Minggu, 11 Juni 2017

Batu Kali

Aku ada. Berdiam diri di sini. Tempatmu biasa mencari kejernihan dan kesejukan. Atau malah justru tempatmu buang air dan juga mandi telanjang ?
.
Aku ada, dan jika kamu bertanya siapa aku, maka diriku adalah sebuah batu. Jangan tanyakan apakah itu batu kali atau batu yang di poles dan bersama perak memeluk jari-jemari kaum kebanyakan. Aku menyatu bersama kumpulan batu yang lain. Tergilas ban mobil, sepatu bahkan kaki kucing. Aku menganggap diriku istimewa, sekalipun sekian lama ada di tempatku sekarang berpijak, tak seorang pun yang sudi memungutku untuk kemudian di poles lalu dipajang-pajang. Aku menganggap diriku istimewa bukan karena menjadi sebuah ajang pameran. Tapi aku istimewa karena aku berbeda. Aku hidup berdasarkan prinsip yang kupungut dari sisa ludah manusia. Aku hidup sedamai anomali yang menemukan kawanan tak beresnya. Aku hidup dengan sudut pandang yang tak mungkin bersanding dengan akal manusia. Karena aku adalah batu kali.
.
Aku ada di sini. Tempatmu biasa menongkrong dengan terik menyembur tepat di atas ubun-ubun demi mencongkeli si muka badak yang tumbuh di halaman tanpa takut mati. Dibuang, tumbuh lagi. Dicongkel, subur lagi.
.
Karena aku adalah batu kali. Yang memungkinkan untuk hidup dimanapun otakku menginginkannya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi menjadi sempurna dengan mengorbankan segalanya. Aku melihat banyak drama, manusia-manusia yang terobsesi melihat kesempurnaan dengan melafalkan banyak jalan. Dan yang terus kulakukan adalah melihat. Menjadi penonton memberikan kenikmatan sekaligus ketegangan tersendiri. Aku melihat jajaran batu yang dipoles cantik warna-warni untuk kemudian di sejajarkan di sepanjang jalan. Aku melihat sejumput batu mengawang di udara, menjadi patner bagi tanah dan tumbuhan yang di elu dan di sayang-sayang oleh si empunya. Aku melihat segerombol lainnya mengumpul di cekungan salah satu kelokan sungai, menjadi hunian bagi ikan-ikan kecil di sekitaran. Aku melihat dan menontoni semuanya kadang dengan di iringi rasa kagum, terikut bahagia.
.
Menyangkut diriku. Aku tak pernah bercita-cita menjadi apa-apa. Aku mati rasa terhadap adanya keajaiban bernama harapan. Bukan, aku bukannya membenci kehidupan ini. Aku hanya terlalu paham apa dan seperti apa ujud partikel yang menjadi pembentukku. Sekilas jika disejajarkan dengan kawanan batu lain, hampir pasti tak akan kalian temukan adanya perbedaan. Tapi aku mengenali diriku lebih dari siapapun dan apapun di dunia ini. Kumpulan batu lain akan mengira aku ini pendiam. Sebagian lainnya akan berkata bahwa aku ini terbuka. Tapi kenyataan yang ada hanya satu. Partikel pembentukku memiliki gen sarat makna. Dalam jiwa yang gampang tersulut api, aku selalu memiliki secangkir air untuk sekedar mematikan nyalanya. Dalam jiwa yang terlalu ringkih, aku memiliki hasrat seteguh dan sekeras ujudku. Dalam jiwa yang terlalu berakal, aku ialah satu-satunya orang tergila di dunia.
.
.
Tak perlu menjadi takut untuk dekat denganku. Keberadaanku yang meski telah kuakui memiliki sedikit pergeseran dari apa yang kalian sebut normal, tak akan menjadi sebuah ancaman dalam bentuk apapun. Aku tak pernah membiarkan diriku melebur dengan siapapun. Sekalipun aku terikat dan terbungkus, melebur adalah sesuatu langka yang mungkin tak akan pernah kulakukan. Aku tak pernah terbiasa untuk berlatih menjadi selunak kayu. Karena aku adalah batu. Sekali lagi kutegaskan, jangan dulu merasa terancam. Aku akan tetap diam. Aku akan tetap setia menjadi penonton.
.
.
Aku adalah sejenis batu yang akan terus mencoba untuk tetap diam. Karena jika aku mulai melayang bisa dipastikan seseorang atau makhluk lain akan terluka karenanya.
.
.
Karena aku adalah batu. Untuk itulah mungkin benar jika tidaklah perlu untuk kulunakkan diri agar menjadi senyaman kayu. Karena aku tetaplah batu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar