Sabtu, 16 Januari 2016

Perburuan Kisah Berkarat

Kekasihku bergelantung manja dileher. Bertalikan pengalung warna hitam, menemaniku menjelajah hingga sudut tak terlewatkan. Medan terjal, jalanan terang, hingga tanah lapang yang kian menggulita seiring perputaran jarum jam adalah makanan. Aku yang bertugas merasai tiap keping perjalanan sedangkan kekasihku bertugas mengabadikannya menjadi lembar-lembar kenangan juga pembelajaran.
Petualangan kami tak pernah memiliki batas ataupun ruang. Setiap butir waktu adalah padi berharga yang tergantung malu-malu diujung tangkainya. Setiap satu saja tarikan nafas adalah kepulan panas yang dinantikan dan terbang manis diatas penanak nasi. Aku dan kekasihku mengemban misi memotret remah-remah tercecer yang tak mungkin mau dipungut oleh siapapun mereka. Mereka yang terlalu sibuk mencari dimana ujung bahagia dan pangkal nestapa.

.
.
.
Ia adalah sebuah alat pemotret. Benda yang kudapat dari nenek tua lewat perkataannya yang membangunkan titik sadar. Sebelumnya, aku tak pernah mempunyai kesempatan untuk memiliki apapun. Melalui nenek tua lah akhirnya aku terbangun dan mulai meramu sayang untuk benda yang kelak kuangkat ia pada titik setara kedudukan pacar. Kekasihku tak berkaki, ia hanya mampu berjalan jika leherku mau menampung beban lewat tali pengikatnya. Kekasihku tak bertangan, tapi ia mampu dengan tepat menunjukkan tempat dimana aku harus duduk, condong atau bahkan bersujud total. Kekasihku tak berhidung, letak penciumannya ada pada seberapa peka kulitku menyapa juga menjamahi tiap lekuk tubuhnya. Kekasihku memiliki mata, hanya mata. Ia mengajariku melihat, membaca dan juga memangsa.
.
.
Hari ini, aku dan kekasihku berburu potret pada kisah yang menumpang hidup pada sebuah nama. Sebuah kisah yang menyimpan nada sumbang disetiap tetes tinta salah satu paragrafnya. Sebuah kisah yang konon mengharamkan bagi siapapun untuk merangka lebih detail apa dan siapa yang telah membuat kisah itu sendiri sekarang berkarat dan mati. Aku mengenali nama dari pemilik kisah itu, ia sosok penuh misteri. Dan perburuan kali ini mengekalkan tekad milikku dan sang kekasih untuk bisa merekamnya secara detail dan tanpa penghalang. Mata lensaku menyukai petualangan, hari ini mungkin badanku tak harus tertelan lumpur dalam demi mengabadikan dengan cermatnya proses mengepaknya burung berbunyi sengak. Kekasihku tak harus berlumur dingin seperti ketika kami hendak mengabadikan tetes romantikal sebutih salju pertama. Perjalanan kami hari ini akan melalui rute yang berbeda. Terbang hanya akan menyia-nyiakan banyak kesempatan, mengarungi hanya akan membuat semua tanda tujuan justru hilang dan terlupakan. Hari ini kami menggunakan jalan dalam. Menyusup bak tikus liar diparit-parit hingga tanpa siapapun mengenali derap jejaknya. Aku dan kekasihku memulai dengan mengulik sebuah nama. Bukan nama yang asing. Bahkan aroma nafasnya masih bisa kubaui dengan baik. Penyusupan dimulai.
.
.
.
.
.
.
Satu hari..dua hari..tiga bulan..seperempat tahun berlalu. Tas selempang yang selama ini hanya tersampir dibahu sebagai formalitas saja akhirnya memiliki guna. Lensa pembidikku terlelap dalam senyum bangganya. Memotret selalu bisa menambah porsi bahagia.
Kisah itu dimulai dari pengejaan sebuah nama. Nama yang kelak hidup dalam pengajaran ketat sang waktu. Dilembar pertama, yang berhasil lensa pembidikku tangkap hanyalah ruangan hampa..aku tak mengenali dimana dan apa. Lembar kedua datang mengagetkanku. Inilah kisah yang mengarat itu, ia mati terkulai dengan damainya. Jejak-jejak tintanya mulai memudar tertimpa tetes air hujan. Kisah mengarat itu memperlihatkan sang empunya nama tengah dalam masa remuknya. Aku bisa merasa, pemotret tua yang setia bergelantung dileher berhasil menceritakan semuanya. Cinta, bahagia, obsesi, mimpi yang kemudian berganti menjadi marah, lelah, kecewa dan perasaan sia-sia.
.
Dear pemilik nama misterius, inikah kisah yang kau biarkan mati dan berkarat itu. Aku berhasil menyingkap tirainya sekalipun tetap banyak buram menghiasi sudut-sudut gambarnya. Aku masih bertanya, aku memiliki banyak tanya, ribuan tanya. Engkau pernah sejatuh itu ternyata, pernah pula engkau setenggelam itu. Keikhlasan yang terus engkau coba terapkan patut mendapat penghargaan. Karena bahkan sosok ratu dan malaikat pun berhasil dengan rela engkau lepas. Dear sebuah nama, jika bisa bagiku dan kekasihku menarik benang dari semuanya. Benar adanya memang jika waktu adalah pengajar terhebat sepanjang masa. Engkau pernah jatuh pada cinta yang tidak dangkal. Engkau pernah terlena pada kasih yang akarnya berserabutan. Namun akhir dari semuanya, engkau justru terpelanting dalam mimpi yang sama sekali tak disengaja. Dan engkau bertumbuh teramat kuat kini.
.
.
.
.
.
Petang menyapa dalam kecupan rinai hujan, kisah berkarat itu masih menjadi target perburuan yang menarik, sekalipun sampah tetaplah sampah tak peduli dimana mereka meringkuk. Kisah berkarat itu mungkin telah lama selesai. Aku tak lagi peduli. Tantangan hari ini selesai dan kami sangat merindukan kembali kepada alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar