Jumat, 03 Oktober 2014

Kandang Imajinasi

Andai bumi ini adalah selembar kertas. Maka udara yang menjadi partikel mutlak adanya kehidupan adalah banyaknya cakrawala aksara yang membumbung terbang disetiap lipatan.
Menulis adalah tentang pelepasan. Menyalurkan adanya hasrat terpendam dari adanya imajinasi yang meluber. Menulis adalah tentang bercinta. Mengawini dunia aksara hingga kemudian mencapai titik cukupnya dalam ujud paragraf akhir. Mungkin ini terdengar sedikit berlebihan, tapi aku tau. Menulis tidaklah segampang apa yang retina kita cerna. Kendati menulis juga tidak serumit apa yang tersembunyi dibalik langit untuk meminta dibahasakan. Seperti halnya kelahiran. Dalam sudut penglihatanku bukanlah sesuatu yang instan untuk bisa disebut penulis. Dan disana juga tak ada bakat untuk mau dijadikan dasar sebagai penulis. Yang ada hanyalah cinta, kasih, tekad dan ketelatenan. Mengibaratkan bayi yang baru lahir, seperti itulah adanya kita. Awal kali mungkin hanyalah kesenangan untuk membaca, menyimak atau sekedar merunuti gambar lucu per halaman. Kemudian terbersit tanya akankah aku bisa? Sanggupkah aku menjadi sebuah nama yang nantinya akan diabadikan oleh sejarah? Dan proses menapaki dewasa hingga kemudian menemukan jati diri adalah paradok yang sama ketika masa itu juga harus dilalui seorang penulis. Dulu aku bertanya, membaca begitu banyak buku dari pelajaran sampai koran bekas bungkus makanan sekalipun. Minatku saat itu pada adanya tulisan sangatlah besar dan berkobar. Belajar, melihat, mengetahui hingga akhirnya proses terakhir dalam perjalanan pun dimulai. Memilih. Aku tidak tau jika penulis lain juga merasakan ini, tapi sungguh diantara beribu pencipta karya hingga sekedar deretan tulisan dipapan. Aku tau, seseorang dari mereka mengetuk jiwaku, menggetarkan roh yang selama ini tertidur pulas dalam awan, mengguncang keberanian untuk menyeberang. Aku tau, satu diantara mereka memiliki tempat istimewa yang karyanya tak hanya enak untuk dilahap mata, tapi juga lezat bagi jiwa..juga mengenyangkan syaraf otak yang selama ini dehidrasi akibat krisis nutrisi berkepanjangan. Aku tau, satu diantara mereka sanggup membangkitkan gairah untuk segera memindai, mencari, menyentuh bahkan menelanjangi imaji dalam bentuk aksara. Aku tau aku mulai gila. Tapi menelan setiap karya 'si satu' ini adalah seperti sebuah candu untuk berciuman. Ya, kita tidak pernah bisa membedah sensasi apa yang tersaji dalam sebuah ciuman bukan?

.
.

Menulis adalah menyembuhkan, mengalirkan lagi hormon yang rela digodok lebih lama ditengah jalan hanya karena sang empunya kepala tengah dalam beban pikiran. Menulis adalah menyehatkan. Jajaran aksaranya tercipta bak amunisi cinta yang memenuhi rongga dada. Menaburkan tabir bahagia sekalipun sebenarnya kita tengah terkepung duka. Dan nyatanya..tak akan ada sebuah tulisan jika pemegang penanya sendiri tak mencintai apa yang tengah ia garapi. Setiap orang bisa saja memenuhi halaman dengan penuh paragraf. Tapi tidak semuanya bisa menyelesaikan sampai titik akhir hingga hasil keringatnya bisa disebut tulisan. Sebuah karya pun butuh nyawa. Sebuah karya pun meminta untuk dimanusiakan agar bisa dicerna manusia. Seringnya ketika tanganku tengah terpekur bersama goresan-goresan tinta, kudapati seakan kertas dihalamanku kemudian menjulurkan tangan. Menggapai jemariku dan bersama kami saling bercengkerama, meninggalkan (kewajiban) kegiatan menulis. Aku dan tangan tak terlihat itu meniti huruf demi huruf, membiarkannya mengaliri paragraf tanpa harus aku bersusah payah menciptakan plot juga judul. Ah..saat indah yang langka. Aku menyebutnya adalah 'moment percintaan', membiarkan waktu membungkus kami yang tengah bergumul dalam lumatan spasi. Membiarkan waktu menjadi saksi betapa sebenarnya aku tidaklah hanya diri ini, betapa sebenarnya aku dan imaji adalah pola induk yang sanggup menciptakan dunia hanya dengan mantra, betapa sebenarnya aku harus mengakui bahwa bercinta memang adalah benar, 'surga dunia'. Alam yang menyaksikan percintaanku bersama aksara seringnya dibuat linglung dengan gelombang yang menyerbuku, menggulung diriku dalam lebur yang tak berperi. Hingga akhirnya saat datang ketika klimaks itu menghampiriku, detik kala jari-jemariku mengisyaratkan lelah, detik ketika titik besar merengek mohon agar aku membiarkannya keluar dan mengakhiri sebuah tulisan. Ah aku gila, aku tidak tau bagaimana bisa sebesar ini kuapresiasikan rasa cintaku pada cakrawala aksara. Aku gila ketika harus menjauhi kertas-kertas kosong, dan merasa siap terjun disaat justru tak kutemukan ruang juga waktu untukku menggumuli 'kekasih aksara'ku. Disana adalah tempat. Surga dimana air mengalir meluberi tiap cekungan sungai, surga dimana api sanggup menyala dan tertangkap retina hanya dalam ujud bara saja. Adakah emosi yang sanggup merekah tanpa harus memercikkan bara? Godok ia dalam paragraf panjang, lumuri ia bersama secangkir koma juga sesendok tanya. Adoni ia dengan sepenuh cinta. Adoni ia dengan menambahkan sebutir kasih sayang. Ah..aku penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar