Rabu, 31 Oktober 2018

Bernostalgia dengan duka

Menyukaimu tidak lantas membuat kita menjadi teman, memahamimu tidak lantas membuatku menerima semua duka yang engkau tunjukkan. Dan mengalir ternyata tidaklah segampang yang ku pikirkan.

Berapa tahun telah berlalu sejak hari itu? Apa kau bahkan mau dengan repot menghitungnya sekali saja? Dan hari ini engkau kembali menunjukkan kuasamu, menunjukkan seberapa kuatnya dirimu, membuatku merasa mual seketika.

Aroma petang itu masih melekat erat di ingatan, aku dengan segala dayaku menutupi semua lubang yang menganga hampir di setiap jengkal napas dengan kepura-puraan. Aku benci terlihat lemah, aku selalu benci tersudutkan, terlebih olehmu yang jelas-jelas telah merangkulku untuk di jadikan teman. Bukankah kita sebelumnya adalah teman? Aku masih ingat bagaimana dulu aku selalu mengagumi keelokanmu, memuja setiap inchi dari pergerakanmu, dan apa kau ingat bahwa denganmu aku sanggup bercinta lama di bawah untaian kata? Heningmu adalah sunyi yang selama ini ku cari, tenangmu adalah ekstasi yang begitu menggiurkan untuk begitu saja di lewatkan. Aku menjadi pecandumu nomor satu. Hingga kemudian uluran tangan itu datang, engkau memintaku sebagai teman. Tidakkah saat itu adalah masa-masa paling membahagiakan dalam hidupmu juga? Oase yang selama ini kucari, hadir dalam sebuah tubuh tanpa balutan, tanpa tangan ataupun organ penunjang lain. Aku tahu yang kau tawarkan padaku bukanlah pundak atau pun sapu tangan, engkau bahkan tidak akan mengucapkan apapun penghiburan ketika aku tengah dalam masa sulitku, aku tahu, aku memahami itu. Engkau hanya akan terus mengalir, melihatku dan dalam cara-cara ajaibmu menunjukkan padaku tamparan berharga yang tidak sanggup di lakukan oleh makhluk bernyawa. Engkau benar-benar memahami kebutuhanku yang satu itu, bahwa  aku lebih menyukai alam untuk di jadikan kawan ketimbang makhluk sesama.

Dan apa kau menghitung seberapa lama waktu yang ku butuhkan untuk menelan pil pahit kenyataan bahwa engkaulah yang menyembunyikan ayahku di beberapa hari sebelum pernikahanku? Apa kau bahkan bertanya tentang apa kado pernikahan yang tepat kuinginkan darimu? Engkau tidak akan sanggup menjawab dalam bahasa yang ku mengerti, karena engkau hanya sanggup mengalir, memandang, lalu dengan cara-cara ajaibmu menunjukkan padaku banyak keajaiban.

Hari ini aku berduka, mencoba menuntaskan lara yang sekian tahun lalu di hadirkan oleh tangan tak terlihatmu. Engkau merenggut banyak mimpi kali ini, menyembunyikan pemiliknya dari mata dunia. Bukankah tindakan itu terlalu seperti pecundang? Sesekali bahkan retinaku menelurkan butiran asinnya, aku memahami apa yang mereka rasakan, betapa getir menghadapi perpisahan tanpa adanya ucapan selamat tinggal. Tidakkah cukup dengan ku saja? Tidakkah cukup menyajikan dukamu hanya untukku saja? Karena jujur saja, aku masih saja menemui goresan luka yang sama setiap kali mendapati engkau tengah menunjukkan kuasa.

Hening yang selama ini selalu menjadi obat penenang bagiku mendadak berubah menjadi begitu menyebalkan karena kebisuannya. Aku masih menginginkan jawaban, tentang pertanyaan kenapa perpisahan sanggup hadir tanpa di dampingi ucapan selamat tinggal, aku melalui banyak waktu hanya untuk mencari jawaban yang mungkin letaknya hanya ada di dasar jurang, atau mungkin di ujung jalan menuju ketiadaan, hingga untuk mencapainya akan di butuhkan banyak sekali pengorbanan.

Aku telah bersahabat dengan rasa mual, efek samping yang selalu hadir ketika aku mulai menunjukkan kepekaan. Dan tahukah engkau bahwa seorang teman mungkin bisa layak menerima satu permintaan? Bisakah mengajariku untuk menjadi sebisu dan setuli dirimu? Karena memang mengalir tidak semudah yang pernah ku pikirkan.