Sabtu, 23 Januari 2016

Abu dan Abu

Petang itu tak memiliki aroma beda seperti petang kemarin dan sebelumnya. Langit tak mengirimkan tanda apapun selain remang yang lumrah datang karena memang sudah saatnya. Suasana tak semencekam sekian jam yang akan datang. Aku yang selalu bangga akan kelebihanku untuk lebih peka pada sesuatu yang dikirimkan rasa masih belum mendeteksi adanya kedukaan. Aku seharusnya tahu engkau tengah mengamatiku dari tempat yang sangat dekat. Aku harusnya tahu, engkau telah pulang sebelum semua orang menyadari engkau hilang.
.
Udara mulai terracuni kecemasan. Bayang-bayang bersamamu mendadak berputar cepat seperti kamera film rusak yang tak memiliki tombol berhenti dan mati. Aroma duka mulai meluncur perlahan dari sudut-sudut atap rumah. Aku seharusnya tahu lebih awal, engkau telah pulang dan kesiaan semata bagi mereka mencarimu kesegala penjuru daya. Karena memang engkau telah pulang. Kerumah yang kusebut abadi.
.
Suara tangis adalah sejenis mala yang sanggup menulari makhluk sekitar. Sejenis virus yang sanggup menyebar tanpa harus adanya perantara. Dan isak Ibu adalah pencetus kenapa retinaku membasah dan sedikit mulai hilang akal. Sudut-sudut rumah menembakkan aroma duka yang dalam sekejap membuyarkan segala keyakinan. Aku masih percaya engkau hanya bersembunyi, entah disemak belukar, entah dipelukan ajal. Aku masih percaya engkau tak akan pergi hari ini, dengan cara seperti ini. Satu, tiga, sepuluh tetangga mulai berdatangan pulang. Usaha mencarimu ternyata sesulit itu. Aku dengan keyakinan yang telah tersirami duka, hanya sanggup menatap nanar pada semua yang datang. Aku tak beranjak kemanapun semenjak kecemasan mulai merasuki dada. Aku tak pergi ke semak belukar manapun atau menemui sang penjemput ajal..mencoba menanyakan keberadaanmu yang mulai dinyatakan hilang. Aku masih terdiam duduk menatap nanar pada semua yang membisikkanku kata sabar.
.
.
.
Detik dimana sebuah bahu menyodorkan diri padaku, dan detik ketika raungan mulai berdatangan dan mulai terdengar kian mendekat adalah detik dimana aku melihatmu mengucapkan selamat tinggal. Aku mengisak, hanya mengisak. Karena otak dan hati masih berkeyakinan erat bahwa semua hanyalah impian semata. Aku tak menjerit seperti yang mereka lakukan, hanya karena paham ketika aku membiarkan tangisku mengalir lepas, maka itu akan menjadi pertanda bahwa keyakinan besarku akan petak umpet yang tengah kau mainkan adalah sebuah kesalahan. Engkau tidak bersembunyi, engkau pergi.
.
.
.
Dalam jarak yang begitu dekat, engkau tak terdekap. Dalam jarak yang begitu nyata, engkau memburam dan mulai melebur bersama khayal. Aku seharusnya tahu, dalam keriuhan yang membakar ruang, tanpa siapapun ketahui engkau telah lama pulang. Aku seharusnya tahu, dalam kedukaan yang menyelimuti engkau ada disini, menyaksikan lara mengudara dan menyesaki langit malam.
.
.
.
Duka dan duka menghiasi sepanjang perjalanan jarum jam. Langit dan petang telah bersekongkol melenyapkan tanda kepergianmu dariku. Aku merasa buta, aku merasa tak berdaya. Dari sekian nama yang membisikiku kata sabar, tak satupun dari mereka yang membuatku tersadar pada adanya kenyataan bahwa aku telah kehilangan. Dari sekian mata yang merebak dan meneteskan air beningnya, tak ada satupun yang berhasil membangunkanku dari mimpi bahwa engkau masih ada.
.
Kehilangan tak pernah setega ini mencekik leherku. Kehilangan tak pernah sesadis ini mendatangkan diri dalam duka yang begitu lara. Dan dalam kabut yang menghalangi penglihatan, entah apa yang sedang kau lakukan. Tersenyumkah ? Menangiskah ?
.
Ragamu terseret waktu, terselimuti misteri yang tetap menjadi tanya hingga pagi. Perpisahan ini terlalu manis untuk disegerakan. Perpisahan ini terlalu nyaman untuk ditanggalkan. Dan kepergianmu mengakibatkan sakit perut berkepanjangan. Percampuran antara sesak tak terhingga, dan goyahnya akal membuat lambung tergores dan baret. Serbuk keyakinan yang mulai hilang menaburi irisan luka membuatnya semakin menganga. Keberadaanmu tak sekompleks kepergianmu. Duka dan duka yang menyatu menciptakan entitas baru sejenis lara. Dan aku sedikit kecewa engkau pergi tanpa meninggalkan jejak terakhir dimemori. Engkau pergi dalam ujud yang kian membayang. Engkau pergi dituntun matahari, tatkala sinarnya terbenam dimakan malam, saat itulah engkau mulai mengucapkan selamat tinggal.
.
.
.
Nanar terus membayang tanpa lagi mengenali pagi atau siang. Duka yang terlalu mendalam tak sanggup menyamarkan diri menjadi empati. Aku menunduk dan terpuruk. Menanti letupan tangis yang tak kunjung menetes. Aku menunduk dan terpuruk, mempertanyakan kepada alam kemana kiranya ragamu tersembunyikan. Aku yakin bukan disemak belukar. Dan sebagian besar yakinku masih mempertahankan bahwa engkau hanya bersembunyi dalam pelukan ajal. Tak sudi pergi menapaki batas alam ini. Aku menunduk dan terpuruk. Menantimu yang ternyata telah lama datang. Menantimu dalam ujud yang sanggup ku peluk. Namun pagi ternyata datang. Memutuskan segala kesempatan dan harapan. Engkau resmi hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar