Rabu, 04 Maret 2020

Berjalan

Aku berjalan keluar pekarangan, berharap jalanan yang dingin bisa menangkapku tanpa kami harus terlebih dulu bersentuhan. 
Aku berjalan menuju langit gelap tanpa kerlip bintang, berharap kesenyapannya bisa membiusku tanpa kami harus terlebih dulu beririsan. 
Aku mencari dan terus mencari tempat terbaik bagi makhluk yang tidak pernah bisa bertahan pada adanya sentuhan, irisan. 

Bahkan ketika sayapku mulai mengembang, menerbangkanku menuju awan, di sana masih ada bulir-bulir air yang akan menyiramiku dengan begitu ganas dan tanpa ampunan. 

Kemana, harus melangkah kemana hati yang tak pernah bisa berteman? Harus melangkah kemana kaki yang selalu enggan menemui adanya pertemuan?

Dingin, udara dari segala penjuru sepertinya berkomplot untuk menyerbu di manapun aku berdiam. Tak ada celah, apalagi ruang. Semua terkurung dalam ujung saluran mampat yang memblokir segala jalan.

Aku berharap bisa memiliki rumah dimana di dalamnya tak ada kompromi, tak ada pengertian. Yang ada hanyalah tangan terbuka, siap memeluk apa saja, siap menelan apa saja. 
Tapi memiliki rumah seperti itu membutuhkan lebih dari sekedar harga mahal. Tapi memiliki rumah seperti itu membutuhkan lebih dari sekedar pengorbanan. 
Aku terbaring dengan mata terpejam erat, berharap dengan menutup mata bisa sekaligus menutup semua pintu pengantar rasa. Tapi satu, dan hanya satu yang tak pernah bisa terdiam sepanjang waktu, bahkan ketika tengah terlelap dia masih bisa menelusup masuk lewat mimpi tanpa ucapan. Sebuah nama yang mendiami isi kepala, berlarian dari satu ujung sel ke ujung sel yang lainnya, berenang-renang dengan tanpa beban dari satu aliran darah menuju cekungan di sisi lainnya. Sebuah mulut yang tidak pernah bisa di bungkam meski segala daya dan cara telah di kerahkan. Dia yang bertanggung jawab atas segala karut marutnya indra perasa yang menempel di sekujur tubuh. Dia yang menciptakan perasaan anti sentuhan, perasaan anti irisan. 

Jalanan tidak akan pernah terdengar lengang lagi sekarang, langit gelap tidak akan pernah terlihat sunyi lagi mulai sekarang. Karena dia yang begitu rapuh seperti mekarnya bunga ilalang dewasa, yang akan pergi begitu angin datang, yang akan meluruhkan diri ketika terkena sentuhan. 
Kaca masih beruntung karena memiliki volume untuk menahan beberapa beban, setidaknya tidak ada kaca yang akan pecah karena kejatuhan daun kering. Dan dia lebih berbahaya dari sekedar itu. Dia lebih rapuh dari sekedar semua itu.

Ketika semua daratan di bumi ini mendadak memiliki kerikil di atas permukaannya. Ketika semua benda di bumi ini mendadak memiliki ujung lancip pecahan kaca, saat itulah aku ingin menangis, meraung hingga tergugu, menyadari kenyataan bahkan dia yang berdiam di ujung kepalaku sendiri tak bisa kurengkuh, kutenangkan, apalagi kumenangkan. Hanya aku dan dia, yang memahami betapa sangat menyiksanya keadaan ini, betapa berbahayanya hidup ini sebenarnya. 

Aku berjalan gontai menuju arah yang tak di rencanakan. Hanya melangkah, dan terus melakukannya. Mati rasa bukan pilihan yang terbaik, tapi bahkan kita tidak pernah bisa memilih efek samping apa yang akan di bawa oleh sebuah kejadian. Dan aku mengalaminya. Perasaan pertama yang datang begitu kuat dan hadir secara konstan dari waktu yang terlupakan hingga waktu yang bisa di kenang. Aku mengalaminya atau mungkin memilih, lebih tepatnya.

Beberapa tempat yang kudatangi menguarkan aroma tak terbendung, yang membuatku harus mengeluarkan isi perut seketika. Beberapa yang lain bisa melakukannya hanya dengan melalui pandangan saja. Lambungku baret saat itu juga. 

Aku ingin menundukkan kepala, menengadah membuatku buta, aku bahkan ingin menghentikan langkah, tidak terjatuh, tapi juga tidak berada dalam dekapan apa-apa. Perasaan telanjang saja tidak cukupan untuk merangkum semua keinginanku. Lalu jika telanjang saja tidak bisa, hal lebih polos apalagi yang bisa mengungkapkannya? 

Rumah oh rumah, betapa aku sangat mendambamu, tempat dimana aku bisa melepaskan pundak dan memereteli bagian tubuh lainnya untuk di letakkan di meja dan di istirahatkan barang sebentar saja. Rumah oh rumah, betapa aku sangat mengharapkan ujudnya menjadi nyata. Aku tidak membutuhkan bangunan, ataupun raga. Aku tidak membutuhkan pekarangan ataupun belas kasihan. Aku bahkan tidak membutuhkan semua hal yang di angan-angan kan oleh begitu banyak orang. Hanya kekuatan untuk menelan, hanya keinginan untuk melahap. Itu saja.

Jika aku menyerah, apa kiranya hal yang akan menjemputku? Identitas baru? Ataukah kekuatan baru? Jika aku ingin melebur bersama kelopak bunga ilalang dewasa, kira-kira apa hal terbaik yang bisa kuterima? Jatuh ke tanah lalu terinjak oleh siapapun yang melewatinya? Atau terbang jauh mengelilingi lautan awan? 
Bahkan bangunan terkuat pun terkadang ingin meruntuhkan dirinya sendiri kadang-kadang. 

Aku menemukan cahaya di pertigaan kedua. Dia datang menawariku bangku peristirahatan. Mencoba mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan sebelum akhirnya dia menyadari bahwa akulah si tak tersentuh, sebuah nama yang begitu ingin di hindarinya. Rautnya menunjukkan ketertarikan untuk mengetahui alasan kenapa aku terlunta di telan gelap. Di balik keengganannya bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa dia benar-benar ingin mengetahui kenapa aku berkeliaran sebegitu jauh dari pekarangan. Tapi aku tak memiliki jawaban. Meski kerongkonganku gatal untuk melepaskan arus yang tertahan, tapi tetap tak ada kata-kata yang bisa keluar untuk menjelaskan. Bahkan cahaya pun enggan menyertai kebekuanku. Bahkan cahaya pun enggan melumatku menjadi serpihan kunang. Satu lagi alasanku untuk tidak bersentuhan, satu lagi alasanku untuk kian memeluk pekat. 

Darah, oh darah. Masihkah engkau di sana? Mengangkut segala bara yang tersisa? Karena jujur saja aku lupa kapan terakhir kali merasakan hangat yang membanjur di setiap helaan napas. Darah, oh darah. Masihkah engkau di sana? Memompa tempat yang selalu haus akan adanya tekanan? Karena jujur saja aku lupa kapan terakhir kali merasakan getaran di setiap deguban.
Darah, oh darah. Tolong jangan melarikan diri dari tanggung jawabmu. Tolong penuhi semua tugas dan kewajibanmu. Tak apa jika aku tak pernah lagi merasakan getaran, tak apa jika aku berhenti menerima sentuhan apalagi kehangatan. Karena mati rasa telah menguasaiku. Karena mati rasa telah memilih untuk mendekap erat telapak tanganku. Bersama kami akan melayang, pergi kemanapun tempat di mana tak ada sentuhan yang akan membuatku terluka sampai menitikkan air mata. Bersama kami akan menghilang, di telan apapun yang tak pernah melayangkan protes apalagi keluhan. Karena jujur saja aku sudah sampai pada tahap putus asa. Untuk mengerti, untuk memahami, untuk mencoba. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar