Senin, 09 Maret 2020

Tentang Menyerupai Manusia

Aku keluar dari selimut beku setelah sekian lama. Melalui cahaya biru yang sinarnya hanya menyirami sisi bumi bagian tertentu saja. Aku terlahir dari balutan kepompong semesta hanya dengan mengikuti sinarnya. Cahaya ungu yang kilaunya selalu jatuh lebih dulu ketimbang kilatan gunturnya. 

Telanjang, dan kemanapun mata memandang tidak pernah kutemui deru napas menghadang. 
Telanjang, dan kemanapun kaki melangkah tidak pernah kutemui detak jantung menyapu daratan. 

Terlahir ke samsara pernah menjadi hal yang ku cita-citakan ketika masih berada dalam embrio. Melebur pernah menjadi harapan yang terus berpacu bersama detak nadi agar kehadirannya cepat terwujud. Dan hari ini datang, ketika bebatan kain yang selama ini membalut akhirnya melonggarkan diri dan melepaskan.  Aku terlahir untuk dunia yang begitu senyap, aku terlahir pada dunia dengan di sambut semburat ungu dan biru yang berkilau terang di hamparan langit. Keindahan tak terperi pertama yang menyita perhatian dan lamunanku. Tapi berdiam diri bukanlah tujuanku. Aku harus melangkah, aku harus menemukan, aku harus mencari. 

Malu tidak pernah menjadi daftarku, urat satu itu sudah ada di dalam sana namun masih belum menunjukkan diri apa fungsi dan kegunaannya. Aku berlari, menyongsong butir-butir embun yang membanjiri penglihatan. Dingin adalah definisi pertama yang ingin kusampaikan. Seluruh tubuhku memerah seketika. Kebekuan tidak hanya memampatkan pernapasan, tapi juga merebus permukaan kulitku dalam kedinginan tak terkira. Tapi tak ada waktu untuk berhenti, atau sekedar menghangatkan diri. Tapi tak ada waktu untuk berhenti atau sekedar memikirkan nyala api. Pucuk-pucuk daun menyapa kulit, menghantarkan ucapan selamat datang bagi diriku seorang. Dimana peradaban? Dimana kehidupan? Harus berapa banyak langkah lagi aku mengarungi ketidak pastian hanya untuk menemukan keduanya. Aku terengah, napasku tercekat, selain dua sinar menakjubkan biru dan ungu di awal ku membuka mata, ternyata semesta pun memiliki cara unik tersendiri untuk menyambut para tamunya. Dan tetes-tetes embun yang menyentuhku secara berkala menjadi keajaiban selanjutnya. Kemurnian yang begitu agung. Ketenangan yang begitu alami. Seperti inilah bentuk semesta yang selama ini kudamba dan kurakit dalam setiap untaian mimpi. Oh, betapa aku telah terkenyangkan dalam seketika. 

Semakin jauh kakiku melangkah, menyusuri rerimbunan tanpa setapak, kebekuan yang semula menggigit perlahan melonggarkan cengkeramannya. Ada hangat samar yang perlahan melingkupi, aku mungkin sudah berjalan cukup jauh sekarang, hingga akhirnya kutemukan peradaban, hingga akhirnya kutemukan kehidupan. Dan di depan sana semua yang kucari terserak rapi dan mengagumkan. Inilah kehidupan. Inilah peradaban. Selamat datang. 


Aku mulai mengamati mereka, tentang bagaimana cara mereka menutupi ketelanjangan, bagaimana cara mereka mengenakan topeng, bagaimana mereka bercengkerama dengan sesamanya. Untuk melebur dalam sebuah kaum bukankah kita harus menyerupai mereka? Dan aku melakukannya. Topeng terbentuk seketika di tangan, untaian ribu benang menenun gaun panjang berwarna putih tulang, aku merasa hangat dalam kungkungannya, kehangatan yang samar. Aku menyerupai mereka namun ada hal yang sama sekali tidak bisa kulakukan. Yakni mengenakan topeng. Aku terlahir dengan raut tanpa ada emosi yang bisa tertuang di sana. Tidak ada gambaran, tidak ada antusias, sedih ataupun sebaliknya. Sementara peradaban di sana berjalan dengan satu topeng konstan yang merata, yakni menunjukkan raut bahagia. Di antara begitu banyak racikan emosi yang pernah ada, dan mereka memilih untuk mengenakan topeng satu itu. Entah kenapa. 

Gemerisik gaun sewarna tulangku adalah satu-satunya penanda bahwa ada kehidupan di sana, sekarang aku tahu apa yang kurang dari penyamaan misi ini, menapakkan kaki dan membuat kebisingan dari setiap langkah yang di buatnya. Dan voila, aku berhasil mengimitasi keberisikan cara berjalan mereka.
Sebentar lagi dan aku akan menemukan sesuatu yang selama ini kucari. 
Sebentar lagi dan aku akan menemukan sesuatu yang selama ini menghilang. 
Sebentar lagi semua tujuanku terlahir ke dunia akhirnya menemukan alasannya.
Menjadi manusia yang benar-benar manusia.


Harapan melambung begitu cepat seiring kebisingan yang hinggap di indra pendengaran.
Aku sampai pada tujuan, namun masih berada di ujung mulut dari keseluruhan harapan. 
Anak kecil berambut hitam legam adalah yang pertama menyadari keberadaanku. Matanya menunjukkan keterkejutan, tapi kemudian senyum kecilnya mulai menyambutku. Untuk sesaat aku merasa aman.
Aku melenggang sehalus yang bisa kuamati dan kupraktekkan. Aku melangkah seberisik mungkin agar bisa menyaru dengan manusia-manusia sekitar. Bibirku menyunggingkan senyum semanis yang bisa di kerahkan. Di perpotongan jalan tadi aku menyerah dan membuang begitu saja topeng yang harusnya kukenakan, jika manusia terbiasa dengan topeng berwajahkan bahagia kenapa mereka tidak bisa menerima kehadiranku yang tanpa raut apa-apa? Ya, emosi bukan bagian dari diriku tapi aku akan berusaha.

Seperti ini rupanya wajah kehidupan, seperti ini ternyata raut peradaban. Manusia-manusia begitu manis, begitu mengejutkan dengan keramahan dan keterbukaannya. Aku menangkap banyak sekali emosi yang terbang di udara, tapi seberapapun kuatnya mereka, hanya ada tawa dan senyum manis yang terus menyerbu pandangan. Oh dunia, setebal ini ternyata topeng yang di kenakan manusia. Koki dari dapur agung yang mengolah begitu banyak perasaan, sayang hanya hidangan penutup yang bisa mereka sajikan. Makanan manis dan kelebihan manis yang terutama sekali sangat dipuja dan selalu di sukai oleh anak-anak. 

Aku terlena seketika. Untuk sesaat aku merasa telah menjadi manusia seutuhnya, mulutku akan menarik bibirnya otomatis begitu retinaku bertabrakan dengan milik manusia lain. Untuk sesaat aku merasa bahagia, emosi samar yang tertangkap karena terbawa euforia. Untuk sesaat aku merasa telah di terima sebagai manusia seutuhnya, ketika yang membedakanku dengan manusia-manusia lain hanyalah rambut sewarna platinum dan gaun berwarna putih tulang milikku saja. 
Aku melangkah dengan begitu alami seperti telah kutapaki bumi ini sekian waktu lamanya. Dan meski terkadang kutangkap tatapan yang secara sembunyi-sembunyi di lemparkan padaku, aku tidak melihat ancaman dari semuanya. Langit benar-benar berhujankan rantai emosi penuh warna-warni dan dari kesemuanya sulit untuk merunut dan mengungkapkan apakah benar-benar ada bahaya di sekitar. 

Oh langit, oh bumi, demi pohon tertua di bumi ini, dan dari semua yang pernah kutemui kenapa pandanganku selalu tertuju pada satu hal itu saja? alam semesta yang begitu mempesona, dan sepertinya aku jatuh cinta pada hampir separuh isinya. Bintang yang bersinar di tengah gelap yang kian memekat. Mentari yang membanjiri seluruh daratan tanpa terkecuali. Refleksi jatuhnya kegelapan yang terpantul di kejernihan danau malam. Jalanan lengang yang panjang berliku membelah perkebunan padang canola berwarna cerah. Bahkan aku jatuh cinta pada ilalang yang tumbuh liar di tanah bekas perkebunan. 
Makhluk tanpa emosi yang dulu selalu mempertanyakan seperti apa kehidupan dan peradaban perlahan mulai menikmati jalan menemukan jawaban. Kulit pucat yang dulu hampir-hampir terlihat transparan di awal kelahiran mulai menunjukkan pigmen-pigmen warna. Hangus bukan kata yang tepat, tapi sinar mentari jelas bertanggung jawab banyak akan perubahan warna kulitku. 

Sekian lama membaur dengan manusia, berupaya menyerupai mereka, membuatku hampir lupa tentang darah apa yang mengalir di bawah lapisan kulit ari. Dan manusia membangunkan keterlenaanku hampir sekian tahun sejak waktu kedatangan. Ya, aku hampir linglung dengan konsep waktu yang di usung manusia. Dalam balutan kepompong semesta waktu tidak memiliki sekat, apa itu jam, apa itu hari, apa itu bulan dan tahun, semua terlewati dalam satu dua masa penuh emas dan musim yang abadi. Realisasinya adalah kemarin ketika langit tengah bermandikan warna biru tanpa sedikitpun lompokan awan. Beberapa manusia datang bertamu dengan membawa seonggok senyuman dangkal. Topeng masih setia menempeli wajah mereka, tapi di udara berhasil kupilin garis emosi bercampurkan sedikit bahaya. Entah hal apa yang kiranya mereka bawa, namun sedikit antisipasi perlahan merangkak naik ke permukaan. Terjadinya begitu cepat ketika kudapati diri manusia-manusia itu ambruk seketika di hadapanku. Total kuhitung ada tiga manusia yang tergeletak begitu saja, tanpa nyawa, tanpa baret luka. 

Aku menyalahi aturan, aku tahu bahwa keberadaanku sudah tidak lagi aman. Manusia-manusia malang itu mencoba menggali emosi yang tak pernah ada, manusia-manusia malang itu mencoba mengorek informasi tentang keaslian diriku. Hingga tanpa sadar aku bertransformasi menjadi sesuatu bercakar yang tidak pernah siapapun duga akan ada dalam diriku. Ujud lain yang aku sendiripun tidak tahu. 

Aku berlari menembus kegelapan yang datang tiba-tiba. Gaunku terciprati banyak lumpur yang kubangannya tak sengaja terinjak langkah kaki. Dalam waktu singkat aku berhasil melihat pilinan jaring tebal mengangkasa, menyaingi gelapnya awan di atas sana. Aku melihat kemarahan, sesuatu yang jarang sekali kulihat dari manusia-manusia bertopeng wajah bahagia. Aku melihat kebengisan menyapu daratan. Catatan perjalananku sebagai manusia tidak pernah menuliskan tentang betapa mengerikannya emosi manusia satu itu. Dan aku begitu terhenyak untuk sekian waktu. 
Aku belum lulus benar dalam mempelajari konsep salah dan benar dalam peradaban manusia. Tapi aku meyakini bahwa keputusan ketiga manusia itu untuk menggali emosi dalam diriku bukanlah sesuatu yang bijak apalagi tepat. Aku mengabaikan tentang penyamaran, aku mengabaikan tentang kebingungan, kemarahan dan kepanikan yang tengah melanda bumi. Fokusku kini hanya satu, mencari ujung tangga yang akan membawaku kembali menuju pelukan semesta. Kepompong abadi yang konon di sebut manusia sebagai surga. Dan aku menemukannya. 


Kepada daun-daun sewarna emas yang berjatuhan di pangkaun, kepada mereka kisah singkatku sebagai manusia mulai mengalir perlahan. 
Aku telah di beri kesempatan, untuk melebur, untuk membaur, untuk menyerupai. Peradaban dan kehidupan yang selama ini kukira akan begitu dramatis dan menakjubkan justru membawa banyak sekali kejutan. Menemukan diri kembali telanjang seperti menghadirkan sengatan. Manusia-manusia bumi berhasil menorehkan sedikit jejak emosi dalam waktu singkat. Aku kembali menjadi si makhluk tanpa gambaran, tanpa emosi, tanpa antisipasi. Senyum yang sekian waktu terukir konstan di wajah tidak meninggalkan jejak sama sekali. Aku benar-benar telah kembali. 


Kehidupan manusia layaknya sekelumit mimpi yang datang di sela-sela tidur panjang. Suatu saat meski entah kapan siapapun akan mengakhirinya, siapapun akan terjaga. Peradaban dan kehidupan. Aku muak dengan topeng-topeng itu, merasa bisa mencopot kesemuanya dari setiap wajah yang kutemui, hanya agar bisa melihat dengan pasti perasaan mereka tanpa harus ada yang di sembunyikan dan di tutup-tutupi. Kebenaran yang mereka dengar dan punya adalah sesuatu samar yang letaknya begitu dangkal, siapapun bisa melihat, siapapun bisa memindah letakkan, siapapun bisa membalik dan membuangnya. Kebahagiaan yang mengelilingi mereka tidak cukup untuk mengajari bahwa sesuatu yang murni tidak selalu harus berwarna putih dan jernih. Terkadang hitam dan telanjanglah yang menjadi pemenang meski podium tidak pernah mengijinkan keduanya untuk naik ke atas dan mengangkat trofinya. Manusia tidak mengenal warna transparan, alasan kenapa kedatanganku di bumi membutuhkan sebuah gaun, selain agar kedatanganku di terima juga untuk membentuk sebuah nyata yang bisa masuk dalam kategori mereka. 

Aku merasa muak dengan senyum-senyum itu. Lengkungan bibir yang tidak menyampaikan kebenaran apa-apa. Ketika aku mengira bisa mengelabui manusia dengan menyamai mereka, nyatanya tidak semudah itu. Manusia menangkap gelagatku yang kian menyimpang dari kebiasaan mereka. Tentang kenapa aku selalu menghindari kerumunan, tentang kenapa aku selalu menghindari adanya keramaian. Peradaban sebenarnya yang menyimpan perisai kasat mata, dan hatiku melarang untuk mendekatinya. 
Alasan lain untuk menghindari terkuaknya fakta tentang siapa diriku sebenarnya. Cukup tiga raga yang menjadi penanda bahwa aku bukan manusia seutuhnya, cukup tiga raga untuk membuatku berhenti melakukan perjalanan dan pencarian tentang adanya kehidupan dan peradaban. Karena aku telah menemukan, pemahaman bahwa sebaik apapun aku menyamai manusia, meniru kebiasaan-kebiasaannya, darah di balik kulit ari tidak bisa membohongi, bahwa aku bukan bagian dari mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar