Kamis, 21 Januari 2016

Menamai Garis Alam

Entah takdir apa yang dituliskan Sang Pencipta akan keterkaitanku dengan hujan.
.
.
.
Ketika kecil aku begitu membenci hujan. Berlarian mengikuti kemanapun gerak air yang menetes dari atap rumah adalah hal terindah masa itu, membiarkan kaki berkecipak menginjaki genangan air adalah hal paling menyenangkan juga. Tapi belum seperempat jalan dari waktu langit untuk menuntaskan hasratnya mengguyuri bumi, selalu ada suara menggelegar yang menggiringku masuk ke dalam rumah dengan raut wajah tertekuk lesu, bukan suara petir dari langit yang mengantarkanku pada selimut tebal ditengah derasnya hujan. Tapi teriakan Aki yang selalu mengagetkan. Kakekku satu itu tak pernah membiarkan cucunya barang sejenak menikmati masa paling mengagumkan sebagai anak-anak. Beberapa kali tangan dan kakiku harus membiru terkena gebukan tangan besar Aki karena kemurkaannya mengetahui cucunya mencuri-curi kesempatan bermain air hujan. Jika sudah seperti itu, aku hanya akan mengadu dan tersedu kepada Ibu, dengan kesabarannya lalu Ia akan membalurkan banyak-banyak minyak kayu putih diseluruh badan sembari berkata bahwa air hujan bisa mengantarkanku pada ruangan penuh alat-alat aneh yang selalu kuhindari, ruangan dengan lelaki berjas putih yang akan melukai tangan-tangan mungilku dengan suntikan-suntikannya, tak lupa pula tabung besar disisi ranjang. Aku tidak menyukai rumah sakit, namun karena kenakalanku menentang titah Aki, beberapa kali aku justru harus berbaring pasrah tempat itu. Bayangan Ibu yang dengan mata sembab dan cemas akan menyuruhku diam tanpa tahu ada gumpalan batu besar didalam dadaku yang membuatku merasa berat untuk bernafas. Lalu seorang lelaki dan beberapa perempuan akan sibuk melakukan entah apa. Bayangan seperti itu terekam pasti dimata kecilku, hingga aku sempat berjanji pada diri sendiri untuk selalu mendengarkan perintah Aki. Dan sepertinya memang air hujan yang tanpa sengaja kutelan menyimpan sihir karena membuat wajahku harus dibekap masker besar. Apa hujan semengerikan itu ?
.
.
.
Disaat teman-temanku tertawa riang saling membanjurkan air yang menggenang dilekukan tanah, aku justru hanya bisa memandangi iri dari balik kaca. Ibu seringnya merasa kasihan padaku, tapi ia tak memiliki kuasa untuk menentang perintah Aki. Sebagai alibi, Ibu lalu menyuntikkan dongeng yang menceritakan tentang kejahatan si hujan kepadaku. Menurut cerita Ibu, hujan sebenarnya adalah makhluk dengan kekuatan jahat karena memiliki tanda-tanda mengerikan seperti petir yang menggelegar sebelum kedatangannya. Sementara matahari adalah makhluk dengan kekuatan baik yang akan memberi hangat serta bahagia bagi penduduk dunia. Aku iri melihat raut puas diwajah teman-teman karena asyiknya bermain dibawah air hujan tanpa pernah ada larangan. Aku begitu iri sampai-sampai rasa suka terhadap hujan bermutasi menjadi rasa benci. Aku membenci hujan hanya karena aku tidak memiliki izin untuk bersenang-senang dengannya. Aku membenci hujan karena ia membuat kebahagian lenyap lantaran matahari enggan menampakkan diri dan halilintar sebagai ajang pembukanya memang benar sangat mengerikan. Kakekku sendiri mengajari cara menumbuhkan benci dihati bocah polos yang bahkan masih belum memiliki malu ketika harus bertelanjang dada menikmati guyuran hujan diluar rumah. Dan Ibuku sendiri tidak menyadari bayangan apa yang tengah menanti dan mengancam dimasa-masa mendatang hidup putri kecilnya.
.
.
.
Memasuki umur belasan, disaat aku sudah memiliki alasan untuk malu bertelanjang dada didepan umum, justru masa itulah yang menjadi patokan untuk membalas hutang dimasa lampau. Tak ada yang melarangku memanasi si kuda besi meski rintik gerimis mulai menyapa, tak ada yang melarangku menerjangi serbuan hujan dengan alasan jam sekolah memiliki batasan dan tak mengenal kata ampunan terlebih untuk alasan menunggu hujan yang mereda. Disaat aku memiliki alasan untuk berlarian riang dibawah air hujan, disaat aku memiliki kesempatan untuk menikmati sajian air tumpah dari langit, justru waktu dan kesehatanku yang tak mengizinkan aku untuk melakukannya. Entah permainan konyol apa yang direncanakan Tuhan, kali ini aku yang marah. Aku tak diberi-NYA kesempatan untuk bersenang-senang. Masa kecilku harus tersita dibawah dekapan selimut tebal. Setelah beranjak dewasa, haruskah tetap aku berakhir ditempat yang sama ketika musim hujan mulai tiba ? Tiga puluh menit adalah waktu toleransi terpanjangku berada dalam lumatan air hujan. Lewat darinya, kembali aku harus merasai bekapan masker besar dengan tabung yang besar juga disisi ranjang. Aku sudah cukup pandai untuk mengetahui apa nama yang dipakai untuk menamai batu yang menyumpal pernafasanku. Membuatku menanggung berat hanya untuk sekedar menarik oksigen. Yang belum aku pahami dalam tahap sedewasa ini adalah, entah takdir apa yang dituliskan Sang Pencipta tentang keterikatanku dengan hujan. Entah garis apa yang melingkupi takdirku kedepan dengan kuasa alam bernama hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar