Selasa, 31 Maret 2020

Langkah Kelima

Tidak ada parang atau pedang yang menjadi penghubung untuk ikatan ini. Tidak ada sumpah atau mantra yang mengikat aku dan Ari. 
Semua terjadi begitu saja. Aku menawarkan padanya sebuah hubungan lalu Ari mengiyakan. Sesingkat itu. Tanpa ada drama, tanpa ada bunga ataupun kata-kata. 

Skenario seterusnya berlanjut dengan sedikit berbeda, ada tambahan bumbu di dalamnya. Ari yang dari awal sedingin butiran salju tetap saja seperti itu, tidak ada rencana atau tanda-tanda ingin menjadi air yang mengalir terlebih lagi menjadi air di dalam panci dan berada di atas tungku penuh api, menjadi air yang menghangatkan. Aku yang meminta, menuntut Ari agar bisa lebih menghayati perannya dalam sebuah hubungan. Dari sinilah drama itu di mulai. 

Tumbuh semakin besar dengan di suguhi berbagai macam hidangan tentang Korea membuatku haus akan segala drama yang di sajikannya. Pengakuan adalah hal pertama yang kuinginkan dari Ari. Maklum saja, ini hubungan pertamaku, dan tidak seperti pada umumnya gadis-gadis akan mendapati hatinya tumbuh di usia yang relatif muda, terikat, patah lalu tumbuh lagi, terikat lagi, patah lagi lalu tumbuh, begitu seterusnya. Ini ikatan pertamaku, benar-benar yang pertama. Bukannya aku tidak pernah mendapati sesuatu tumbuh di dalam hati, tapi apapun itu akan patah lebih dulu sebelum sampai pada sebuah ikatan, sekali, dua kali, aku mempunyai banyak pengalaman tentang gagal tunbuhnya benih di dalam hati. Keadaan yang otomatis membuatku menjadi si posesif dan si buta tak tertolong. Aku tidak tahu cara bermain dalam sebuah hubungan, apa saja peraturannya, apa saja pantangan dan yang di sarankan. Hubungan pertamaku menjadi ajang pembuktian akan drama yang dihidangan dari Negeri ginseng sana, yang kutelan bulat-bulat tanpa pernah bersusah payah mengunyahnya. 

Aku kehausan di tengah jalan, sementara Ari tetap bersikap manis dan beku seperti biasa, tapi aku membungkam diri, membiarkan rasa itu kian membakar dari dalam sana, dan sampai pada titik dimana aku hampir sekarat karenanya. Tetesan air yang kuharap akan meluncur dari sikap Ari, hanya menyisakan kekecewaan semata. Aku bukan yang pertama dalam hidup Ari, sebelumnya ada beberapa nama, Ari jelas saja sangat berpengalaman dalam menangani dan bertindak dalam sebuah hubungan. Aku yang buta, aku yang tak tahu apa-apa. Kubiarkan diriku tersesat dalam pengharapan-pengharapan kosong, kubiarkan diriku tersesat dalam drama yang tak mungkin akan terjadi di dunia nyata, terlebih jika Ari adalah lawan mainnya. Dia benar-benar menyalahi segala standar romantis yang pernah kubaca dan kulihat di layar kaca. 

Tapi Ari bertindak, tapi Ari menunjukkan aksi. Kompensasi atas segala depresi yang kulalui sendiri selama sekian waktu. Tetesan salju itu perlahan menemui titik lelehnya. Ari mulai berkata-kata meski tetap tanpa untaian bunga. Kali pertama Ari menunjukkan pesonanya dan aku jatuh seketika di dalamnya. Skenario berlanjut dengan di bumbui semakin banyak drama. 


Pengakuan sudah ada dalam genggaman, yang selanjutnya kuinginkan adalah menguasai. Serakah, aku paham benar kebenaran satu itu. Tapi saat itu aku merasa hanya memiliki cangkang yang membungkus Ari. Ada kedalaman yang terus di lindunginya agar tidak bisa kumasuki. Sesuatu tentang Ari yang tidak benar-benar kuketahui. Sesuatu tentang Ari yang ingin segera kumiliki. Aku memaksa, aku menuntut, tapi sadar benar bukan cara itu yang akan membuka Ari dari ketertutupannya. Aku harus melakukan pendekatan dengan cara lain, jika ternyata yang di sembunyikan Ari adalah emas berharga, maka mungkin akan membutuhkan lebih dari sekedar sabar untuk mendapatkannya. Dan lagi-lagi aku terbakar sendiri oleh tantangan yang di berikan Ari. Aku ingin segera menaklukkan puncak itu, kemustahilan yang menguras waras dan juga isi hati. Aku hampir menyerah pada semuanya. Pada ikatan pertamaku. Pada hubungan dengan si manusia beku. Menyerah pada Ari. 
Tapi lagi-lagi drama terjadi. Aku mulai jatuh cinta pada Ari. Petualanganku dalam mengenal, menjelajahi dan ambisi untuk menaklukkan Ari ternyata membuahkan sebuah rasa yang kelak akan mengubur semua identitasku. Aku jatuh cinta pada ikatan pertamaku. Manusia buta yang bersanding dengan si manusia beku. Jika awalnya aku mengira hubungan ini akan menjadi yang pertama dan akan menghadirkan rangkaian patah lalu tumbuh lagi seperti yang umum di lalui para gadis-gadis, ternyata aksi Ari dan kata-katanya yang meski tetap tanpa di sertai bunga telah menciptakan pemahaman lain. Ada ikatan di dunia ini yang memang tercipta tanpa sama sekali dikalungi untaian bunga. Ada ikatan di dunia ini yang memang tercipta dan tidak sedramatis yang ada di film-film Korea. Dan baru belakangan ini aku menyadari bahwa ternyata bukan drama Korea yang menggambarkan kehidupan nyata, dan justeru kebalikannya. Tidak ada kisah nyata di dunia yang semanis drama Korea, dan baru belakangan ini juga aku mendapati pemahaman betapa Ari adalah cerminan dari laki-laki idaman yang selalu di teriakkan para wanita. Ikatan pertamaku memberikan bonus tak terduga, keberuntunganku karena telah berhasil menaklukkan puncak yang di suguhkan Ari. Kebekuan yang telah melalui masa lelehnya, mengalir sedemikian rupa menuju kolam penuh siraman panas matahari. Kehangatan yang kuharapkan hanya bersifat sementara ternyata di taburi panas abadi. Aku tenggelam seketika, dalam kebahagiaan yang mendera. 
Drama belum berhenti. Masih ada banyak dan sepertinya tidak pernah ada hari yang akan terlalui tanpanya, tanpa drama, tanpa bumbu yang menjadi perekat bagi ikatan yang sering tiba-tiba merenggang ini. 

Aku menemukan palung itu. Kedalaman yang selalu di sembunyikan Ari selama ini. Realisasinya tercipta pada banyak malam tanpa benang yang kami lalui bersama. Jika awalnya aku mengira kedalaman itu tersembunyi di ruang yang tak bisa kusentuh dan kujelajahi, ternyata aku salah. Kedalaman itu ada pada kebungkaman yang selama ini terus menyelimuti ikatan ini. Kesempurnaan dan kebaikan yang selalu di junjung teguh dan di harapkan akan menjadi tiang pancang bagi menara dalam hubungan ini, ternyata justeru menjadi jurang pemisah antara aku dan Ari. Baru ketika kata-kata semakin banyak meluncur, baru ketika kekurangan-kekurangan perlahan merembes keluar melalui banyak kata, saat itulah ketelanjangan mendadak menjadi tangga menuju jurang yang kedalamannya tak terlihat dan tak terduga. Akulah yang menciptakan ruang, si bisu yang terus mengais cara untuk memasuki palung dan jalan tersembunyi menuju kesana hadir ketika si bisu ini mengakhiri kebiasaannya dalam menelan kata-kata.

Ikatan membutuhkan lebih dari sekedar dua raga tanpa benang untuk bisa saling terhubung, ikatan membutuhkan lebih dari sekedar perasaan telanjang untuk bisa mengenali satu sama lain. Kata-kata tetap harus di muntahkan. Di telan hanya akan menciptakan jurang. Dan mengutarakan adalah jalan terbaik untuk menuju kesempurnaan hubungan. Sesuatu yang jarang di ketahui oleh pemikiran umum. Bahwa sempurna tidak berati harus sesuatu yang utuh, tanpa celah, tanpa retak, sempurna bukan berati harus sesuatu yang berbau wangi, berwarna putih dan bertekstur halus. Sempurna bisa jadi adalah tentang lubang-lubang menganga. Kesempurnaan bisa jadi tentang perasaan menerima celah yang tak mungkin bisa tertutupi dan tak mungkin juga di tiadakan. Kesempurnaan dalam sebuah hubungan adalah tentang menerima kekurangan. Butuh lebih dari sekedar sabar untuk bisa sampai pada tahap itu. Kesempurnaan ikatan, yang selalu di idam-idamkan oleh semua pasangan. Dan aku beruntung karena tidak hanya telah melewati tapi juga telah melalui tahapan-tahapan keramat yang di suguhkan hidup untuk mendapatkan Ari.
Langkah kaki ikatan ini yang telah sampai pada hitungan lima. Dan aku masih belum menemukan kata yang pas untuk menggambarkan betapa aku bersyukur karena telah menawarkan sebuah hubungan di awal kepada Ari. Dan bukan kepada nama yang lain. 

Drama tidak pernah luput untuk hadir, drama tidak pernah alpa untuk membumbui. Ikatan yang semula hanya berupa tawaran tanpa tujuan mendaki sebuah hasil yang begitu di nanti. Kesempurnaan yang begitu diminati. Dan meski tak ada parang dan pedang yang menjadi pengikat hubungan ini. Tapi di sana tertoreh banyak luka, di setiap inchi, di setiap lekukan. Hanya saja semua luka itu terbahasakan. Hanya saja semua luka terkatakan. Kata-kata yang tanpa bunga tapi lebih bekerja ketimbang bunga yang di bungkus kata-kata. Tentang keunikan Ari dalam memahami si buta dan si bisu satu ini. Tentang kekuatan Ari untuk melelehkan diri demi sebuah kehangatan yang di harapkan mengekal. Dan langkah kelima barulah sebuah awal untuk perjalanan yang sangat panjang. Dan langkah kelima adalah sebuah lompatan besar bagi si buta dan si bisu dan juga si beku. Tiga nilai minus yang menjadi penopang bagi adanya kesempurnaan hubungan. Ikatan yang di harapkan sempurna hingga akhir masa. Semoga saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar