Selasa, 23 Februari 2016

Rumah Tanpa Ventilasi

Rumah. Penjelasan tentang kata satu itu seringnya membuatku linglung. Bukankah normalnya definisi rumah adalah sebuah bangunan, berpintu, berventilasi dan bermeja kursi ? Lain jika kaum pembahasa yang menjabarkan. Rumah bagi mereka adalah sesosok atau mungkin sebuah perkumpulan yang membuat nyaman. Dengan adanya kasih, cinta dan juga pembagian masa-masa sengsara. Sebuah kotak jika digaris besarkan.
.
.
Hari ini aku memasuki sebuah komunitas, salah satu dari si empunya menyodoriku formulir formil tentang identitas nyata. Dan yang sanggup aku berikan adalah data senyatanya. Memangnya di mana aku tinggal ? Menjadikan bumi sebagai jawaban sama anomalinya dengan bernafas ketika ada yang bertanya apa yang tengah aku lakukan. Dan aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk pada hari pertamaku bergabung.
.
Dulu sekali, aku tidak tahu jika tempat ini kelak akan kunamai rumah. Karena jika aku tahu..mungkin peletakan batu pertama pembuatannya akan ku isi halaman perkenalan dengan kata-kata mempesona nan menghanyutkan. Sialnya yang justru terabadikan sebagai kalimat pembuka adalah kalimat-kalimat khas manusia setengah matang, yang kalau dibaca dalam keadaan setengah sadar pun akan langsung menimbulkan mual. Jika dulu aku tahu kalau kelak tempat ini akan kunaikkan jabat sebagai rumah, mungkin tepat di hari pembuatannya, akan kuadakan syukuran, pemotongan tumpeng dan mungkin tahlilan.
.
Rumah ini lahir dengan seada-adanya. Memang di landasi dengan adukan cinta, tapi pondasi cinta saja tidak akan cukup untuk memantapkan bangunan. Tahun pertama berdirinya, hanya di isi dengan tulisan masih khas isi kepala manusia setengah matang. Saat itu aku belum yakin benar untuk apa membuat sebuah bangunan, selain hanya untuk bergaya saja. Seiring berpindahnya hari, aku mulai merasa menemukan kehangatan, disaat aku terluka, masa-masa menggilai idola, saat dimana aku mulai jatuh cinta, lalu terluka dan tumbuh lagi. Tempat ini menampung segalanya. Tidak hanya merekam jejak antara dua umat saja. Tapi di setiap halaman menyimpan keresahan-keresahan yang sejujurnya tak lazim di pertontonkan di jalanan maya. Aku masih ingat, pernah menuliskan cerita tentang indahnya bercinta, mengagumi suami orang lain. Melukiskan tentang cicak telanjang di dalam kamar, atau tentang dedaunan yang mulai bersimphony ketika turun hujan. Aku menulis tentang apapun yang singgah di perjamuan retina. Dan selayaknya rumah, tempat inipun memiliki dapur, letaknya ada pada persimpangan jemari, hati dan juga gumpalan acak di dalam kepala. Dan alam adalah pasar yang menyediakan semuanya. Ketika bola mata ini berhasil membelanjakan fungsinya dan menemukan bahan, maka hati akan bergerak gesit memilah yang mana kiranya sajian alam yang patut di masak dan di hidangkan di meja makan. Alam begitu kaya, melalui udara aku sanggup menjadi pencerita, melalui celah diantara tanah mengering sanggup mengubahku menjadi pendongeng, melalui kabut yang hadir pada jam ayam berkokok saja sanggup memintalku menjadi pujangga beraroma dewa. Terlalu banyak bahan di sekitar, dan kematangan sajian tergantung pada si pengemban tugas selanjutnya. Gumpalan acak di dalam kepala, atau manusia normal biasa menyebutnya otak. Melalui gumpalan itulah nasib bahan-bahan tadi di olah sajikan. Tidak segampang itu tentu saja, karena ada si pengemban tugas lain yang belum terjabarkan. Yakni jari jemari. Aku selama ini percaya, menjadi penulis adalah tentang perpaduan kemampuan menyihir dan menyulap mantra. Ketika keduanya di gabung maka akan tercipta sebuah karya yang tidak hanya indah tapi juga mengenyangkan. Atau lebih sederhananya adalah, aku mengibaratkan ide menulis adalah sejenis makanan. Para jemari mungkin selalu siap menyomot makanan itu lalu menjejalkan ke dalam mulut. Tapi nyatanya, aku makan hanya jika, otak berhasil bernegoisasi dengan hati maka akan memerintahkan demikian. Karena aku lapar, berada dalam waktu yang memungkinkan maka aku makan. Sebuah karya yang mengenyangkan adalah hasil perpaduan banyak pengemban. Dan sialnya, dapur rumah ini hanya mengepul jika sang Maha koki datang menyapa. Tidak peduli waktu dan cuaca, tidak peduli jika tidak ada siapapun yang harus di suguhi makanan terbaiknya, karena nyatanya rumah ini terdedikasikan hanya untuk jiwaku. Aku dan judul-judul didalamnya adalah rekan karib yang saling memberi kenyamanan. Aku dan aksara-aksara di rumah ini adalah patner yang selalu siap menghabiskan dentang jam demi memburu sebuah kenikmatan. Tengok saja tahun-tahun awal halaman rumah ini, aku sendiri terkadang heran kenapa bisa menciptakan sebuah paragraf yang mengerikan. Benar-benar khas isi otak manusia setengah matang. Lalu siapa yang akan peduli ? Ini adalah rumahku. Yang memberikan kenyamanan juga menyajikan banyak kehangatan. Aku bukan penulis tenang saja, aku tidak memiliki kemampuan menyihir itu. Aku hanya sebuah nama yang empat tahun lalu tanpa sengaja membuat bangunan tanpa ventilasi dan pintu, lalu kemudian merasa nyaman dan mengangkat pangkat bangunan itu sebagai rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar