Sabtu, 31 Desember 2016

Catatan Pembuka

Keresahan kali ini, berangkat ketika langit mulai teracuni aroma kembang api. Disaat gegap gempita lautan manusia mulai teraktifkan dibeberapa sudut kota. Dan satu-satunya hal yang menarik minatku hanyalah memandangi Hara. Seonggok nyawa yang dalam tiga bulan kedatangannya berangsur namun pasti mulai menancapkan karisma dan juga pesona magic nya. Matanya terkatup rapat, memeluk gelap yang hadir bersama semangkuk kantuk tak tertahankan. Milikku yang menenangkan. Dulu aku berniat menamainya Zarah Amala. Si partikel cinta. Tapi ternyata Ari tak begitu setuju dengan nama itu, ia berpikir nama Zarah akan sulit bergulir dilidah-lidah manusia yang telah kenyang memakan zaman. Sementara si terpilih Hara, diharapkan bisa meluncur indah tak hanya dilidah para sesepuh tapi juga anak sebaya. Dan si Hawa, si Hala, adalah pemenang yang bertengger dilidah anak-anak kecil disekitaran. Kedatangan Hara sebegitu mengejutkannya, kendati telah kukandung ia selama sekian puluh minggu. Dalam paragraf yang telah lalu telah kurangkum sejumput paragraf untuk menyambut Hara. Dalam paragraf yang lain pula pernah kusajikan doa dalam sepiring kata. Aku tak pernah seserius itu dalam menyambut sebuah datang. Hingga harapan dan khayalpun tak berani berkunjung bahkan hingga hari kesekian. Hara adalah yang terpilih, dan bukan sebuah akhir dari adanya begitu banyak pilihan. Dulu aku begitu takut membekalinya dengan doa, aku takut harapanku membebani langkahnya. Aku takut doaku menjadi sebuah mantra yang kelak menjadi tipe-x bagi takdir murninya. Aku tak mau menjadi si pengacau.
.
.
.
Sekarang semua ketakutan itu berubah menjadi cemas, aku mulai mencemaskan bagaimana jika binar retinanya akan meredup ketika harus menyadari luasnya ruang. Aku mulai mencemaskan bagaimana jika sinar keemasan yang membungkus tubuhnya terganti dengan cahaya karmik dan melunturkan pesonanya. Aku mencemaskan bagaimana jika tapak mungilnya tak sanggup melangkah menuju pintu kesadaran, aku mencemaskan bagaimana jika jemari cantiknya tak sanggup mengetuki banyak jiwa dan nama. Ya! Aku masih menyimpan secuil ambisi agar kelak Hara menjadi sepertiku, bahkan lebih. Kubebaskan ia dari segala jalanan menuju puji dan puja. Kubebaskan ia dari tugasnya merangkul kedamaian keluarga maupun dunia. Kubebaskan ia dari segala ciri yang disematkan dalam namanya oleh Ari. Aku hanya ingin Hara bisa mewarisi setidaknya jiwa pujanggaku. Menulis memang bukan ladang yang darinya bisa diraup emas dan uang. Menulis adalah pekerjaan yang darinya diperlukan kejujuran dasar, dan sebuah sadar. Dan jika memang jemarinya tidak terlalu telaten untuk mempreteli hujannya imaji menjadi paragraf-paragraf bernama, maka tak apa. Melihatnya hadir dan tumbuh pun telah menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagiku. Aku dan Ari benaran telah sukses menciptakan sebuah kolaborasi. Seorang gadis mungil bermata bulat dengan lingkar pupil coklat menggemaskan, dengan pipi seharum bakpau hangat, dengan senyum semanis bongkahan gula batu yang mencair didasar poci, dan..entah keajaiban apalagi yang menyertai kedatangannya didunia ini. Hara begitu menyempurnakan sepiring hidup milikku yang begitu polos tanpa siraman kuah saus atau lelehan mentega. Milikku yang menenangkan.
.
.
.
Dulu aku pernah memiliki stigma bahwa peri, dimanapun mereka eksis yang terpancang diingatan adalah tentang makhluk menyala dengan rambut terguyur sinar bohlam, raut dengan kecantikan dan ketampanan yang tak terbantahkan dan telinga runcing. Peri adalah yang seperti itu. Hingga kemudian Ari menuntunku memahami bahwa peri tak selalu bertelinga runcing, tak selalu harus memancarkan cahaya dari tubuhnya. Ari mengajariku bahwa peri dapat hidup dengan format apa saja, termasuk berujud seperti Hara salah satunya. Jika kalian belum mengalami proses pengibuan, kata-kata diatas akan terdengar seperti banyolan semata. Tapi bagiku itu memang nyata dan benar adanya. Aku yang awalnya terpesona dengan keberadaan peri, begitu terkagum dengan kedatangan Hara. Mereka persis sama. Menyihirku dalam setiap gerak-geriknya. Dari sudut manapun mataku menemukan mereka, yang terpotret dibenak adalah sebongkah kagum tentang betapa artistik keduanya. Mereka persis sama, menyimpan bongkahan emas ditubuhnya, hingga apapun yang terucap dari mulutnya, apapun yang memancar dari helai rambutnya, semua terlihat mempesona. Benar-benar milikku yang menakjubkan.
.
Kecemasan-kecemasan yang pernah kuutarakan tak akan sebanding dengan syukur yang hendak aku ucapkan. Dimalam pergantian tahun ini, dimana hampir semua manusia menumpahkan diri dalam euforia bertema menyala, dan satu-satunya hal yang menarik perhatianku hanyalah memandangi Hara. Keresahan ini tersampaikan dalam ujud syukur yang tak terukur. Dan bahkan dalam momen sebesar pergantian tahun pun aku masih belum bisa memutuskan apapun, harapan dan doa apa kiranya yang akan kubebankan kepada Hara. Karena satu-satunya kata yang pernah kubisikkan ditelinganya adalah pengakuan bahwa aku dan Ari sangat menyayanginya. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar