mereka persis sama. Menyihirku dalam setiap gerak-geriknya. Dari sudut manapun mataku menemukan mereka, yang terpotret dibenak adalah sebongkah kagum tentang betapa artistik keduanya. Mereka persis sama, menyimpan bongkahan emas ditubuhnya, hingga apapun yang terucap dari mulutnya, apapun yang memancar dari helai rambutnya, semua terlihat mempesona. Benar-benar milikku yang menakjubkan.
.
Kecemasan-kecemasan yang pernah kuutarakan tak akan sebanding dengan syukur yang hendak aku ucapkan. Dimalam pergantian tahun ini, dimana hampir semua manusia menumpahkan diri dalam euforia bertema menyala, dan satu-satunya hal yang menarik perhatianku hanyalah memandangi Hara. Keresahan ini tersampaikan dalam ujud syukur yang tak terukur. Dan bahkan dalam momen sebesar pergantian tahun pun aku masih belum bisa memutuskan apapun, harapan dan doa apa kiranya yang akan kubebankan kepada Hara. Karena satu-satunya kata yang pernah kubisikkan ditelinganya adalah pengakuan bahwa aku dan Ari sangat menyayanginya. Itu saja.

Selasa, 20 Desember 2016

Menyala Dan Bahagia

Sebelas, tiga belas, tujuh belas. Dan aku tidak tahu jika Tuhan merancangku untuk bisa menyala diumurku yang ke duapuluh sekian. Semua perjalanan, semua kegagalan terpahami ketika aku mulai menginjak kepala dua. Sekalipun saat itu aku masihlah manusia awam mengenai pemahaman tentang kata cinta, sekalipun saat itu untuk pertama kalinya aku mengenal adanya kekasih dari sosok setengah nyata bernama idola.
.
Setiap sesi kehidupan ini menghadirkan sendiri pelajaran yang sangat berarti. Aku pernah tersesat, mendewakan begitu tinggi pada beberapa sosok bernama manusia, tanpa sadar jika perbedaanku dan mereka hanyalah ada pada segumpal otak dan hati yang tersemat didalam masing-masing raga. Aku terlalu malu untuk mengakui diri bahwa aku tersesat saat itu, aku terlalu nyaman menduduki bangku tahtaku dan mengakui bahwa itu bukanlah jabatan yang benar. Dengan berbagai trik dan tipudaya aku berhasil menyingkir dari jalanan yang saat itu terlihat mulus dan tanpa hambatan. Mulai mengakui diri bahwa aku kalah dan inilah saat yang tepat untuk mengalah. Detik pertama ketika akhirnya cahaya itu menunjukkan kekuatan terpendamnya. Aku menyala ditengah keterpurukan. Cahayaku menyiramkan sinarnya tepat ketika aku membutuhkan bimbingan, jalan terang dan tiang untuk berpegang.
Aku pernah hancur. Beberapa nama mengagungkanku dan menempatkannya pada baki termahal yang pernah ada. Menghadiahiku dengan berbagai macam senyum yang kesemuanya berpotensi mengakibatkan diabetes. Lalu kemudian dengan senyum yang sama nama-nama itu mulai meremukkanku sekali jadi. Tak ada kata permisi, ataupun salam basa-basi. Semua lara tercipta begitu saja tanpa ada resep istimewa sekalipun sakitnya harus mendera dan mengendap sekian tahun lamanya. Hari itu aku percaya, tidak segala keindahan dirancang untuk menimbulkan kebahagiaan. Pada beberapa nama, keindahan bisa dijadikan alat untuk menelanjangi lalu meremukkan tanpa salam permisi sebelumnya. Senyum dan tutur dari nama-nama itu tak terkecuali, kesuksesan mereka membuatku menjadi kepingan adalah awal dari sebuah sadar. Sadar yang lalu menekan sendiri tombol aktif untuk kebangkitan sebuah masa pembelajaran. Aku kembali menyala sekalipun sinarnya harus berserak menjadi remah dan kepingan. Sinarku merebak seluas bintang yang menyeraki langit hitam dimusim kemarau. Perjalanan untuk langkahku yang paling awal ternyata memaksaku berpikir ulang. Gelap yang menyapa diujung pintu adalah pertanda, bahwa didepan sana tidak ada keabadian bagi petir dan hujan yang hendak menjegal dan menyapa. Aku terkenyangkan oleh tangis dan pembelajaran.
Selain tersesat dan hancur, akupun pernah merasai yang namanya jatuh kepada cinta. Dan sesi kehidupan satu itu tak luput dari kata pembelajaran juga. Hal yang kusangkakan berisi gumpalan putih, bersih semacam kapas ternyata menyimpan juga sisi kelam. Sayangnya kali itu aku tak bisa menyalahkan. Sang Kuasa adalah pemegang kontrak untuk sesi jatuhku saat itu. Sekalipun aku menduka, lara, bahkan hancur sekalipun. Aku tidak berhak menyalahkan. Aku jatuh pada cinta yang seharusnya. Tapi ketika objek dari cinta itu mendadak harus pulang aku kelimpungan untuk mencari pegangan, cintaku tergantung diplafon kamar, cintaku terpantul tembok dan tak bisa tersampaikan. Sekalipun berat, harus diakui saat itu tak ada pilihan lain bagiku selain kembali bangkit dan menyala.
.
.
.
Dari semua kegagalan yang berhasil membuatku menyala.. tersesat, hancur dan jatuh cinta adalah tiga hal paling dominan ketimbang remah lainnya. Hati dan pikiran manusia dirancang untuk hancur dan kecewa. Karena diantara keduanya tercipta tangga bernama harapan yang konon juga adalah tiket menuju keajaiban. Harapan, sesuatu yang membuat manusia begitu mendamba sebelum akhirnya jatuh gila.
.
Aku lebih menyukai bagaimana Tuhan menyetelku untuk bisa merasakan bahagia dan menyala sekaligus diumur duapuluh sekian. Jika aku terlebih dulu disodori kebahagiaan ketimbang kemampuan untuk menyala, mungkin yang terjadi sekarang adalah aku tengah menggumami kata sesal. Sebaliknya jika aku menyala terlampau awal disaat bahagia adalah hanya sejenis mitos semata. Maka yang terjadi selanjutnya adalah kegilaan dan krisis rasa percaya pada makna keajaiban.
.
Tidak ada yang lebih kusyukuri keberadaannya didunia ini ketimbang kenyataan bahwa kemampuanku untuk menyala datang bersamaan dengan kemampuanku untuk mendeteksi sinyal tentang lahirnya sebuah kebahagiaan. Dominasi antar keduanya mungkin berbeda. Tapi keduanya pun memiliki ruang dengan sekat diantara masing-masing. Tak ada cahaya yang telat untuk menyala. Tak ada bahagia yang datang terlambat kepada pemiliknya. Dan duapuluh adalah awal untukku memeluk keduanya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih alam. Terimakasih waktu karena telah mempertemukan. Bagiku, kemampuan untuk menyala dan datangnya bahagia tak ubahnya seperti kisah kasih Rama dan Sinta. Ketepatan yang sempurna. Memancarkan energi nyata ketika keduanya berjabat dan berangkulan bersama.

Minggu, 18 Desember 2016

Membakar Hujan

Waktu sanggup merubah segalanya. Dan kini aku percaya.
.
.
.
Hujan tak pernah datang semesra sore ini, dikala semburat oranye diufuk barat mulai bersiap menunjukkan diri, tetes-tetes hujan yang menimpa atap rumah menjadi melodi pembuka yang teramat pas. Aku sekarang menyukai hujan. Ari memanusiakan rintik besar-besar itu lebih dari sewajarnya. Ketika dulu hujan menawarkanku bangku bersalju, maka sekarang hujan menghadiahiku sepotong kerinduan dengan nama Ari didalamnya.
.
Lagi-lagi aku merasa hujan tak pernah semesra yang turun pada sore menjelang petang ini. Dalam balutan rinainya yang saling berbaris rapi, aku merasakan kehangatan bak sepasang kaus kaki. Dalam rintik besar-besar yang datang keroyokan, aku melihat tangan besar kasat mata menggapit tubuh kecil ini sebelum akhirnya menceburkannya pada segentong besar perasaan iri. Rasa iri pada banyaknya pohon bambu yang saling meneteskan peluh ketika petir melewati sela-sela pucuk daunnya. Rasa iri pada sehelai daun bayam yang rela menundukkan diri demi bisa memeluk batang pohon yang terciprat tetesan air hujan. Rasa iri pada dua kilat yang menyempatkan diri untuk bergumul dibalik awan hitam sebelum turun menyambar. Rasa iri bahkan pada rintik yang saling berkejaran sebelum akhirnya melumer dalam lautan kebahagiaan. Aku rindu Ari dengan kekuatannya memanusiakan hujan.
.
.
Jika saja petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya sepasang kaus kaki bermanik kepala beruang itu tak lagi dibutuhkan. Dalam rengkuhannya, kami berdua akan membakar hujan dan menyulapnya menjadi entakan ranjang. Selain memiliki kekuatan memanusiakan hujan, Ari juga menyimpan kekuatan mendatangkan tsunami. Badai yang diracik perlahan melalui sentuhan dan tiupan ringan sungguh sanggup menimbulkan lengsernya lempengan iman. Ari tahu betul kapan saat yang tepat untuk surut, menerjang dan menyemburkan hingga tertinggi air dalam luapan. Seringnya aku hanya bisa pasrah. Merelakan diri ditelan air tsunaminya, merelakan diri dihempaskan oleh tinggi dan kuat inginnya. Membiarkan hujan mengiringi dan menyirami lagi dataran yang tengah terengah dilanda hasrat yang rindu untuk mampir ke daratan.
.
Andai petang ini Ari berada dalam dekapan, niscaya segentong iri tak akan eksis di paragraf ini. Yang ada hanyalah alam yang tunduk khidmat menyalami aku dan Ari karena perasaan takjubnya akan kekuatan kami berdua dalam membakar hujan. Andai petang ini Ari berada dalam jangkauan, niscaya daun bayam akan tersipu malu mendengar kecipak air hujan yang turun sebelum tanah sempat membasahi diri. Niscaya pucuk-pucuk daun bambu akan rela memayungi petir dan menyabotase tujuan kehadirannya, memelintirkan fungsinya menjadi nyanyian indah yang hanya akan didengar oleh telinga-telinga yang tengah berbahagia. Niscaya kilat-kilat akan saling menyambarkan diri diatas sana, menjadikannya semacam kembang api dengan awan hitamnya sebagai latar belakang.
.
.
Ari membuatku mendekap rindu pada hujan petang ini, membuat rintik-rintiknya terdengar semesra bisikan-bisikan khas ketika tengah bercinta. Ari memanusiakan hujan dengan sangat tepatnya, hingga lupa didalam diri manusia terdapat sisi hewani yang suatu saat butuh untuk ditaklukkan. Milikku tak terkecuali. Sentuhan itu, bisikan itu, dan dekapan itu seakan semuanya adalah ornamen-ornamen yang sangat pas jika dipasangkan pada sepotong hujan. Badai tsunami tak pernah dipuja dan diinginkan sebelum Ari datang dan menghendakinya demikian. Badai tsunami petang ini tidak akan datang, hanya kerapnya rintik hujan yang memboyong kerinduan. Dan Ari tak pernah tahu dirinya semenakjubkan awan hitam, bagi manusia lain mendung berati saatnya bersiap membentengi diri dari hujan yang membanjur, bagiku awan hitam pertanda kebahagiaan yang tengah dalam perjalanan, kilat dan petir adalah bak tanda peringatan bahwa pesawat tengah lepas landas dan hanya tinggal menunggu hitungan sebelum akhirnya bersentuhan dengan pesawat itu, si hujan.
.
.
.
Dan kini aku percaya, waktu dapat merubah segalanya. Tubuhku yang dulu selalu menggigil ketika tertimpa butiran air hujan, kini justru menunjukkan kesediaan dan kerelaannya untuk diterjang. Sendi yang dulu selalu meradang kedinginan disaat awan hitam usai menuntaskan bebannya, kini selalu siaga dengan adanya lonjakan-lonjakan dari beban yang diangkut aliran darah. Jantungku tak pernah sesigap ini menerima tamu agung bernama kerinduan. Sepotong rasa yang selalu hadir dibawa oleh rintik hujan. Dan lagi-lagi Ari tak pernah tahu bahwa dirinya semenarik awan hitam. Membuatku bersiap, berpraduga dan jika memungkinkan menyiapkan payung agar tak kehujanan.
.
.
Hujan tak pernah semesra sore ini, rangkaian melodi yang mengalun dari pengeras suara tak sanggup menandingi nikmatnya perasaan ini. Kerinduan akan adanya rengkuhan, bisikan-bisikan ringan, dan akan datangnya badai tsunami yang Ari ciptakan. Ah..andai alam tahu, kekasihku berpotensi menjadi alat yang sanggup mendeteksi akan datangnya bencana menyenangkan.

Kamis, 15 Desember 2016

Aku, Manusia Dan Malam

Hujan membuat sore datang lebih cepat hari ini. Aroma tanah yang masih membumbung semakin tergilas tergantikan oleh bau petang. Setelah seharian membungkus tubuh kecil ini dengan sehelai daun, membuatku semakin terasa nyaman. Jangan kira kaum nyamuk sepertiku tidak pernah merasakan sakit, demam yang menjelangku semenjak malam kemarin adalah salah satu contohnya. Semua kaki dan tanganku masih lincah bergerak tapi perut juga kepalaku memberikan sinyal tanda tak sehat. Ibuku bilang mungkin karena jiwa manusia yang kucucus darahnya kemarin itu sedang dalam keadaan tidak stabil. Entah penjelasan medis apa yang bisa menjelaskan relasi antara antara demam dan jiwa labil. Tapi aku percaya, karena sungguh sekian lama hidup tak ada yang bisa mengukuhkan tentang adanya kebenaran perkataan selain yang keluar dari mulut Ibu. Bagiku Ibu adalah semacam dewa. Setiap perkataannya adalah titah sekaligus hal yang tak patut untuk diragukan kebenarannya. Sekalipun penjelasan tentang alasan demamku sedikit terasa konyol tapi aku hanya bisa percaya. Lagipula..untuk apa mempertanyakan hal yang sudah lewat ? Dan juga, aku sudah sembuh hari ini. Kalau saja bukan karena kebutuhan, aku tidak ingin bangun hingga pagi menyapa. Perutku menunjukkan tanda protesnya, seharian menahan beratnya kelopak mata membuatku lupa untuk mencucus tubuh manusia. Dan petang ini, aku ingin berburu.
.
.
Hujan masih menyisakan riaknya, sementara petang kian meluaskan taburan jaring gelapnya. Hewan malam mulai membunyikan alarm masing-masing. Semoga masih ada manusia yang mau keluar dari hunian dalam cuaca yang seperti ini. Ketika sore datang, kaum manusia akan dengan sigap mengunci diri mereka dalam benteng pertahanan. Semua jendela dan pintu tertutup rapat-rapat. Mengantisipasi kedatangan kaumku yang selalunya kian merebak ketika malam menjelang. Manusia ternyata tidak setangguh dan sebesar badannya. Demi menghindari kaumku yang besarnya saja hanya sekitaran besar upil manusia, mereka mempertaruhkan segalanya. Memblokir semua akses agar tak bersentuhan dengan udara luar, tanpa tahu jika malam kian menebarkan pesona jika dinikmati dalam keadaan remang. Manusia menempatkanku dan kaumku menjadi semacam bahaya terburuk sepanjang masa.
.
.
.
Mataku berhenti mencari ketika indra penciumku mendapati adanya aroma manusia. Ada yang lain dari manusia satu ini, darahnya tercium begitu manis. Bebauan wangi yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya tak menutupi aroma manis yang kian terkuar. Aku harus mendapatkan mangsa. Perutku tak lagi mau mendengar kata menunggu.
.
Benar saja, ketika selesai mengisi penuh perut kecilku, aku merasakan dahaga yang melumer oleh siraman air gula. Darah manusia satu ini begitu manis. Ataukah karena demam lusa yang menyebabkan minum darah kali ini begitu istimewa ? Tak jadi soal apapun itu, yang jelas perutku telah terkenyangkan.
.
Ibuku selalu berkata aroma angin malam akan membangkitkan rasa lapar berlipat dari waktu siang, itulah kenapa kaum nyamuk disarankan untuk mengistirahatkan badan ketika pagi datang.
Aku harap manusia tidak mengetahui titik lemah kaumku, ataupun membaca ceritaku ini. Karena bagaimanapun, otak manusia tercipta dengan segala kerumitannya. Memahami sedangkal pemikiran kami akan menjadi hal yang sangat sulit. Tidak diragukan lagi, meski pernah terbesit sebuah ingin tapi nyamuk dan manusia memang tertakdir sebagai musuh alami. Dan bagiku pribadi, ini adalah jenis permusuhan paling elegan yang pernah ada. Kendati api yang membara dipikiran manusia kuyakini sanggup membakar sebuah bangunan sekalipun. Entah kenapa manusia gemar sekali menumpuk dendam, menjadikannya bak bejana kristal yang harus disimpan baik-baik dan penuh perhitungan. Menjadikan dendam sebagai bom waktu yang suatu saat nanti bisa saja justru menghabisi pemiliknya sendiri.
.
.
.
Tidak perlu mencela, tidak perlu meributkan apapun kebiasaan buruk makhluk hampir sempurna itu. Toh hubungan kami berdua tak mungkin akan beranjak kemana-mana. Selamanya manusia dan nyamuk akan menjadi patner yang hanya menguntungkan dari satu sisi saja. Seberapa kuatpun keinginanku untuk menjabat tangan manusia tak akan berhasil tanpa lebih dulu sesuatu merelakan nyawa. Nyawa kaumku. Seberapa tak menyenangkanpun perlakuan manusia terhadapku dan keluarga, aku hanya bisa melihat, memaklumi dan mengacuhkannya. Bangsa nyamuk tak memiliki hasrat untuk mendendam, aku sendiri lebih memikirkan keberlangsungan hidup anak cucuku kelak ketimbang menjunjung tinggi ego permusuhan.
.
.
.
Tak ada yang mengganjal, tak ada batu rintangan. Hidup dan pola pikir kaum nyamuk semulus dan sepolos dua mangsa tanpa busana yang sering kutemukan tengah bergulat vertikal ditengah rerimbunan diwaktu malam. Entah apapun yang tengah mereka lakukan, yang terlihat dimataku hanyalah makanan dan makanan. Manusiakah mereka ? Bukankah kaumnya selalu takut dengan kegelapan dan selalu menghindar ? Apapun itu, yang jelas aku selalu berbahagia untuk manusia yang rela memoloskan tubuh ditengah remang untuk kami makan.

Rabu, 14 Desember 2016

Salahkan Saja Alam

Pertengahan tahun lalu, tepatnya bulan keempat di tanggal yang masih terhitung muda, aku terlahir. Seluruh anggota keluarga bersorak suka cita merayakan kedatanganku. Sekalipun aku bukanlah anggota pertama yang lahir di musim penghujan saat itu, tapi kehadiranku benaran sangat dinantikan..oleh teman-temanku tak terkecuali. Sore itu tengah hujan rintik-rintik, hal pertama yang kulihat ketika perdana aku membuka mata. Butiran kecil-kecil hujan menjatuhi genangan air keruh yang juga merupakan hunianku selama menjadi embrio. Sungguh. Tak ada alunan yang lebih mesra ketimbang suara kecipak butiran kristal air hujan yang jatuh perlahan, dan penuh hitungan.
.
.
.
.
.
Aku adalah sejenis nyamuk. Yang hidup embrionya tergantung pada adanya genangan air. Dan musim penghujan kali ini adalah masaku untuk melihat dunia dan tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Tolong jangan deskriminasikan aku beserta kawananku. Kami juga adalah salah satu makhluk Tuhan. Sama seperti halnya keberadaan ayam, kucing, dan tikus got sekalipun. Ini mungkin perlu diperjelas, karena setelah sekian bulan melihat dunia aku dipertontonkan banyak sekali pertunjukan. Aku melihat sekumpulan cicak yang saling berebut serangga lewat, aku mendengar keluhan para ayam yang dianak tirikan oleh pemiliknya, lalu anjing-anjing didalam kandang itu, mereka sangatlah sombong..merasa dirinya raja hanya karena segala kebutuhan hingga kotorannya selalu diurus oleh manusia. Kupu-kupu adalah sahabat favoritku. Mereka cantik dan sangat menyenangkan, sekalipun memiliki sayap indah dan sanggup berkeliling kemanapun mereka suka, tidak lantas menjadikan kupu-kupu sombong. Seringnya mereka menunjukkan padaku dimana tempat yang nyaman untuk melepaskan penat, sementara aku..dengan kemampuanku mengendus lebih intens untuk setiap hal membantu para kupu-kupu menemukan dimana kiranya lokasi yang pas untuk mencari makanan sehat nan lezat. Dalam waktu hidupku yang baru sekian bulan, diantara berbagai macam makhluk Tuhan..hanya manusialah yang begitu menarik perhatian dan juga bahaya terbesarku. Sudah merupakan hukum alam jika pasokan makananku adalah berasal dari darah manusia. Seperti tikus sawah yang sekalipun menghindar pada akhirnya akan rela dirinya dijadikan santapan ular, seperti para ayam yang sesekali menangkapi cacing tanah dan menjadikannya kudapan. Bukankah hal yang wajar jika aku gemar mengikuti kemanapun perginya manusia dan mencucus darah mereka segelembung perutku saja. Aku bukanlah makhluk rakus, kawananku terbiasa mengenyangkan perut hanya dua kali dalam sehari. Tapi manusia sepertinya menaruh dendam membara terhadap kaum nyamuk. Wahai manusia, ketahuilah jika dalam satu kali saja masa bertelur satu nyamuk betina, maka akan menghasilkan ratusan ekor embrio yang siap terlahir menjadi nyamuk dewasa. Wajar jika dalam hitungan menit kalian sanggup mendapati sekian bentol di kaki, tangan, dan wajah. Itu bukan perbuatan satu nyamuk saja. Ada milyaran kami yang hidup didunia ini. Perbandingannya akan begitu timpang jika dibandingkan dengan keberadaan kalian para manusia. Seperti membandingkan besarnya telur ayam raksasa dan telur cicak. Lalu kenapa kalian menaruh dendam ? Aku tidak bisa menghentikan kaumku untuk menyesap darah kalian, karena memang alam telah menggariskan darah kalian sebagai makanan pokok kami. Salahkan saja alam, yang membuat kaumku berlipat lebih banyak dari kalian. Salahkan saja alam, yang membuat instingku mendeteksi darah manusia sebagai jenis makanan. Salahkan saja alam.
.
Aku tidak tahu jika mungkin leluhurku pun terlahir dengan harapan seperti aku, sanggup berdamai dengan manusia. Makhluk yang konon memiliki ujud paling mendekati sempurna dibandingkan aku, ayam, anjing atau apapun makhluk ciptaan Yang Kuasa. Tidak bisakah mereka menerima keberadaanku seperti halnya cacing dan ayam yang terkadang saling bersenda gurau sebelum akhirnya si cacing dijadikan santapan ? Tidak bisakah manusia merelakan secucus saja darahnya untuk keberlangsungan hidupku dan juga kaumku ? Tanpa memendam dendam berkepanjangan ? Sungguh aku rela meregang nyawa dalam sekali saja tepukan gemas tangan manusia, jika ia juga merelakan perutku terkenyangkan namun bukan dengan paksaan, bukan dengan caraku yang harus mengendap lalu mencuri tanpa permisi, bukan dengan caraku yang harus menunggu mereka lengah lalu terlelap tak sadarkan diri. Sungguh aku ingin menjadi nyamuk yang memiliki harga diri. Jika saja manusia memang memiliki martabat seperti yang seharusnya. Jika saja manusia sadar bahwa dirinya berkasta lebih tinggi daripada kaumku, ayam atau makhluk melata lainnya. Tapi sayang seribu sayang, itu hanyalah angan. Perihal nyamuk yang dapat berteman dengan manusia hanyalah mitos semata. Manusia dalam ujudnya yang konon hampir sempurna justru menempatkan diri menjadi malaikat pencabut nyawa yang tak memiliki adanya rasa kemanusiaan, empati atau sekedar kasihan. Kaum malang. Sungguh kaum yang sangat malang.

Rabu, 07 Desember 2016

Perjalanan Si Patner Cacing Tanah

Perjalanan baru telah lama dimulai, detak yang terekam oleh alat medis adalah peluit tanda kami harus mulai melangkah. Ya, ini adalah sepenggal cerita tentang aku dan Ari. Duo patner ranjang yang baru saja sukses merampungkan misi menciptakan manusia baru. Kami menamainya Hara. Entah apapun arti kata satu itu, yang jelas bukan untaian mutiara seperti yang selama ini selalu Ari coba jelaskan ketika ada saudara-saudara yang bertanya tentang makna dari nama Hara. Aku lebih suka menjelaskannya sebagai teman cacing, karena keduanya memang sama-sama berhubungan erat dengan tanah. Hara sebagai unsur pembentuk sementara cacing bertugas sebagai si penggembur.
.
Hara adalah duplikat, karena 70 porsen sketsa rautnya adalah milik Ari. Entah celah sebelah mana dari wajahnya yang menunjukkan bahwa aku juga berpartisipasi sebagai pembuatnya. Dan mata Hara, begitu indah. Aku yakin cekungan berisi bulatan retina itu menuruni sepenuhnya gen milikku. Dengan dua pipi yang bersaing ketat dengan kenyalnya bakpau lengkap dengan kepulan asap pertanda baru keluar dari tempat kukusnya. Benar-benar duplikat yang tidak mengecewakan. Terkadang jika Ari tengah berada jauh dariku, bahkan masih bisa kulihat dirinya ada pada wajah mungil Hara. Napas pemilik dua bakpau hangat itu begitu wangi, dengan bibir yang hadir seada-adanya, aku sempat curiga kenapa Hara memiliki bibir yang begitu tipis, karena jelas itu bukan jenis milikku atau milik Ari, sementara aku dengan sangat yakin berani bersumpah bahwa Arilah satu-satunya penyumbang sperma pembentuk Hara.
.
.
.
Perjalanan baru ini mulai menebarkan pesonanya. Ari sempat tertangkap mata tengah berkaca-kaca ketika kemarin harus berpamitan untuk berangkat kerja. Sementara aku, jauh dari Hara jelas-jelas menimbulkan kegelisahan tak terduga. Satu jam, dua jam adalah waktu terlama aku jauh dari duplikat Ari itu. Dan ya, aku hampir menangis karenanya. Kecemasan yang mampir sungguh mencapai titik hampir maksimal saat itu, dua jam yang membuatku linglung tentang apa yang harus dan apa yang tengah aku lakukan. Sesuatu jelas sekali telah mencongkel kelengkapan diriku. Dan ketika kudapati lagi Hara dalam pelukan, aku tau apa yang telah hilang. Aku tengah memeluk sebuah dunia.
.
.
Di awal perjalanan komitmenku dengan Ari, banyak kujelaskan padanya bahwa aku kemungkinan tidak berbakat menjadi seorang ibu. Aku bahkan sempat curiga jika Tuhan mungkin lupa telah menempatkan jiwa kebapakan padaku ketika dulu tengah menciptakan aku. Jika status perempuan saja masih kuragukan bagaimana bisa aku mengalami proses melahirkan ? Menyusui dan menggendong bayi ? Mungkinkah ? Lalu keajaiban itu ada. Kedatangan Hara menjungkir balikkan perkiraan gender yang sempat kuragukan itu. Aku benaran perempuan ! Ari tidak salah ketika menyetujuiku menjadi istrinya, kendati memang pernikahan kami awalnya bak lintingan lotre semata. Kedatangan Hara membukakan mata kami, bahwa setelan jas dan kemeja juga gaun putih bermanik banyak yang dikenakan satu setengah tahun lalu bukan ajang potret-potret saja. Pernikahan itu nyata. Senyata aroma pesing yang selalu merembesi celana Hara setiap harinya.
.
.
.
Sekarang aku memiliki dua alasan untuk bisa berbangga kepada dunia. Pertama..aku memiliki Ari, si manusia dengan kesabaran berkekuatan Giga. Kedua..aku memiliki Hara, si bocah kecil yang berhasil meruntuhkan keraguan seluruh umat manusia yang mungkin pernah ikut mempertanyakan gender keperempuanku.
.
Apalagi yang perlu dijelaskan, kelengkapan ini bukan sebuah basa-basi. Kebahagiaan inipun bukan kepura-puraan. Status pernikahan yang masih setengah sadar untuk kuakui sekarang membuahkan hasil. Tidak ada lagi luka menyayat dimasa yang telah datang. Karena sakitnya masa lalu tidak sesakit ketika tengah berbaring diruang melahirkan. Dan Hara adalah sebuah keajaiban. Aku dan Ari telah menciptakan sebuah keajaiban, betapa menakjubkannya perpaduan dua unsur manusia ini B-) dan aku bersyukur Tuhan melancarkan semua perjalanan baru kami.
.
.
Sekarang aku memiliki alasan bahkan sekedar untuk makan. Aku memiliki alasan kenapa harus bangun dipagi hari. Aku memiliki alasan kenapa harus menyiapkan kaleng kosong dan mulai mengisinya dengan koin-koin receh, sesuatu yang dulu kuanggap sampah. Sekarang aku memiliki alasan untuk terus memperbaiki diri. Dan yang terpenting dari semuanya, aku sekarang memiliki alasan untuk terus menulis, terlebih untuk perjalanan ini. Agar kelak Hara melihat bahwa ia adalah ciptaan tanah, agar kelak ia paham bahwa dirinya tak lebih tinggi dari hewan dan tumbuhan, agar kelak dimasa-masa tersulitnya, disaat mata dunia mulai mengerdilkannya maka ia akan melihat bahwa dirinya adalah sebuah keajaiban. Aku ingin membekali anakku dengan kekuatan. Kami ingin membekali Hara dengan sistim imun sekuat seperti yang telah tertanam pada kedua orangtuanya. Semoga.