Jumat, 17 Februari 2017

Catatan Si Penyu Cacat

Seekor penyu tengah dalam masa bimbangnya. Termangu sendiri di atas pasir tak jauh dari pohon kelapa roboh yang akarnya terkopyok isi lautan. Tak pernah sekalipun hadir bahkan dalam bayangan ia akan dihantam gelombang seganas kemarin petang. Semuanya datang tanpa dulu mengucap salam, melahap semua yang ada. Dan menelannya dalam sekali jadi.
.
.
.
Suara gemuruh yang menguat seiring dengan semilir angin yang kian tak wajar mendatangiku sore itu, aku dan beberapa kawananku tengah menikmati pasir hangat sisa panggangan siang. Beberapa kepiting melewati kerumunan kawananku dan menawarkan untuk berbagi makanan mereka. Dan tepat ketika para kepiting tengah membuka kotak bekal adalah saat terakhir aku mendengar suara. Karena seperti yang telah kukatakan sebelumnya, gelombang besar datang tanpa salam permisi, tak sempat bagi kami untuk meneriakkan kekagetan, mulut-mulut tersumpal air yang mengguyur lalu menenggelamkan. Suara kami terendam didalamnya. Lima belas menit yang terasa seperti selamanya. Aku dan kawananku memang tidak seberuntung itu untuk bisa bertahan dari amukan gelombang. Belum saatnya bagi tubuhku dan kawananku untuk bisa bertahan di dalam air. Belum saatnya. Tapi garis tak mengerti kata belum, ia tetap memaksaku dan kawananku untuk tenggelam dan sekian kali terhantam pepohonan. Gelombang mengerikan.
.
Dan pagi ini, matahari membangunkanku layaknya kecupan seorang Ibu. Pantai yang terlihat seperti bak sampah adalah hal pertama yang kusadari, dan kemudian, aku masih hidup. Sendiri. Tawa meledak diantara tangisku yang menderai. Aku terlalu bingung untuk berkata-kata, akankah aku harus berbahagia atau sebaliknya. Sejauh mata memandang belum kudapati tanda-tanda bahwa semua kawananku seberuntung aku, hidup setelah gelombang besar memaksa bertamu. Aku benaran tidak tahu apa yang tengah merasukiku, sekian waktu setelah tawa usai meledak, yang kulakukan adalah terpaku memandang nanar sekitar. Entah kepada siapa aku harus bertanya. Sementara ketika mataku menabrak sinar mentari saat itulah aku merasakan sesuatu terasa sangat kuat di dalam cangkangku. Sebuah nyeri tak terkira. Mungkin kakiku patah ketika terhantam di tengah gelombang atau apa, aku belum bisa merasai sepenuhnya. Hanya nyeri di titik itu yang merajai seluruh tubuhku. Kulihat cangkangku rusak, seperempat bagian atasnya robek dan memperlihatkan isinya. Kembali mataku memanas karenanya. Aku benar-benar bingung antara harus bersyukur atau mengeluh atas keadaanku.
.
.
Wahai Tuhan yang selalu melihat. Dimanakah Kau ketika air itu tengah menelanku dan juga kawananku ? Lalu apakah ini sebuah lelucon ? Aku terselamatkan hanya seorang diri, dimana kawananku ? Bukankah mereka juga sebaik diriku ? Lalu kenapa hanya aku yang mendapati kesempatan untuk melihat lagi dunia ? Rumahku rusak, separo badanku terlihat dari luar, dan entah engsel sebelah mana yang tak dapat lagi berfungsi seperti sebelumnya. Aku terlalu takut untuk memeriksa, aku tak siap menghadapi diriku yang tak lagi utuh sebelumnya.
.
.
Sore menjelang dengan begitu cepat, aku masih terpaku di tempat pertamaku membuka mata. Dan memang tak ada siapapun yang ku lihat hidup sepanjang hari ini, kecuali beberapa gagak yang mengitari pantai dan meneriakkan dendang pilu. Lewat mulutnya akan tersiar kabar kepada seluruh penghuni alam bahwa sebuah gelombang telah meluluh lantahkan sebuah kawasan, bahwa aroma kematian tercium dari segala sudut, bahwa mungkin para penghuni alam perlu berkabung sejenak untuk memanjatkan doa bagi para penghuni yang telah berpindah alam. Yang lupa gagak sampaikan kepada seluruh penghuni alam adalah bahwa ternyata gelombang mengerikan itu masih menyisakan aku. Seekor penyu berumur hitungan jari, dengan cangkang yang pecah disana sini, dan juga cacat.
.
.
Aku tak berani menatap bayanganku yang terpantul dari sinar matahari, petang beberapa jam lagi akan datang. Dan aku masih tak memiliki niat untuk beranjak. Jika garis memintaku untuk menikmati hidup sekali lagi, maka akan kuhabiskan masa itu hingga remah-remahnya. Sayup-sayup kudengar di kejauhan suara debur ombak yang entah kenapa terasa sangat empuk dan merdu. Sampah teronggok di setiap jengkal pasir, tak hanya sampah manusia tapi juga sampah sisa-sisa alam. Dedaunan kering, patahan ranting, pohon tercerabut, semuanya memperlihatkan duka dan duka. Aku tak tahu, mungkin kawananku ada diantara tumpukan sampah-sampah itu, mungkin juga tertimbun pasir, atau mungkin terbawa arus. Membayangkan tentang hidup adalah hal mengerikan yang kurasakan saat ini. Keindahan, harapan, mimpi, semua mengepakkan sayapnya seketika. Pergi menjemput cakrawala yang konon lebih menjanjikan ketimbang seluruh isi dunia.
Menyisakan aku sendiri, bahkan para gagakpun tak berhasil melacak denyut hidupku. Seekor penyu berumur hitungan jari dengan cangkang retak dan cacat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar