Sabtu, 27 Februari 2016

Peretas Malang

Matanya kosong menatapi kumpulan anak-anak yang tengah bermain di pelataran rumah. Entah gumpalan apa yang tengah bersarang di dalam kepalanya. Yang pasti, hari ini aku melihat Sid dalam format yang berbeda. Rapuh dan sendiri. Nama lengkapnya Sidharta. Kakak yang juga merangkap peran sebagai Ayah bahkan semenjak sosok itu masih ada diantara kami semua. Ketidak beruntunganku mendapat kasih sayang yang tepat dari sosok ayah menjadikan Sid semacam karet penambal ban motor. Melegakan sekaligus melengkapi disaat yang vital. Umur kami terpaut 10 tahun lebih mungkin, aku hanya selalu ingat bulan lahirnya saja, yang secara kebetulan bebarengan dengan bulan kelahiranku. Bedanya aku perdana melihat dunia di ujung penutup bulan, sedangkan Sid terlahir di ujung pembuka bulan. Kami sama-sama berzodiak gemini, sekalipun aku tidak terlalu mempercayai tentang horoskop tetap saja kesamaan itu membantuku meyakinkan diri bahwa hanya Sid lah sosok yang tepat untuk memahamiku. Setidaknya, itulah yang kupercayai hingga hari ini.
.
.
.
Perawakannya kurus, rambut ikal menumpuk halus diatas kepalanya. Sedangkan wajahnya dibingkai dua bola kristal yang indah. Hidungnya mencuat tinggi berbeda dengan milikku yang timbul hanya seadanya. Dulu aku sering mempertanyakan perihal perbedaan mencolok itu kepada Ibu, tapi seringnya beliau hanya tersenyum sembari mengacak halus rambutku. Harus diakui Sid tampan, ketampanan yang terpancar dari sorot tajam matanya. Jika ada hal yang patut disyukuri hadir didunia ini, aku yakin Sid adalah dalam urutan pertama. Ia tampan, ketampanan yang tersembunyi dalam raut kusut dan badan tak terurusnya. Lebih dari itu, ia tampan karena selalu berhasil menjinakkan alarm bom yang melengking-lengking di dalamku.
.
.
.
.
Hari ini Sid berbeda, jarak dudukku darinya tak lebih dari radius tiga meter. Aku bisa memastikan bahwa matanya tengah menyimpan duka. Duka yang tak pernah ia bagi dengan siapapun juga termasuk aku dan Ibu. Setelah kepergian Ayah, Sid semakin hebat dan lihai dalam menyembunyikan diri. Dunianya seakan hanya miliknya saja. Semua lara dan duka termasuk aksesoris yang tak akan ia bagi bahkan denganku, adiknya. Dulu kami selalu berbagi semangkuk mie, sekalipun ia lelaki tapi harus diakui masakan buatannya sangat enak. Dulu kami berbagi kotak tempat dvd, waktu itu keping dvd masihlah yang paling canggih. Dan Sid memiliki banyak koleksi keping dvd dari film laga sampai film kartun-pesananku-.
.
Pernah waktu kecil aku berbagi duka dengan Sid, bercerita tentang cinta monyetku yang ternyata disambar teman yang juga tetanggaku. Aku sedih bukan main saat itu, tapi Sid dengan sabarnya memberitahuku untuk merelakan. Kita lihat saja suatu saat nanti karma pasti berlaku, itu yang selalu diucapkan Sid diakhir penghiburannya padaku. Sekalipun diumurku yang saat itu baru menginjak angka belasan, belum benar-benar paham apa makna dari kata karma, tapi pesan itu selalu terngiang dan terus ku ingat seperti juga pesan-pesannya yang lain.
.
.
Ini aneh, aku tumbuh besar dengan tingkat ego yang meledak-ledak juga mengerikan. Tapi Sid dan kata-katanya selalu bisa menjadi mantra penenang dan pemenang. Setiap bulir kalimat yang terucap dari mulutnya selalu bisa menjinakkan duri-duri didalam diri. Hanya Sid. Dan bahkan hubunganku dengan Ayah tidak semulus itu. Kami terlalu banyak diam. Menjadikanku anak yang tak pernah bisa keluar dari kepala jika tengah bersamanya.
.
Sid berbeda, ia memegang kunci penjinakku. Ia mengerti betul mantra yang pas untuk melunakkanku. Dulu aku selalu berkata, siapapun kelak yang mendapatkan gelar sebagai istri dari kakak tertampanku, pastilah ia perempuan yang sangat beruntung.
.
.
.
Dan seiring waktu berjalan, terkuak jugalah segala misteri yang terus bersembunyi di kantong saku ajaibnya. Perempuan itu memang beruntung, tapi Sid tidak. Itu menurut pandangan pasku yang selama bertahun-tahun tak pernah lepas mengagumi dan mengenali Sid. Entah kepergian Ayah atau momen yang lain, Sid berubah menjadi lebih penyendiri dan pemurung. Kata-kata yang dulu terdengar sangat menenangkan sekarang hanya keluar seperlunya saja. Senyum itu sama manisnya seperti Sid yang selama ini ku kenal, tapi mata itu memancarkan lain. Mengindikasikan bahwa perempuan beruntung itu tak cukup berhasil memboyong semesta Sid untuk mereka berdua. Sid masih tetap terkurung dalam dunianya, yang begitu misterius dan dewasa.
.
.
Hari ini aku ingin menghampirinya, menemaninya memandangi pelataran penuh anak yang tengah sibuk dengan mainannya. Gugus kami sama dan aku selalu percaya bahwa Sid adalah pawang untuk semua benang kusutku. Dan hari ini aku ingin meyakinkannya, jika tak lagi ada sosok lain di dunia ini yang paham dengan segala kemelut dan nalarnya, maka ia patut mencobaku sebagai obat pereda. Karena memang kita sama. Bedanya Sid dilahirkan dengan takdir menjadi si penjaga di pintu pembuka. Sedangkan aku dilahirkan dengan takdir menjadi si penjaga di pintu penutup. Entah apapun itu artinya nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar