Sabtu, 10 Mei 2014

Kenapa Aku Dilarang "pulang"?

Ini adalah ceritaku, tentang gejolak waras yang tersendat di masa muda.

Dulu, aku selalu ingin tau seperti apa rasanya memiliki teman. Merayakan hari ulang tahun dengan sangat tradisional atau mungkin tradisi bocah-bocah yang mengakar tanpa jeda. Dan aku, bahkan sekedar ucapan pun tak pernah hadir dimasa-masa penasaranku.

Dulu aku selalu bertanya-tanya, apakah ada diantara mereka yang menangis ketika aku mati? Dulu juga aku selalu ingin tau tentang rasanya kematian itu sendiri. Sakitkah? Indahkah? Atau justru sama sekali hambar tanpa rasa? Dan pertanyaan-pertanyaan itu juga hadir ketika aku mulai menginjak dewasa. Akankah cukup aku mengukir sejarah selama hidup? Akan dikenang sebagai siapakah aku? Akankah mereka yang pernah dekat kehilangan diriku? Ataukah sosokku selama ini hanya hadir sebatas tiupan angin saja?

Bak angin beliung yang bertambah volume sejalan dengan putarannya. Begitu juga dengan rasa ingin tau dimasa kecilku.
Bukankah ketika waktu itu datang saat dimana aku tak lagi bernafas, maka tidak akan kuketahui jawabannya? Aku tetap tidak tau siapa yang akan kehilanganku, akan dikenang sebagai siapa nantinya aku, dan siapa diantara mereka yang sudi meneteskan airmata karena kehilanganku. Semua terlambat. Jawaban yang selama ini kunanti akan hadir dan kuketahui dari alam yang tak lagi sama. Pertanyaan itu tak lagi penting ketika aku telah mengalami.

Jadi, seperti apa itu rasanya kematian? Aku menantinya datang seperti aku menunggu jemputan untuk pulang dari sekolah dimasa dulu. Akankah sangat menyakitkan? Kenapa yang terukir kuat dalam ingatanku justru aroma damai tak tertandingi akan sebuah perasaan ingin pulang? Menggebu dan memecut letupan hasratku untuk cepat-cepat mengakhiri, untuk cepat-cepat menginjakkan kaki "dirumah" yang selama ini selalu mereka larang untuk ku cicipi.

Hanya berharap namaku akan tetap hidup, berharap seseorang akan kehilangan, dan pada akhirnya mereka menyadari tentang berharganya sapuanku, menyadari bahwa aku pernah ada. Sekalipun itu sesuatu yang sia-sia. Karena memang aku sudah tak lagi memahami aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar