Sabtu, 11 Maret 2017

Patung Pencerita 2

Tak sebuah buku pun di dunia ini yang akan melewatkan bagian indahnya. Ceritaku denganmu pun demikian.
.
Setelah berjibaku dengan banyak perasaan ragu, ada satu kalimat yang sering mencuat ketika kita sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Kalimat yang tidak akan pernah kamu suka. Dan kalimat itu kira-kira berbunyi seperti ini, mungkin jika aku menikah dengan pria yang kusukai sebelummu, aku akan bisa merasakan bahagia. Saat itu aku merasa dianak tirikan olehmu. Sikapmu menjadi timpang ketika berhadapan denganku. Aku selalu merasa kalah saing, jika dengan seluruh keluarga. Jangan salahkan jika ragu sering muncul secara tiba-tiba, entah setelah kita bercinta atau ketika aku tengah memandangimu damai dalam lelap. Aku tak sepintar itu untuk berkata-kata, dan aku memang sebodoh itu dalam menjalin sebuah hubungan. Kamu yang terlalu berpikir positif dengan selalu merasa bahwa aku baik-baik saja. Dan aku yang terlalu kaku untuk memecahkan sebuah balon masalah ketika kondisi telah mendua. Alhasil kegundahanku tentangmu tak pernah tersampaikan. Hanya tertuang acak di tempat ini. Tempat yang tak mungkin akan kamu daki dan telusuri. Jika kamu masih ingat, aku bahkan sering menangis ketika kita tengah dalam keadaan telanjang dan berpelukan. Orang bilang, waktu setelah bercinta adalah saat emas bagi suami istri untuk bisa saling membagi. Dan aku hanya diam. Terlalu takut memecah ketenangan yang ada dalam bola matamu, hingga tanpa sadar mataku meleleh dan ketika kamu bertanya adaapa, tak ada kata yang keluar dan tak akan pernah ada.
.
Kamu tau kapan saat terfavoritku bersamamu ? Saat ketika aku tengah sendiri memandangimu terlelap dan mendekapku. Saat itu aku akan menemukan pancaran kehangatan dalam embusan napas tenangmu, aku menemukan kelenturan yang selalu kudamba dalam pejaman matamu. Aku menemukan suami yang sempurna ketika tengah memandangimu tertidur, dan bahkan aku sering menitikkan airmata setelahnya hanya karena menyadari betapa sebenarnya aku sangat mencintaimu, dan yang selama ini terus kulakukan justru adalah melukaimu. Kata maaf tidak akan bisa mewakili semuanya. Aku merasa sebagai pendosa.
.
Hal terburuk dari semuanya adalah, ketika aku mulai memikirkan kata perpisahan bahkan untuk sesuatu yang sangat sangat remeh. Aku mulai sadar cintaku tidak sebesar cintamu. Aku melihat ketulusan dimatamu, aku merasakan cinta yang besar disetiap perilakumu, sementara aku hanya melihat sebuah obsesi, kecurigaan, dan ketidakpercayaan dalam diriku. Sekali lagi aku merasa sebagai pendosa. Tidak seharusnya pria sepertimu mendapatkan istri sepertiku. Ketidaksempurnaanku akan terasa sangat timpang jika dibanding semua kebaikanmu.
.
Batu memang tidak selamanya akan menjadi batu. Karena hujan ada untuk mengikisnya menjadi kerikil yang lebih kecil. Efek sampingku jatuh cinta tidak meluntur begitu saja, bahkan kian menjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku merasa kamu tidak sepenuhnya rela menyerahkan dirimu untuk kumiliki, sementara sikap tak rela berbagiku terus menyalak-nyalak meminta pemenangan. Harga diriku yang terlalu tinggi belum menemukan tangga pijakan yang tepat untuk menurunkannya. Aku selalu tergoda untuk kembali meragu. Sekalipun telah kuamini kenyataan cintamu. Aku menakutkan banyak hal, alasan untuk meragu dulu kembali mencuat menebarkan pesonanya. Aku takut kamu akan kembali tergoda pada masa lalumu. Aku takut aku menjadi nomor dua didalam daftar hidupmu. Aku takut keluarga kecil kita akan kalah eksis jika dibanding keluarga asal yang telah membesarkanmu. Aku takut mentalku kembali sakit sekalipun sesuatu yang cacat akan sulit terlihat sehat. Aku tidak sedang memaksa, aku hanya terus mencoba untuk terlihat seperti manusia. Dan bukan pendosa. Aku yang notabene adalah perempuan kelewat sensitif telah mencoba menebalkan dinding badakku. Menganggap kekakuanmu dan dinginmu adalah hal yang normal-normal saja. Karena aku tidak bisa memaksa. Aku tak akan mungkin tega menarik ulur kesabaranmu lagi. Meski andai saja kamu tau, sakit yang diderita mentalku bukan saja parah, tapi telah mengarat. Tapi kehadiran anak kita sedikit menjadi pengobat. Cacat yang kumiliki tengah sedikit demi sedikit kutambal, dengan cara yang strategis dan tak pernah kupikirkan sebelumnya. Jika aku tak pernah mendapatkan pengakuanmu, maka aku pun tak akan dengan begitu gampang mengumbar kedudukanmu. Jika aku tidak mendapatkan peringkat satu didaftar hidupmu, maka tak apa, karena sekarang aku pun tengah belajar menempatkan anak kita di dalam daftar prioritasku. Dan jika mereka-mereka masih lebih mendapat tempat ketimbang aku dan anakmu, maka sekali lagi tak apa. Karena mulai sekarang aku tengah belajar untuk mencintai sewajarnya. Aku si pendosa akan tetap menjadi seperti ini. Aku tak akan mengharapkanmu mengobatiku dengan cara menyembuhkan cacat mentalku. Karena memang..itu adalah kamu. Dan ini adalah aku. Tak ada yang harus sama diantara kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar