Sabtu, 15 November 2014

Aku Ingin Pulang

Sajak mencuat dari jajaran kata. Menyanyikan rintih yang tak bernada. Dan sungguh tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang kesedihan yang tak bisa ditangiskan.

.
.

Aku pernah memasuki dimensi waktu, saat dimana tak pernah kuangankan sajak bertepi ini akan tercipta. Aku pernah tertawa, aku pernah menikmati dunia, aku pernah merasa terlengkapi sekalipun keberadaanku hanya sekedar sebagai pelengkap. Mencoreti langit dengan banyak warna, menggulung ombak pantai sebelum akhirnya melepas dan menikmati deburannya. Menaiki pijakan tangga, mengintip celah surga. Bermain diantara celah warna pelangi dan berayun diawang yang sanggup menahan gravitasi manusia. Aku pernah bahkan sekali menaiki tangga awan, melongok kerak bumi. Menikmati sejenak dunia tanpa nama dan batasan diluaran bola bumi yang tengah ku singgahi. Aku pernah bahagia, sebelum akhirnya menginginkan untuk pulang.

.
.

Kemanapun aku pergi, bayang-bayang gumpal kenangan selalu mengejar. Terus mengejar bahkan hingga celah tersempit persembunyian. Ia menemukan. Mengenaliku dalam berbagai topeng yang ku kenakan. Aku merasa letih dan ingin sendiri. Sesuatu yang hadir dari celah otakku pun sanggup memaksaku untuk menjerit takut. Kebahagian yang hadir dari celah jepitan tak pernah ku sangka akan meninggalkan rekam jejak sekuat ini. Aku merasa lelah dan ingin sendiri.
Dalam perjalananku menuju pulang, kusapa satu-dua-enam orang. Kutanya pada siapapun yang kiranya memiliki nafas. Aku siapa, aku kemana, mereka kenapa. Namun tak ada yang menjawab. Tak ada yang sudi menghentikan langkahku mencari tempat yang ku sebut sebagai tujuan pulang. Namun tak ada yang menjawab, karena memang semua peristiwa hanya terjadi dirongga dada. Karena memang aku tak bertanya, hanya sekedar memandang dengan tatapan sarat makna. Dan mereka tak memahami percakapan antar mata. Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. Dan aku tak pernah berani mengungkapkan.

.
.
Aku mencari jawaban dipantai. Bertanya pada pasir, pada sayup angin, pada ombak yang menyapa. Aku siapa. Aku kemana. Mereka kenapa.
Dan sayup perlahan seperti kudengar satu suara. Oh mungkin itulah jawaban. Dimana? Dimana? Suara itu.
.
Kemanapun aku melangkah, selalu mengikutiku ia tanpa lelah juga jera. Perasaan yang bersalah. Menghantui setiap sendi, menghantui setiap penglihatan. Perasaan yang bersalah hanya karena aku pernah memutuskan untuk pulang. Masih mungkinkah kini, aku membuka pintu itu..tidak untuk kembali, hanya ingin sekedar bertamu dan mengucapkan salam perpisahan dengan lebih alami dan kerelaan.
Masih mungkinkah kini, aku membuka pintu itu..dengan kunci sama yang pernah ku patahkan. Dan mungkin memang, tak ada obat yang lebih tepat selain waktu untuk menyembuhkan kekecewaan. Lihatlah, aku terkapar dan luka. Gorong-gorong bahagia dalam jepitan yang kini terbungkus kenangan mencabikku. Meloloskan banyak butir tangis penyesalan. Harusnya dulu, kulepas engkau lebih dengan kealamian juga kerelaan.
Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. Mimpi hadir justru laksana samurai tipis dengan gagang berbisa. Dalam mimpipun sering kudapati diri tengah menyeraki, tengah membersihi, tengah menepati. Masih mungkinkah, pintu itu terbuka. Dengan kunci yang pernah ku patahkan. Bukan untuk kembali, tapi hanya sekedar bertamu dan mengucapkan salam perpisahan dengan lebih alami dan kerelaan.
Dengarkanlah jeritan tangis dalam jiwa, dengarkan raungan batin yang menginginkan pulang. Kembali pada kedamaian. Tanpa lagi mimpi-mimpi tentang adanya menyeraki, membersihi atau sekedar balas budi. Aku merasa letih dan ingin sendiri. Sendiri dan hanya sendiri, bahkan tanpa adanya genangan memori membanjiri. Karena kebahagian yang hadir dari celah jepitan bukanlah yang aku impikan. Ia bukanlah si immortal. Mungkin saja hanya kompensasi demi tetap ada sedikit alasan untuk tetap bernyawa. Aku pernah bahagia sebelum akhirnya menginginkan untuk pulang. Biarkan aku pulang. Biarkan aku pulang.


.

Aku ingin pulang, kembali kepada tempat dimana tak kudapati adanya kalian. Menguliti sendiri kenangan dalam kebahagiaan yang hadir dari celah jepitan. Bukan. Bukan seperti ini kepergian yang ku inginkan. Memaksa kerelaan hadir dari pihakmu dan juga dari angkuhku. Tapi bukankah semuanya sudah hanyalah tinggal sebuah kenangan? Karena aku telah memutuskan. Karena aku telah dalam jalan menuju pulang. Dan kebahagiaan yang hadir dari celah jepitan bukanlah yang aku impikan. Meleburlah bersama jajaran kenangan, sudilah untuk iba padaku yang kini tengah tersiksa. Menahan perih gorong yang hilir mudik menyapaku dalam mimpi mengerikan. Aku ingin pulang. Biarkan aku untuk pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar