Minggu, 21 Februari 2016

Telepati Aksara

Surat yang tidak bisa dikatakan kecil ini adalah dedikasi penuhku untukmu yang tengah terlelap dalam damai. Bukan karena ini hari istimewa atau tanggal keramat, tapi karena beberapa waktu yang lalu sesuatu terus mengetuk tutup saji hatiku. Sesuatu berniat meloncat dan meledakkan diri disaat yang kuduga telah menyengat persendian. Aku ingin menyapamu lewat aksara dan bukan lewat doa, bukan karena aku tak lagi percaya pada kekuatannya, tapi karena aku paham..engkau akan terpuaskan dengan ketika aku mulai berbicara empat mata denganmu.
.
.
.
Dear engkau yang tengah menutup mata untuk jangka waktu selamanya. Apa kabar ? Indahkah rumah yang sekarang engkau tempati ? Ataukah tempat tinggal yang kau tinggalkan ini masih lebih bagus ketimbang milikmu yang sekarang ? Aku tahu, tak akan ada yang bisa mengalahkan kedamaian dari rumah barumu itu, sekalipun sesekali aku masih bisa merasakan kedatanganmu dimanapun sudut ruang, tapi ketentraman yang di sajikan di sana memang tak akan bisa tertandingi dimanapun sudut favoritmu.
Dear engkau yang sekarang tengah menikmati masa sebagai penonton abadi, selalu terkenyangkankah engkau di hunian barumu itu ? Dulu aku selalu bertanya-tanya sendiri, semenakjubkan apakah dunia yang tak akan pernah tersentuh dalam sadar itu ? Seindah apakah lingkungan yang kelak menjadi bangku terakhir segala umat ketika menjalani masa sebagai penonton bioskop akbar ? Dan pertanyaan yang tak pernah luput kuajukan padamu dulu adalah tak lain tentang makanan. Entah kenapa masa kecilku dipenuhi teror ingin tahu tentang isi dari tutup saji lain-lain rumah. Apakah setiap rumah akan menyajikan menu monoton di setiap harinya ? Atau justru berbeda judul setiap pagi, siang dan malamnya ? Aku selalu penasaran apa yang mereka sajikan untukmu dan yang disajikan oleh mereka-mereka lainnya.
.
.
.
Untuk kesekian ratus hari setelah kepergianmu, aku ingin benar-benar menyapamu secara pribadi. Tidak ada air yang akan jatuh dari retina hari ini, karena yang aku inginkan sungguh hanya menyapamu dengan kondisi dunia kita ini masih sama, dan lewat aksaralah keinginanku akan menjadi nyata. Melalui surat ini, engkau wajib tahu tentang keadaanku juga mereka yang menangis di hari kepergianmu. Maaf karena semenjak hari itu, hanya sekali aku datang ke rumah megahmu. Bukan karena tak sudi untuk menginjakkan kaki disana, tapi memang bola mataku tak pernah sesiap itu untuk membiasakan diri mengetahui bahwa engkau telah melebur bersama gundukan tanah. Ari menjagaku seperti yang pernah kau pesankan kepadanya. Sejauh ini aku masih belum menemukan tanda-tanda ia akan menyerah menghadapi sifat kekanakan yang terpenjara di dalam raga tuaku. Sejauh ini aku masih percaya diri bahwa Ari adalah nama yang tepat untuk dititipi putri kesayanganmu.
Engkau pun wajib tahu tentang satu ini, bahwa hingga hari dimana aku menata aksara ini, aku masih melihat duka yang memayungi redupnya, yang kau kasihi. Namamu selalu disebut oleh si kecil yang entah kapan akan terpahamkan bahwa engkau telah pergi menuju alam tak terjamah. Namamu selalu diharapkan pulang oleh si kecil yang seringnya mengundang lara pada goresan didalam hati yang hampir tertutupi. Engkau tak pernah terrindukan hingga kemudian kata ikhlas harus merajai semua tanya. Engkau tak pernah memenuhi bayang hingga kemudian bayang hitam dibalik ragamu pergi dan tak pernah kembali.
.
.
.
Aku tidak ingin menyertakan air mata di pertemuan kita kali ini, aku tahu engkau akan membaca surat ini. Membalasnya dengan menebarkan aroma damai disetiap sudut ruang. Tentangmu tak akan pernah semudah itu hilang. Tentangmu tak akan segampang itu terhapuskan. Tapi pemberitahuanku kali ini bahwa engkau harus menikmati jatah menontonmu dalam damai, dengan secara perlahan menghapus segala kekhawatiran untuk semua yang kau tinggalkan. Aku telah tumbuh dengan segala harap dan doa yang pernah kau panjatkan. Sebutir dua butir noda yang pernah kulakukan, anggap saja itu pantas untuk ditukar dengan kekecewaan yang sempat melandai hampir seluruh aku. Engkau paham benar seberapa marahnya aku ketika harus mendengar kata perpisahan darimu justru lewat deru tangis yang menyayat. Engkau paham benar seberapa sayangnya aku kepadamu sekalipun hal itu tak pernah tersampaikan secara gamblang. Aku telah tumbuh sekarang, Ari menjagaku dengan sangat tepat, bukan hanya aku tapi juga menjaga mereka yang engkau sayang. Keluarga kecil kita tak pernah bertambah jumlah karena kepergianmu terisi oleh yang datang. Tapi keberadaanmu tak akan pernah tergantikan. Hanya sekali saja aku memiliki dan itu adalah engkau. Aku tahu senyummu akan mengembang bahkan sebelum kumpulan aksara ini di terbitkan. Senyummu akan mengembang bersamaan kelegaanku yang tersampaikan. Duduklah dengan manis di bangku abadimu, jika engkau sempat bertemu dengan nama yang mendahuluimu lama, dengan nama yang dulu sangat memanjakanku sebagai cucu kesayangannya. Tolong sampaikan peluk ciumku untuknya. Selamat petang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar