Sabtu, 20 September 2014

I Have Nothing

I have nothing. Aku tak punyai apapun ditanganku. Aku tau ketika akhirnya sebuah kesadaran menghantam otak kananku pada salah satu waktu menuju dewasaku. Terlahir menjadi manusia utuh sepertinya adalah kompensasi Tuhan untuk tidak membekaliku apapun dalam berkelana didunia penuh tanya ini. Beruntung sekali tanganku hadir lengkap untuk bisa menjabarkan atau setidaknya menyamarkan kepunyaan terpendam yang sebenarnya kenyataannya hanya virtual saja.

.

Beranjak besar dalam segi umur tidak serta merta membawaku juga pada garis dewasa-syarat mutlak untuk bertahan menjadi manusia. Dan salah satu bukti kegagalan dari masa pendewasaanku adalah ketika dengan segala ego juga angkuhku, masih kusebut alam, aksara, bahkan sekedar rumput liar dijalanan tetaplah lebih baik untuk disebut teman ketimbang manusia nyata. Aku tau tengah dalam setengah perjalanan menuju gagal, sedangkan yang selama ini terus merajai akal juga nalarku adalah kesadaran bahwa aku benar. Aku selalu benar. Sekalipun dunia membuktikan padaku kesalahan, yang ada pada peganganku adalah suatu benar tanpa selaput lainnya. Untuk alasan singkat itulah aku menjadi sosok hari ini. Kuciptakan dunia, kubangun setapak menuju istanaku, kupasang plakat tentang sayembara, kusebar juga ucapan selamat datang disetiap ujung jalanan. Tapi yang aku sendiri lakukan setelahnya justru adalah mengunci diri dalam hunian khusus tanpa udara. Tanpa ada satu nyawapun kupersilahkan larut dalam damai tak tersentuhku.

.

Dulu, aku serupa manusia. Meski sekarang pun masih berujud sama, namun kesadaran memberitahuku bahwa aku adalah sejenis setengah dewa. Dan berada dalam lautan manusia seringnya membuatku linglung, menelan paksa tentang milyaran apa dan kenapa. Tak ada sepi yang seberat seperti yang tengah kupanggul saat ini. Bukan karena memang tidak ada. Tapi karena dengan sengaja kubutakan mata pada adanya sepi yang lebih menggigit dari milikku, juga karena telah dengan sukses ku blokir jalan bagi para relawan yang hendak membantu meringankan sepiku. Arogansiku menghempaskan segala sisi dramatis dari kotak kemanusiaan. Egoisku menyapu bersih semua uluran tangan hanya karena telah kutanamkan hingga tulang terdasar bahwa hanya aku yang boleh kusuguhi kepercayaan, bahwa hanya aku yang boleh kuhidangkan kursi istimewa bernama teman.
Lihatlah betapa kegagalanku pada tahap dewasa menenggelamkanku pada lautan beku. Lautan dimana keberadaan air adalah hanya dongeng semata. Dimana yang bisa kulakukan adalah mengais udara diatas hamparan beku keluasan dunia. Bahwa aku telah tenggelam dalam ruang sepi yang ku bangun sendiri. Berdiam dalam hamparan hijau tanaman padi selalu bisa menghadirkan padaku kehangatan setara pelukan erat seorang kawan. Meresapi angin menyapa beraroma tanah selalu sanggup memberikan padaku senyum seakan seseorang tengah berada disisi dengan celoteh renyahnya. Menyesap harum juga asin air laut selalu mampu menenggelamkanku pada imaji seorang kekasih dengan cumbuan-cumbuan disetiap jengkal persendian. Dan yang lebih gila dari semuanya, adalah ketika jemari juga mata beserta segalaku tengah melesat dalam ketinggian batas angan bermandikan kilauan sinar raya yang terpancar dari tatanan aksara, saat ketika aku tengah menikmati indah ruang kedap waktu milikku, saat dimana seakan sanggup kuciptakan tangga menuju surga hanya dengan hitungan detik dan selentingan kilat jari saja..saat yang menyadarkanku bahwa telah kurengkuh nikmat klimaks tanpa harus terlebih dulu aku bercinta. Ya! Cakrawala aksara adalah ibarat sejenis manusia yang kesempurnaan diamnya begitu kudamba dalam tubuh seorang teman. Sudah dalam tahap segila inikah aku dalam substansi sepiku? Lalu kiranya kemana aku memiliki ruang untuk sekedar bertamu dikala senggang? I have nothing. Aku tak memiliki apapun. Aku tetap tak memiliki apapun untuk kusuguhkan ketika pada akhirnya aku memiliki ruang untuk sekedar menautkan tambang pelayaranku.

.

Satu-satunya bekal yang mungkin 'lupa' telah disematkan sang pencipta pada sosok kecilku adalah seikat kontrak yang melekat dalam raga. Mengawasiku bak mata elang diatasan sana. Menilik apapun batasan yang dengan paksa kulanggar, dan meniupkan suara peringatan bahwa itu berada dalam jalur keluar, dan aku diingatkan dengan melarang. Sepi ini, senyap yang membekapku tak akan lebih mengerikan dan lantas mencekik pernapasanku dengan kuasanya hingga hingga bernyawa. Tidak, tak akan kubiarkan siapapun membunuhku. Kubangun dinding angkuh, kulapisi dengan setebal mungkin ego, dan kuhias garis terluarnya dengan banyak ambisi. Aku tidak salah ketika mengatakan bahwa alam, bahkan sekedar rerumputan liar dijalanan masih lebih baik untuk dianggap kawan ketimbang manusia sejenis. Karena mereka tak pernah alpa untuk hadir, karena mereka berbicara dengan segala anomali..satu-satunya bahasa yang kumengerti didunia ini. Karena aku dan mereka sama. Titisan-titisan setengah murni yang sadar diri dirinya tak pernah memiliki. Hanya ambisi. Hanya jemari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar