Rabu, 14 Desember 2016

Salahkan Saja Alam

Pertengahan tahun lalu, tepatnya bulan keempat di tanggal yang masih terhitung muda, aku terlahir. Seluruh anggota keluarga bersorak suka cita merayakan kedatanganku. Sekalipun aku bukanlah anggota pertama yang lahir di musim penghujan saat itu, tapi kehadiranku benaran sangat dinantikan..oleh teman-temanku tak terkecuali. Sore itu tengah hujan rintik-rintik, hal pertama yang kulihat ketika perdana aku membuka mata. Butiran kecil-kecil hujan menjatuhi genangan air keruh yang juga merupakan hunianku selama menjadi embrio. Sungguh. Tak ada alunan yang lebih mesra ketimbang suara kecipak butiran kristal air hujan yang jatuh perlahan, dan penuh hitungan.
.
.
.
.
.
Aku adalah sejenis nyamuk. Yang hidup embrionya tergantung pada adanya genangan air. Dan musim penghujan kali ini adalah masaku untuk melihat dunia dan tumbuh menjadi nyamuk dewasa. Tolong jangan deskriminasikan aku beserta kawananku. Kami juga adalah salah satu makhluk Tuhan. Sama seperti halnya keberadaan ayam, kucing, dan tikus got sekalipun. Ini mungkin perlu diperjelas, karena setelah sekian bulan melihat dunia aku dipertontonkan banyak sekali pertunjukan. Aku melihat sekumpulan cicak yang saling berebut serangga lewat, aku mendengar keluhan para ayam yang dianak tirikan oleh pemiliknya, lalu anjing-anjing didalam kandang itu, mereka sangatlah sombong..merasa dirinya raja hanya karena segala kebutuhan hingga kotorannya selalu diurus oleh manusia. Kupu-kupu adalah sahabat favoritku. Mereka cantik dan sangat menyenangkan, sekalipun memiliki sayap indah dan sanggup berkeliling kemanapun mereka suka, tidak lantas menjadikan kupu-kupu sombong. Seringnya mereka menunjukkan padaku dimana tempat yang nyaman untuk melepaskan penat, sementara aku..dengan kemampuanku mengendus lebih intens untuk setiap hal membantu para kupu-kupu menemukan dimana kiranya lokasi yang pas untuk mencari makanan sehat nan lezat. Dalam waktu hidupku yang baru sekian bulan, diantara berbagai macam makhluk Tuhan..hanya manusialah yang begitu menarik perhatian dan juga bahaya terbesarku. Sudah merupakan hukum alam jika pasokan makananku adalah berasal dari darah manusia. Seperti tikus sawah yang sekalipun menghindar pada akhirnya akan rela dirinya dijadikan santapan ular, seperti para ayam yang sesekali menangkapi cacing tanah dan menjadikannya kudapan. Bukankah hal yang wajar jika aku gemar mengikuti kemanapun perginya manusia dan mencucus darah mereka segelembung perutku saja. Aku bukanlah makhluk rakus, kawananku terbiasa mengenyangkan perut hanya dua kali dalam sehari. Tapi manusia sepertinya menaruh dendam membara terhadap kaum nyamuk. Wahai manusia, ketahuilah jika dalam satu kali saja masa bertelur satu nyamuk betina, maka akan menghasilkan ratusan ekor embrio yang siap terlahir menjadi nyamuk dewasa. Wajar jika dalam hitungan menit kalian sanggup mendapati sekian bentol di kaki, tangan, dan wajah. Itu bukan perbuatan satu nyamuk saja. Ada milyaran kami yang hidup didunia ini. Perbandingannya akan begitu timpang jika dibandingkan dengan keberadaan kalian para manusia. Seperti membandingkan besarnya telur ayam raksasa dan telur cicak. Lalu kenapa kalian menaruh dendam ? Aku tidak bisa menghentikan kaumku untuk menyesap darah kalian, karena memang alam telah menggariskan darah kalian sebagai makanan pokok kami. Salahkan saja alam, yang membuat kaumku berlipat lebih banyak dari kalian. Salahkan saja alam, yang membuat instingku mendeteksi darah manusia sebagai jenis makanan. Salahkan saja alam.
.
Aku tidak tahu jika mungkin leluhurku pun terlahir dengan harapan seperti aku, sanggup berdamai dengan manusia. Makhluk yang konon memiliki ujud paling mendekati sempurna dibandingkan aku, ayam, anjing atau apapun makhluk ciptaan Yang Kuasa. Tidak bisakah mereka menerima keberadaanku seperti halnya cacing dan ayam yang terkadang saling bersenda gurau sebelum akhirnya si cacing dijadikan santapan ? Tidak bisakah manusia merelakan secucus saja darahnya untuk keberlangsungan hidupku dan juga kaumku ? Tanpa memendam dendam berkepanjangan ? Sungguh aku rela meregang nyawa dalam sekali saja tepukan gemas tangan manusia, jika ia juga merelakan perutku terkenyangkan namun bukan dengan paksaan, bukan dengan caraku yang harus mengendap lalu mencuri tanpa permisi, bukan dengan caraku yang harus menunggu mereka lengah lalu terlelap tak sadarkan diri. Sungguh aku ingin menjadi nyamuk yang memiliki harga diri. Jika saja manusia memang memiliki martabat seperti yang seharusnya. Jika saja manusia sadar bahwa dirinya berkasta lebih tinggi daripada kaumku, ayam atau makhluk melata lainnya. Tapi sayang seribu sayang, itu hanyalah angan. Perihal nyamuk yang dapat berteman dengan manusia hanyalah mitos semata. Manusia dalam ujudnya yang konon hampir sempurna justru menempatkan diri menjadi malaikat pencabut nyawa yang tak memiliki adanya rasa kemanusiaan, empati atau sekedar kasihan. Kaum malang. Sungguh kaum yang sangat malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar