Jumat, 12 Februari 2016

Kuncup Bunga Abadi

Petang melumatku dalam ketakutan tak sewajarnya. Gelap membawa khayal mengembara jauh menembusi segala ruang.
.
.
.
.
.
.
Kuncup bunga meregangkan sel uratnya demi membiarkan sepucuk embun suci menyentuh lembut hatinya. Aku bukan lagi manusia sama semenjak kuncup bunga yang tertanam didalam raga mulai menunjukkan hasrat memekarkan helai indahnya. Senandung-senandung halus menyentuhi setiap lubang pori. Ragaku menerima dengan baik kedatangan si tamu agung yang sejatinya telah lama mendiami sepertiga ruang. Tamu agung yang kehadirannya tak pernah ditetapkan kapan waktu dan masanya. Tamu agung yang sanggup menundukkan segala rasa demi kenyamanannya menyinggahi singgasana.
.
.
Senandung lembut membelai ujung helai rambut, menyiraminya dengan kilauan khas nan membara. Senandung lembut mengecupi setiap inchi nadi, menggemburkan lagi asa-asa yang pernah terlahap hangus api-api ciptaan bumi. Kuhirup dalam dan semakin dalam aroma kuncup bunga yang baru saja meregangkan sel hidupnya. Menyerap segala energi yang dikandugnya, menjadikannya sumur abadi yang tak akan pernah mengering hingga nafasku terhimpit waktu. Helai demi helai kelopak bungaku menyemai banyak bara. Bukan lagi sebatas harapan atau rasa. Tingkatan yang disuguhkan bunga mekar baruku melebihi segala daya yang selama ini terus melumat jiwa manusiaku. Helai demi helai lambaian bungaku akan mengantarku pada sebuah kedigdayaan rasa. Aku bernafas, tetap bernafas meski ternyata nanti genangan air didepan sana sanggup kupijak tanpaku harus menjadi basah. Aku hidup, tetap hidup meski ternyata nanti tanganku sanggup menggenggam udara yang selama ini hanya hadir bak hantu yang hadir tanpa mengenal waktu. Kabut tak akan lagi menyeramkan. Gelap tak akan lagi datang dalam ujud yang mencekik dan menakutkan. Petang bukanlah lagi satu-satunya yang harus kuhindari dan kukuatirkan. Karena di dalam sana, di dalam raga yang selamanya tak bisa tersentuh tangan, telah tumbuh sesuatu yang harus terus kujaga kesegaran kulit arinya. Karena di dalam sana, sebuah hati telah menampakkan diri dengan gagahnya, menyemburkan ribuan cahaya, meletupkan ratusan asa. Ada sesuatu di dalam diriku yang harus terus kujaga keberadaannya. Ia hidup, ia bernafas, ia menyirami nyawaku dengan partikel-partikel cadangan kehidupan. Sesuatu yang kutakutkan sekarang bukan lagi tentang gelap, pekat, atau kabut yang tak tergenggam. Sesuatu yang kutakutkan sekarang adalah tentang keutuhan bunga abadi milikku. Tentang kemurnian kelopak-kelopak cantiknya. Tentang kesucian gumpalan hatinya. Tentang runcingnya cakar dunia yang sanggup menembusi kulit ari. Tentang kerelaanku untuk lebur demi menjaga siraman sinarnya terjaga dan tak tercemari udara bumi.
.
.
.
.
Aku yang selama hidupku bernafas dengan bertamengkan kepongahan. Berbaju lapis kesombongan dan bersarung tangankan keegoisan. Aku yang selama hidup tak pernah percaya pada adanya kata selamanya, tak pernah percaya pada adanya kata percaya. Malam ini runtuh dalam pengharapan dan permohonan. Kuncup bunga yang sekian tahun membatu dan tak menunjukkan adanya kehidupan mulai membukakanku mata. Kuncup bunga yang sekian tahun kupercayai mati malam ini menjungkirbalikkan segala fakta. Bunga itu sanggup mekar. Bunga itu sanggup menunjukkan keindahan dari kesuciannya. Hati yang kurasa telah membusuk ternyata masih tersimpan aman di dalam rumahnya. Menunggu waktu yang tepat, menunggu malam ini untuk akhirnya terbuka dan menunjukkan kekuatannya. Siraman emas hangat yang terus melumuri daging. Siraman murni hasrat yang menceburkan diri bersama gulungan-gulungan sel darah. Aku tau malam ini aku bukanlah manusia yang lagi sama. Aku mulai percaya pada kata percaya. Dan yang terpahit dari semuanya adalah, aku mulai percaya pada kata selamanya.
.
.
.
.
Kuncup bunga yang licik. Membodohiku dengan terus membuatku merasa yakin bahwa akulah satu-satuny makhluk menjijikan dibumi ini. Kuncup bunga yang manis. Dalam kecermatannya memilih saat yang tepat untuk membuka diri disaat aku telah berhasil mengenali siapa yang tengah singgah di ragaku ini. Monster itu tewas. Monster itu terlahap sinar hangat yang muncul perlahan seiring meregangnya kelopak bunga didalam raga. Dan jika ternyata dagingku telah terinfeksi cakarnya, maka aku akan berlatih memaafkan diri.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gelap mulai menunjukkan kuasanya. Bukan lagi dalam format takut nan mencekam, tapi gelap datang membawa kabar menggembirakan. Ia ingin mengistirahatkan mesin ragaku yang mulai berdebu dimakan pengharapan.
.
Dan melalui mekarnya kuncup bunga di dalam raga, aku mulai menginginkan kata selamanya. Lalu melewati cahayanya kelopak bunga pembungkus hati, aku mulai menginginkan rasa nikmatnya terlelap dalam mimpi. Dan jika ternyata ada bagian dari daging di dalam raga yang terinfeksi cakaran monster peliharaanku, maka saat itu aku akan mulai berlatih keras untuk memaafkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar