Sabtu, 18 Oktober 2014

Kiamat Personal

Angin berhenti menyapa. Darah mengental dan bergumul diareal yang tak berguna. Ketika harapan sirna, adakah yang lebih mengerikan dari sebuah manekin tanpa kepala?

.

Bulan dipenghujung tahun seperti baru menyapa dalam beberapa hitungan harinya. Tapi aroma yang tercipta seperti bau buku tua dengan segala kebosanannya. Lama. Lama sekali.
Aku mencermati hari ini, kemarin, lusa seperti lomba lari tanpa adanya aba-aba. Begitu banyak manusia pergi dalam beberapa hari ini. Aku yang tak berkawan semakin linglung ditelan kesunyian mencekam. Begitu banyak sel tak peduli dengan alarm darah beku. Aku yang tengah sekarat hanya mampu meredam rintihan dalam bunyi tetes yang terlelehkan.
Malam semakin mengigau dalam balutan selimut pekat. Siang berlalu tanpa adanya nyawa berdenyut ditempat yang seharusnya. Dan sungguh tak ada yang lebih menjengkelkan dari depresi yang datang tanpa alasan.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Suatu pagi pernah kutawarkan matahari untuk tidak berotasi. Suatu petang pernah kuyakinkan matahari untuk tidak menyembunyikan diri dari peradaban. Dan yang kudapati adalah jawaban sia tanpa makna. Siapa aku hingga beraninya menawarkan bangku peristirahatan kepada yang terus bersinar? Siapa aku hingga beraninya menawarkan selimut kepada ia yang tak mengenal cuaca? Bukan ia. Tapi aku yang membutuhkan adanya pelukan. Tanpa batasan hari, tanpa batasan akal.

.

Aku kenapa. Siapa aku. Kemana mereka. Aku merindukan terlalu banyak nama. Hanya nama, karena mungkin jika nafas mereka yang ku leburkan, sudah lama aku mati karenanya. Kenapa semua menjadi seperti bom terencana? Aku menginginkan kehangatan, juga kebersamaan. Tapi aku terlalu memaksakan diri untuk meyakinkan bahwa mereka juga menginginkan hal yang sama. Pagi datang tanpa senyuman. Siang berlalu tanpa ada alasan pasti untuk menjemput malam. Dan ketika malam datang, kesemuanya kembali mengalir dalam lelehan yang tak bisa dicegah. Aku berbicara tentang rekan kerja, tentang rekan bermimpi, tentang rekan berimajinasi, juga tentang rekanku kelak menata hidup.
Harapan mati, mata tak lagi sanggup meneliti. Bahkan tangan seakan dipaksa untuk berkontribusi dalam depresi kali ini, tak ada paragraf tercipta. Bukan karena tak ada tema, tapi karena terlalu banyak aliran yang sulit untuk dicerna.
Kemanakah aku seharusnya melaju? Tujuan kehilangan sinar setelah sekian lama mempertahankan nyala. Kemana aku seharusnya bercerita? Jika ternyata yang kubutuhkan saat ini adalah nyawa. Nyawa yang utuh tanpa cela. Aku mulai mendamba adanya kematian sepertinya.
Ingin ku berteriak lantang, menerjang jatuhnya hujan, melewati serbuan angin yang menyelimuti awan. Dan tetap. Keruntuhan tercipta ada didalam sana, tak ada suara yang sepertinya sanggup membahasakan kengerian runtuh puingnya.

.

Matahari berotasi. Tetap seperti itu sekalipun aku merajuk, atau mengajaknya berempati. Matahari tetap pada lajunya seperti tak ada daya untuk menumbuhkan sedikit saja daun semangatku. Matahari tetap pada kegiatannya seperti tak ada peka untuk sekedar membagi hangat juga panasnya. Ah..mungkin tidak seharusnya aku membutakan mata pada adanya perbedaan hakikat. Bahwasanya aku dan matahari berbicara pada bahasa yang tak saling dimengerti.

.

Tetes. Dan lagi tetes itu menyerbu ulu milikku. Melayangkan tinjunya hingga menggoreskan tajam tatapnya pada si daging hati. Aku ingin menyerah. Aku ingin menyerah. Bukan kepada seseorang. Tapi kepada kehidupan. Tawa hambar tak juga menyadarkan mereka untuk kembali pada hangat yang pernah tersaji. Sementara disini aku membeku menanti sinar matahari, atau bahkan kiamat personal. Tak apa..tak apa jika yang terakhir adalah yang harus menghampiri. Karena jujur saja, aku mulai bosan akan adanya pernafasan. Aku mulai lelah pada adanya harapan dan harapan.
Kosong, dan yang kutatap adalah kosong. Diam, dan yang kutangkap adalah hanya kebekuan. Dingin, dan yang kudekap adalah kesunyian tak berjudul. Dan yang ku harap adalah sesuatu yang tumpul berjubah beludru tajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar