Rabu, 24 Februari 2016

Pesta Menjelang Fajar

Kuncup bunga membatu di telan dinginnya pagi. Serbuk salju berlomba-lomba menembusi jaringan kulit ari. Segala daya dikerahkan demi menjaga, agar butiran kristal tak jatuh tanpa makna.
.
.
.
Seonggok daging bergetar dibalik selimut tebal, merayakan hari jatuhnya butiran-butiran kristal. Tak peduli jika kokok ayam belum ramai menyapa, perayaan tetap perlu dilakukan demi menjaga kewarasan.
.
.
.
Aku adalah seorang perempuan. Dengan hati yang diciptakan lebih rapuh ketimbang sesamanya. Aku mengira diriku telah tumbuh sekuat baja, tak perlu kuceritakan sebesar apa ombak yang pernah kutaklukkan, karena itu tidak akan membantu menjelaskan seberapa kuatnya diriku. Namun ternyata, sejentik saja cipratan berhasil merobohkan dan mengoyak pernapasan. Aku sekarat, ditengah euforia tentang adanya kehadiran makhluk surga. Aku sekarat ditelan keserakahan yang menjelma bak bulu domba. Aku sekarat mengetahui bahwa hati telah ternodai oleh satu lagi janji.
.
.
.
.
.
Seseorang pernah berkata, "semahal apa harga kecewa jika di jual oleh hati yang terlanjur percaya..?"
.
.
Perempuan berbaju baja menangis dikala fajar, kristal-kristal yang mendiami pelupuk mata terlalu berat untuk dibopong terlalu lama. Segumpal daging dibalik selimut tebalnya pun sama, teronggok kaku dan membeku. Ditelan butiran-butiran salju kedukaan. Senja yang lalu telah menorehkan lara, tidak hanya sekedar melukai satu nama, tapi dua nyawa yang teremukkan seketika. Tanpa aba-aba, tanpa salam permisi sebelumnya.
.
.
Kuncup bunga berbahan daging mulai kehilangan sadarnya. Meronta dan memaki diri yang selalu hanya sanggup mengurung sepi. Tak lagi ada tempat menolehkan kepala, terlebih untuk dipinjami bahunya. Perempuan berbaju baja yang malang, kepercayaannya telah terjual dengan sukarela. Terbeli oleh kecewa yang menganga-nganga. Tak ada kata yang sanggup menggambarkan kengerian, ketika hancur telah berada tepat diujung mata.
.
.
Hawa dingin menusuki pergelangan tangan, menyuntikkan rasa cemas berlebihan. Tak peduli seberapa kuat perempuan berbaju baja, dingin tetaplah senjata mematikan yang hanya sanggup dihadirkan alam. Nafas tercekat satu-satu. Menanti ajal yang dibawa si pembawa berita kematian. Aku adalah jenis perempuan kuat di bawah standar. Yang tak memiliki makna, hanya kata. Untuk itulah selalu dipersilahkan bagi siapa-siapapun yang hendak menjajal kemampuan untuk mematahkan dan melenyapkan.
.
.
.
Kepada separuhku, kuharap engkau mendengar aku memanggilmu. Kepada separuhku, kuharap matamu terbuka, lihatlah seberapa mahal kecewa yang berhasil ditorehkan oleh mereka yang selama ini terus engkau jaga.
Aku hanya membutuhkan satu dan itu namamu. Karena ketidakserakahanku, maka mungkin tak apa jika aku meminta hadirmu datang dengan segala keutuhan, bukan yang terbagi apalagi terjalin separuhnya. Aku tahu tragedi senja yang lalu bukanlah murni kesalahanmu. Tapi darah yang mengaliri ragamu, aku membencinya. Tapi darah yang mengaliri diseparuh nyawamu, aku kecewa padanya. Entah akan datang sebagai apa nanti ketika kepulanganmu menjadi nyata. Entah akan kuperlakukan sebagai apa nanti ketika engkau telah datang di depan mata.
.
.
.
Seonggok daging bergetar dibalik selimut tebalnya. Merayakan hari jatuhnya para kristal berharga. Tak ada yang bertanya tentang seberapa mahal harga kecewa. Tak ada yang sempat melongok goresan lara di dalam dada, menanyakan apakah aku baik-baik saja.
.
.
.
Aku adalah seorang perempuan. Yang mempunyai hati lebih ringkih ketimbang sesamanya. Aku selalu mengira telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mempesona. Tapi lubang-lubang yang menyekapku, lubang-lubang yang digali oleh mereka yang kubekali rasa percaya. Aku tak sanggup mengira-ngira selemah apa keberadaanku dimata mereka sehingga dengan rela dan nyatanya dipatahkanlah percaya itu untuk kemudian diriku dijebloskan dalam perangkap busuk bernama janji dan kepura-puraan.
.
.
.
Aku terlahir di dunia dengan bekal seadanya. Tak mengira jika...jika bekal yang hanya seadanya itu di curi rampas oleh makhluk-makhluk yang kupercaya. Aku tak sanggup menyebut mereka manusia. Aku selalu mengira sesosok monster tengah mendiami ragaku, nyatanya ia justru adalah sejenis penjaga. Yang menampakkan diri ketika tahu aku tengah dalam bahaya. Namun nyatanya, monster sebenarnya telah berganti kostum menjadi malaikat penjaga. Menyodori senyuman dan kehangatan, menyembunyikan tanduk dan ekor dibalik bajunya.
.
.
Aku selalu mengira telah tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Mengira hati ini telah terlindungi kostum baja. Tapi nyatanya..tak ada yang harus aku percayai lagi di dunia ini.
.
.
Kecewa itu begitu mahal, terlebih ketika dijual oleh perempuan yang hanya berilusi telah mengenakan kostum baja.
.
Tak ada lagi kata. Senja lalu telah mengubur segala makna dalam lubang kengerian yang selama ini terus kuhindari. Tak ada siapapun yang perlu kuserahi rasa percaya untuk menjaga hati, karena memang tak ada yang sanggup menjaganya selain aku dan monster kesayangan didalamku. Selamat fajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar