Hari-hari selanjutnya aku mulai memunguti lagi rasa malu yang tercecer entah di sudut tempat mana saja. Meski membenahi diri agar layak pandang bagi lawan jenis lebih sulit di lakukan ketimbang membenahi masa lalu yang terlanjur kelewat berantakan, tapi aku mencoba. Dan bagi perempuan kebanyakan mencoba saja belum cukup agar bisa sejajar dengan kaumnya, tapi proses mencobaku justru hanya bertahan di awal perjalanan. Aku kembali menjadi manusia asal-asalan. Tidak pernah benar-benar merisaukan tentang sisi perempuan yang kian hari kian menyusut hampir sepenuhnya hilang. Ari tidak membantu tentu saja, pekerjaannya hanya memaklumi kebodohanku akan pengetahuan tentang menjadi perempuan yang benar-benar perempuan, atau setidaknya menjadi perempuan layak pandang, pekerjaan Ari yang lain adalah menontoni ketelanjanganku dengan pujian, jarang sekali bukan ada laki-laki yang mau mengapresiasi lawan jenis yang berada di bawah standar, bukan, tapi berada di garis luar. Dan Ari melakukannya. Alasan pertamaku untuk berani memulai. Selain karena Ari memberikan keluasan juga karena Ari berani memberikan penghargaan di saat diri sendiri masih mengeluh tentang betapa banyaknya hal kurang.
Tahun-tahun selanjutnya tidak membawa banyak perubahan berarti. Si perempuan kurang perempuan ini masih saja berjalan kesana-kemari dengan menegakkan kepala dan berjalan sesantai yang bisa kakinya bawa. Tak pernah mengerti apa sebenarnya beban yang menggelayuti pundak Ari sepanjang perjalanannya. Mungkinkah rasa malu pernah menyergap pemikirannya? Karena bersanding dengan seseorang yang bahkan tidak bisa membedakan pensil alis atau penegak bulu mata. Aku sering mengutarakan secara terbuka pemikiran satu itu, tapi jawaban Ari selalu sama. Dia baik-baik saja bahkan meski perempuannya tidak terlihat semengejutkan yang sering di lakukan make up pada wajah-wajah perempuan pada umumnya. Selanjutnya aku menghindari perntanyaan-pertanyaan semacam itu lagi, bukan karena takut Ari akan merubah pikiran dan memberi jawaban yang berbeda, tapi lebih karena akhirnya aku menemukan jawaban atas semua yang pernah ku angan-angankan. Yakni hidup bersama dengan seseorang yang tak mengerti bagaimana caranya untuk mengeluh, yang tak pernah tergoda dengan silaunya lampu berjalan di luar sana, yang berani mempertaruhkan rasa malu di atas segalanya demi kenyamanan semata. Aku tidak berani membayangkan apa jadinya jika bukan Ari yang menjadi pendampingku. Seseorang yang selalu sadar dirinya tak menarik namun tak pernah memiliki bahkan secuil niat untuk memperbaiki keadaan. Seseorang yang terlalu mendalami pesan dari kaum bijak di luar sana, bahwa kecantikan yang sesungguhnya ada di dalam pemikiran, di dalam hati. Aku bahkan tidak memiliki muka untuk sekedar berangan apa yang akan kuhadapi jika bukan Ari yang menjadi separuhku.
Semua orang selalu menyiratkan pesan bahwa Ari beruntung karena telah mendapatkan perempuan sepertiku. Dan mereka semua tak mengerti bahwa pandangan mereka salah. Aku yang harusnya berkata bahwa akulah yang beruntung karena telah mendapatkan Ari. Seseorang yang tak hanya membawa kenyamanan dengan caranya yang tak biasa, seseorang yang begitu sopan terhadap perempuan meski sisi perempuannya tak sempurna, seseorang yang berani menerima segala kebodohan akan pengetahuan menjadi perempuan yang benar-benar perempuan.
Terkadang, di ujung hari yang terkesan gelap meski sebenarnya hanya ilusi semata, ingin kuutarakan pada si pemilik nama betapa aku ingin mengetahui cara kerja otak dan juga apa saja isi dari kepalanya. Tentang beban apa saja yang mungkin terpikul namun sengaja di sembunyikan dari pandanganku. Tentang pertanyaan-pertanyaan absurd kenapa dia mau bertahan dan menerimaku di awal perjalanan, lalu nilai lebih apa yang bisa dia lihat dariku ketika semua yang tertangkap olehku hanya tentang nilai kurang. Tapi yang menyebalkan dari semuanya adalah ketika Ari memutuskan untuk tidak membiarkanku memiliki keluhan tentang hubungan ini atau tentang dirinya. Menjadi diri sendiri hingga memperbaiki diri adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuk setidaknya membayar semua keputusan dan ketulusan yang sejauh ini mengalir begitu saja melewati banyak jalan. Yang terkadang lupa untuk disyukuri dan lupa untuk di sadari keberadaannya. Maaf, karena sekali lagi aku menemukan satu nilai kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar