Minggu, 23 November 2014

Mencerna Spasi, Titik dan Koma

Petang ini, kembali aku terdiam menatapi atap bambu bergaris dikamar. Membuka dan memahami kembali isi tiap halaman rumah atau yang biasa kalian sebut blog, tempat ini. Lama..aku mencermati tiap keping judul hingga remah per baitnya. Aku ternyata serumit tulisanku, mungkin. Karena jujur saja aku harus menyingkirkan berbagai suara hingga dengung sekitar hanya agar pendengaranku sanggup intensif meraba apa yang sekiranya tengah dilahap sang retina.
Aku penulis. Bukankah? Aku tidak yakin. Aku adalah salah satu yang percaya bahwa menjadi penulis adalah kewajiban untuk juga memiliki serbuk ajaib pemanis kata, mantra yang digadang sanggup menjadi sirep bagi pembacanya agar demi apa yang tengah disampaikan tidak hanya sampai kepada mereka, tapi juga menjadi hidup dan bernyawa bagi otak mereka. Dan aku tak memiliki kemampuan untuk menyihir. Jangankan menjadi penyihir, percaya mereka itu nyata dan ada saja masih diragukan. Aku pasti bukanlah penulis. Sekalipun aku pernah membahasakan tentang Kura dan Pemancing Sayu-nya pada suatu hari yang telah lalu, sekalipun pernah kuracik juga dengan apik dan telaten rasa rindu menjadi Semangkuk Cinta Dalam Semur Tahu, sekalipun pernah kucengkeram nyawa seseorang melalui paragrafku yang panjang dan melelahkan. Aku tetaplah bukanlah penulis dengan segala label itu. Yang selama ini kulakukan adalah hanya sekedar membahasakan. Menciptakan tali bagi hati juga hariku yang senantiasa butuh mulut untuk menyalurkan apa yang tengah terasa.
.
Cinta, apa yang menjadi definisi bagi kalian tentang kata satu itu? Akankah ia adalah bumbu? Ataukah dzat maha agung? Atau sekedar kerikil ditengah sungai? Kenapa setiap orang berlomba-lomba menciptakan plang tanda kepemilikan pada ia yang disebut cinta? Akankah cinta memang hadir hanya antar sesama? Sesama manusia yang mengerti, sesama manusia yang sejenis, sesama manusia yang sepihak. Akankah arti cinta memang memiliki makna sesempit itu? Kali ini, maukah mendengar sekelumit singkat tentang penjelasanku? Aku memaksa kalian untuk menjawab, ya.
.
Cinta, sejujurnya terlalu naif untuk bercerita tentang kata satu itu. Aku mendapatkan cinta dari pencipta agungku. Aku menerima cinta dari mereka yang melahirkanku. Aku mendapat cinta dari bocah-bocah kecil yang ku senyumi saat sebelum masuk gang rumah. Dan yang pasti, aku menerima cinta dari kekasih juga mereka yang menyayangi dan menerima kehadiranku. Termasuk juga dari jajaran binatang yang kupelihara dipekarangan rumah, aku tau mereka mencintaiku. Makanan yang kusediakan setiap pagi selalu tandas tak bersisa dan itu adalah bukti nyata adanya cinta.
Cinta itu luas, keluasan yang tak akan sanggup dicernakan manusia kedalam bahasa sekalipun oleh pujangga. Ya, didunia ini memang ada rasa yang tak sanggup dicerna oleh logika. Termasuk ketika aku sepertinya memiliki ikatan dengan para aksara. Aku mencintai paragraf, dari tiap keping kata hingga titik, spasi juga koma. Tak ada yang paham seberapa gilanya aku pada mereka-aksara itu. Untuk itulah rumah ini tercipta. Tempat yang kalian sebut blog, adalah tak lain sebagai kanvas bagi berlimpah ruahnya imaji juga inginku merunut kata per kata. Aku mencintai bagaimana sejumput nada dalam bait tulisan sanggup menghadirkan nyawa, sanggup juga menyuntikkan nutrisi bagi jiwa yg selalunya haus akan asupan. Aku menulis ketika tengah menunggu penanak nasi selesai dengan tugasnya. Aku menulis ketika dingin mulai mengetuk tulang menyampaikan kabar gembira bahwa ia telah berhasil menembus daging dan kulit ari. Aku menulis ketika atmosfir mulai menggigit melalui tatapan mereka yang penuh amarah dan keangkuhan. Aku bahkan menulis ketika semua baik-baik saja.
Ketika gelap malam selalunya melapor padaku tentang kejamnya kalian meracuni pendengarannya dengan keluh dan desahan. Maka gelap malam juga melayangkan protes padaku yang memaksanya menjadi saksi bagi sesi bercintaku dengan tulisan. Menangkapi banyak tanya tentang apa dan kenapa diudara. Merogoh saku demi memunguti remah spasi juga kepingan koma. Melumat banyak aksara hingga sanggup dicerna oleh banyak mata dan nama. Ya, aku cinta aksara. Mereka membuatku merasakan berharga dengan terus menghadirkan diri. Mereka membuatku sehat dengan jalan menyalurkan apa yang kiranya menjadi penyumbat. Mereka membuatku nyaman pada adanya kesepian yang mencekam. Pada akhirnya, memang ada rasa didunia ini yg tak sanggup dicerna logika.
.
Kembali pada pernyataan awal kenapa ketikan ini tercipta. Jadi sebenarnya apa yg menjadikan sebuah tulisan bernyawa dan menjadikan si empunya berlabel kata si penulis? Benarkah memang diperlukan adanya serbuk sihir demi memantrai si pembaca agar bisa tersambung dan merasakan? Bagaimana jika yang aku punya adalah rasa? Cinta pada jajaran aksara yg kerasionalannya masih kucari. Apapun itu, aku adalah yang seperti ini. Hadir dalam kerumitan dimana memang dibutuhkan lebih dari sekedar ada, dibutuhkan lebih dari sekedar mata untuk meraba dan mencerna. Aku tak memaksa dunia paham. Tentang siapa aku dan tulisanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar