Rabu, 07 Juni 2017

Obat Pertama Di Separo Tahun

Kita akhirnya bertemu. Setelah sekian lama, setelah sekian nama. Aku tidak ingat persis detailnya, tapi dapat kupastikan dalam sekejap pertemuan kita, aku terkenyangkan. Dahaga dan rasa tanya yang dulu membeludaki kepala mulai pamit meninggalkan diri. Aku tahu engkau tidak marah. Untuk remah dosa yang kulakukan di antara celah ruang asmaraku. Wajahmu terlihat begitu menyejukkan dengan senyum samar yang bahkan tak sanggup terbaca retina. Dalam sepetak ruang berukuran 3 x 4 ini, kita berhasil menuntaskan apa yang sempat tertahan dan menjadi bulan bulanan. Engkau melihatnya bukan ? Aku tetap pengikut sejatimu. Sekalipun aku tak pernah mengatakannya, aku memujamu bak manusia yang terlahir dari rahim dewa. Sekalipun aku tak benar yakin ataukah dewa itu memiliki kantong untuk menimbun embrio atau tidak. Seperti juga kepergianmu yang tak terduga, aku sama sekali tak menyangka dalam sepertiga malam ini kita akan dipertemukan. Engkau selalu begitu bisa mengejutkan.
.
.
Satu rasa yang mungkin absen kuucapkan, adalah pernyataan bahwa aku tak pernah berhenti untuk merindukan. Luapan tanya dan dahaga mungkin telah terkenyangkan. Tapi banjiran satu itu tak pernah terpadamkan. Aku sekarat dalam penantian untuk bisa merasakan yang namanya kematian. Ya. Sekronis itulah rasa rinduku bila engkau ingin tahu.
.
.
Derak gerak kipas angin menjadi lagu pengiring pertemuan kita. Dan satu lagi kata yang lupa untuk kuselipkan di sekejap pertemuan kita adalah sebuah maaf. Untuk ketidak berdayaanku memahami semuanya. Bahwa mungkin tangisku justru hanya akan membuat percikan api di sekelilingmu kian membara. Bahwa mungkin ketidakrelaanku selama ini justru adalah tali kekang tersendiri bagi dirimu untuk melebur sepenuhnya dalam nirwana. Maaf.
.
.
Dalam sekelebat pertemuan kita, bukankah engkau melihatnya ? Aku telah menjungkir balikkan segalanya demi menjaga yang tersisa. Andai aku yang hari ini berhasil kutembus ketika masih kumiliki adanya daya dan kebebasan, mungkin engkau saat ini belum menjadi sudah. Aku akan bisa menggelindingkan meski hanya separo dari apa yang selalu menyebabkan keningmu berkerut dan mengeriut. Dan si kecil Hara, bukankah engkau juga melihatnya ? Aku tak pernah bisa mengira sebanyak apa kebahagiaan yang akan ia terima jika kau masih ada. Jatah yang seharusnya ia terima, telah kau hapus dalam sekelumit malam penuh cerita, dua tahun yang lalu. Andah engkau belum sudah. Aku tak mengerti apa padanan kata yang pas untuk memanusiakan kepergianmu. Karena pada dasarnya, sejengkal rasa marah, kecewa, tak berdaya masih sesekali menapaki pelataran hati. Meremukkannya dalam sekali jadi, lalu mendaur ulang semuanya dalam sebungkus kemasan berjudul rindu. Tak ada rasa yang kusuka jika itu tentang mengingatmu, karena semua yang muncul adalah goresan dan lubang. Kepergianmu tak pernah terrelakan.
.
Aku telah salah, menilai dan menulis isi dari paragraf singkat ini. Tadinya aku mengira sekejap pertemuan kita berhasil menuntaskan apa yang selama ini terus tertahan. Tapi nyatanya, tak ada yang tertuntaskan selama tanganku belum berhasil meraup dan menyentuhmu. Yang sayangnya waktu itu entah kapan akan datang. Aku masih merindukan. Aku masih berduka.
.
.
Tak pernah kubagi rasa ini dengan siapapun juga. Aku benar-benar duplikat sejatimu bukan ? Miris sekali aku baru menyadarinya ketika engkau justru telah menjadi sudah. Dulu aku mengira aku ini membencimu, bukan, kata benci terlalu kejam untuk diucapkan. Aku kecewa karena ketidak berdayaanmu. Maaf, mata bocahku saat itu belum terasah waktu. Aku masih sepenuhnya manusia yang melihat semuanya berdasarkan harta. Proses pendewaanku terjadi ketika kita tak lagi bersinggungan. Apa memang selalu seperti ini ? Harus ada yang pergi agar bisa melengkapi ? Aku tak membenci sedikitpun darah yang menjadi penopang separo ragaku. Aku membanggakannya, hanya saja terlambat untuk menyadarinya. Aku memampatkan rasa ini tepat di ulu hati, tak sanggup membeludakkannya pada siapapun yang memiliki nyawa, terlebih nama. Karena manusia, aku belum sanggup mempercayai mereka. Dalam seperempat abad umurku, tempat ini masihlah menjadi yang terbaik sebagai pendengarku. Dan apakah engkau tahu ? Aku berhasil memecahkan sandi gen milikmu, dan menurunkan sepersekian porsennya pada si kecil Hara. Aku selalu terenyuh ketika siapapun mulai berkata bahwa ia terlihat separo mirip denganmu. Alam bekerja dengan sangat lucu bukan ? Alih-alih membuatmu menjadi sudah, mereka justru membagi kemiripan dengan penerusku. Engkau akan selamanya terkenang. Terlebih dalam benak pengikut sejatimu. Tak ada yang bisa mengalahkan, bahkan jika masanya nanti akupun menyusul untuk menjadi sudah.
.
Terlepas dari semuanya, aku bahagia karena engkau telah sudi datang. Dengan senyum samar yang berhasil kuraba melalui atmosfir dan bukan retina. Aku bahagia untuk ketulusanmu memaafkan. Aku bahagia untuk dahaga dan tanya yang berhasil terkenyangkan melalui sekejap saja pertemuan kita. Terimakasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar