Kamis, 30 Januari 2020

Perempuan Kurang Perempuan

Dari dulu aku sering bertanya-tanya apa yang membuat Ari dengan mudah menerimaku sebagai separuhnya. Seseorang yang jauh dari kata cantik, tidak pula bertutur manis, apalagi bertingkah sehalus putri. Aku menyalahi semua aturan baku tentang definisi seorang perempuan. Terlahir dari keluarga utuh namun tidak sepenuhnya hadir. Membuatku tumbuh menjadi tanaman bersulur panjang. Sepanjang kembang tumbuhnya di habiskan untuk mencari, mencuri namun jarang bisa menghasilkan. Jika ada perempuan yang kurang sisi perempuannya maka itu adalah aku. Ari paham benar perjalanan hidupku, meski mungkin tidak membaca dari awal halaman, tapi setidaknya dia mengerti apa garis besarnya. Keras adalah kata lain yang hampir bisa menyentuh tempatku. Sedikit lebih jauh dari satu kata itu, dan aku lupa pelajaran apa saja yang berhasil di petik dari sekian waktu bertumbuhku itu. Atau malah tidak ada sama sekali yang berhasil kupetik sebagai pelajarannya? Mungkin saja iya, karena yang terus terpatri dalam ingatan adalah bagaimana aku menghabiskan sepanjang waktu untuk mencoba berlari dan kabur dari jalan yang sudah di gariskan. Aku memberontak tentu saja, berada di jalur aman benar-benar bukan cerminan masa mudaku. Meski tentu saja, ada batasan-batasan yang tetap menjaga agar tidak tergelincir dalam jurang tak terselamatkan. Jarang sekali ada manusia yang merasa malu dengan masa lalunya. Tapi denganku, bukan hanya rasa malu yang menyergap, tapi juga penyesalan tak terduga, dan juga cubitan-cubitan langka yang kerap membuatku terjaga seketika. Dari tanaman bersulur panjang, aku bertumbuh lagi menjadi pemimpi yang berniat mencapai lautan awan di atas sana dengan menggunakan sulur-sulurku tentu saja. Hal mustahil bagi sebagian orang, bahkan dalam kenyataan pun hal itu sangatlah tidak mungkin. Tapi aku buta saat itu, menghalalkan berbagai kata untuk terus memperpanjang diri demi bisa menyentuh ujung awan. Perjalanan waktu yang melelahkan namun tidak sia-sia. Aku terbangun setelahnya dengan mata terbuka lebih lebar dari orang paling belo sekalipun. Aku terbangun dengan segera setelah Ari bersedia mengkonfirmasi kedatangannya. Tanpa persiapan, tanpa acara basuh muka apalagi basuh badan, Ari benar-benar menyambutku dalam keadaan paling buruk dan paling memalukan. Tanpa topeng, alas muka apalagi dandanan. Separuh harga diriku masih tertinggal di awang-awang untuk sekedar memiliki malu karena terlihat begitu jujur, buruk dan telanjang. 

Hari-hari selanjutnya aku mulai memunguti lagi rasa malu yang tercecer entah di sudut tempat mana saja. Meski membenahi diri agar layak pandang bagi lawan jenis lebih sulit di lakukan ketimbang membenahi masa lalu yang terlanjur kelewat berantakan, tapi aku mencoba. Dan bagi perempuan kebanyakan mencoba saja belum cukup agar bisa sejajar dengan kaumnya, tapi proses mencobaku justru hanya bertahan di awal perjalanan. Aku kembali menjadi manusia asal-asalan. Tidak pernah benar-benar merisaukan tentang sisi perempuan yang kian hari kian menyusut hampir sepenuhnya hilang. Ari tidak membantu tentu saja, pekerjaannya hanya memaklumi kebodohanku akan pengetahuan tentang menjadi perempuan yang benar-benar perempuan, atau setidaknya menjadi perempuan layak pandang, pekerjaan Ari yang lain adalah menontoni ketelanjanganku dengan pujian, jarang sekali bukan ada laki-laki yang mau mengapresiasi lawan jenis yang berada di bawah standar, bukan, tapi berada di garis luar. Dan Ari melakukannya. Alasan pertamaku untuk berani memulai. Selain karena Ari memberikan keluasan juga karena Ari berani memberikan penghargaan di saat diri sendiri masih mengeluh tentang betapa banyaknya hal kurang. 

Tahun-tahun selanjutnya tidak membawa banyak perubahan berarti. Si perempuan kurang perempuan ini masih saja berjalan kesana-kemari dengan menegakkan kepala dan berjalan sesantai yang bisa kakinya bawa. Tak pernah mengerti apa sebenarnya beban yang menggelayuti pundak Ari sepanjang perjalanannya. Mungkinkah rasa malu pernah menyergap pemikirannya? Karena bersanding dengan seseorang yang bahkan tidak bisa membedakan pensil alis atau penegak bulu mata. Aku sering mengutarakan secara terbuka pemikiran satu itu, tapi jawaban Ari selalu sama. Dia baik-baik saja bahkan meski perempuannya tidak terlihat semengejutkan yang sering di lakukan make up pada wajah-wajah perempuan pada umumnya. Selanjutnya aku menghindari perntanyaan-pertanyaan semacam itu lagi, bukan karena takut Ari akan merubah pikiran dan memberi jawaban yang berbeda, tapi lebih karena akhirnya aku menemukan jawaban atas semua yang pernah ku angan-angankan. Yakni hidup bersama dengan seseorang yang tak mengerti bagaimana caranya untuk mengeluh, yang tak pernah tergoda dengan silaunya lampu berjalan di luar sana, yang berani mempertaruhkan rasa malu di atas segalanya demi kenyamanan semata. Aku tidak berani membayangkan apa jadinya jika bukan Ari yang menjadi pendampingku. Seseorang yang selalu sadar dirinya tak menarik namun tak pernah memiliki bahkan secuil niat untuk memperbaiki keadaan. Seseorang yang terlalu mendalami pesan dari kaum bijak di luar sana, bahwa kecantikan yang sesungguhnya ada di dalam pemikiran, di dalam hati. Aku bahkan tidak memiliki muka untuk sekedar berangan apa yang akan kuhadapi jika bukan Ari yang menjadi separuhku.

Semua orang selalu menyiratkan pesan bahwa Ari beruntung karena telah mendapatkan perempuan sepertiku. Dan mereka semua tak mengerti bahwa pandangan mereka salah. Aku yang harusnya berkata bahwa akulah yang beruntung karena telah mendapatkan Ari. Seseorang yang tak hanya membawa kenyamanan dengan caranya yang tak biasa, seseorang yang begitu sopan terhadap perempuan meski sisi perempuannya tak sempurna, seseorang yang berani menerima segala kebodohan akan pengetahuan menjadi perempuan yang benar-benar perempuan.

Terkadang, di ujung hari yang terkesan gelap meski sebenarnya hanya ilusi semata, ingin kuutarakan pada si pemilik nama betapa aku ingin mengetahui cara kerja otak dan juga apa saja isi dari kepalanya. Tentang beban apa saja yang mungkin terpikul namun sengaja di sembunyikan dari pandanganku. Tentang pertanyaan-pertanyaan absurd kenapa dia mau bertahan dan menerimaku di awal perjalanan, lalu nilai lebih apa yang bisa dia lihat dariku ketika semua yang tertangkap olehku hanya tentang nilai kurang. Tapi yang menyebalkan dari semuanya adalah ketika Ari memutuskan untuk tidak membiarkanku memiliki keluhan tentang hubungan ini atau tentang dirinya. Menjadi diri sendiri hingga memperbaiki diri adalah hal terbaik yang bisa kulakukan untuk setidaknya membayar semua keputusan dan ketulusan yang sejauh ini mengalir begitu saja melewati banyak jalan. Yang terkadang lupa untuk disyukuri dan lupa untuk di sadari keberadaannya. Maaf, karena sekali lagi aku menemukan satu nilai kurang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar