Senin, 15 Februari 2016

Penyihir Beramunisi Bumbu Dapur

2013
.
.
Hari itu, aku berjalan lambat menyusuri deretan toko disalah satu sudut kota, mataku nyalang memandang warna-warna celupan manusia. Gaun dengan renda menjuntai bersanding dengan terusan panjang yang halus kainnya bisa terlihat dari jarak jauh sekalipun. Merah jingga, kuning matang, krem menyala. Semua terpasang apik ditubuh-tubuh manekin yang meliuk genit dibalik etalase.

"Esok ketika hari istimewa itu datang, aku akan membawa pulang salah satu dari mereka. Aku akan terlihat cantik dalam balutannya. Dan aku akan tersenyum bahagia.."

Dengan bersiul santai kembali kakiku terhenti didepan kaca penjualan. Kali ini warna-warni celupan alam yang menyambutku dalam ujud dedauanan dan bunga. Krisan, lily, anggrek dan yang paling mendominasi adalah si cantik mawar. Aku tersenyum lama disana, hanya memandangi mereka satu demi satu untuk kemudian melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya dikamar, segera ku buka pintu lemari. Dari dalamnya kuambil satu pot sedang bunga mawar palsu berwarna campuran hitam dan putih. Satu-satunya bunga yang pernah kumiliki, sekalipun hanya rangkain bunga dari kain flanel, siapa yang peduli ?
Hitam dan putih. Aku secara khusus menyukai kedua warna itu.

.
.
.
2015,
.
.
.
.
Dua wanita paruh baya dalam terusan mencolok merah darah dan hijau daun menyekapku di dalam kamar. Di atas ranjang semua amunisi yang tertata rapi dalam dua besar ransel warna perak mulai dikeluarkan. Hanya sedikit barang yang bisa kukenali, maklum saja..rekor terbaikku dalam memoles wajah hanya sebatas pemakaian bedak bayi saja. Kadang dengan aroma mawar, kadang pula bunga chamomile tergantung diskon toko saat pembelian. Detik selanjutnya, dalam keadaan mata terpejam yang berhasil kubaui bukanlah si mawar ataupun si chamomile. Hari paling bahagiaku diawali dengan polesan dipipi beraroma serbuk kayu campur dedak. Dengan pasrah aku membiarkan tangan dua wanita paruh baya memoleskan segala amunisi yang disimpannya ke atas wajahku. Setelah serbuk kayu bercampur dedak, aku mencium lagi aroma buku tua yang ditepuk-tepukkan di sepanjang garis indra penciumku. Entah seperti apa hasilnya nanti, aku benar-benar pasrah. Entah aroma apalagi yang berhasil kutangkap, yang pasti eksekusi terakhir dari semua penyiksaan yang mereka sebut riasan adalah tergantungnya benda berat di pelupuk mata atas. Aku benaran harus berusaha ekstra hanya untuk membuka mata. Dan ketika seseorang dari mereka menyodorkan sebuah cermin, saat itulah aku benar-benar terpana. Bagaimana bisa serbuk kayu bercampur dedak bisa membuatku terlihat begitu berbeda ? Ya berbeda, bukan cantik. Hidung tomat kebanggaanku beralih wujud menjadi sesuatu yang teronggok diwajah dengan arsiran hitam di sepanjang garisnya. Aroma buku tua yang berhasil kutangkap tadi ku prediksikan adalah arang wajan yang sengaja di torehkan demi memberikan efek hidung tegas dan bukannya melebar. Sekilas aku melihat sekeliling, dimana mereka menyembunyikan wajan penuh arang itu ?
Dengan bibir berpulas warna darah pucat yang justru tidak tergaris tepat sesuai bentuk, alhasil, bibirku yang pada dasarnya sudah dower terlihat lebih bervolume lagi. Dari balik jendela, saudara sepupuku mengulum senyum melihat riasan menorku. Kurang ajar! Dihari paling bahagiaku, aku justru disiksa dengan dijadikan badut oleh dua wanita paruh baya yang dibayar calon suamiku! Dan mereka-mereka dengan tawa jenaka terkulum yang mengintip dari balik jendela justru harus sekongkol dengan si penata rias dengan berkata aku cantik ? Badut mana yang sempat dipuji cantik sebelum tampil didepan khalayak dan ditertawakan bersama-sama ? Aku hanya bisa mencengkeram lengan kebayaku yang kepanjangan sembari merutuki kesialan untuk kemudian dituntun keluar ke tengah medan perang.
.
.
.
.
Dalam hari paling bahagiaku, aku mengenakan terusan batik dengan atasan putih berkerlip. Bukan si merah jingga, kuning matang atau justru si krem menyala yang kemarin dulu terpajang di etalase pinggir jalan. Tidak ada bunga krisan, lily apalagi mawar ditangan. Yang tergenggam justru adalah butiran bumbu masak bernama merica yang terbungkus plastik bening. Salah satu dari dua wanita paruh baya yang mengubahku menjadi badut dadakan tadi yang menyelipkan bungkusan merica di tangan. Setelah sebelumnya mulut bergincu merah darah itu berkomat-kamit mendoakan aku dan calon suamiku. Aku tidak pernah tahu sebelumnya jika ternyata menikah adalah sebuah ritual sakral, yang membutuhkan perkombinasian antara bumbu dapur, serbuk kayu, dedak dan tak lupa si arang wajan.
.
Baru setelah Ibuku menjelaskan, aku tahu bahwa di hari paling bahagiaku, aku tak membutuhkan buket bunga cantik di tangan, melainkan bumbu dapur dalam genggaman yang akan membuatku kuat selama di medan perang. Dan ketika ijab kobul di ucapkan. Saat itulah aku mengerti, dua wanita paruh baya tadi mengerti benar seberapa ganas medan perang yang tengah ku masuki. Sekeras aku meremukkan bungkusan bumbu dapur ditangan, sekeras itu pula aku menekan kantong mata agar tak menjatuhkan airnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar