Rabu, 25 Maret 2020

Menyeberangi Pekat

Gelap dan berat. Dua kata yang mewakili perjalanku kali ini. Pekat dan sesak adalah dua perkataan yang mungkin bisa di gunakan untuk menjabarkan perasaanku saat ini.
Aku memasuki medan perang dengan bekal yang bisa di bilang sangat sedikit. Aku memasuki medan perang dengan banyak angan dan harapan tersimpan di belakang. 

Dulu ketika medan pertempuran masih jauh di ujung sana, melihat manusia lain telah bergerak cepat dan memasuki medannya lebih dulu, membuatku bertanya-tanya seperti apa rasanya di dalam sana. Ini kali pertama kakiku akan memasukinya, dan wajar saja jika aku bertanya. 
Aku tidak tahu bekal apa yang seharusnya kumasukkan dalam kantong belacuku. Aku tidak tahu harus memilah apa di antara sekian banyak yang harus kujadikan teman untuk perjalanan panjangku. Perang pertama memang selalu membuat gugup dan gagap. Tapi aku tetap bersiap. 

Aku melihat darah menggenangi tanah pertempuran. Tubuh-tubuh bergelimpangan. Beberapa ada yang bersorak dan merayakan, namun ada lebih banyak lagi yang memilih mengubur raga teman seperjuangan untuk melampiaskan rasa kemenangan. 
Seperti apa rasanya berada di tengah-tengah mereka? Akan menjadi pihak mana kelak jika aku resmi memasuki medannya? Ataukah menjadi yang merayakan? Menjadi yang megubur temannya? Atau justru menjadi yang di gotong lalu di timbun tanah oleh teman-temannya?  Aku begitu ingin tahu namun juga begitu ingin segera pergi dari setapak ini. Takdir yang di gariskan untuk kulalui. Dimana melalui jalanan ini ribuan orang telah lebih dulu melewati dan terpandu menuju medan bermandikan merah darah di depan sana. 

Aku meninggalkan banyak nama kusayangi di belakang sana. Mengikat mereka pada tiang kegarangan agar langkahku tidak tercegat oleh tangisan dan ratapan pilu mereka. Menangisi bukanlah cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan pada pejuang yang hendak maju ke medan perang. Tapi sebagian orang melakukan itu. Dan dalam kasusku, aku mengenali benar seperti apa bentuk hati sendiri. Jangankan melihat mereka membasahi setapak yang hendak kulewati dengan air mata. Melihat bunga kesedihan mekar di tengah-tengah retina mereka pun sudah berhasil menyurutkan baraku. Aku tidak akan bisa melakukan langkah pertama jika masih membiarkan mereka berkeliaran bebas, mengikuti semua jejak langkahku hingga batas pengantaran. Aku tidak akan setegar itu jika harus berangkat perang dengan di antar oleh air mata orang-orang terkasihku. Biarkan saja kuikat kaki dan tangan mereka, lalu kututup mataku sendiri dengan kain seadanya. Bukan mata mereka. Agar jika kelak perjalanan ini tidak berhasil mengantarkan ragaku pulang, mereka masih memiliki sedikit kenangan tentang betapa gagahnya langkahku menuju medan perang. 

Untuk itulah perjalanan ini di mulai. Untuk mereka nama-nama yang kusayangi. Bahkan jika gelap dan berat, bahkan jika pekat dan sesak tidak ada lagi alasan untukku kembali tanpa membawa kemenangan di atas pundak. 
Begitulah perjalanan ini di mulai. Perang melawan kegelapan yang akan menjadi ajang pertamaku mengayunkan pedang. Meski malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang, namun tak ada pejuang yang gentar dengan perang. Sekalipun yang harus di menangkan adalah kabut pekat yang memampatkan pernapasan. Sekalipun yang harus di menangkan adalah bayangan tak terlihat. 
Ini sungguh akan menjadi malam yang sangat panjang. 

Lelah menjadi menu makan malamku yang di nikmati terlalu dini. Dan lelah sepertinya juga akan menjadi santapan malamku dalam menjelang pagi. 

Perang ini baru kumasuki ujung pintunya. Aliran lautan yang begitu dalam dan kelam dan aku baru mencelupkan ujung jari kukuku untuk bisa mengerti betapa dingin dan membekukannya medan yang hendak kumasuki ini. 

Sudah bukan lagi waktunya untuk merenungi mimpi. Sudah tidak ada lagi waktu untuk menengokkan pandangan kepada jalan yang telah terlalui. Di depan sana, takdir terbentang seluas samudera. Memasukinya, mengarunginya, adalah cara terbaik dan terakhir untuk mengetahui apa yang tengah menanti di seberang sana. Bahkan jika ini adalah perjalanan terkahirku di atas bumi. Bahkan jika ternyata aku di gariskan untuk menjadi pihak yang di gotong lalu di timpa tanah hingga ujung lihatku. 

Jika saja sekali lagi bisa, aku ingin melihat mereka, nama-nama yang kusayangi meski hanya sekelebat saja. Aku tidak tahu perang akan datang secepat ini, aku tidak tahu jika jadwalku untuk memasuki medan perang adalah hari ini. Karena jika aku tahu sebelumnya, aku akan menahan siapapun untuk pergi. Karena jika aku tahu sebelumnya, aku akan mengerahkan segala daya agar bisa menahan mereka beranjak. Kesempatan terakhirku yang kusia-siakan dengan mengikat selembar kain hitam di atas mata. Berharap agar pemandangan terakhir yang terkenang dari mereka bukanlah wajah sembab berurai air mata. Berharap agar langkahku kian lantang menebas ketidakpastian jalan. Berharap mataku tidak melihat kesedihan mekar di ujung mata mereka. Tapi bahkan di kesempatan yang sempit ini aku masih melupakan sesuatu. Jika mata tertutup maka telinga akan melipat gandakan siaganya menjadi lebih peka. Dan aku memiliki rekaman jelas tentang bagaimana banyak kuntum bunga jatuh di depan langkahku ketika aku memulai perjalanan ini dulu. Tentang bagaimana aku memiliki rekaman tentang isak yang kutangkap lolos dari beribu dengung yang menyerbu gendang telingaku. Terkutuklah pendengaran ini. Jalan terakhirku untuk berpamitan dan mengucapkan selmat tinggal. Terkutuklah pendengaran ini. Yang berhasil merekam banyak momen perpisahan dengan di penuhi aroma kesedihan. 

Langkahku semakin maju. Bukan langkah yang kini tengah kuhitung, tapi tentang seberapa banyak tebasan pedangku tepat mengenai sasaran. Bayangan hitan busuk yang melayang-layang kesana kemari mengundang kemarahan. 
Aku harus menghabisi mereka semua. Aku harus melenyapkan musuh tak terlihat ini. Aku harus berhasil menyeberangi daratan berkolam darah ini. Aku harus pulang kepada mereka yang tak lelah menanti. Aku harus pulang demi memenuhi janji bahwa akan kuantar cenderamata dari peperangan ini. Bahkan jika yang kembali dari raga ini hanya bersisa separuhnya, bahkan jika yang kembali dadi pertempuran ini adalah raga yang dengan jiwa yang tak lagi sama. Aku harus kembali untuk mereka. 

Dulu aku selalu berkata jika manusia hendaknya jangan terlalu keras dalam mengadili. Sesuatu yang hitam tidak selalu benar-benar berisi pekat, sesuatu yang putih tidak selalu benar-benar berisi kemurnian. Dan kutukan yang di awal perjalanan kulayangkan pada telinga yang menggantung di kedua sisi kepalaku kutarik secepat kilatan pedang yang keluar dari sarungnya. Aku memiliki rekaman kenangan tentang mereka dan itu adalah pelita di tengah kegelapan yang semakin membaur dengan seluruh bumi. Aku memiliki rekaman tentang mereka, meski hanya berujud denting kuntum bunga yang jatuh satu langkah di depan sana, meski hanya berujud lolongan tertahan yang masih harus berbaur dengan lautan tangisan dan sesenggukan. Tapi aku mengenalinya. Dan keduanya telah beralih sebagai mantra. Bekerja sedemikian rupa menciptakan percik-percik bunga api yang terus menyala menuju bara. 

Aku harus kembali untuk mereka yang selalu menanti. Bahkan jika hanya separuh dari raga ini yang kembali, bahkan jika jiwa ini sudah tak lagi sama. Aku harus kembali pada mereka.


Akhir masih jauh di depan sana. Suatu tempat yang tak terlihat meski hanya ujung daratannya. Ramalanku sebelumnya telah bekerja. Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang. Bahkan malam-malam yang akan datang, bahkan siang yang menjadi gulita hingga menipu pandangan mengira gelap ini adalah malam. 
Mengakumulasi tentang apa saja penopang keberanian dan kebahagiaan selama ini adalah bagian terpenting dari sebuah peperangan. Dan aku melakukannya meski medan ini baru saja kumasuki. Ada hati yang perlu kukenyangkan terlebih dahulu sebelum tanganku menjadi kebas dalam mencengkeram pedang. Ada waras yang perlu kutenangkan terlebih dahulu sebelum kegilaan dari pekat ini membius dan mengantarku pada kekalahan. Bekal yang dulu selalu kupertanyakan. Pertanyaan tentang seperti apa rasanya berada di tengah-tengah medan perang. Aku mempunyai jawaban untuk semuanya, yang datang bersamaan dengan langkah kaki dan ayunan pedang. 

Tak ada lagi waktu untuk mengeluhkan beban. Tak ada lagi waktu untuk mengeluhkan cahaya yang kian temaram. Dalam kebutaan total segalanya justru kian menantang. Dalam kelelahan total kesadaran justru memberikan kekuatan.

Akan kumenangkan peperangan ini bahkan jika ragaku tak kembali dengan ujud utuh seperti semula. Akan kumenangkan pertarungan ini bahkan jika satu-satunya sinar yang bisa kunyalakan untuk menerangi kegelapan ini adalah dari tiap tetes-tetes darah yang kumiliki.

Pekat ini salah jika mengira aku segagap yang terlihat. Pekat ini salah jika mengira aku selentur pedang yang terayun kesana kemari menciptakan larik kilat kecil di setiap tebasannya. Aku lebih kuat dari itu. Aku lebih kuat dari yang dikira. 

Karena di balik kabut ini ada tangan-tangan mereka yang siap terulur menyambut kedatanganku. Karena di ujung kegelapan ini ada masa indah yang tengah menanti dengan banyak tawa dan celoteh yang sepertinya telah absen dari pendengaranku selama berabad-abad lalu. Karena di balik beban berat ini ada nama-nama yang telah mengucurkan mantra dan kata ajaib lainnya demi membakar bara di dalam hati. Bekal pertama yang tak akan pernah habis meski peperangan ini telah usai. Bekal pertama yang menjadi nyala di kala kegelapan total membungkus raga ini menuju puncak pertarungan. Bekal yang berubah menjadi janji akan kedatanganku di masa yang akan datang. Kepulanganku dari medan perang. Entah di ujung pagi yang keberapa, entah di sudut pagi yang mana. Karena sungguh tak ada yang lebih di nanti oleh kaum pejuang selain nyala matahari di ufuk sana, sinar pembawa harapan abadi yang tak pernah terkalahkan. Pagi yang di nanti. Pagi yang menyembuhkan. Semoga saja lekas datang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar