Minggu, 19 Januari 2020

Labirin

Jatuh cinta seperti memasuki sebuah labirin. Mudah untuk memulainya, bersemangat mencari jalan selanjutnya, tersesat berkali-kali, hingga kemudian frustasi mencari jalan untuk melepaskan diri darinya. 

"Dear Ari, lima tahun perjalanan bersama kita sudah sampai tahap mana jika di labirinkan?"

Mudah untuk memulainya, meskipun jujur saja tidak semudah itu untuk jatuh cinta kepada Ari. Awal perjalanan kami, Ari yang kulihat adalah sosok dengan banyak musim mengelilinginya,  aku pernah melihat ia tersesat di kerumunan musim panas, terdampar di pelukan musim dingin dan sesuatu yang kutangkap di setiap perputaran musim itu adalah bagaimana Ari tak pernah kehilangan cara untuk menjadi si musim semi, yang terus tumbuh, berbunga, hingga kemudian layu menghampirinya. Aku mengetahui segelintir nama dan dari kesemuanya berhasil mengantar Ari pada musim gugurnya, saat dimana semua hal yang berbau tumbuh akan meluruhkan dirinya. Termasuk juga bunga-bunga, termasuk juga dedaunan langka. Hingga akhirnya waktu mengantarkan Ari kepadaku dan saat itulah musim tak bernama tiba, menghampiri tanpa permisi dan membuatku kelimpungan untuk mengantisipasinya. Kami terikat dalam sebuah hubungan selayaknya manusia yang tengah jatuh cinta, tapi nyatanya saat itu aku masih buta dan meraba siapa kiranya pemilik bibir manis itu, siapa pemilik lengan kokoh itu. Aku tidak serta-merta jatuh pada pesona Ari, perlu di butuhkan waktu tidak sedikit untuk mengidentifikasi perasaan apa yang menyelubungi ikatan panas kami. Kenapa tak kudapati Ari dengan musim seminya, yang selalu berbunga, bertumbuh manis dan tak kuharapkan layu. Tapi kemudian Ari mengajarkanku sesuatu, butuh ketelatenan dan kesabaran seorang guru tk juga pengasuh panti werda di satukan untuk bisa menembus kebebalanku. Bahwa terikat dengan seseorang tidak selalu harus di bumbui dengan bunga dan juga kata-kata. Adakalanya aksi lebih menjanjikan ketimbang hanya ungkapan. Dan Ari melakukannya. Banyak cara untuk menebus musim seminya yang gagal di hadirkan dalam pelukanku, sebagai gantinya dia memperlihatkan padaku bahwa di dunia ini ada pergantian waktu yang selalu luput untuk di nikmati manusia hanya karena kadar efeknya tidak sedramatis yang di hadirkan para pemilik musim yang selalu berganti setiap berapa bulan sekali. Yakni tentang adanya siang dan malam. Dan ajaibnya seketika itu pula aku mengerti betapa indah dan nyatanya dunia hanya dengan perhatian lebih kita pada hal-hal detail. Itulah kali pertama Ari menunjukkan pesonanya. Ketelatenan dan kesabarannya sangat membantu.
Setelah siang dan malam berputar dengan membawa begitu banyak makna Ari menuntunku lagi pada tahap selanjutnya. Pengenalan pada pelajaran penting yang kelak membawaku pada titik klimaks proses jatuhnya aku pada cinta Ari. Yakni tentang betapa indahnya sebuah alunan napas, tentang mengagumkannya setiap hal berdenyut yang hadir di muka bumi ini, bukan hanya tentang manusia tapi juga tentang bukit, ombak, dedaunan, kelopak, bintang, pekat. Aku menjadi pengagum Ari dengan sedemikian rupa, pengagum alam semesta meski apresiasi terbaikku hanya sebatas mengagumi dan menggumamkannya. Ya, aku sampai pada titik itu, tahap ketika tak ada kata dan bunga yang bisa mewakili sebuah rasa. Ketika bunga dan kata menjadi tak lagi memiliki arti, selain menikmati, terus berjalan, dan berucap syukur karena perjalanan itu. Ari benaran mengajariku bukan hanya tentang ilmu semesta tapi juga bahasa yang di gunakan oleh semesta untuk menyampaikan maksudnya. 
Kata orang, jatuh cinta adalah tentang berapa banyaknya perbedaan yang tak pernah menjadi penghalang untuk melangkah bersama. Tapi dalam kasusku sepertinya kalimat sebaliknyalah yang berlaku. Aku perlahan menyerupai Ari, perbedaan yang dulu menggunung perlahan terkikis karena ketelatenan Ari. Aku yang semula berkalungkan bunga dan berselimutkan kata-kata, mulai menikmati tentang arti telanjang. Kepolosan yang menghadirkan banyak rasa selain hanya nyaman. Dan aku jatuh cinta pada momen ketika kami melangkah bersama tanpa untaian benang yang menghalangi satu sama lain untuk saling lebih melihat dan mengenal.

Butuh waktu selama itu untuk akhirnya mengetahui, mengakui bahwa aku jatuh cinta pada Ari, pesonanya benar-benar menyala terang, seperti ufuk sore yang di selimuti cahaya jingga sebelum gelap menelannya perlahan. Lalu ketika siang dan malam membawa pelajarannya sendiri untuk di nikmati, maka begitupun pesona Ari, yang menguarkan serta titik lemah dan ceruk yang selama ini tersembunyi dari mata. Kekurangan Ari yang membuatku berkali-kali tersandung dan sersesat. Jika harus di akui, kelemahanku ada pada kekurangan Ari, jika selama ini aku berhasil berdiri tegak karena topangan, dorongan dan juga semangat dari Ari, maka kekurangannyalah yang membuatku terperosok dan terseok kembali. Aku tidak siap melihat celah dari seseorang yang selalu terlihat sempurna. Dan sialnya aku memang selemah itu. Tidak hanya sekali, bahkan berkali-kali pemikiran untuk melepaskan Ari singgah di kepala. Maafkan kelemahanku. Dan puncaknya adalah ketika akhirnya kesadaran tiba tentang adanya sinyal-sinyal datangnya musim dingin di tengah-tengah kehangatan kami. Sesuatu yang salah sedang terjadi. Aku tak bisa terus menerus membohongi diri dengan berkata bahwa bara itu masih menyala, sudah sekian lama sejak terakhir kali Ari berhasil menyalakan api lalu membakar apa yang menjadi penyelubung kami. Kini bara itu hanya berupa kedipan semata, tak berpengaruh apa-apa. Aku yang selalu membenci musim dingin dan tersiksa karenanya, mulai menghakimi Ari. Semua hawa beku yang menyergap hidung dan menyelimuti paru-paru adalah karena kegagalan Ari dalam menyalakan api. Pemikiran tentang berhenti memperjuangkan itu akhirnya kembali lagi, aku tidak pernah menyangka jika hubungan kami akan berliku dan menjadi seperti ini, labirin yang semula kami kira akan dengan mudah di taklukkan ternyata menyesatkan banyak pikiran dan jalan buntu itu benar-benar membuatku mual. Musim tak bernama yang pernah Ari bawa di awal pengikatan kami mulai menunjukkan kelunturannya. Aku yang dari semula tak mampu berdiri dengan bertopang kaki sendiri mulai memahami betapa selama ini hanya Ari sendirilah yang berjuang. Menyentuh pergelangan kakiku, membisikkan mantra, menuntunku dengan ketelatenannya hingga pada akhirnya aku bisa mengatasi keterpurukan dan mulai berjalan. Kesadaran satu itu menghangatkan seperti nyala lilin dalan kegelapan, tapi bahkan lilinpun memiliki waktunya tersendiri untuk terbakar dan tak menyisakan sisa. Hawa dingin kembali menyelubungi, mendekap semua indera hingga aku hampir mati rasa karenanya. 

Ketika kilas balik tak bisa menyelamatkan seseorang, maka terkadang dengan hanya melakukan hal sepele sesingkat mengedipkan mata akan menjadi bala bantuan yang tak terduga. Penyelamatku datang dari benih-benih yang tumbuh karena adanya tetes-tetes embun yang di bawa oleh pagi. Musim dingin yang semula kubenci ternyata membawa manfaat yang tak terduga. Tetes embun penyelamat yang akhirnya menumbuhkan kuncup, daun dan akar. Terima kasih Tuhan. Karena meskipun Ari gagal menyalakan api untuk mendapatkan kehangatan, bukan itu titik dasar alasan kenapa aku ingin ikatan ini mendapat pengakhiran. Faktanya aku kehabisan amunisi untuk mencintai. Mudah sekali untuk jatuh cinta, lalu mulai buta dan menghambur-hamburkannya, hingga memudian cinta habis dan terseoklah kaki-kaki yang dulunya melangkah gagah.
Realisasinya adalah sekian hari setelah pergantian tahun kemarin. Entah hal apa yang memulai hingga memunculkan pemahaman itu. Bagaimana bisa aku melepas tangan kokoh dan bibir manis yang dulu begitu kukagumi? Bagaimana bisa aku menggantikan pegangan Ari dengan tongkat kemandirianku yang ternyata palsu? Akan menjadi apa diriku jika tanpa Ari? Bagaimana bisa aku seegois itu membiarkan Ari terpuruk sendiri menghadapi kekurangannya? Sementara selama ini jika bisa di ingat aku tak menyumbang andil apapun untuk tiang kokok yang menjadi pegangan ikatan kami. Bagaimana bisa aku akan mengakhiri semuanya justru tepat ketika angka lima mengulurkan tangannya untuk melangkahi batu cobaan terbesar sebuah ikatan? Ya, setiap orang selalu berkata bahwa sebuah ikatan akan menjadi begitu rentan dan rapuh dalam lima tahun pertamanya. Dan aku mengakui benar kebenaran kalimat itu. 

Kelip bintang di atas sana menjadi peneguh keputusanku untuk melanjutkan perjalanan. Lilin bisa saja habis nyalanya, musim panas bisa saja membatalkan kedatangannya, musim dingin bisa saja begitu keras kepala menerobos masuk melalui celah-celah, tapi labirin memang di ciptakan seperti itu, buntu di semua sisi tapi selalu ada jalan untuk untuk melihat ke atas, ruang dimana segalanya tak bersekat, tak ada yang mampu membuat sekat dengan yang di atas sana. Langit selalu menjadi raja, entah bagi penikmat siang maupun malam, dan bintang adalah penerang yang tak pernah padam, meskipun nyalanya tak menyalurkan kehangatan, tapi bahkan kehangatan tak melulu harus hadir dari sesuatu yang panas dan membara. Sugesti untuk menjadi hangat setelah menemukan cahaya dalam kepekatan adalah obat tanpa tandingan.

Dan di sinilah aku dan Ari sekarang, dalam salah satu sisi bercabang sebuah labirin yang dulu kita masuki bersama, meski tak berbekal bunga dan kata, meski dinding labirin memblokir segala musim untuk bisa ikut menghanyut dalam pelukannya. Kami frustasi, tentu saja, tapi saat-saat itu telah tertinggal di belakang sana. Meski tak ada bangku untuk meletakkan beban, bahu masing-masing bisa menjadi penopang untuk sekedar menikmati keadaan. Memandang kemilau bintang yang silih berganti menjadi deburan awan. Biarkan musim-musim di luar sana sibuk mencari jalan untuk bisa memasuki labirin dan menemukan kami, karena seindah apapun pertemuan yang di hadirkan oleh pergantian musim gugur dan musim semi, musim panas dan musin dingin, musim tak bernama masihlah pemenang dari semuanya. Dia yang tak pernah berganti, permulaannya adalah pengakhirannya, yang terindah dan yang tak bercela. Meski harus hadir tanpa bunga dan kata, tapi jujur saja aku benar-benar menyukainya. Bukan hanya perasaan suka, tapi aku jatuh cinta pada musim langka yang di perkenalkan oleh Ari. 

Jika normalnya setiap orang akan mengerahkan segala cara dan akal untuk bisa terbebas dari rumitnya sebuah labirin, maka tidak begitu dengan pemikiranku dan Ari. Biarkan kami tersesat di sini lebih lama, menikmati kemilau bintang dan deburan awan yang mungkin tak akan bisa di lakukan ketika berada di tempat terbuka. Biarkan kami menikmati setiap sudut buntu dan uraian bercabang yang selalu membingungkan. Bahkan jika pada akhirnya kami hanya berjalan mundur dan tak pernah kemana-mana pun tak apa. Karena pencarian itu lebih penting dari segalanya. Perjalananlah yang harus dinikmati dari sebuah kehidupan, bukan hasil akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar