Minggu, 28 Februari 2016

Mengurai Isi Kotak Bekal

Semburat oranye membingkai langit dengan begitu cantiknya. Aroma petang menjemput siapapun untuk kembali ke peraduan malam. Meninggalkan siang beserta segala isi kotak bekalnya dan meninggalkan mereka di laci nakas. Siap atau tidak, mau ataupun tidak. Ketika dulu masih berumur jagung, aku sangat menyukai benderang siang. Malam dalam segi pikirku adalah sebuah kotak hitam yang akan menelas siapapun dalam ruang pekatnya. Aku takut tenggelam, aku takut terlelap dan pagi terlambat menjemputku untuk menikmati poros roda mentarinya. Aku terlalu takut Tuhan akan lupa membangunkan aku, dan justru membiarkan aku damai dalam lelap ketimbang harus bergumul dalam mainan maha besar bernama siang. Saat itu yang ada di dalam kepalaku bahwa masa emas sang matahari terbit adalah sebuah kesenangan, permainan dan hanya tentang bermain.
Sedikit beranjaknya umur, aku mulai bisa menerima kehadiran malam. Gulita ternyata tidak semenakutkan yang terkira sekalipun tetap saja tak akan sudi kubiarkan diri ditelan pekat tanpa seujung sinarpun menemani. Alhasil, bohlam di dalam kamar menjadi serenyah kripik kentang, cepat habis. Mati.
.
Dan seperti juga malam yang dengan pasti akan melengser keberadaan siang, aku dewasapun harus mengakui sebuah keanehan. Siang yang dulu teramat menyenangkan sekarang berubah ujud menjadi format yang mengerikan. Jika dulu sanggup ku sulap apapun menjadi mainan selama mereka masih berada dalam dekapan sinar mentari, maka sekarang semuanya menjadi berkebalikan. Dalam satu masa aku justru merasakan sebuah ketakutan yang ganjil, aku takut disapa pagi, aku takut mendengar kokok ayam mengudara, aku takut ketika siang mulai menjelang. Karena dalam kotak yang kesemuanya tak bisa di hadapi dengan kepolosan, aku menemukan format dunia menjadi mengerikan. Siang tak lagi memberikan kesempatan untukku bermain, dan justru dalam siraman siang akulah yang mereka jadikan permainan. Mereka ? Siapa mereka ? Uang. Waktu. Substansi. Aku dewasa lebih memilih di sekap pekat ketimbang harus dilumat ketiganya. Uang, apa yang bisa di lakukan manusia tanpa uang ? Itu pertanyaan yang sangat aku benci. Bumi masih tetap bulat, rerumputan tetap saja hijau menyegarkan, capung tetap menari mengitari bebungaan dan sungai. Lalu kenapa uang menjadikan dirinya sepenting udara ? Seakan jika mereka absen ada maka para manusia akan berhenti bernafas, lalu mati. Ironisnya manusia-manusia di bumi ini rela saja di jadikan tunggangan oleh mereka yang menumpuk lebih banyak uang. Dengan dalil kebutuhan dan jawaban lainnya yang akan membuat mereka terlihat semakin terlihat manusiawi (re;serakah). Aku dewasa menemukan banyak kejanggalan, terutama tentang kenyataan bahwa manusia sekarang ternyata telah menjelma sebagai kuda balapan. Jika manusia yang di ibaratkan sebagai penontonnya masih mending, tapi uang..dialah yang justru nyatanya duduk manis di kursi penonton menikmati si kuda atau manusia dalam artian aslinya, saling lari, berlomba, mencekal satu sama lain, memburu dan tak pernah terpuaskan. Dan sialnya aku masihlah salah satu dari mereka yang berkebutuhan, menjadi kuda dan tengah berjuang lari dari arena lalu keluar menjadi kuda liar.
.
.
.
Waktu. Manusia selalu merasa jika waktu hidup mereka berkuota. Entah setahun, sepuluh atau esok sekalipun mereka sadar akan menjadi sebuah nama. Tiada.
Manusia hanya sadar bahwa waktu mereka berkuota, lalu dengan kecanggihan otaknya mereka akan berlomba berfikir, titel apa yang harus mereka raih sebelum menyandang gelar almarhum, bangku apa yang harus mereka duduki sebelum kuota mereka sekarat, lalu dengan kecanggihan otaknya pula akan tercipta sebuah stigma. Gelar adalah segalanya. Mereka sekali lagi lupa, bahwa jejak adalah yang terpenting ketika kita menjadi tiada, semakin kita sadar bahwa waktu tidak setergesa-gesa itu kendatipun esok tetaplah misteri, maka semakin nikmatlah dunia ini. Mereka yang sadar akan mati 50 tahun lagi tidak akan bisa merasakan megahnya perhelatan menyambut mekarnya kuncup daun bambu di pagi hari. Yang mengaliri embun abadi, mencicipi kesadaran tanpa batas waktu.
.
.
.
Substansi. Adalah salah satu kotak yang tidak kusukai. Ujudnya adalah dua penggabungan dari uang dan waktu yang menjalin ikatan sesakral pernikahan. Terlalu ngeri membayangkan manusia-manusia di bumi bak peselancar yang menginjaki papannya dan berusaha menembusi dinding air. Mereka merasa hebah tanpa sadar tengah di jadikan mainan oleh dua oknum berwajah elok bernama ombak dan papan selancar. Mereka adalah korban dari waktu dan uang telah membelitkan diri seerat mungkin dalam pemikiran dan pemahaman.
.
.
.
Hasratku malam ini tercapai. Karena kembali pada masa seumur jagung yang mengenal pancaran sinar mentari adalah mainan itu sesuatu yang tidak mungkin. Maka aku dewasalah yang menyesuaikan diri, menjadikan gelap yang dulu menakutkan, dan menangkatnya sebagai teman. Hanya dalam gulita aku sanggup bercengkerama dengan alam, menghabiskan waktu bersama semburat oranye, bermain dengan indahnya misteri gulita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar